191
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
B. Kondisi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono
sebelum digusur Penelitian ini mengambil lokasi PKL di kota Semarang,
khususnya di daerah Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, mengingat kota Semarang sebagai kota metropolitan telah
berkembang pesat ditandai dengan berdirinya bangunan- bangunan
mall, hotel,
pasaraya proyek
neoliberal. Perkembangan Semarang tidak hanya ditandai oleh bangunan-
bangunan proyek neoliberal tersebut, tetapi juga ditunjukkan oleh pesatnya bisnis properti, dikarenakan secara geografis kota
Semarang memiliki keindahan tiada duanya dibandingkan kota-kota lain di Jawa Tengah, yaitu kota pegunungan yang
tidak bergunung.
Di Semarang, sudah banyak dikembangkan bisnis properti baik berupa ruko, villa, maupun perumahan. Perumahan yang
telah dikembangkan, di antaranya Syailendra Residence, Graha Candi Golf, Permata Batursari Plamongan Indah, Pandanaran
Hills, The Fountain Residence, Graha Pesona Jatisari, Bukit Graha Bhakti Asri, Pudak Payung Sejati, dan puluhan
perumahan lainnya.
Secara geografi, Semarang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dibagi dalam dua area, yaitu kota bawah, dan kota
atas. Kota bawah sering dilanda banjir atau rob, dan kota atas, yang kalau malam hari pemandangannya sangat indah. Kota
bawah, secara geografis, tanahnya terdiri atas pasir dan lempung, sehingga lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk
jalan, pemukiman atau perumahan, bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang, dan persawahan Perda
Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010.
Kota bawah merupakan pusat pemerintahan, perbankan, perdagangan, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, angkutan
atau transportasi, dan perikanan. Kota bawah juga merupakan
192
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pusat bisnis pasar modern, sehingga tidak heran jika banyak mall didirikan di kota bawah.
Kota atas dilihat struktur geologinya sebagian besar lahannya terdiri dari batuan beku. Kota atas yang jauh dari
kemungkinan bencana banjir, banyak didirikan hotel dan tempat penginapan meskipun jumlahnya tidak sebanyak hotel
yang ada di kota bawah. Namun kota atas kini menjadi idaman bagi penduduk maupun pendatang yang ingin memiliki rumah
tempat tinggal. Bisnis properti dengan mendirikan perumahan di kota bawah tidak menarik lagi, karena pemukiman yang
dibangun sudah terlalu padat, bising, dan sering dilanda kemacetan. Dalam 20 tahun terakhir ini, bisnis tersebut
dialihkan ke kota atas dan daerah periferi, karena selain pemandangannya bagus, juga jauh dari keramaian dan berhawa
sejuk.
Perkembangan kota Semarang ini memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa dari kota-kota lain di Jawa
Tengah. Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa, disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan
ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di
sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga
desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di kota Semarang.
Dalam 20 tahun terakhir, selain telah berkembang bisnis properti, di kota Semarang juga telah tumbuh bangunan-
bangunan hotel dan mall. Jika dahulu hanya ada beberapa hotel, misalnya hotel Patrajasa, Graha Santika, Grand Candi,
Rinjani, Siranda sekarang bangkrut, Rama sudah bangkrut, Santika, Telomoyo, Muria, Grasia, Jelita, Patimura, dan
beberapa hotel kecil lainnya, kini telah berdiri hotel bintang tiga hingga lima, seperti Horison, Ciputra, Novotel, Gumaya,
193
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Ibis, Pandanaran, Quest, Dafam, Witz, Semesta, Belle View, dan yang lain.
Jumlah mall juga makin bertambah. Dahulu Semarang memiliki Golden Mall sudah bangkrut, Sri Ratu, Mickey
Mouse sudah bangkrut, Plasa Simpang Lima, dan Ada Mall, sekarang makin lengkap dengan kehadiran DP Mall, Java Super
Mall, Paragon City, dan beberapa bangunan pasar modern lainnya yang berada di pinggiran kota. Selain itu juga
berkembang bangunan Indomart dan Alfamart di seluruh pelosok kota Semarang. Hal ini menyebabkan Semarang makin
siap memasuki gerbang kota perdagangan dan jasa.
Perkembangan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa sudah berlangsung lama, terbukti dengan adanya sentra-sentra
perdagangan, seperti Gang Warung sebagai sentra perdagangan kain atau tekstil, Pekojan sebagai sentra penjualan bahan
bangunan, Kauman sebagai sentra penjualan pakaian Islam, seragam militer dan pramuka, Kranggan sebagai sentra
perdagangan emas, tekstil, dan batik, Gang Lombok sebagai tempat penjualan makanan khas Semarang Lunpia, Bolang-
baling, Kue Keranjang, dan lain-lain, Gajahmada sebagai tempat pertokoan aneka barang dan makanan, Depok sebagai
tempat penjualan mebel, perlengkapan rumah tangga, dan pusat jajan, Agus Salim sebagai kawasan pertokoan peralatan dan
mesin, Barito dan Kokrosono sebagai sentra penjualan barang- barang bekas onderdil motor, mobil, dan sepeda serta peralatan
kebutuhan sehari-hari, Kawasan Candi Baru sebagai tempat pemukiman, perkantoran, dan pendidikan, Kawasan Simpang
Lima sebagai kawasan perdagangan dan hiburan, Pasar Dargo sebagai sentra perdagangan beras, Tugu, Genuk, dan Candi
sebagai sentra industri kecil, Kawasan Bendan Ngisor dan Nduwur sebagai sentra perguruan tinggi AKPELNI, UNTAG,
AKFARMING, STIKUBANK, AKA sudah bangkrut, IKIP Veteran, dan Unika Soegijapranata. Masih banyak sentra
industri, perdagangan, dan jasa yang ada di kota Semarang.
194
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dibandingkan kota-kota besar lainnya, kota Semarang relatif aman, sehingga banyak investor yang tertarik
menanamkan sahamnya di kota Semarang, baik untuk mengembangkan bisnis properti, perhotelan, pendidikan,
kuliner, maupun usaha lainnya.
Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan, maka
berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra perdagangan, industri, dan jasa tekstil, makanankuliner,
pendidikan,
dan yang
lain mendorong
tumbuh berkembangnya sektor informal, terutama pedagang kaki lima
PKL yang menjual makanan. Hampir semua tempat di kota Semarang, siang maupun malam hari, bisa dijumpai para PKL
yang menjual makanan dan minuman. Pusat-pusat kuliner besar yang biasa dikunjungi warga kota kelas menengah ke atas,
di antaranya Manggala Food Festival, Lombok Ijo, Super Penyet, Gajahmada Pujasera atau disingkat Gapura, Bakul Desa
kini telah bangkrut, Kedai Beringin, Marimas Restoran, Pusat Seafood Cianjur, dan yang lainnya.
Jika para pemodal besar bisa mendirikan pusat-pusat kuliner dengan membeli atau menyewa tempat untuk
memanjakan lidah warga kota, tidak demikian halnya dengan kelompok pemodal kecil. Para pedagang kecil yang memiliki
kejelian dalam melihat peluang pasar, memanfaatkan emperan toko atau pinggir jalan untuk berjualan. Pedagang kecil ini
menjalankan usaha kuliner dengan cara mereka sendiri, meskipun kadang harus menempati tempat atau ruang publik.
Siang dan malam kota Semarang disemarakkan oleh kehadiran pedagang mie ayam, bakso, seafood, sate ayam, nasi tempe
penyet, nasi goreng, nasi gimbal, dan lain-lain. Mereka menempati tempat yang banyak dikunjungi orang, seperti dekat
mall, dekat pasar, dekat kampus, dan pusat keramaian lainnya.
195
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Dalam sektor informal, selain makanan, berkembang pula bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las
mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu,
pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-
barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis sektor informal lainnya.
Usaha sektor informal di kota Semarang sangat bervariasi dan pekerja sektor informal, khususnya PKL banyak
jumlahnya. Penelitian
ini tidak
dirancang untuk
digeneralisasikan pada populasi lainnya, oleh karenanya PKL yang diteliti dibatasi pada tiga tempat atau lokasi, yaitu PKL
yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono.
Tiga tempat tersebut berlokasi di dekat bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. PKL Sampangan menempati
area tepi sungai Kaligarang, berada pada jalur ramai lalu lintas. Disebut PKL Sampangan karena mereka berdagang di wilayah
Sampangan, tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan lama. Wilayah Sampangan sangat ramai dan padat manusia, baik
siang maupun malam hari. Selain pasar, juga terdapat Akademi Perbankan GEGA atau Alfabank, Akademi Sekretaris Santa
Maria, Super Mall, Pom Bensin, dan sejumlah toko besar dan kecil, baik ke arah utara Sampangan maupun ke arah selatan
Sampangan.
Wilayah Sampangan ini juga mudah diakses oleh para mahasiswa di kawasan Bendan Ngisor dan Bendan Nduwur.
Demikian pula, para penghuni perumahan Kradenan Asri, Puri Sartika, Trangkil Sejahtera, Bukit Sukorejo, dan warga
perumahan di wilayah Sekaran dan sekitarnya juga tidak membutuhkan waktu lama untuk mengakses sentra jasa dan
perdagangan di Sampangan. Tidak mengherankan jika di Sampangan ini, banyak berdiri usaha warung makanan, seperti
196
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
nasi goreng, gado-gado, nasi gandul, seafood, ayam dan bebek goreng, nasi ayam penyet, dan lain-lain.
Para PKL yang dahulunya menempati lokasi tepi sungai Kaligarang tepatnya anak sungai Kaligarang, karena proyek
pembuatan waduk Jatibarang, sejak bulan April 2010, lokasi yang mereka tempati diratakan oleh begu dan buldoser. Atas
dasar negosiasi antara paguyuban PKL dengan pihak proyek, para PKL diizinkan sementara untuk menempati lahan di
sebelah selatan lokasi PKL Sampangan bersebelahan dengan pasar Sampangan lama.
Di sebelah utara lokasi PKL Sampangan mestinya masih termasuk daerah penggusuran, berdiri kokoh bangunan untuk
jasa makanan, penjahit, mebel, penjualan buah-buahan, dan bengkel las. Jumlah pedagang kaki lima PKL Sampangan
sesungguhnya masih banyak. Bahkan jika ditelusuri hingga ke arah utara menuju SD Petompon, terdapat PKL dan usaha
sektor informal lainnya, seperti penjual nasi, usaha bengkel sepeda motor dan mobil, usaha bengkel las, usaha tambal ban,
penjual sticker sepeda motor dan mobil, serta tukang kunci. Namun, karena yang berkaitan langsung dengan penggusuran,
berlokasi di tepi sungai Kaligarang, utamanya yang berada di sekitar pasar Sampangan, maka yang dijadikan sebagai unit
analisis penelitian hanyalah mereka yang menempati lokasi yang terkena penggusuran. Gambar di bawah ini adalah lokasi
PKL Sampangan yang digusur, yang diberi batas pagar bambu.
197
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 12. PKL Sampangan menempati tepi sungai Kaligarang
Tidak berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo juga menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat, yakni
memanjang dari jembatan Lemah Gempal ke arah utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat. Sebelum digusur pada bulan Juni
2010, jumlah PKL Basudewo kurang lebih 100 orang. Dikatakan PKL Basudewo, karena mereka beraktivitas di sepanjang jalan
Basudewo.
Wilayah aktivitas PKL Basudewo yang masih digunakan adalah dari ujung selatan, yaitu jembatan Lemah Gempal
hingga ke arah utara bagian tengah. Bagian tengah ke arah utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat kosong tidak ada PKL
karena sebagian sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono.
Sebagian besar PKL bermatapencaharian sebagai pengrajin mebel. Mebel yang dijual di antaranya kursi, meja, almari,
tempat tidur, tempat televisi, dan rak buku. Lainnya sebagai penjual bambu, penjual bensin, penjual makanan warungan
mie ayam, bakso, wedang tape, nasi, bengkel, pengepul barang-barang bekas, jasa angkutan, warung rokok, dan
lainnya. PKL Basudewo menarik untuk diteliti, karena mereka
198
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tidak luput dari kebijakan penataan PKL berkaitan dengan proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, seperti halnya
normalisasi sungai Kaligarang yang meminggirkan PKL Sampangan.
Jauh sebelum mengalami penggusuran pada tahun 2010, PKL Basudewo bersama dengan PKL Kokrosono pernah
digusur. Bangunan permanen dan semipermanen diratakan dengan tanah pada tahun 2009. Mereka yang mau direlokasi ke
Sentra PKL Kokrosono atau Sentra PKL Waru diberi dana tali asih sebesar Rp 500.000,00. Sebanyak 35 orang pedagang atau
35 di antaranya bersedia menerima tali asih dari Pemkot, sehingga dari jumlah 100 orang PKL, tinggal 65 orang yang
masih beraktivitas di Basudewo.
Berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo memiliki organisasi yang lebih rapi, apalagi ketua dan pembina kelompok
PKL tersebut memiliki relasi yang luas dengan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang PPKLS, Lembaga
Bantuan Hukum LBH, Badan Eksekutif Mahasiswa BEM, Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter, seperti GMNI,
KAMMI, dan lain-lain, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, seperti Pattiro, serta Kepolisian, dan DPRD. Terbentuknya
paguyuban PKL Sampangan juga atas inisiatif ketua PKL Basudewo.
199
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 13. PKL Basudewo menempati area tepi sungai
Banjirkanal Barat sebelum digusur
Berbeda dengan PKL Sampangan dan Basudewo yang memiliki organisasi atau paguyuban meskipun tidak begitu
aktif, PKL Kokrosono yang dikategorikan liar tidak memiliki organisasi. Hanya PKL Kokrosono yang terorganisasi saja, yakni
mereka yang berjualan di kios-kios yang disediakan pemerintah, yaitu yang menempati gedung PKL Kokrosono
blok A hingga H, yang memiliki organisasi yang sudah mapan.
Jumlah PKL Kokrosono liar diperkirakan 100 hingga 120 orang, menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat dari
pinggir jembatan Banjir Kanal Barat memanjang ke arah utara hingga rel kereta api. Disebut PKL Kokrosono, karena mereka
beraktivitas di sepanjang jalan Kokrosono. Seperti halnya lokasi PKL Sampangan yang padat manusia, area PKL Kokrosono juga
padat lalu lintas orang dan kendaraan bermotor, apalagi jalan Kokrosono merupakan jalur menuju pantai Tanjung Mas. Jalan
Kokrosono juga merupakan jalur alternatif bagi masyarakat menuju perumahan Tanah Mas yang juga padat penduduk. Area
PKL Kokrosono juga ramai, karena jalan Kokrosono
200
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
berpotongan dengan jalan utama pantai utara pantura menuju Monumen Tugu Muda Semarang dan jalan Indraprasta. Di
pertigaan menuju Kokrosono juga terdapat Hotel Siliwangi dan Bank Syariah. Hampir tiap hari, pertigaan Banjir Kanal Barat ini
selalu dilanda kemacetan, menunjukkan betapa padatnya lalu lintas di sana.
Jenis perdagangan dan jasa yang ditekuni PKL Kokrosono adalah perdagangan kaca mata, helm, kipas angin, tape
recorder, radio, kompor gas, peralatan pertanian cangkul, sabit, dan lain-lain, peralatan tukang palu, pasah, drei, meteran, dan
cetok, barang-barang bekas roda sepeda, gir, sedel, stang, dan lain-lain, suku cadang motor
shock bekker, lampu, spion, dan lain-lain, VCD dan DVD, dan penjual nasi. Selain itu, juga ada
bengkel motor dan sepeda, serta jasa reparasi kipas dan alat elektronik lainnya.
Sebagian besar PKL menjual barang dagangan dengan cara lesehan, beberapa diantaranya bertenda. Lainnya, ada yang
membawa mobil sebagai tempat untuk berdagang, yaitu penjual peralatan rumah tangga, pertanian dan pertukangan. Di
samping mereka yang berdagang secara lesehan disebut sebagai PKL liar, di sebelah utara rel kereta api juga terdapat PKL
yang menempati sentra PKL Kokrosono. Mereka merupakan PKL terorganisasi yang dahulunya berada di pinggir jalan dan
sejak penggusuran mereka menempati kios-kios yang disediakan oleh Pemkot. Meskipun ada pembeli, namun lokasi
PKL Kokrosono terorganisasi ini tidak seramai lokasi PKL yang menempati areal pinggir jalan di tepi sungai Banjir Kanal Barat.
Keengganan pembeli disebabkan oleh tidak adanya jembatan yang menghubungkan gedung yang satu dengan gedung
lainnya.
201
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 14. PKL Kokrosono menempati wilayah tepi
sungai Banjir Kanal Barat
Sebagai perbandingan, di dekat sentra PKL Barito yang menjual barang-barang klitikan, terdapat PKL Kartini. PKL
Kartini ini secara geografis berada di lokasi yang memiliki tingkat keramaian lalu lintas setara dengan area yang dihuni
PKL Sampangan. Disebut PKL Kartini, karena mereka menempati lokasi di jalan Kartini yang padat lalu lintas. Jalan
Kartini merupakan penghubung antara jalur dr. Cipto ke sentra PKL Barito. Karena menghubungkan jalan protokol dr. Cipto,
ke arah timur, maka lalu lintas jalan Kartini boleh dikata tidak pernah sepi. Area yang ditempati PKL sesungguhnya
merupakan taman, tetapi karena pemerintah kota terkesan membiarkan, sehingga mereka leluasa berdagang. Banyak juga
yang diminta untuk pindah ke pasar Waru, tetapi karena lokasinya jauh dan sepi dari pembeli, maka mereka tetap
bertahan di jalan Kartini.
PKL yang bertahan hidup di jalan Kartini kurang lebih 110 pedagang dan penjual jasa, mulai dari penjual pakaian, penjual
VCD-DVD, penjual bunga, penjual peralatan pertanian dan
202
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pertukangan, penjual nasi, penjual bakso, penjual es, penjual pakan burung, hingga penjual hewan piaraan, seperti tupai,
kelelawar, kera, kelinci, ikan hias, dan burung. Pasar di jalan Kartini dikenal sebagai pasar burung, karena banyaknya burung
yang dijual di sana.
Tidak seperti halnya PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, PKL Kartini tiap hari ditarik retribusi. PKL Kartini
pun memiliki organisasi yang cukup aktif, seperti halnya organisasi PKL Sampangan dan Basudewo. Setelah sekian lama
diizinkan beraktivitas di Jalan Kartini, PKL Kartini akhirnya juga mengalami nasib serupa dengan rekan-rekannya yang
berdagang di Sampangan dan Basudewo, yakni digusur dan ditertibkan. Sebagai bagian dari penataan ruang kota Semarang,
pada bulan Oktober tahun 2011, Pemkot Semarang menertibkan PKL Kartini, seperti halnya yang dilakukan
terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.
Area PKL yang dahulu ramai dikunjungi pembeli, sekarang tidak ramai lagi, karena bangunan dan lapak PKL telah
dibongkar oleh petugas Satpol PP kota Semarang. Mereka kini pun mengalami nasib yang sama dengan PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono. Seperti halnya PKL Kokrosono, sebagian PKL Kartini, seperti penjual batu akik, penjual HP
bekas, dan penjual burung dengan beralaskan kain dan barang seadanya, masih menjajakan barang dagangan di bekas lokasi
PKL yang telah rata dengan tanah.
Para PKL yang berdagang atau menjalankan usaha di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari
Sampangan hingga ke Kokrosono, tampaknya memang seperti rerumputan liar yang tidak sedap dipandang mata di tengah-
tengah keindahan kota Semarang, tetapi rerumputan liar tersebut sesungguhnya dapat ditata dengan rapi sepanjang ada
komitmen dari pihak pemerintah. Sayangnya pemerintah kota Semarang hanya memprioritaskan penataan ruang publik di
203
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG
dalam kota, utamanya di jalan-jalan protokol yang melintasi pusat-pusat perkantoran, perbankan, dan bisnis-bisnis besar,
seperti jalan Pahlawan, jalan Pemuda, jalan dr. Sutomo, serta jalan yang melingkari bundaran Simpang Lima dan Tugu Muda,
sehingga tamansari keindahan kota hanya dapat dinikmati di sekitar pusat kota tersebut.
Daerah-daerah pinggiran, terutama yang terdapat aktivitas PKL, kurang ada perhatian. Penataan tepi sungai Kaligarang
dan Banjir Kanal Barat, yang banyak digunakan oleh PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi, memang telah
dilakukan, tetapi tidak untuk kepentingan PKL. Hal ini tampak dari kebijakan Pemkot, dengan mengusir mereka ke luar dari
area tempat di mana mereka sehari-hari berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi lainnya.
Penataan yang dilakukan Pemkot tersebut merupakan rangkaian dari proyek pembangunan waduk Jatibarang dan
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jawa
Tengah, dan pemerintah Jepang proyek JICA. Penataan tersebut sekaligus dimaksudkan sebagai upaya pemerintah kota
Semarang untuk mengakselerasi cita-cita menjadikan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.
C. Rangkuman