HUBUNGAN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN TEBAL PARENKIM GINJAL PADA PEMERIKSAAN USG ABDOMEN FOKUS GINJAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

GINJAL PADA PEMERIKSAAN USG ABDOMEN FOKUS GINJAL SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NUR ALFIANI G0009154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

Skripsi dengan judul: Hubungan antara Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus Ginjal

Nur Alfiani, NIM: G0009154, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Selasa, Tanggal 24 Juli 2012

Pembimbing Utama

Nama : Prof. Dr. Suyono, dr., Sp. Rad (K). NIP : 19470611 197610 1 001

Pembimbing Pendamping Nama : Balgis, dr., M.Sc., CMFM., AIFM.

NIP : 19640719 199903 2 003 ......................................

Penguji Utama

Nama : Dr. Widiastuti, dr., Sp. Rad (K). NIP : 19570308 198603 1 006

Penguji Pendamping Nama : Arif Suryawan, dr., AIFM.

NIP : 19580327 198601 1 001 ......................................

Surakarta, ...............................................

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP 19770914 200501 1 001 NIP 19510601 197903 1 002

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 24 Maret 2012

Nur Alfiani

NIM. G0009154

Nur Alfiani, G0009154, 2012. Hubungan Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus Ginjal. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Latar Belakang: Gagal ginjal kronik ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara adekuat dimana ginjal tidak dapat lagi mengeluarkan sisa metabolisme yang berlebih dari tubuh yang sifatnya irreversible dan kronik. Komplikasi yang sering terjadi akibat gagal ginjal kronik di antaranya adalah ukuran ginjal yang mengecil. Perubahan ukuran ginjal ini banyak dihubungkan dengan penipisan korteks ginjal akibat proses patologis yang terjadi. Namun, untuk proses yang terjadi di parenkim ginjal masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara fixed- exposure sampling . Sampel dibagi menjadi dua kelompok, non gagal ginjal kronik dan gagal ginjal kronik. Sampel kemudian dilakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal untuk mengetahui tebal parenkim ginjal. Diperoleh data sebanyak 30 subjek penelitian dan dianalisis menggunakan uji t independen.

Hasil Penelitian: Dari analisis data dengan angka kemaknaan α = 0,05 diperoleh nilai p < 0,001 yang berarti p < 0,05 dengan nilai koefisien regresi b = -7,95 mm; CI = 95% -9,54 mm s.d -6,36 mm.

Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal (p < 0,05), di mana pasien gagal ginjal kronik rata-rata memiliki tebal parenkim ginjal 7,95 mm lebih tipis dibandingkan dengan pasien non gagal ginjal kronik.

Kata Kunci: Gagal Ginjal Kronik, Tebal Parenkim Ginjal.

Nur Alfiani, G0009154, 2012. The Relationship between Chronic Renal Failure and Renal Parenchyma Width on Abdomen USG Renal Focus. Mini Thesis. Faculty of Medicine of Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Chronic renal failure is characterized by decreased kidney function adequately when the kidneys can no longer remove excess metabolic waste from the body that are irreversible and chronic. Complications that often occur due to chronic renal failure include the smaller size of the kidney. Changes in kidney size is widely associated with the thinning of the renal cortex due to pathological processes that occur. However, for processes that occur in the renal parenchyma is still not much studied. Therefore, this study aims to determine the relationship of chronic renal failure with renal parenchyma width.

Method: This research is a analytical observational research with the approach of cross sectional. The sample was taken using fixed-exposure sampling after being selected based on the inclusion and exclusion criteria of research. Sample divided into two groups, non chronic renal failure and chronic renal failure. The sample was then examined by abdomen USG renal focus. 30 subjects of research were obtained as the data and analyzed with independent-samples t test.

Result: The data analysis, with α = 0,05, shows p = 0,001 which means p < 0,05, with regression coefficient b = -7,95 mm; CI = 95% -9,54 mm s.d -6,36 mm .

Conclusion: This study revealed that there is significant correlation between chronic renal failure and renal parenchyma width (p < 0,05), where chronic renal failure patients have renal parenchyma width in average of 7.95 mm thinner than the non-chronic renal failure patients.

Keywords: Chronic Renal Failure, Renal Parenchyma Width.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus GInjal”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan FK UNS Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., Vicky Eko Nurcahyo Hariyadi, dr., Sp. THT-KL, M.Sc., S. Enny N, SH., MH dan Mas Sunardi selaku Tim Skripsi FK UNS yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Suyono, dr., Sp. Rad (K)., selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

4. Balgis, dr., M.Sc., CMFM., AIFM., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Widiastuti, dr., Sp. Rad (K)., selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Arif Suryawan, dr., AIFM. selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sarimo dan Ibunda Sri Wiyati, adik tersayang, Beta yang senantiasa memberikan semangat dan doa hingga skripsi ini terselesaikan.

8. Charismatika Syintia Dewi dan Yeny Ristaning Belawati, saudara, sahabat, rekan seperjuangan Pendidikan Dokter angkatan 2009 atas segala dukungan, kerjasama, dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Fitria Marizka, Handayani Putri, Achmad Faiz, Mbak Etika, Keluarga BEM FK UNS, dan semua sahabat, serta orang-orang terdekat yang terus memberi dukungan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Pihak-pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, peneliti sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki skripsi ini nantinya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surakarta, Juli 2012 Nur Alfiani

BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................................

35

BABV. PEMBAHASAN .......................................................................................

43

BABVI. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

51 A. Simpulan .............................................................................................

51 B. Saran ...................................................................................................

51

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

52 LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat (Stage)

Penyakit .................................................................................................... 14

Tabel 2.2. Fungsi Ginjal Menurut Kadar Kreatinin Serum .......................................

15

Tabel 2.3. Fungsi Ginjal Menurut Kadar Klirens Kreatinin .....................................

15

Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Jenis Kelamin, Usia, dan

Berat Badan .............................................................................................. 37

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Kadar Ureum Plasma, Kreatinin

Plasma, dan Laju Filtrasi Glomerulus ...................................................... 38

Tabel 4.3. Data Pengelompokkan Tebal Parenkim Ginjal ........................................

38

Tabel 4.4. Distribusi Pengelompokkan Tebal Parenkim Ginjal Subjek yang

Mengalami Penipisan Parenkim Ginjal.................................................... 39

Tabel 4.5. Hasil Analisis Bivariat dengan Uji t Independen tentang Beda Rata-Rata

Tebal Parenkim Ginjal antara Kelompok GGK dan NON GGK ............. 41

Tabel 4.6. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan antara Gagal

Ginjal Kronik dan Usia dengan Tebal Parenkim Ginjal .......................... 41

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal Kiri, Korteks Ginjal, Medula, dan Pelvis Penampang Lintang ................................................................................

Gambar 2.2. Proses Pembentukan Urin (Filtrasi, Reabsorsi, dan Sekresi) ..............

Gambar 2.3. Ultrasonografi Ginjal ...........................................................................

24

Gambar 2.4. Pengukuran Tebal Parenkim dan Tebal Korteks Ginjal ......................

24

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian ..........................................................................

33

Gambar 4.1. Boxplot tentang Beda Rata-Rata Tebal Parenkim Ginjal antara

Kelompok GGK dan NON GGK ...........................................................

40

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian. Lampiran 2. Crosstabs Karakteristik Sampel Dua Kelompok Lampiran 3. Uji Normalitas Data. Lampiran 4. Analisis Bivariat Uji t Independen. Lampiran 5. Model Analisis Regresi Linier Ganda. Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data dari Fakultas

Kedokteran.

Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data dari RSUD

Dr.Moewardi. Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian dan Pengambilan Data dari RSUD Dr. Moewardi.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal adalah istilah yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi pada berbagai golongan umur, etnis, serta jenis kelamin (Hogg, et.al., 2003). Gagal ginjal ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara adekuat dimana ginjal tidak dapat lagi mengeluarkan sisa metabolisme yang berlebih dari tubuh (The Ohio State University Medical Center, 2008). Menurut Barton dari Universitas Saskatchewan’s, ada dua tipe gagal ginjal yakni gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik yang dibedakan berdasarkan durasi dan kerusakan yang irreversible (Barton, 2003). Gagal ginjal kronik progresivitasnya lambat dan berlangsung selama beberapa tahun serta kerusakan yang ditimbulkannya bersifat irreversible (Swierzweski, 2001). Gagal ginjal kronik juga terbukti turut menyumbang nilai morbiditas dan mortalitas di beberapa negara di dunia. Angka kematian akibat gagal ginjal kronik cukup tinggi (Stack, 2003).

Prevalensi gagal ginjal kronik cukup tinggi dan terus meningkat tiap tahunnya. Di dunia, diperkirakan angka kejadian gagal ginjal kronik mengalami kenaikan sebesar 7% tiap tahunnya (Grassman, et.al., 2004). Sedangkan, penderita gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan prevalensinya sebesar 12,5% atau sekitar 18 juta jiwa (Suhardjono, 2009).

mencapai 22% pada tahun 2004 (Prodjosudjadi, 2006). Gagal ginjal kronik prevalensinya meningkat pada usia di atas 45 tahun. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan jenis kelamin lebih banyak terjadi di wanita. Untuk etnis di Asia, gagal ginjal kronik banyak terjadi pada etnis cina (Zhang dan Rothenbacher, 2008).

Komplikasi yang sering ditimbulkan gagal ginjal kronik berhubungan dengan perubahan pada ginjal itu sendiri, yakni ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis, batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi (Suwitra, 2007). Ukuran ginjal yang mengecil berbanding lurus dengan jumlah nefron. Hipertensi, proteinuria, dan glomerulosklerosis adalah beberapa komplikasi yang dapat timbul dari berkurangnya jumlah nefron (Luyckx, 2011).

Perubahan ukuran ginjal menjadi lebih kecil dibanding ukuran ginjal normal pada pasien gagal ginjal kronik banyak dihubungkan dengan penipisan korteks. Hal ini berkenaan dengan proses nefropati dan mikroangiopati yang berlangsung di ginjal (Wilson, 2006). Penelitian lain mengemukakan bahwa tebal parenkim ginjal juga memberikan korelasi yang spesifik terhadap kronisitas dari gagal ginjal itu sendiri. Sama dengan korteks ginjal, parenkim ginjal juga mengalami penipisan pada gagal ginjal kronik. (Roger, et. al., 2009;

Buturović-Ponikvar dan Višnar-Perovič, 2003). T ebal parenkim ginjal diukur dari dasar piramida ginjal sampai permukaan ginjal, yakni terdiri atas korteks dan medula ginjal (Tuma, et. al., Buturović-Ponikvar dan Višnar-Perovič, 2003). T ebal parenkim ginjal diukur dari dasar piramida ginjal sampai permukaan ginjal, yakni terdiri atas korteks dan medula ginjal (Tuma, et. al.,

Penelitian tentang korteks dan proses patogenesis yang terjadi di dalamnya pada pasien gagal ginjal kronik sudah banyak dilakukan. Namun, untuk proses yang terjadi di parenkim ginjal masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada ilmu pengetahuan serta sebagai perbandingan bagi penelitian-penelitian sebelumnya.

Dengan mengetahui adanya hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi anatomis korteks dan medula pada pasien gagal ginjal kronik, berkenaan dengan peran korteks dan medula dalam proses pembentukan urin.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ginjal

a. Anatomi Makroskopis dan Mikroskopis Ginjal terletak pada bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar-transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor (Wilson,2006a). Panjang ginjal orang dewasa antara 10-13 cm, dan tebal ginjal orang dewasa antara 5-7 cm. Ukuran ginjal tidak dibedakan menurut bentuk dan ukuran tubuh, melainkan ditentukan oleh jumlah nefron yang dimilikinya (Pearce, 2004). Masing-masing ginjal beratnya sekitar 150 gram dan besarnya seukuran kepalan tangan (Guyton dan Hall, 2007).

Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum. Hilum merupakan tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai darah, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke kandung kemih. Struktur dalam ginjal yang rapuh dilindungi oleh kapsul fibrosa yang melingkupinya (Guyton dan Hall, 2007)

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal Kiri, Korteks Ginjal, Medula, dan Pelvis Penampang Lintang (Putz dan Pabst, 2007).

Ginjal yang dipotong longitudinal akan memperlihatkan dua daerah yang berbeda, korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam (Wilson, 2006). Di dalam korteks dan medula banyak terdapat nefron dan di dalam medula juga banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distalis, dan duktus koligentes (Purnomo, 2009).

Medula terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula serta berakhir di papila, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus

cabang dari aorta abdominalis skeletopis vertebra lumbalis II. Masing- masing arteri renalis biasanya bercabang menjadi arteriae segmentales yang masuk ke dalam hilum renale, empat di depan dan satu di belakang pelvis renalis. Arteriae ini mendarahi segmen atau area renalis yang berbeda. Arteriae lobares berasal dari arteria segmentalis, masing-masing satu buah untuk satu pyramid renalis. Sebelum masuk substansia renalis, setiap arteria lobaris mempercabangkan dua atau tiga arteriae interlobares. Arteriae interlobares berjalan menuju korteks di antara pyramides renales. Pada perbatasan korteks dan medula renalis, arteriae interlobares bercabang menjadi arteriae arcuatae yang melengkung di atas basis pyramides renales. Arteriae arcuatae mempercabangkan sejumlah arteriae interlobulares yang berjalan ke atas di dalam korteks. Arteriolae aferen glomerulus merupakan cabang arteriae interlobulares. Selanjutnya, sistem venosa di ginjal memvaskularisasi bagian yang sama dengan sistem arterinya. Vena renalis keluar dari hilum renale di depan arteria renalis dan mengalirkan darah ke vena cava inferior (Snell, 2006).

b. Fisiologi Ginjal Fungsi utama ginjal adalah fungsi ekskresi dan fungsi regulasi. Fungsi ekskresi yakni, membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Sedangkan, fungsi regulasi dilakukan ginjal untuk mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh (Guyton dan Hall, 2007). Menurut Mutschler (2001), ginjal menjalankan fungsi multipel

1) Ekskresi zat-zat metabolisme melalui urin, misalnya urea dan kreatinin.

2) Pengaturan kebutuhan air dan elektrolit serta keseimbangan asam basa.

3) Pengaturan (hormonal) volume cairan ekstra sel dan tekanan darah arteri.

4) Sintesis eritropoetin dan dengan demikian mempengaruhi pembentukan eritrosit.

5) Hidroksilasi 25-hidroksi-kolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksi- kolekalsiferol yang berperan pada metabolisme kalsium dan fosfat.

c. Proses pembentukan urin Pembentukan urin terdiri dari filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi glomerulus dimulai ketika sejumlah besar cairan dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman (Sherwood, 2001, Guyton dan Hall, 2008b). Di glomerulus, dinding glomerulus bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam, dan glukosa (Tjay dan Rahardja, 2002).

Cairan yang telah difiltrasi meninggalkan kapsula Bowman dan melewati tubulus. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen seperti glukosa dan garam (reabsorbsi tubulus) sehingga terbentuk filtrat (Sherwood, 2001; Tjay and Rahardja, 2002). Selain itu, pada tubulus terjadi penambahan zat-zat tertentu seperti H + dan K + ke Cairan yang telah difiltrasi meninggalkan kapsula Bowman dan melewati tubulus. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen seperti glukosa dan garam (reabsorbsi tubulus) sehingga terbentuk filtrat (Sherwood, 2001; Tjay and Rahardja, 2002). Selain itu, pada tubulus terjadi penambahan zat-zat tertentu seperti H + dan K + ke

Gambar 2.2. Proses Pembentukan Urin (Filtrasi, Reabsorsi,

dan Sekresi) (Sherwood, 2001).

2. Parenkim Ginjal Parenkim ginjal terdiri dari korteks dan medula ginjal. Korteks terletak di bagian luar dan medula terdiri atas piramid renalis di bagian dalam (Wilson, 2006). Korteks ditutup oleh simpai jaringan ikat perirenal dan jaringan lemak. Di dalam korteks terdapat tubulus kontortus, glomerulus, tubulus lurus, dan berkas medula. Korteks juga mengandung korpuskulum renal, tubulus kontortus proksimal dan distal, arteri interlobular, dan vena interlobular. Berkas medular mengandung bagian lurus nefron dan duktus koligentes. Berkas medula tidak meluas ke dalam kapsul ginjal karena ada zona sempit tubulus kontortus.

Medula dibentuk oleh sejumlah piramid renal. Dasar setiap piramid Medula dibentuk oleh sejumlah piramid renal. Dasar setiap piramid

Papila biasanya ditutupi epitel selapis silindris. Saat epitel ini berlanjut ke dinding luar kaliks, epitel ini menjadi epitel transisional. Di bawah epitel, terdapat selapis tipis jaringan ikat dan otot polos yang kemudian menyatu dengan jaringan ikat sinus renalis. Papila ginjal mengandung bagian terminal duktus koligentes, yaitu duktus papilaris. Duktus ini berdiameter besar dengan lumen besar dan dilapisi sel silindris tinggi dan terpulas pucat. Di sini juga terdapat potongan segmen tipis ansa Henle dan segmen lurus asenden tubulus kontortus distal. Jaringan ikat lebih banyak di daerah ini dan duktus koligentes tidak begitu berhimpitan. Juga terdapat banyak pembuluh darah kecil di sini. Potongan melintang segmen tipis ansa Henle mirip kapiler atau venule.

Sejumlah duktus koligens menyatu di medula membenuk tubulus lurus dan besar, disebut duktus papilaris yang bermuara di ujung papila. Banyaknya muara pada permukaan papila memberi gambaran seperti saringan; daerah ini disebut area kribosa. Pada gambar ini, papila dilapisi epitel berlapis kuboid. Namun, di area kribosa epitel pelapisnya umumnya adalah selapis silindris yang menyatu dengan pelapis duktus papilaris. Juga

Juga tampak jaringan ikat dan kapiler darah. Di dalam sinus renalis di antara piramid, terdapat cabang arteri dan vena renalis, yaitu pembuluh interlobaris. Pembuluh ini memasuki ginjal, kemudian melengkung menyusuri dasar piramid pada taut korteks-medula sebagai arteri arkuata. Pembuluh arkuata mencabangkan arteri dan vena interlobular yang lebih kecil. Arteri arkuata berjalan secara radial menuju korteks ginjal dan mencabangkan banyak arteri aferen glomerular di glomeruli (Eroschenko, 2003).

Pada parenkim ginjal, terdapat berjuta-juta nefron. Setiap nefron mempunyai semua komponen yang sama, yakni glomerulus dan tubulus nefron. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan, bergantung pada seberapa dalam letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di korteks sisi luar disebut nefron kortikal, nefron tersebut mempunyai ansa Henle pendek yang hanya sedikit menembus ke dalam medula. Kira-kira 20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks renal sebelah dalam dekat medula, dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini mempunyai ansa Henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula.

Struktur vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem tubulus dikelilingi oleh jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen yang panjang akan meluas dari Struktur vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem tubulus dikelilingi oleh jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen yang panjang akan meluas dari

Terdapat satu sistem fungsional di medula ginjal, yakni sistem arus balik medula (medullary countercurrent system). Sistem ini memungkinkan ginjal menghasilkan urin dengan konsentrasi antara 100 sampai 1.200 mosm/l, bergantung pada status hidrasi tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada cairan interstisium medula kedua ginjal terdapat gradien osmotik vertikal besar. Konsentrasi cairan interstisium secara progresif meningkat dari batas korteks turun ke kedalaman medula ginjal sampai mencapai maksimum 1.200 mosm/l pada manusia di taut dengan pelvis ginjal. Gradien osmotik vertikal ini tetap konstan tanpa bergantung pada keseimbangan cairan tubuh.

Gradien osmotik vertikal ini diciptakan oleh lengkung Henle. Perbedaan fungsional antara pars desendens dan pars asendens lengkung Henle berperan penting. Pars desendens lengkung Henle sangat permeabel

terhadap H 2 O, tetapi tidak aktif mengenluarkan Na + , sedangkan pars asendens impermeabel terhadap H 2 O dan aktif mengeluarkan Na + dari lumen tubulusnya. Saat filtrat glomerulus memasuki medula melalui pars terhadap H 2 O, tetapi tidak aktif mengenluarkan Na + , sedangkan pars asendens impermeabel terhadap H 2 O dan aktif mengeluarkan Na + dari lumen tubulusnya. Saat filtrat glomerulus memasuki medula melalui pars

berdifusi ke cairan interstisium medula, sedangkan H 2 O tetap di dalam filtrat. Menuju tubulus distal, filtrat kembali isotonis. Namun, cairan interstisium semakin ke bawah menjadi semakin pekat karena perbedaan konsentrasi yang ditimbulkan oleh lengkung Henle.

Gradien medula berjenjang tersebut akan menetap karena adanya aliran cairan yang terus menerus disertai oleh aktivitas transportasi pars asendens dan aliran pasif dari pars desendens yang menyertainya. Selain

pertukaran NaCl dan H 2 O antara kedua pars lengkung Henle dan cairan interstisium, akumulasi urea di cairan interstisium medula akibat daur- ulang pasif urea antara tubulus pengumpul dan lengkung panjang Henle juga berperan dalam hipertonisitas medula (Sherwood, 2001).

3. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit ginjal kronik tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

elektrolit, menyebabkan uremia (Suharyanto, 2009). Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Parazella, 2005).

Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat

(Stage) Penyakit.

Derajat

Penjelasan

LFG (ml/menit/1,73m 2

Kerusakan ginjal dengan LFG normal/baik

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan

60-90

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat

15-29

5 Gagal ginjal

<15 atau dialisis (Sumber : Parazella, 2005).

Fungsi Ginjal Menurut Kreatinin

Serum

Nilai (mg/dl) Normal

Resistensi Insufisiensi Gagal Ginjal jika ada Uremik

Laki-laki : 0.7-1.1 Perempuan : 0.6-0.9

Kadar Normal - 3

(Sumber : Parazella, 2005).

Tabel 2.3. Fungsi Ginjal Menurut Menurut Klirens Kreatinin .

Klasifikasi

KK (ml/menit) Kekurangan cadangan ginjal

Insufisiensi Ginjal Gagal Ginjal Kronik Gagal Ginjal Terminal

75 - 200

25 - 75 < 25 (Protein 0,3 – 0,5 gr/kgBB) < 5 Cuci darah

(Sumber : Parazella, 2005).

b. Etiologi

1) Glomerulonefritis Glomerulonrfritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa (Alatas, 2002). Glomerulonefritis terbagi atas dua, yaitu (Baradero, 2009):

Glomerulonefritis akut adalah penyakit yang mengenai glomerulus kedua ginjal. Faktor penyebabnya antara lain reaksi imunologis (lupus eritematosus sistemik, infeksi streptokokus, cedera vaskular (hipertensi), dan penyakit metabolik (diabetes melitus). Glomerulonefritis akut yang paling lazim adalah yang akibat infeksi streptokokus. Glomerulonefritis akut biasanya terjadi sekitar 2 – 3 minggu setelah serangan streptokokus. Sekitar 1 – 2% individu yang terkena glomerulonefritis pasca streptokokus akan mengalami tahap akhir gagal ginjal yang memerlukan dialisis ginjal atau transplantasi ginjal.

b) Glomerulonefritis Kronik

Biasanya, glomerulonefritis kronik (GNK) menyusul glomerulonefritis akut, tetapi ada kasus GNK pada pasien yang tidak pernah mengalami glomerulonefritis akut sebelumnya. Jalan penyakit GNK dapat berubah – ubah. Ada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal minimal dan merasa sehat. Perkembangan penyakitnya juga perlahan. Walaupun perkembangan penyakit GNK perlahan atau cepat, keduanya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir. GNK dicirikan dengan kerusakan (karena menjadi sklerotik) glomerulus dan hilangnya fungsi ginjal secara perlahan. Glomerulus mengalami pengerasan (sklerotik). Ginjal mengecil, tubulus mengalami Biasanya, glomerulonefritis kronik (GNK) menyusul glomerulonefritis akut, tetapi ada kasus GNK pada pasien yang tidak pernah mengalami glomerulonefritis akut sebelumnya. Jalan penyakit GNK dapat berubah – ubah. Ada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal minimal dan merasa sehat. Perkembangan penyakitnya juga perlahan. Walaupun perkembangan penyakit GNK perlahan atau cepat, keduanya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir. GNK dicirikan dengan kerusakan (karena menjadi sklerotik) glomerulus dan hilangnya fungsi ginjal secara perlahan. Glomerulus mengalami pengerasan (sklerotik). Ginjal mengecil, tubulus mengalami

2) Pielonefritis kronik Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan kelainan parenkimal yang disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal. Pielonefritis kronik terjadi pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang juga mempunyai kelainan anatomi utama pada saluran kemihnya (Wilson, 2006).

3) Penyakit ginjal polikistik Penyakit ginjal polikistik merupakan kelainan ginjal turunan yang paling sering terjadi. Prevalensinya sekitar 1 dari 1000 dan lebih sering terjadi pada populasi kulit putih dibandingkan kulit hitam. Penyakit ini mencakup 4 – 10% pasien dengan gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi atau dialisis. Hampir semua kasus akibat mutasi pada gen PKD1 atau PKD2. Mutasi PKD1 mencakup 85% kasus dan menyebabkan gagal ginjal yang lebih dini dibandingkan mutasi PKD2. Gambaran klinis utamanya adalah kista multipel di ginjal, namun kista dapat juga timbul di hati, limpa, dan pankreas. Aneurisma intrakranial dan kelainan katup jantung juga dapat terjadi (O’callaghan, 2007).

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat anti hipertensi (Mansjoer, 2001). Hipertensi merupakan penyebab kedua terjadinya penyakit ginjal tahap akhir. Sekitar 10% individu pengidap hipertensi esensial akan mengalami penyakit ginjal tahap akhir (Hanifa, 2010).

5) Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Fritiwi, 2010).

arteri intrarenal berhubungan dengan disfungsi diastolik yang banyak dialami pada pasien dabetes melitus (Maclsaac, et.al., 2008). Penyakit arteri perifer ini insidensinya meningkat pada pasien diabetes melitus. Hal ini kemudian berhubungan dengan meningkatnya kejadian nefropati, albuminuria, serta retinopati yang dakibatkan oleh mikroangiopati pada diabetes melitus (Cardioangiol, 2003).

c. Patofisiologi Patofisiologi gagal ginjal kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang luas. Mekanisme tersebut, yakni: 1) mekanisme awal spesifik yang mendasari etiologi penyakit ginjal kronik, seperti kompleks imun dan mediator inflamasi di berbagai tipe glomerulonefritis, atau paparan toksin di beberapa penyakit tubulus ginjal, 2) seperangkat mekanisme progresif, meliputi hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa yang merupakan konsekuensi umum dari pengurangan massa ginjal dalam jangka panjang, terlepas dari etiologi yang mendasari. Respon pengurangan jumlah nefron dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari hiperfiltrasi dan hipertrofi ini menjadi maladaptif seiring dengan kenaikan tekanan dan aliran darah yang menjadi predisposisi untuk sklerosis dan hilangnya nefron. Peningkatan aktivitas renin angiotensin intrarenal memberikan kontribusi kepada c. Patofisiologi Patofisiologi gagal ginjal kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang luas. Mekanisme tersebut, yakni: 1) mekanisme awal spesifik yang mendasari etiologi penyakit ginjal kronik, seperti kompleks imun dan mediator inflamasi di berbagai tipe glomerulonefritis, atau paparan toksin di beberapa penyakit tubulus ginjal, 2) seperangkat mekanisme progresif, meliputi hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa yang merupakan konsekuensi umum dari pengurangan massa ginjal dalam jangka panjang, terlepas dari etiologi yang mendasari. Respon pengurangan jumlah nefron dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari hiperfiltrasi dan hipertrofi ini menjadi maladaptif seiring dengan kenaikan tekanan dan aliran darah yang menjadi predisposisi untuk sklerosis dan hilangnya nefron. Peningkatan aktivitas renin angiotensin intrarenal memberikan kontribusi kepada

menyebabkan penurunan progresif dalam fungsi ginjal selama bertahun- tahun (Harrison, 2010).

d. Kriteria diagnosis Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible

factors )

4) Menentukan strategi terapi rasional

5) Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik

2) Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

a) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

b) Etiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

c) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endokrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

3) Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

b) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (Fritiwi, 2010).

4. Gambaran Ultrasonografi Ginjal Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah menangkap gelombang bunyi ultra yang dipantulkan oleh organ-organ (jaringan) yang berbeda kerapatannya. USG dapat membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan massa kistus (hipoekoik), sedangkan batu non opak yang tidak dapat dideteksi dengan foto ronsen akan terdeteksi oleh USG sebagai echoic shadow .

Pemeriksaan USG pada ginjal dipergunakan untuk: 1) untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis, kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang pada pemeriksaan PIV menunjukkan non visualized , 2) sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal atau nefrostomi perkutan, dan 3) sebagai pemeriksaan penyaring pada dugaan adanya trauma ginjal derajat ringan (Purnomo, 2009).

a. Ukuran Ginjal Panjang ginjal adalah 9-14 cm (potongan longitudinal), tebal 4-6 cm (potongan melintang), dan kedalaman 4-6 cm (potongan melintang). Sedangkan volume ginjal dihitung dengan rumus:

Volume ginjal =

†otUot ξ ’ŖȖoϜ ξ ʆŖcoϜopot ξ

Volume ginjal normal adalah 100-170 ml/1,73 m 2 luas permukaan tubuh.

b. Tebal parenkim ginjal Parenkim ginjal diukur dari dasar pramida ginjal sampai permukaan ginjal. Tebal parenkim ginjal normal adalah 14-18 mm. Pengukuran tebal parenkim ginjal berguna untuk memonitoring keberhasilan transplantasi ginjal dan proses penyakit kronis di parenkim ginjal.

Tebal normal korteks ginjal adalah 8-10 mm. Pemendekan pada korteks ginjal dapat ditemukan pada penyakit kronis di parenkim ginjal dengan gagal ginjal. Pemendekan korteks ginjal ini berkorelasi dengan derajat gagal ginjal (Tuma et.al., 2011).

Faktor-faktor yang berpengaruh pada tebal parenkim dam korteks ginjal antara lain indeks massa tubuh, tinggi badan, dan jenis kelamin laki-laki ( Surcel et.al., 2011).

Gambar 2.3. Ultrasonografi Ginjal (Tuma et.al., 2011).

Gambar 2.4. Pengukuran Tebal Parenkim dan Tebal Korteks Ginjal

(Tuma et.al., 2011).

Beberapa penyakit ginjal yang dapat menyebabkan perubahan ukuran ginjal, antara lain :

a. Hipoplasia ginjal Ginjal berukuran kecil namun terbentuk dengan sempurna.

b. Ginjal tapal kuda Penyatuan kutub-kutub ginjal yang berlawanan (biasanya bagian bawah) dengan kalises yang menyempit di bagian tengah. Insidensi b. Ginjal tapal kuda Penyatuan kutub-kutub ginjal yang berlawanan (biasanya bagian bawah) dengan kalises yang menyempit di bagian tengah. Insidensi

c. Ginjal polikistik Ginjal polikistik ditandai oleh pembesaran kedua ginjal disertai jaringan ginjal normal yang digantikan dengan kista multipel. Perluasan dan pembesaran kista menekan isi ginjal, menyebabkan hilangnya fungsi ginjal dan bahkan gagal ginjal.

1) Penyakit polikistik dewasa Diturunkan sebagai dominan autosomal dengan penetrasi mendekati 100%.

2) Penyakit polikistik anak Timbul pada usia 3-5 tahun dengan pembesaran ginjal dan fibrosis hati. Kematian dapat disebabkan oleh hipertensi porta.

3) Penyakit polikistik bayi baru lahir Diketahui beberapa hari pertama sebagai gagal ginjal dan pembesaran pada kedua ginjal.

d. Kista ginjal Kista ginjal sederhana sangat sering dijumpai, frekuensinya meningkat sesuai usia. Kelainan ini sering bersifat multipel, dengan ukuran yang bervariasi, dan biasanya ditemukan secara kebetulan. Kista ginjal hampir selalu asimtomatik, dengan sedikit signifikansi klinis, dan biasanya tidak membutuhkan terapi lebih lanjut.

Tumor yang berasal dari epitel saluran kemih biasanya merupakan karsinoma sel transisional. Tumor tersebut dapat bersifat polipoid, menyerupai plak, atau membentuk striktur. Karsinoma sel skuamosa sering berhubungan dengan batu atau infeksi kronis seperti schistosomiasis. Hematuria merupakan gejala utama.

f. Obstruksi saluran ginjal Obstruksi saluran ginjal dapat terjadi pada berbagai tempat: sistem pelvikalises, ureter, kandung kemih, atau pintu keluar kandung kemih. Penyebab paling sering adalah batu ureter walaupun berbagai tumor pada saluran kemih atau invasi ekstrinsik pada ureter dari tumor rektrosigmoid atau ginekologis juga merupakan penyebab yang dapat ditemui. Jika tidak diterapi, dapat terjadi atrofi ginjal.

g. Stenosis arteri renalis Stenosis arteri renalis disebabkan oleh penyempitan arteri renalis yang menyebabkan penurunan tekanan perfusi, hipertensi, dan penurunan ukuran ginjal. Stenosis arteri renalis biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan dapat bersifat unilateral atau bilateral.

h. Karsinoma ginjal Karsinoma ginjal berasal dari epitel tubular ginjal, suatu adenokarsinoma (hipernefroma) dan hampir 10% bilateral. Tumor wilms (nefroblastoma) merupakan satu dari keganasan yang banyak terjadi pada anak-anak dan tumor ini juga dapat bilateral pada hampir h. Karsinoma ginjal Karsinoma ginjal berasal dari epitel tubular ginjal, suatu adenokarsinoma (hipernefroma) dan hampir 10% bilateral. Tumor wilms (nefroblastoma) merupakan satu dari keganasan yang banyak terjadi pada anak-anak dan tumor ini juga dapat bilateral pada hampir

i. Ginjal berukuran kecil unilateral Ginjal normal memiliki panjang 9-14 cm, ginjal kiri biasanya lebih besar dibandingkan yang kanan. Namun demikian, perbedaan ukuran > 1,5 cm memiliki signifikansi. Penyebabnya antara lain : 1) pielonefritis kronis, 2) iskemia, 3) atrofi pascaobstruksi, 4) hipoplasia kongenital, 5) infark ginjal.

j. Nefrokalsinosis Nefrokalsinosis menunjukkan adanya deposisi kalsium pada parenkim ginjal, baik pada korteks maupun medula. Kalsifikasi biasanya merata dan dapat disebabkan oleh :

a. Hiperkalsemia atau hiperkalkuria

Hiperparatiroidisme, biasanya primer; asidosis tubular ginjal; sarkoidosis; myeloma multipel.

b. Abnormalitas struktur ginjal

Ginjal yang berspons di bagian medula-tubulus yang secara kongenital melebar disertai penumpukkan kalsium; nekrosis papiler.

k. Batu ginjal Mayoritas batu ginjal merupakan oksalat murni, kalsium oksalat dengan fosfat, asam urat, atau sistin. Sebuah film polos abdomen k. Batu ginjal Mayoritas batu ginjal merupakan oksalat murni, kalsium oksalat dengan fosfat, asam urat, atau sistin. Sebuah film polos abdomen

5. Hubungan gagal ginjal kronik dan tebal parenkim ginjal Pada gagal ginjal kronik, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons ) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Peningkatan hiperfiltrasi sebagian besar dicapai melalui dilatasi arteriol aferen. Pada saat yang bersamaan arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan angiotensin II

lokal. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal (PRF) dan P gc meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif (Suwitra, 2007).

Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan struktural yang bermakna. Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah epitel visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas epitel visera menyebabkan penyatuan

meningkatkan protein yang hilang dalam urin. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein besar (misalnya, fibrin, imunoglobulin M [IgM], komplemen) dalam ruang subendotelial. Akumulasi subendotelial ini menumpuk bersama proliferasi matriks mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan proteinuria dan gagal ginjal progresif. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbal balik positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang destrukif, sehingga makin sedikit sisa nefron yang utuh (Wilson, 2006).

Pemeriksaan ultrasonografi pada penyakit ginjal kronik maupun akut, terlihat gambaran korteks yang hiperekoik dibandingkan dengan korteks normal dan sonodensitasnya hampir sama dengan sinus renalis. Pada stadium awal, biasanya ukuran ginjal masih normal, umumnya bilateral. Selanjutnya, pada gagal ginjal yang lanjut, ukuran ginjal mengecil dengan batas yang irreguler akibat proses fibrosis (contracted).

Piramis ginjal pada stadium awal juga umumnya masih baik dalam keadaan normal. Namun, pada fase lanjut akan sangat mengecil, bahkan menghilang. Perubahan sinus renalis yang terjadi pada penyakit ginjal ditandai dengan berkurangnya bahkan menghilangnya sistem collecting (Iljas, 2005).

ket: menyebabkan

C. Hipotesis

Ada hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada

Gagal Ginjal Kronik

Berkurangnya jumlah nefron

Hiperfiltrasi dan hipertrofi struktural

P gc RPF

Angiotensin II

Hipertensi intraglomerular

Korteks Menipis

Nefropati

Sklerosis nefron

Akumulasi protein besar subendotelial

Densitas sel epitel

Permeabilitas

Volume glomerulus

Hiperplasia endotel dan mesangial

Mikroangiopati

Kolaps kapiler segmen

Penyempitan lumen kapiler

Tebal parenkim

ginjal berubah

Medula menipis

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen.

2. Sampel Pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal pada pasien dengan usia 16-74 tahun yang bersedia berpartisipasi pada penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian bivariat yang melibatkan sebuah variabel dependen dan sebuah variabel independen. Sehingga, pada penelitian ini, digunakan sampel menurut patokan umum, yang disebut “rule of thumb”. Menurut teori ini, setiap penelitian yang datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2010b).