PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA

(1)

PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA

DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA SKRIPSI

Skiripsi ini Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar sarjana strata-1 di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Oleh :

NAMA : DWI NOVA INDAH KUSUMA WARDANI

NIM : 20120610038 Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

i

PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA

DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skiripsi ini Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar sarjana strata-1 di Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Oleh :

NAMA : DWI NOVA INDAH KUSUMA WARDANI

NIM : 20120610038 Program Studi : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA

DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

NAMA : DWI NOVA INDAH KUSUMA WARDANI

NIM : 20120610038

Skiripsi ini telah di setujui oleh Dosen Pembimbing pada tanggal 24 Agustus 2016

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr.Leli Joko Suryono,SH.,M.Hum Endang Heriyani, SH.,M.Hum NIP/NIK. 19681023199303153015 NIP/NIK. 1965011619922032002


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA

DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA

Skiripsi ini telah di pertahankan di hadapan Dosen penguji skiripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Hari/tanggal Selasa, 6 September 2016 Yang terdiri dari:

Ketua

Dewi Nurul Musjtari,S.H.M.Hum NIK/NIP 19710107199503153027

Anggota I Anggota II

Dr.Leli Joko Suryono,S.H.,M.Hum Prihati Yuniarlin, S.H.,M.Hum NIP/NIK. 19681023199303153015 NIP/NIK 19630602198812153007

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum NIK. 19710409199702153.028


(5)

iv

HALAMAN MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.(Q.S Al-Insyirah 6-7)

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya, dan Allah lebih mengetahui orang – orang yang menerima petunjuk.(Q.S. Al-Qashash 56)


(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Saya persembahkan Kepada :

1. Ibu tercinta Sri Darmini yang telah merawat dan membesarkan saya dari dalam kandungan sampai saat ini.terima kasih ibu yang telah mencurahkan kasih sayangnya dengan penuh kesabaran, selalu menyemangati, mendoakan sayaagar lancar dan dimudahkan dalam menyelesaikan skripsi ini

2. Bapak tercinta Agus Slamet Widada S.H.,yang telah sabar membimbing saya, mencurahkan kasih sayangnya kepada saya dan mendoakan saya agar lancar dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kakaku Mila Noviyani dan Surya Sabdo Pribadi , adekku Liza setya Ningrum serta ponakanku Rassya Muhammad Harvian yang selalu mendukung dan mendoakan agar lancar dan dimudahkan semua urusan skripsi ini.


(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI

Bismillahirrohmanirrohim Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Dwi Nova Indah Kusuma Wardani NIM : 20120610038

Judul Skripsi :PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD

MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran, pemaparan asli dari saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya tersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana S-1 yang telah diperoleh dalam hal karya tulis ini, dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 15 Agustus 2016 Yang Menyatakan


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahi Rabbil’Alaamin, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan kasih sayang-Nya.Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Dalam kesempatan ini penulis bersyukur kepada Allah SWT dalam hal penulis dapat menyelesaikan tugas akhiruntuk memenuhi salah satu syarat kelulusan strata-1 program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berupa skripsi dengan judul : “PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAH DALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan motivasi yang diberikan oleh berbagai pihak, Penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan.Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto.,M.A, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah memimpin Fakultas Hukum.


(9)

viii

3. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 4. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum, selaku Dosen pembimbing

skripsi 1 yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan ilmu untuk membantu penulisan skripsi ini.

5. Ibu Endang Heriyani S.H, M.Hum, selaku Dosen pembimbing skripsi II yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan ilmu untuk

membantu penulisan skripsi ini.

6. Bapak Endriyo Susila SH., MCL. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang meberikan masukan dalam konsentrasi penulisan skripsi.

7. Bapak Maman dan Mbak Hikmah Samputri di Dekanat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak membantu memberikan informasi seputaran skripsi ini.

8. Segenap jajaran Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan melalui proses belajar mengajar yang menyenangkan dan segenap jajaran karyawan TU Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan karyawan laboratorium Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak membantu atas informasi dan dispensasi khususnya bagi mahasiswa.

9. Sahabat – sahabatku Rina Eka, Lipi Saputri, Ade Irsya Putri, Dyah Kencana, Desy Rahmawati, Jessika, mbk Riga, mbk Tyas, mbk Rima, mbk Nurul


(10)

ix

Hudda yang selalu menyemangati dan mendoakan agar lancar dan dimudahkan semua urusan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat seperjuanganku Shafira Ayu Zulfawani, Andiningtyas Dwiastuti Muryati, S.H, Dyah Ayu Rachmawati, dan Pepy Yuspika Gumilar, terimakasih untuk dukungan, kerjasama dan semangatnya.

11.Mas Taufik Kurrahman S.H. terimakasih untuk waktunya yang selalu menemaniku, selalu sabar membimbingku, mendoakanku dan menyemangatiku dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Mas Johan Rafsanjani S.Pd, mas Sani Waskito, Ganang Ismail S.H dan mas Joko Susilo terimakasih untuk dukungan, doanya dan selalu menyemangatiku dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Adek tingkat Chandra AR makasih bo selalu menyemangati dan doanya. 14.Teman-teman Fakultas Hukum UMY 2012 terimakasih sudah membantu dan

memberikan supportnya.

15.BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta yang telah menerima dan memberikan tempat penelitian skripsi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Semoga amal ibadah dan niat tulus mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT, Aamiin. Penulis sangat menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih jauh dari sempurna dan terdapat banyak kekurangan, oleh dalam hal itu penulis berharap banyak adanya masukan, saran dan kritik membangun guna memperbaiki skripsi ini sebagai upaya memberikan kontribusi dalam perkembangan


(11)

x

keilmuan hukum. Semoga penulisan skripsi ini dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin

Yogyakarta, 15 Agustus 2016

Penulis


(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan Tentang Akad ... 7

1. Pengertian Dan Pengaturan Akad ... 7

2. Asas-Asas Akad ... 8

3. Rukun Dan Syarat Sahnya Akad ... 10

4. Unsur-Unsur Akad ... 11

5. Keadaan Memaksa (Overmacht) ... 15

6. Hapusnya Akad ... 16

B. Tinjauan Tentang Akad Mudharabah... 18

1. Pengertian Akad Mudharabah ... 18

2. Asas-Asas Akad Mudharabah ... 19

3. Rukun Dan Syarat Mudharabah ... 20

4. Jenis-Jenis Mudharabah ... 21


(13)

xii

C. Tinjauan Tentang Hukum Waris Islam ... 24

1. Pengertian Hukum Waris Islam ... 24

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam ... 27

3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam ... 28

4. Ahli Waris Menurut Hukum Islam ... 31

5. Halangan Untuk Menerima Warisan Dalam Waris Islam ... 34

D. Tinjauan Tentang Jaminan Syariah ... 35

1. Pengertian Jaminan Syariah ... 35

2. Dasar Hukum Jaminan Syariah ... 38

3. Rukun Dan Syarat Jaminan Syariah ... 39

4. Macam-Macam Jaminan Syariah ... 40

5. Pengikatan Jaminan Syariah ... 41

6. Perjanjian Jaminan Syariah... 42

7. Berakhirnya Jaminan Syariah ... 43

E. Tinjauan Tentang Koperasi Syariah ... 45

1. Pengertian Koperasi Syariah... 45

2. Tujuan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Dan Unit Jasa Keuangan Syariah ... 49

3. Prinsip Dasar Produk Dan Jasa Koperasi Syariah ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 51

A. JenisPenelitian ... 51

B. Jenis Data ... 51

C. Lokasi Penelitian ... 52

D. Responden ... 52

E. Narasumber ... 53

F. Wawancara ... 53

G. Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV PEMBAHASAN ... 55

A. Gambaran Umum Tentang BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA ... 55 B. Proses Pergantian Subyek Hukum Pada Akad Mudharabah


(14)

xiii

BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA ... 63

C. Pelaksanaan Pemenuhan Pembiayaan Pada Akad MudharabahSetelah Proses Pergantian Subyek Hukum Pada Akad Mudharabah Dalam Hal Mudharib Meninggal Dunia Di BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA ... 69

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN - LAMPIRAN


(15)

xiv ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Pergantian Subyek Hukum Pada Akad MudharabahDalam hal Mudharib Meninggal DuniaDi BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta. Ada dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses pergantian subyek hukum pada akad Mudharabah dalam hal Mudharib meninggal dunia, dan bagaimana pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad Mudharabah setelah proses pergantian subyek hukum padaakad Mudharabah dalam hal Mudharib meninggal dunia.

Penelitian yang digunakan adalah normatif. Data penelitian dilakukan dengan dengan cara wawancara langsung dengan narasumber dan dilengkapi dengan studi pustaka. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosespergantian subyek hukum pada akad Mudharabahdalam hal Mudharib meninggal duniayaitu dengan cara ahli waris memberitahukan kepada pihak BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta bahwa pewaris selaku Mudharib di dalam akadMudharabah telah meninggal dunia dengan melampirkan surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Kelurahan setempat atau Kantor Catatan Sipil setempat. Ahli waris dan BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta melakukan musyawarah untuk membuat perjanjian yang baru,dalam hal ilmu hukum dikenal dengan novasi subyektif aktif.Keluarga pihak Mudharib menunjuk ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak daripadanya untuk menggantikan Mudharib yang meninggal dunia setelah memperoleh persetujuan dari semua ahli warisnya untuk meneruskan usahanya dan meneruskan pembiayaannya.Terjadinya penggantian Mudharib lama kepada Mudharib baru berarti membebaskan Mudharib lama dari kewajibannya membayar pembiayaan kepada BMT Beringharjo Yogyakarta.Pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad mudharabah setelah proses pergantian subyek hukum pada akad mudharabah dalam hal mudharib meninggal duniayaitu Mudharib (ahli waris) menjaminkan benda bergerak maupun benda tidak bergerak dan jika harta warisan pewaris tidak mencukupi untuk melunasi pembiyaannya maka ahli waris dengan sukarela menyerahkan benda jaminan tersebut untuk di eksekusi atau dijual oleh pihak BMT Beringharjo Yogyakarta dan jika hasil eksekusi benda tersebut melebihi nilai pembiayaan yang dimiliki pewaris,maka pembiayaan akan mengembalikannya kepada ahli waris.

Kata kunci : Pergantian Subyek Hukum, Akad Mudharabah,Mudharib Meninggal Dunia


(16)

(17)

(18)

(19)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang Pergantian Subyek Hukum Pada Akad Mudharabah dalam hal Mudharib Meninggal Dunia(Studi Kasus di BMT Beringharjo Yogyakarta). Ada dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses pergantian subyek hukum pada akad Mudharabah bilamana Mudharib meninggal dunia, dan bagaimana pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad Mudharabah setelah proses pergantian subyek hukum akad Mudharabah dalam hal Mudharib meninggal dunia.Penelitian yang digunakan adalah normatif. Data penelitian dilakukan dengan dengan cara wawancara langsung dengan narasumber dan dilengkapi dengan studi pustaka. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwaProses pergantian subyek hukum pada akad Mudharabah bilamana Mudharib meninggal dunia dengan cara ahli waris memberitahukan kepada pihak BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta bahwa pewaris selaku Mudharib di dalam perjanjian musyarokah maupun perjanjian Mudharabah telah meninggal dunia dengan melampirkan surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Kelurahan setempat atau Kantor Catatan Sipil setempat. Ahli waris dan BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta melakukan musyawarah untuk membuat perjanjian yang baru.Bila pembiayaan oleh ahli warisnya tidak dikehendaki untuk dilunasi maka pembiayaan tersebut dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Keluarga pihak Mudharib menunjuk ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh hak daripadanya untuk menggantikan Mudharib yang meninggal dunia setelah memperoleh persetujuan dari semua ahli warisnya untuk meneruskan usahanya dan meneruskan pembiayaannya. Terjadinya penggantian Mudharib lama kepada Mudharib berarti membebaskan Mudharib lama dari kewajibannya membayar hutangnya kepada pembiayaan. Pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad mudharabah setelah proses pergantian subyek hukum akad mudharabah dalam hal mudharib meninggal duniayaitu Mudharib (ahli waris) menjaminkan benda bergerak maupun benda tidak bergerak dan jika harta warisan pewaris tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya maka ahli waris sukarela menyerahkan benda jaminan tersebut untuk di eksekusi atau dijual oleh pihak pembiayaan dan jika hasil eksekusi benda tersebut melebihi nilai utang yang dimiliki pewaris, maka pembiayaan ur akan mengembalikannya kepada ahli waris.

Kata kunci : Pergantian Subyek Hukum, Akad Mudharabah, Mudharib Meninggal Dunia


(20)

BAB I PENDAHULUAN

Pada zaman sekarang merupakan zaman globalisasi dan modern, sehingga banyak persaingan antar Negara. Pembangunan ekonomi itu sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas, sehingga harus diuraikan sesuai dengan bidang-bidang tertentu, Salah satunya adalah dalam bidang keuangan, yang merupakan salah satu bidang yang sangat penting bagi sebuah negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Hal ini karena bidang keuangan sangat berkaitan erat dengan hampir seluruh kehidupan perekonomian suatu bangsa, yang apabila sendi-sendi pengaturan sistem keuangan suatu negara tidak baik, maka perekonomian negara tersebut akan sulit untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Perkembangan pembangunan ekonomi dan perdagangan biasanya akan diikuti dengan peningkatan permintaan akan pembiayaan, mengingat bahwa tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhan akan modal dengan hanya mengandalkan kekayaannya sendiri. Lembaga perbankan memiliki peranan yang sangat penting sesuai dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dalam hal ini bank sebagai tempat menyimpan uang/berinvestasi bagi masyarakat dan bank juga berfungsi sebagai penyalur dana masyarakat yaitu bank memberikan pinjaman


(21)

(pembiayaan ) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan pembiayaan 1, serta bank berfungsi juga untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional.2 Kegiatan penyaluran dana bank melalui pembiayaan terhadap masyarakat, dilakukan dalam suatu bentuk perjanjian, sehingga terdapat suatu alat bukti bagi pihak bank sebagai pembiayaan ataupun bagi nasabah peminjam dana sebagai Mudharib. Dalam praktek perbankan mengenal 2 (dua) bentuk perjanjian pembiayaan yakni perjanjian pembiayaan dibawah tangan yaitu suatu tulisan atau perjanjian yang dibuatdan ditanda tangani oleh para pihak dan perjanjian pembiayaan secara notaril yaitu perjanjian pembiayaan yang dibuat dihadapan pejabat umumyang berwenang, dalam hal ini adalah notaris.3 Perjanjian pembiayaan merupakan perjanjian antara bank dengan Mudharib untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada Mudharib. Perjanjian pembiayaan merupakan suatu dasar hukum dalam hal penyaluran pembiayaan perbankan, perjanjian pembiayaan juga merupakan bentuk pengamanan yang sangat penting guna mencegah resiko kerugian yang mungkin timbul dari penyaluran pembiayaan. Kucuran dana berupa pembiayaan perbankan yang disalurkan terhadap dunia usaha di Indonesia senantiasa diiringi resiko yang tidak kecil bagi kesehatan suatu usaha perbankan. Oleh karena itu bank dalam mengambil keputusan tentang pemberian pembiayaan, analisis pembiayaan menjadi titik sentral, karena analisis pembiayaan yang dilakukan dengan baik, mempunyai sumbangan yang besar dalam ketepatan pengambilan keputusan.

1 Kasmir, 2004, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 1

2Widya Dharma Ignatius Ridwan, 1995, Hukum Perbankan, Semarang, CV Ananta,

hlm.1


(22)

Penyaluran pembiayaan yang sehat perlu dilaksanakan dalam upaya menjaga citra perbankan nasional. Kemampuan bank dalam mengelola resiko pembiayaan secara aman, efektif dan efisien serta mengawasi mutu pembiayaan yang disalurkan secara cermat, merupakan fondasi tempat kegiatan operasi bisnis perbankan bertumpu.

Mudharabah sebagai suatu akad kemitraan (partnership) yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.4Perjanjian pembiayaan adalah salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam.

Menurut Pasal 303 Perman Nomer 2 tahun 2008, tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah masalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Sebelum jangka waktu pembiayaan yang telah disepakati berakhir Mudharib wajib membayar kewajibannya kepada bank, akan tetapi apabila jangka waktu pembiayaannya belum berakhir telah terjadi sesuatu pada diri Mudharib, misalnya karena Mudharib meninggal dunia maka kewajiban pembayaran pembiayaan kepada bank beralih ke ahli warisnya.

4Muhammad Syakir Sula, 2004, Asuransi Syariah (life and general), Konsep dan Sistem


(23)

Menurut Pasal 289 Perman Nomer 2 tahun 2008 tentang kompilasi hukum ekonomi syariah kafalah dapat dilakukan dengan cara muthlaqah atau tidak dengan syarat atau muaqayyadah atau dengan syarat.Dalam Pasal 299 Perma Nomor 2 Tahun 2008 Tentang kompilasi hukum ekonomi syariah dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor. Selanjutnya Pasal 300 dalam akad kafalah yang terikat persyaratan, penjamin tidak dapat dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi. Pasal 301 Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam hal kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah. Pasal 302 Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Penjamin tidak dapat menarik diri dari kafalah setelah akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain. Bagian Ketiga Kafalah atas Diri dan Harta Pasal 303 Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Akad kafalah terdiri atas kafalah atas diri dan kafalah atas harta Ekslusive.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang PERGANTIAN SUBYEK HUKUM PADA AKAD MUDHARABAHDALAM HAL MUDHARIB MENINGGAL DUNIA DI BMT BERINGHARJO CABANG YOGYAKARTA.


(24)

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang muncul dalam penulisan hukum ini dapat dirumuskansebagai berikut :

1. Bagaimana proses pergantian subyek hukum pada akad Mudharabahdalam hal Mudharibmeninggal dunia di BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta? 2. Bagaimana pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad Mudharabahsetelah

proses pergantian subyek hukum akad Mudharabah dalam hal Mudharibmeninggal dunia di BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta?

Berdasarkan latar belakang masalah hingga munculnya rumusan masalah maka penulis mempunyai tujuan dalam melakukan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui proses pergantian subyek hukum akad Mudharabahdalam hal Mudharibmeninggal dunia dan mengetahui pelaksanaan pemenuhan pembiayaan akad Mudharabahsetelah proses pergantian subyek hukum akad Mudharabah dalam hal Mudharibmeninggal dunia.

2. Tujuan Subyektif

Untuk memperoleh data dan bahan – bahan yang menunjang penelitian dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(25)

Berdasarkan latar belakang masalah hingga munculnya rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penulis mengharapkan penelitian ini mempunyai manfaat yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan ilmu pengetahuan hukum, memberikan suatu manfaat, kontribusi dan pengetahuan baru dalam perkembanngan ilmu pengetahuan hukum serta dalam dunia pendidikan diharapkan dari hasil penelitian ini akan dapat berguna dan dapat menambah wawasan pengetahuan dibidang hukum perbankan, sehingga dapat menjadi sumbangan pengetahuan khususnya hukum perdata di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Secara Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan untuk memberikan manfaat, pemahaman bagi masyarakat, dan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktis dalam melakukan hubungan dengan BMT Beringharjo mengenai Pergantian Subyek Hukum akad Mudharabah dalam hal Mudharibmeninggal dunia.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Akad

1. Pengertian dan Pengaturan Akad

Akad berasal dari bahasa Arab al-„aqad yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-itifaqa). Secara terminology fiqh, akad didefinisikan dengan : “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerima ikatan). Penantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh periktan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak. Misalkan kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun penantuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilik dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).1

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara‟, akad terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Akad Sahih

Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat


(27)

hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak berakad.

b. Akad yang tidak sahih

Akad yang tidak sahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.2

2. Asas-Asas Akad

a. Al-hurriyah (kebebasan)

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian Islam, dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad, bebas menentukan objek perjanjiandan bebas menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian dikemudian hari.

Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syariah Islam, dalam membuat perjanjian tidak boleh ada paksaan, kekhilafan, dan penipuan.

b. Al-musawah (persamaan atau kesetaraan)

Asas ini mengandung pengertian bahwa pihak-pihak mempunyai kedudukan yang sama, sehingga dalam menentukan term and condition dari suatu akad atau perjanjian setiap pihak mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang.

2


(28)

c. Al-`adalah (keadilan)

Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian meuntut para pihak untuk melakukan yang benardalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.

d. Ar-ridha (kerelaan)

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yangdilakukan harus atas berdasarkan kerelaan masing-masing pihak, haurs didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan,penipuan,

e. Ash-shidiq (kebenaran dan kejujuran).

Bahwa sisalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, karena dengan adanya penipuan sangat berpengaruh dalam keabsahan perjanjian, perjanjian yang didalamnya mengandung unsur kebohongan memberikan hak kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.

f. Al-kitabah (tertulis)

Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan demi kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa


(29)

3. Rukun dan Syarat Sahynya Akad a. Rukun Akad :

1) Aqid adalah orang yang berakad

2) Ma‟qud‟alaih adalah benda-benda yang diakadkan

3) Maudhu‟al‟-aqad adalah tujuan atau maksud pokok mengakadkan

4) Shighat al-aqad adalah ijab Kabul b. Syrat Syahnya Akad :

1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli) 2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya

3) Akad itu dizinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai

hak melakukannya, walaupun dia bukan aqad yang memiliki barang

4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟ seperti jual beli

mulasamah (saling merasakan)

5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan)

6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi Kabul, maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum Kabul maka batallah ijabnya.

7) Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila sseorang yang berijab telah berpisah sebelum akadnya Kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.


(30)

4. Unsur-Unsur Akad

Hukum Perjanjian Islam adalah hukum yang memandang suatupersoalan atau akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa perjanjian yang benar danshahih sebuah perjanjian (kontrak) atau akad tidak menjadi sah dan tidak halal dalam mataagama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuangdi dalam Surah An Nisa’ ayat 29. Yang menjadi dasar hukum dari akad atau perjanjian itusendiri di dalam agama Islam. yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan hartasesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yangBerlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamumembunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Maksud dari akad cacat adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karenatidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan.Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan ataskerelaan diri sendiri. 3Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, makadijadikanlah ijab qabul sebagai penerjemah bahasa hati.

Dalam sighah harus selaras antara ijab dan qabul. Apabila suatu pihakmenawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain harus menerima(qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan denganbenda B yang harganya seratus lima puluh

3 Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, 2000, Memahami syariat Islam, Cet I,


(31)

rupiah. Dan dalam sighah pula, keduabelah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab dua hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus dilakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama.

Salah satu rukun dari akad adalah aqidain atau pihak-pihak yang akan melakukan akad. Kriteria pelaku akad adalah ahliyah (kecakapan), wilayah (kuasa)dan ridha (kerelaan). Ahliyah (kecakapan) memiliki dua kriteria yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadidua; sempurna dan tidak sempurna.Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurnaadalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lainyang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna. Jika tidakm empunyai ahliyah maupun wilayah, maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan.Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak mempunyai kuasa,


(32)

seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung kepada izin pemilik barang.

Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah apabila mengandung unsur riba. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan ribayaitu ikrah (pemaksaan), mabuk, hazl (terucap diluar keinginannya), ghalath (keliru), tadlis (menyembunyikan aib) dan ghabn(penipuan).Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua, yang pertama shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknyadihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.

Maisir adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yang kalah. Gharar diibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai tentang subjek atau objek akad. Sedangkan Riba adalah setiap kelebihanyang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima. Sebagai contoh aplikatif ulasan Wahbah Az-Zuhaili tentang jual beli yang dilarang dalam beberapa kategori. Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jualbeli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa,dan seorang mahjur ‘alaih.Kedua; karena kecacatan dan


(33)

ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Sepert ijual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antara ijab dan qabul, danjual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami.4.

Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari

mahallul ‘aqd.Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual beli

ma’dum, jual beli barang yang tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung unsur gharar.Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnya bai’ ‘inah, riba,jual beli orang kota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya.Dengan demikian yang menjadi unsur-unsur dari akad yang cacat adalah:

a. Paksaan atau Intimidasi (Ikrah)

Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.

b. Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)

Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat (jenis) obyek,seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga dan pada sifat obyek kontrak, seperti orang

4

Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah Muhaqqiq, 2003, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,


(34)

membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.

c. Penyamaran Harga Barang (Ghabn)

Ghabn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya,seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.

d. At-Tadlis/at-Taghrir (Penipuan)

Yaitu menyembunyikan cacat pada objekakad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar.

e. Al-Jahalah

Yaitu hal mengakibatkan persengketaan yang menyebabkan rusaknya akad.

f. Al-Gharar

Yaitu semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan,atau perjudian.

5. Keadaan memaksa (overmacht)

Overmacht adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga – duga terjadinya,sehingga menghalangi seorang Mudharib untuk melakukan


(35)

prestasi sebelum ia lalai atau alpa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan kepadanya.5Ada 3 syarat overmacht :

a. Harus ada halangan untuk memenuhi kewajibannya b. Halangan itu terjadi tidak karena kesalahan dari Mudharib

c. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Mudharib Ada 3 akibat overmacht,yaitu :6

a. Pembiayaan ur tidak dapat minta pemenuhan prestasi (pada overmacht sementara sampai berakhirnya keadaan overmacht)

b. Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244-1245 KUHPerdata)

c. Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan 6. Hapusnya Akad

Berakhirnya atau hapusnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf: a. Berakhirnya akad karena fasakh yang menyebabkan timbulnya fasakhnya

akad yakni :

1) Fasakh karena fasadnya akad. Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harus difasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.

5 Hari Saherodji, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Angkasa Baru,

hlm.103 6 Ibid


(36)

2) Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.

3) Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal. 4) Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan

oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu.

5) Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atau tujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.

b. Berakhirnya Akad Karena Kematian

Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut:

1) Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqaha selain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.


(37)

2) Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, maka kematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya.

3) Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazim atas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlah orang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah.

c. Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain.

Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengijinkannya dan atau meninggal.

B. Tinjauan Tentang AkadMudharabah 1. Pengertian AkadMudharabah

Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang secara harfiah adalah berpegian atau berjalan. Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath‟u (potongan) karena pemilik potongan sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang menyebut Mudharabah atau qiradh dengan muamalah.7

Secara tekinis, Mudharabahadalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul


(38)

maal) yang menyediakan seluruh modal 100%, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapat dari akad Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (presentase).8

2. Asas – asas AqadMudharabah a. Asas Ibahah (mabda’al ibahah)

Asas ibahah merupakan asas yang berlaku umum dalam bidang muamalah,yaitu bahwa pada asasnya suatu muamalat dapat dilakukan selama tidak ada dalil khusus yang melarang.

b. Kebebasan beraqad (mabda’hurriyah at ta’aqud)

Hukum islam mengakui kebebasan beraqad yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad jenis apapun tanpa terikat kepada nama – nama yang telah ditentukan dalam undang – undang syariah dan memasukkan klausul – klausul apa saja dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat maka harta sesama dengan jalan batil sesuai dengan QS.Anisaa : 29 “Wahai orang – orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan tukar menukar atas dasar kesepakatan di antara kamu. “

c. Perjanjian Mengikat (mabda’ wujud al wafa’ bi al ‘aqad)

Asas perjanjian itu mengikat dapat difahami dari sejumlah ayat di dalam al-Quran. Al-Israa’ ayat 34 : “Dan janganlah kamu mendekati


(39)

harta anak yatim,kecuali dengan cara lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Akad Mudharabahmemiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah:

a. Shahibul maal (pemillik dana). b. Mudharib (pengelola).

c. Sighat (ijab qabul). d. Ra’sul maal (modal).

Syarat-syarat Mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun Mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah Mudharabah adalah sebagai berikut9:

a. Untuk shahibul maal dan mudharib, syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.

b. Sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah kontrak.

c. Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maal kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad Mudharabah. Modal

9

Dimyaudin Djuwaini, 2010, Pengantar Fiqih Muamalah, Yogykarta, Pustaka Pelajar,


(40)

disyaratkan harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang), dan modal harus disetor tunai kepada mudharib.

d. Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak Mudharabah. Syarat keuntungan yang harus terpenuhi adalah kadar keuntungan harus diketahui, berapa jumlah yang dihasilkan.

e. Pekerjaan atau usaha adalah kontribusi mudharib dalam kontrak Mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh shahibul mal, pekerjaan dalam konteks ini berhubungan manajemen kontrak Mudharabah.

4. Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis :

a. Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.10

5. Sistem Pemberian pembiayaan Mudharabah

Sistem pemberian pe,biayana Mudharabahatau investasi tidak terikat sebagai berikut :

10Syafi‟I Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press.hlm 237


(41)

a. Mudharabah terdiri dari dua jenis yaitu Mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), Mudharabah muqayyadah (investasi terikat). b. Investasi tidak terikat bukan merupakan kewajiban atau ekuitas bank,

karena bank tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut apabila terjadi kerugian pengelolaan dan bukan disebabkan kelalaian banj sebagai mudharib.

c. Bagi hasil mudharab dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana Mudharabah sedangkan bagi pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan Mudharabah. d. Jika bank menggunakan metode bagi hasil (profit sharing) dan usaha

mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana (shahibul maal). Kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola dana (mudharib).Kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola dana disebabkan, misalkan:

e. Kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola, misalkan : 1) Tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad.

2) Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majeur) yang lazim atau yang telah ditentukan di dalam akad.

3) Hasil putusan dari badan arbitase atau pengadilan.

4) ika banyak menggunakan metode bagi pendapatan (revenue sharing) maka pemilik dana (shahibul maal) tidak akan menanggung kerugian,


(42)

kecuali bank dilikuidasi dengan kondisi realisasi asset bank lebih kecil dari kewajiban.

Investasi tidak terikat, antara lain :

a. Tabungan Mudharabah yaitu investasi tidak terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati.

b. Deposito Mudharabah adalah investasi tidak terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan pembagian hasil usaha sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dimuka antara nasabah dengan bank syariah yang bersangkutan.Tabungan Mudharabahadalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu.Tabungan dengan karakteristik seperti ini yang sesuai dengan prinsip Mudharabah(tidak dapat ditarik setiap saat). Oleh karena tidak dapat ditarik setiap saat maka dalam tabungan yang mempergunakan prinsip Mudharabah(tabungan Mudharabah) tidak perlu diberikan ATM atau kartu yang sejenis itu.

Ketika sebuah kontrak telah disepakati, maka kontrak tersebut menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik shahib al-maal atau mudharib, maka kontrak menjadi gugur tidak berlaku lagi.


(43)

Kesepakatan kontrak Mudharabahyang menjadi hukum tersebut membawa beberapa implikasi, diantaranya :

1) Mudharib sebagai Amin (orang yang dipercaya ).

Seorng mudharib menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan kepadanya.

2) Mudharib sebagai Wakil

Mudharib adalah wakil dari shahib al-maal dalam semua transaksi yang ia sepakati. Konsekuensinya hak-hak kontrak kembali kepadanya sebagai seorang yang mensepakati transaksi.

3 )Mudharib sebagai Mitra dalam Laba. Mudharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang telah dia lakukan, sebab Mudharabahsendiri adalah pertemanan dalam laba.

C. Tinjauan Tentang Hukum Waris Islam 1. Pengertian Hukum Waris Islam

Waris lebih sering disebut dalam bahasa Arab dengan istilah Al-Miiraats (ثاري لا ). Secara bahasa, Al Miiraats adalah bentuk mashdar (Infinitif) yang asalnya dari kata Waritsa (ثرو ) yang artinya adalah ءاق ب لا atau keabadian, keberadaan yang terus menerus. Dari kata ini, salah satu nama Allah adalah ثرا ىلا yang artinya yang abadi setelah kehancuran seluruh ciptaan-Nya. 11

Al-Miiraats (ثاري لا ) dalam penggunaan lain, dipakai dengan makna ءيش لااق توا هم اك م ى لإ رخآ atau perpindahan sesuatu dari satu

11 Ibnu Al Manzhuur, Lisaan Al ‘Arab, Cairo, Daar Al Mashriya li At Ta‟liif, Juz 3, hal.


(44)

tempat ke tempat lain.Sedangkan secara terminology, Al-miiraats (ثاري لا ) sesuai yang digunakan oleh para fuqaha adalah nama dari sesuatu yang menjadi hak waris dari pewarisnya karena sebab-sebab pewarisan. Atau, perpindahan harta dari pewaris kepada ahli waris untuk dasar pengelolaan. Menurut jumhur ulama, harta peninggalan mayyit meliputi harta dan hak-haknya yang bukan hak-hak personal seperti hak perwalian (walayah) dan hak pemeliharaan anak (hadhanah).

Agama Islam sebagai agama samawi yang bersumber dari Allah swt, diakui oleh para sarjana muslim, mengandung ajaran yang sangat luas dengan 3 (tiga) komponen utama yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq. Ketiga komponen itu berkaitan sangat erat dan merupakan suatu totalitas yang bertumpu pada tauhid sebagai fondasi dalam struktur agama Islam. Kecuali itu , ketiga komponen tersebut mencakup dua macam hubungan interrelasi yaitu hablun minallah (hubungan antara manusia dengan Allah swt) dan hablun minannas (hubungan manusia dengan sesama manusia). Kedua macam hubungan itu diwujudkan dalam bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah swt, sesuai dengan tujua penciptaan manusia yaitu semata-mata untuk mengabdi kepada Allah.

Agama Islam tidak hanya mengatur aspek-aspek ubudiyah murni (ibadat), tetapi juga mengatur aspek-aspek kemasyarakatan (muamalat). Salah satu aspek kemasyarakatan yang sangat penting adalah pengaturan tentang kewarisan (al-faroidl). Al-Qur’an telah menggariskan secara rinci seperangkat ayat-ayat hukum kewarisan antara lain surat an-Nisa’ ayat 11,


(45)

12 dan 176. Dalam ayat-ayat tersebut telah ditentukan porsi atau bagian secara pasti (muqoddar) bagi masing-masing ahli waris sebagai dzawil furudl yang dinyatakan dengan angka-angka pecahan yaitu 1/8, 1/6, 1/4, 1/3, 1/2, dan 2/3.

Disamping itu ada bagian besaran yang tidak pasti yang disebut dengan “al-‘Ashobah”. Ashobah adalah besaran sisa bagian setelah diambil besaran bagian yang pasti oleh dzawil furudl sesuai dengan ketentuan masing-masing.Hubungan darah (nasab) dan hubungan perkawinan merupakan dua factor yang dominan menempatkan seseorang sebagai ahli waris. Karena itu al-Qur’an telah menentukan sekurang -kurangnya lima kategori ahli waris yaitu :

1. Anak laki-laki dan perempuan ( Q.S.IV : 7, 9, 11) ; 2. Bapak-Ibu ( Q.S.IV : 11 );

3. Suami / isteri ( duda / janda ); Q.S. IV : 12;

4. Saudara-saudara jika tidak ada anak ( Q.S. IV : 7, 11, 12, 176); 5. Mawali ( waris pengganti ) Q.S. IV : 33 ;

Sebagai ajaran Hukum Kewarisan Islam (al-Faroidl) menuntut umat Islam untuk menjadikannya pedoman dalam pembagian kewarisan. Bila dikalangan umat Islam terjadi kematian dan yang mati itu meninggalkan harta, maka dalam hal kemana dan bagaimana caranya peralihan harta orang yang mati itu, umat Islam wajib merujuk kepada ajaran agama yang sudah digariskan dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang berlaku dalam bidang yang lain seperti sholat, puasa


(46)

dan sebagainya. Ketaatan umat Islam pada ajaran ini (al-faroidl) merupakan tolok ukur dari kadar keimanannya. Bila ia berbuat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama Islam tentang hukum kewarisan itu, maka ia akan mendapat pujian dari Allah swt,dan akan member pahala yang besar, namun sebaliknya jika ia menyimpang dari ketetapan Allah swt dalam soal kewarisan ini, maka Allah mencelanya dan mengancam akan memasukkan dalam neraka.

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Dalam Fiqh masalah kewarisan dikenal dengan istilah al-Faroidl, jama’ dari al-Fariidloh artinya mafruudloh yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Diartikan demikian karena saham-saham yang telah dipastikan kadarnya tersebut dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan kadarnya. Selain itu hukum kewarisan diambil dari bahasa arab “al-Irts” atau “al-mirots” berasal dari kata “warotsa-yaritsu-irtsan-wa mirotsan” yang berarti peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari kaum satu kepada kaum lain secara umum baik berupa harta, ilmu, kehormatan dan sebagainya. Adapun dalam pengertian fiqh mawaris, yaitu peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang hidup baik yang ditinggalkan berupa harta benda ataupun hak dari hak-hak syar’i.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Perman Nomor 2 tahun 2008, pasal 171 huruf a, menyatakan bahwa Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,


(47)

menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.

Selanjutnya hukum mempelajari ilmu kewarisan ( al-Faroidl ) dan juga mengajarkannya, para Ulama sepakat hukumnya “ wajib kifayah “ yaitu kewajiban untuk sebagian umat Islam, kewajiban itu menjadi gugur jika telah ada sebagian yang melakukannya, tetapi jika tidak ada seorangpun yang belajar dan mengajarkannya, maka semua umat Islam berdosa; Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: Artinya : Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah al-faroidl dan ajarkanlah ilmu faroidl itu kepada orang lain karena sesungguhnya saya (N. Muhammad SAW) akan direnggut kematian sedang ilmu itu akan diangkat.

Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, maka mereka tidak menemukan seorangpun yang sanggup memberi fatwa kepada mereka.

3.

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagi berikut:12

a. Asas Ijbari

Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris

12 Suhardi, K Lubis, Komis Simanjuntak, 2007, Hukum Waris Islam, Jakarta, Sinar


(48)

berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.

Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnyakata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.”

b. Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di temui dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.


(49)

Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu).

c. Asas Individual

Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara individu.

d. Asas keadilan berimbang

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179.

e. Kewarisan Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.


(50)

4. Ahli Waris Menurut Hukum Islam

Alah waris menurut Agaman Islam diataur dalam Kompilasi Hukum Islam(“KHI”), Perma Nomor 2 tahun 2008, yang mengatur mengenai Harta Bersama yang menyatakan:

1) Pasal 85:

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. 2) Pasal 86:

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

3) Pasal 87:

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.


(51)

Pasal-pasal KHI tersebut berarti:

a. Sekalipun ada Harta Bersama dalam Perkawinan, tetapi bisa saja ada harta masing-masing, yang bisa berupa harta bawaan sebelum perkawinan, harta warisan yang diperoleh setelah perkawinan, ada hadiah yang diterima salah satu pihak ketika dalam perkawinan, atau bisa juga karena diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan.

b. Bahwa terhadap harta-harta pada poin a, tidak ada percampuran, dan masing-masing berhak mengakuinya sebagai harta pribadinya. Dan berhak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.

Jika ada ahli waris yang meminta dilakukannya pembagian warisan bapak, maka hanya harta milik bapak sajalah yang bisa dibagikan terlebih dahulu. yang milik ibu, dipisahkan. secara teknis memang agak repot, jika ingin dibagikan langsung, karena terkadang ibu tidak memiliki uang untuk meng-uang-kan harta bagian bapak, sehingga yang bisa dilakukan adalah menjual harta bersama Bapak dan Ibu, kemudian hasilnya dibagi dua. Bagian Ibu diserahkan kepada Ibu pemanfaatannya. Apakah akan dibelikan rumah pengganti, atau untuk peruntukkan lainnya. Yang perlu diingat juga, bahwa sekalipun Ibu sudah menerima ½ dari harta bersama, beliau masih berhak atas bagian dalam kedudukannya sebagai istri (sebesar 1/8 dari Harta warisan bapak, jika ada anak). sesuai dengan ketentuan hukum islam yang berlaku.

tetapi bisa juga pengurusan pembagian warisan bapak, tetap dilakukan, hanya sekadar untuk mengetahui siapa saja ahli waris dan


(52)

bagiannya masing-masing, sementara eksekusinya belum dilaksanakan dahulu. Hal ini bisa dilakukan dengan pertimbangan misalnya karena Ibu masih menempati (dalam hal warisan berupa sebuah rumah) karena didalamnya juga terdapat harta bagian Ibu, apalagi Ibunya masih ada. Jadi, bergantung kesepakatan bersama saja.

Sementara, jika kita mengacu kepada hukum islam (yang bukan hukum positif yang sudah berlaku di indonesia), yang tidak mengenal konsep harta bersama, maka jika bapak meninggal dan harta tersebut adalah harta pencarian bapak, selama hidupnya, maka harta tersebut bisa dibagikan, dengan memastikan terlebih dahulu, dilunasinya utang-utang beliau, juga dikeluarkannya hak ibu, misalnya dalam hal ibu anda pernah dihadiahi sesuatu ketika bapak masih hidup. atau ada harta ibu yang tercampur di dalamnya, misalnya apakah itu hadiah, atau warisannya.

Sebagai catatan tambahan, saya ingin menginformasikan bahwa di dalam hukum islam ketiadaan harta bersama dalam perkawinan ini sebenarnya dapat diantisipasi dengan mahar ketika seorang perempuan akan dinikahi. seorang calon istri berhak meminta mahar yang diinginkannya, yang bisa saja misalnya berupa sebuah rumah (atau yang lainnya). jika suaminya tidak panjang umur dan meninggal terlebih dahulu, kemudian yang diberlakukan adalah hukum islam murni (bukan hukum positif indonesia, yaitu harta selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama), maka untuk pihak istri, dia telah memiliki tempat tinggal yang layak. dan ketika suaminya meninggal, maka ia hanya berhak


(53)

mendapatkan warisan dari suaminya sebesar 1/8 (seperdelapan) bagian jika ada anak, dari harta warisan suaminya tersebut.

Adapun mengenai bagian masing-masing ahli waris, setelah dipisahkannya harta warisan bapak, yang akan dibagi, harus didata siapa saja ahli warisnya. apakah bapak masih memiliki orang tua kandung (kakek dan nenek)? kalau masih, maka merekapun berhak menjadi ahli waris bapak. jika ada anak-anak maka bagiannya masing-masing 1/6. tetapi, untuk ibu-nya bapak, ada catatan: pertama, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan, atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki; kedua, apabila pewaris memiliki saudara yaitu dua orang saudara atau lebih. selain itu istri, jika ada anak-anak, maka bagiannya 1/8. dan masing masing anak mendapatkan sisanya setelah dipotong bagian kakek/nenek dan ibu, dengan pembagian laki-laki dan perempuan 2:1. 5. Halangan untuk menerima warisan dalam Islam

Adanya sebab-sebab dan syarat-syarat warisan belum cukup menjadi alasan adanya hak waris bagi ahli waris, kecuali apabila tidak mendapat salah satu dari tiga macam penghalang sebagai berikut: 13

a. Berbeda agama antara pewaris dan waris

Alasan penghalang ini adalah hadits Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir dan sebaliknya orang kafir tidak berhak waris atas harta orang muslim

b. Pembunuhan ahli waris terhadap pewarisnya

13Ahmad Azhar Basyir, 1995, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam


(54)

Para ulama sepakat bahwa tindakan pemunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya. c. Perbudakan (budak tidak berhak memiliki sesuatu)

Menjadi budak orang lain, budak tidak berhak memiliki sesuatu. Oleh karenanya tidak berhak waris (praktis penghalang ini tidak perlu mendapat perhatikan karena perbudakan sudah lama hilang).

D. Tinjauan Tentang Jaminan Dalam Hukum Islam

Secara umum, jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn.

1. Pengertian Jaminan Syariah (kafalah)

Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan

za’amah, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau menanggung.14Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai: “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”.15Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya

14 Wahbah Zuhaili, 2002, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, , Beirut, Dar al-Fikr, hlm.

414

15M. Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syari’ah Teori dan Praktek,

Jakarta, Tazkia Cendekia, hlm.123


(55)

(Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Disebut dhamman apabila penjaminan itu dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih, kafalah dapat didefinisikan sebagai berikut:

Mazhab Hanafi, kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” Mazhab Maliki, Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.Mazhab syafi’i, Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”.Mazhab Hanbali, kafalah adalah “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.

Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful ‘anhu ashil)”.Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak


(56)

yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang).Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.

Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya, ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua.Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si


(57)

berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”

2. Dasar Hukum Jaminan Syariah (Kafalah)

Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut:

a. Al-Qur'an

Dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata yang artinya: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikun kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku..."

Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT berfirman:

"Mereka menjawab"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu"

b. Al-Sunnah

Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah: "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan


(58)

terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).

Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).

c. Ijma' ulama

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun.Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang.

3. Rukun dan Syarat Jaminan Syariah(kafalah)

Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:

a. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

b. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.


(59)

c. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat. d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang

berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).61

4. Macam-macam Jaminan Syariah (kafalah)

Menurut M. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut:16

a. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/ fee tertentu. b. Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank

dapat bertindak sebagai juridical personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.

c. Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company.

16Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, Yogyakarta, UII Press, hlm.38


(60)

Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/ fee kepada nasabah tersebut. d. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu

tertentu dan untuk tujuan/ kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).

e. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

5. Pengikatan Jaminan Syariah (kafalah)

Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) dalam hal ini bank menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya.

Adapun yang menjadi hak orang atau bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu.74 Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib


(61)

mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.17

6. Perjanjian Jaminan (Kafalah)

Kafalah ialah jaminan yaitu tanggungjawab atas hak orang lain atau seseorang yang mempunyai tanggungjawab tertentu untuk diambil tindakan atau mendapatkan sesuatu barang ganti kepada pihak yang berhak. Secara keseluruhannya bermaksud kesanggupan tanggungjawab seseorang penjamin untukbertanggungjawab terhadap orang lain (si berhutang).

Perjanjian antara penjamin dan pihak yang menerima jaminan di mana penjamin menerima tanggungjawab untuk menjelaskan hutang atau membayar ganti rugi jika sekirannya pihak yang berhutang atau berjanji untuk melaksanankan sesuatu kerja itu gagal menunaikan tanggungjawabnya. Penjamin diminta menandatangani surat perjanjian sebagai bukti kesanggupan.Kafalah menggabungkan tanggungjawab antara orang yang menjamin dengan orang yang berhutangIslam menggalakkan supaya saling tanggung menanggung antara satu sama lain.Hutang yang dijamin itu hendaklah yang sah dan wajib dibayar. Untuk lebih jelasnya proses perjanjian (akad) jaminan adalah sebagai berikut:

17 Taqiyyudin Abu Bakar al-Husaini,1995, Kifayat al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya,


(62)

Gambar 1

Proses Perjanjian Jaminan 7. Berakhirnya Jaminan Syariah (Kafalah)

Jaminan berakhir apabila :

a. Ketika hutang telah diselesaikan, baik oleh orang yang berutang atau oleh penjamin. Atau jika kreditor menghadiahkan atau membebaskan hutangnya kepada orang yang berutang.

b. Kreditor melepaskan hutangnya kepada orang yang berutang, tidak pada penjamin. Maka penjamin juga bebas untuk tidak menjamin utang tersebut. Namun, jika kreditor melepaskan jaminan dari penjamin, bukan berarti orang yang berutang telah terlepas dari hutang tersebut.

c. Ketika hutang tersebut telah dialihkan (transfer hutang/hiwalah). Dalam hal ini baik orang terutang ataupun penjamin terlepas dari tuntutan utang tersebut

d. Ketika penjamin menyelesaikan ke pihak lain melalui proses arbitrase dengan kreditor.


(1)

pembayaran pokok modal dari mudharib, cara yang dapat ditempuh oleh BMT Beringharjo Yogykarta untuk mengeksekusi agunan tersebut adalah dengan melakukan pelelangan agunan, atau berdasarkan tata cara eksekusi yang telah ditetapkan oleh Undang- Undang dan peraturan terkait sesuai dengan jenis jaminannya. BMT Beringharjo harus memperhitungkan harga agunan yang dilelang dengan sisa jumlah kewajiban pembayaran mudharib kepada BMT Beringharjo. Hasil penjualan atau eksekusi agunan dari pelelangan tersebut dapat digunakan untuk pelunasan atas sisa pembayaran dari kewajiban mudharib terhadap shahibul maal beserta hasil nisbah yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Apabila harga pelelangan agunan melebihi jumlah kewajiban mudharib kepada BMT Beringharjo Yogyakarta, selisih kelebihan tersebut harus dikembalikan pada ahli waris mudharib dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pelelangan agunan.

Ketentuan hukum yang secara khusus berkaitan dengan hukum ekonomi syariah adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 298 Kafalah dapat dilakukan dengan cara muthlaqah atau tidak dengan syarat atau muaqayyadah atau dengan syarat. Pasal 299 Dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor. Pasal 300 Dalam akad kafalah yang terikat persyaratan, penjamin tidak dapat dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi. Pasal 301 Dalam hal kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah. Pasal 302 Penjamin tidak dapat


(2)

menarik diri dari kafalah setelah akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain. Bagian Ketiga Kafalah atas Diri dan Harta Pasal 303 Akad kafalah terdiri atas kafalah atas diri dan kafalah atas harta.

Jika para pihak yang bersengketa telah melakukan upaya penyelesaian sesuai kesepakatan sebagaimana yang telah ditentukan dari awal baik melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, namun ditengah-tengah penyelesaian menemukan kebuntuan dan ketidaksepahaman, maka barulah para pihak dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase baik konvensional maupun Badan Arbitrase Syariah.4

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan rill sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan dikalangan umat Islam pada khususnya dan penyebaran sistem ekonomi syariah pada umumnya. Karena itu, tujuan pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa (dispute) dalam urusan muamalat yang timbul dalam huungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain sebagainya dikalangan umat Islam Indonesia.

Menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 39/Per/M.KUKM/XII/2007 yang

4 Ibid


(3)

dimaksud Koperasi Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut KJKS adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai pola bagi hasil syariah. Sedangkan Unit Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut UJKS, adalah unit koperasi yang bergerak di bidang usaha pembiayaan, investasi dan simpanan dengan pola bagi hasil syariah sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang bersangkutan.

Dengan adanya BMT BeringharjoYogyakarta, dimungkinkan terjadinya sengketa antar pihak BMT Beringharjo dan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional perlu mengeluarkan fatwa – fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapati kepastian hukum mengenai setiap akad pada BMT Beringharjo Yogyakarta, dimana pada setiap akad akan dicantumkan klausula

arbitrase yang berbunyi: “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya

atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tecapai kesepakatan melalui musyawarah.”

Dengan adanya perjanjian arbitrase yang timbul dari adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan lembaga keuangan syariah kepada Bayarnas maka itu berarti bahwa, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Agama. Selanjutnya, Pengadilan Agama wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam menyelesaikan sengketa yang sudah ditetapkan melalui arbitrase.


(4)

Agar arbitrase syariah di Indonesia berjalan efektif sebagai mana mestinya, maka dalam penerapannya diperlukan suatu pedoman agar memenuhi kreteria sebagai mana diharapkan oleh para pihak. Pedoman tersebut antara lain5 :

a. Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogyanya mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang, dan tidak merugikan maupun menguntungkan hanya salah satu pihak saja. Dengan kata lain para arbiter mengupayakan untuk menegakan keadilan yang hakiki sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

b. Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam pancasila harus dijadikan sebagai satu acuan pokok didalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah. c. Baik arbitrase nasional (BANI) maupun arbitrase syariah (Bayarnas) yang dikenal di Indonesia ditinjau daru sudut tata hukum Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

5Mardani, 2009, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah,


(5)

69

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, 1995, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jakarta, hlm. 16-17, http:// www.Hukumonline.com, diakses 2 Juli 2012 Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan islam, Jakarta, Kencana Perdana Media Group

Dimyaudin Djuwaini. 2008. Fiqih Muamalah.Yogyakarta:Pustaka Pelajar Edi Hudiana, 2015, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ,UII Press Yogyakarta

Hendi Suhendi. 2005. Fiqih Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada Kasmir, 2004, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2009

Maman Suparman, 2015, Hukum Waris Perdata, Jakarta, Sinar Grafika

Prihatin Yuniarlin,S.H., M,Hum. & Dewi Nurul Musjtari, S.H., M.Hum, 2009, Hukum Jaminan Dalam Praktek Perbankan Syariah, LAB Hukum UMY Surini Ahlan jarif dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Jakarta, Kencana

Syafi‟I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori Ke Praktik.Jakarta:Gema Insani

Press

Salim Hasim, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan, Jakarta, Rajawali Pers Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami syariat Islam, Cet I, (Semarang:Putra Rizki Putra, 2000)

ThomasSuyanto, 1993, Kelembagaan Perbankan,Jakarta, Gramedia Ghazaly, Abdul Rahman.2010.Fiqih Muamalah.Jakarta:Kencana

Thomas Suyatno, 1995, Dasar-Dasar Perpembiayaan an Edisi keempat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama

Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah Muhaqqiq, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Penerbit:Daar al-Fikr)


(6)

70 Widya Dharma Ignatius Ridwan, 1995, Hukum Perbankan, Semarang, CV

Ananta

WEBSITE :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43381/3/Chapter%20II.pdf.diund uh hari jumat, 20 – 05-2016 jam19.48

Http://www.Artikelsiana.Com/2015/07/Pembiayaan–Pengertian–Fungsi–Unsur– Macam.html, diakses hari Minggu, 8 – 11 – 2015 Jam 20.00

PERUNDANG-UNDANG:

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata)

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008, tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

WAWANCARA

kepada Bapak Nazaudin M. Diah, SH selaku kepala Devisi di BMT Beringharjo Cabang Yogyakarta,pada hari selasa,17-05-2016