prognosis yang buruk.
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah adakah perbedaan ekspresi
Vascular Endothelial Growth Factor
pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini untuk menganalisis perbedaan ekspresi dari
Vascular Endothelial Growth Factor
pada karsinoma WHO tipe 3 stadium III dan stadium IV.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini, diantaranya: 1.
Untuk mengetahui ekspresi
Vascular Endothelial Growth Factor
pada stadium III pasien karsinoma nasofaring WHO tipe 3. 2.
Untuk mengetahui ekspresi
Vascular Endothelial Growth Factor
pada stadium IV pasien karsinoma nasofaring WHO tipe 3. 3.
Untuk mengetahui perbedaan ekspresi
Vascular Endothelial Growth Factor
pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3 stadium III dan IV.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini, diantaranya: a.
Menambah pengetahuan mengenai peran
Vascular Endothelial Growth
commit to user
Factor
pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3. b.
Sebagai dasar pengembangan untuk biomarker pada penderita KNF WHO tipe 3, sehingga penelitian awal sebagai landasan bagi penelitian
selanjutnya dalam penentuan prognosis.
2. Manfaat Klinis
Hasil penelitian ini diharapkan membantu terutama dalam bidang THT-KL sebagai biomarker penentuan awal prognosis dari peran
Vascular Endothelial Growth Factor
pada karsinoma nasofaring WHO tipe 3
commit to user
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Karsinoma Nasofaring
a. Anatomi
Secara anatomi Nasofaring merupakan bagian sempit yang terdapat pada belakang choana. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid,
basis occiput dan vertebra cervikalis pertama. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana.
Orificium
dari
tuba eustachian
berada pada dinding lateral dan pada bagian anterior dan posterior terdapat ruangan berbentuk koma
yang disebut dengan torus tubarius. Bagian superior dan lateral dari
torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan
fossa rosenmuller
. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian
soft palatum
Rusmarjono,
et al.,
2007.
Gambar 2.1 Potongan sagital anatomi Nasofaring Dikutip dari : Van De Graaf, 2001. Human Anatomy, Sixth Edition. The McGraw-
Hill, p.605 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
b. Histologi
Epitel bersilia
respiratory type
merupakan epitel yang melapisi mukosa nasofaring. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi
menjadi epitel
nonkeratinizing squamous
, kecuali pada beberapa area transition zone. Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma nasofaring kaya
akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang
merusak epitel membentuk
reticulated pattern
. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring Dikutip dari : Respiratory system pre lab cited 2010 Jan 5.
Available from : http:anatomy.iupui.educourseshisto_D502
c. Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu 6 per 100.000 penduduk dari total 12.000 kasus baru pertahun Tan, 2010. Catatan
dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT telinga hidung dan tenggorokan di Indonesia sepakat
mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Propinsi Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dengan
didominasi suku Jawa, sedangkan Jakarta pasien karsinoma nasofaring terdiri atas populasi suku Jawa dan Cina.
Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang pertahun, dan merupakan masalah kesehatan yang serius di daerah ini. Pada
Cantonese “
boat people
” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Angka kejadian
karsinoma nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000 penduduk per tahun. Witte,
et al.,
2001; Lee, 2003 Berdasarkan dari beberapa penelitian jenis KNF banyak ditemukan adalah
tipe WHO 2 dan WHO 3. Menurut penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang didapatkan WHO tipe 2 dan WHO tipe 3 sejumlah 112 kasus dari 127 kasus
KNF Lee, 2003. Pada penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya didapatkan dari 478 kasus terdapat 424 kasus WHO tipe 3, 48 kasus WHO tipe 2 dan 6 kasus WHO tipe 1 Witte,
et al.,
2001. KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun jarang dijumpai pada penderita dibawah usia 20 tahun
dan usia terbanyak antara 45-59 tahun, sedangkan Wei WI 2006 rmendapatkan rata-rata usia 50 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan
2-3:1 Witte,
et al.,
2001; Ballanger, 2003; Hariwiyoto,
et al.,
2006; Wei WI, 2006. Di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. Soetjipto
commit to user
1989 pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta 1980-1984 mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 , 2,5
dan 89,6 Soetjipto, 1993. Sedangkan Roezin dan Mahfuzh 1996 ditempat yang sama mendapatkan angka 9 , 11,3 dan 79,5 . Affandi 1992 pada
penelitiannya di Lab UPF THT FK UNPAD RS. Dr.Hasan Sadikin Bandung, selama 4 tahun Januari 1986-Desember1989 mendapatkan KNF jenis
poorly diff.Ca.
14,8 ,
well diff.Ca.
10,5 dan jenis
Undifferentiated
sebanyak 70,7 . Sedangkan hasil penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun
2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 , 8 dan 85,6 Kentjono,
et al.,
2000. Di RSUD Moewardi angka prevalensi KNF
Undifferentiated
selama tahun 2008-2009 sebesar 89,1 dari seluruh penderita KNF yang datang ke poliklinik
THT RSUD Moewardi Sari, 2010.
d.
Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial, akan tetapi banyak penelitian menunjukkan akan keberadaan virus Epstein Barr sangat dominan,
disamping penyebab lain seperti faktor genetik dan faktor lingkungan Witte,
et al.,
2001.
1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang yang memiliki gen ini memiliki resiko
dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan
commit to user
lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A0207 atau B4601 tetapi tidak
pada A0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring Witte,
et al.,
2001; Adham, 2002; Ballanger, 2003; Lee, 2003.
2. Lingkungan
Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung
volatile nitrosamine
merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada
Cantonese
. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma
nasofaring pada Cina Timur. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting dan dapat menjadi
“
alkylating Agent
” yang diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal
atau daerah nasofaring. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir,
pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam,
caustic
atau
dyeing process
. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-
bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang
pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi Witte,
et al.,
2001; Adham, 2002; Lee , 2003; Ballanger, 2003. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
3. Virus Epstein Barr
Sampai sekarang meskipun etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr EBV dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF.
Virus Epstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan
limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. virus Epstein-Barr 1 2 EBV1,2 yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus
karsinoma nasofaring pada orang-orang di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian, Afrika dan Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi EBV-1.
Kasus-kasus yang mengenai
Alaska Innuits
hampir seluruhnya berhubungan dengan infeksi EBV-2 Witte,
et al.,
2001. Virus Epstein-Barr hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun
pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Virus ini menginfeksi limfosit B dan epitel orofaring. EBV
melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara
intermiten
oleh individu yang terinfeksi EBV. Virus Epstein-Barr mempunyai produk onkogen yang
dikenal sebagai
Latent Membran Protein-1
LMP1 yang terbukti secara
in vitro
, menyebabkan transformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk immortal
dan mempunyai peran penting pada karsinogenesis KNF Bosman, 1996.
e. Diagnosis
Untuk dapat menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring, maka perlu dilakukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
commit to user
pemeriksaan histopatologi. 1. Gejala klinis
Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial Brennan, 2005; Dol Cetti,
et al.,
2002; Adham, 2002; Lin, 2003; Roezin,
et al.,
2007. Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher
regional
sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 Kentjono, 2003. Gejala tumor leher yang besar, lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe 3 dibandingkan
dengan KNF WHO tipe 1. Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang berobat ke dokter.
2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung yaitu rinoskopi posterior, nasoendoskopi dan
flexiblelaringoskopi
. 3. Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
a.
Computed Tomografi Scaning
CT Scan, dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring.
Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
b
.
Magnetic Resonance Imaging
MRI, menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari
peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi
tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
c. Foto thorak
posterioranterior
PA dilakukan terutama untuk kepentingan kecurigaan adanya metastasis ke paru.
d. USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organ- organ intra abdomen.
Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada
tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan
computerized tomographic scanning
CT scan dan
magnetic resonance imaging
MRI merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan
tumor Adinolodewo,
et al.,
2003; Adham, 2002; Witte,
et al.,
2001.
4. Serologi
Pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari
spesific vira l messenger
RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi
pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari
asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G yang dijumpai pada masa awal infeksi virus dan antibodi
Ig A yang dijumpai pada capsid viral antigen digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasofaring. Virus Epstein Barr dapat
dijumpai pada
Undifferentiated carcinoma
dan
non keratinizing squamous cell carcinoma
Adinolodewo,
et al.,
2003 . perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
5. Pemeriksaan Patologi
a. Biopsi aspirasi jarum halus FNAB pada kelenjar getah bening servikalis Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi
biopsi aspirasi kelenjar getah being servikalis. b. Biopsi Histopatologi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.
f. Klasifikasi
Menurut WHO tahun 1987 , KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi yaitu Wei WI, 2006 :
1. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi WHO tipe I . Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa
nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma
maupun di luar sel. 2. Karsinoma sel epidermoid tanpa keratinisasi WHO tipe II .
Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun
stratified
atau berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.
3. Karsinoma tanpa diferensiasi
Undifferentiated
WHO tipe III . Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas
berbentuk
synctitial
dengan batas sel yang tidak jelas.
g. Penentuan Stadium
Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC union international contre cancer dan AJCC american
joint committee on cancer pada tahun 1986. Pada saat ini telah diterbitkan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC. Untuk KNF pembagian TNM sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besarnya dan perluasannya
Tx : tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : tidak ada tumor primer
Tis : karsinoma in situ
Nasofaring :
T1 : tumor terbatas didaerah nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak daerah orofaring dan atau fossa nasalis T2a
: tanpa perluasan ke daerah parafaring T2b
: dengan perluasan ke daerah parafaring T3
: tumor menginvasi struktur tulang dan atau daerah sinus paranasal T4
: tumor dengan perluasan ke daerah intra kranial dan atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring atau daerah orbita
N menggambarkan keadaan Kelenjar limfe regional N nasofaring :
Nx : kelenjar limf regional tidak dapat dinilai
N0 : tidak ada metastasis kelenjar limf regional
N1 : adanya metastase kelenjar limf unilateral, dengan ukuran kurang atau
sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula N2
: adanya metastasis kelenjar limf bilateral kurang atau sama dengan 6 cm diatas fosa supraklavikula
commit to user
N3 : adanya metastasis kelenjar limf
N3a : lebih dari 6 cm
N3b : perluasan kedaerah fossa supraklavikula
M menggambarkan Metastasis jauh M
Mx : metastasis jauh tidak dapat di nilai
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : adanya metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium 0 : Tis
N0 M0
Stadium I : T1
N0 M0
Stadium IIA : T2a N0
M0 Stadium IIB : T1
N1 M0
T2a N1
M0 T2b
N0,N1 M0
Stadium III : T1
N2 M0
T2a,T2b N2
M0 T3
N0,N1,N2 M0
Stadium IV A : T4 N0,N1,N2
M0 Stadium IV B : T1,2,3,4
N3 M0
Stadium IV C : T1,2,3,4 N0,N1,N2
M1 Penentuan stadium yang lain adalah yang digunakan oleh Ho, di mana hanya ada
T1-3, sedangkan ada stadium V, yakni penderita dengan M1. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
2.
Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam
human herpes virus
. Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik
dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa Gulley, 2000;
Macswee,
et al.,
2003.
Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV
Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda
double-stranded
, panjangnya sekitar 172-kb pasangan basa. Dalam keadaan infeksi pada limfosit B,
DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler ekstra kromosom
episome
. Disamping itu didapatkan ekspresi gen laten yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan. Didapatkan protein ekspresi
gen laten terdiri dari EBNA 1,2,3A,3B,3C, EBNA-LP yang dikontrol oleh p53, dan tiga protein membran yaitu
latent membrane protein-
1, 2A, 2B serta dua
Epstein-Barr virus
encoded mRNA
. Sebagian
besar genom
virus ditransformasikan oleh EBV secara
in vitro
dalam bentuk episom
.
Karena hal di atas muncullah teori bahwa EBV mengaktifkan transformasi melalui ekspresi
beberapa gen yang aktif saat infeksi laten. Bentuk infeksi laten EBV pada sel limfosit B dibedakan menjadi 3 latensi : latensi I, latensi II, latensi III.
Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen laten. Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan EBV dalam hubungannya
dengan timbulnya penyakit Gulley, 2000; Macswee,
et al.,
2003. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini
dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah
kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara
intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV. Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi sel limfosit B yang bersirkulasi dan
ditemukan dalam jumlah besar di jaringan epitel saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui daerah tersebut. Beberapa
fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel bagian distal,
termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen
cluster of differentiation
CD 21. Glikoprotein Gp 350250 merupakan reseptor membran virus yang dapat
mengenali CD 21 Gulley, 2000; Macswee,
et al.,
2003. Pada penderita
carrier
EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus
termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein
transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal BZLF 1 atau ZEBRA, antigen awal
early antigen
= EA, antigen laten
viral capsid antigen
=
VCA
dan antigen membran
mambrane antigen = MA
. Karena itu bila BZLF 1 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi
sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat
menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang
terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP1 dan LMP-2 Gulley, 2000; Macswee,
et al.,
2003. Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang
disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV,
double- stranded
deoxyribonucleic acid
dsDNA linier dibentuk melalui replikasi cetakan episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier
ini menjadi bentuk sirkuler lingkaran saat proses infeksi EBV - DNA menjadi virion yang infeksius Gulley, 2000; Macswee,
et al.,
2003; Abbas,
et al.,
2007. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.3. Infeksi EBV pada penderita
carrier
. Infeksi primer EBV
dimulai di orofaring, setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai
kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang menyebabkan infeksi dapat menetap dikutip dari Prasad,
1975.
3.
Vascular Endothelial Growth F actor
a. Angiogenesis
Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada Josko et al, 2000; Rosen, 2002. Angiogenesis
sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita Josko et al,
2000; Rosen, 2002. Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan
commit to user
pertumbuhan serta metastasis tumor Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003. Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3
Rosen, 2002. Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik
yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh Hicklin dan Ellis, 2005.
Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik
VEGF
dan faktor-faktor anti angiogenik Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005. Suatu tumor avaskular
bergantung pada difusi pasif untuk suplai oksigen dan makanan serta untuk pembuangan produk sisa. Hal ini membatasi ukuran tumor sampai sekitar 2 mm,
yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, termasuk
VEGF
. Tumor juga memproduksi inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF-
Plank dan Sleeman, β00γ. Mulanya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan dan sel endotel tetap diam.
Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan danatau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi „angiogenic switch‟ menuju proses
angiogenesis Plank dan Sleeman, β00γ. „Angiogenic switch‟ merupakan pertanda proses malignansi Hicklin dan Ellis, 2005.
b. Angiogenesis yang Diinduksi Tumor
Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan
menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional, maturasi
pembuluh, dan regresi pembuluh Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005. Pada jaringan normal, kestabilan vaskular dipertahankan oleh pengaruh yang dominan
dari inhibitor angiogenesis endogen terhadap stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh peningkatan sekresi faktor angiogenik danatau
penurunan regulasi inhibitor angiogenesis Detmar, 2000.
Gambar 2.4. Mekanisme angiogenesis dikutip dari Plank dan Sleeman, 2003
1. Permulaan angiogenesis
Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik protease
yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi secara garis besar dibagi menjadi matrix
metalloproteases MMPs dan plasminogen activator PAsistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah terdegradasi, sel endotel akan dapat
bergerak melalui gap yang ada pada membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap pada membran dasar dan
mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi
protease oleh sel-sel endotel. Hal ini merupakan faktor kunci pada rangkaian angiogenesis, sebab tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan
dihambat oleh membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler pembuluh
induk Plank dan Sleeman, 2003. 2. Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh
Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi
pembuluh induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas
ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya. Hal ini akan membentuk loop
tertutup anastomose, yang akan memungkinkan dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa penting dalam pembentukan
commit to user
jaringan vaskular fungsional, akan tetapi stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui Plank dan Sleeman, 2003.
3. Fase Vaskular
Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan berkurang.
Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan yang kuat antar sel
distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi protein laminin, kolagen untuk membentuk membran dasar. Akhirnya sel-sel penyokong periendotel perisit
direkrut dan pembuluh darah baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi pada angiogenesis tumor, karena masih
tetap terdapat daerah hipoksik di dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika daerah vaskularisasi yang baru pada tumor terus
bertambah, akan melebihi suplai darahnya sendiri sehingga menimbulkan daerah hipoksik sendiri. Angiogenesis akan terus berlangsung dan kapiler-kapiler baru
terus tumbuh, meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang tumbuh pesat dan heterogen Plank dan Sleeman, 2003.
Akan tetapi, berlanjutnya angiogenesis akan meningkatkan pertumbuhan tumor, yang akan membutuhkan suplai darah baru. Pada tumor yang sangat ganas,
kebutuhan akan pembuluh darah baru biasanya tidak pernah terpenuhi Plank dan Sleeman, 2003.
Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak terbentuknya membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi.
commit to user
Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku Plank dan Sleeman, 2003.
c. Famili
VEGF
In vivo, ekspresi
VEGF-A
telah menunjukkan peran kuncinya dalam vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan
heterozigot pada gen
VEGF
secara embrionik letal, menimbulkan defek pada vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular.
VEGF-A
juga berperan penting dalam proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka, ovulasi,
menstruasi, mempertahankan tekanan darah serta kehamilan.
VEGF-A
juga telah dihubungkan dengan berbagai kondisi patologis yang berkaitan dengan
peningkatan angiogenesis, seperti artritis, psoriasis, degenerasi makular dan retinopati diabetik Hicklin dan Ellis, 2005
Famili
VEGF
yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu
VEGF -A
biasa disebut
VEGF , VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E,
dan placenta growth factor PlGF Hicklin dan Ellis, 2005.
d. Reseptor
VEGF
Ligan
VEGF
menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase
spesifik
VEGFR
-1 fms-like tyrosine kinase1Flt-1 dan
VEGFR-
2 KDRFlk-1. Saat ini
VEGFR-
3 fms-like tyrosine kinase 4Flt-4 telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses limfangiogenesis Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya,
2006. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
e. Peran
VEGF
Pada Angiogenesis
Vascular Endothelial Growth Factor
merupakan golongan faktor angiogenik terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa
VEGF
adalah kekuatan utama dibalik angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas
pokok sel endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi.
VEGF
mampu memicu ketiga proses tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel
VEGFR
secara eksklusif terekspresi pada sel endotel.
VEGF
juga bertindak sebagai faktor survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003. Fungsi
VEGF
pada sel endotel yaitu meningkatkan permeabilitas vaskular 50.000 kali lebih poten dari
histamin.
VEGF
mengaktivasi sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel
endotel.
VEGF
bersifat mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel.
VEGF
juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel endotel untuk
migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis Hicklin dan Ellis, 2005.
1. Permeabilitas
VEGF
sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena dan vena kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi, sehingga
pertama kali disebut sebagai
vascular permeability factor VPF
. Faktanya
VEGF
salah satu penginduksi permeabilitas vaskular yang paling poten, 50.000 kali lebih poten dari histamin. Kemampuannya untuk meningkatkan permeabilitas
commit to user
mikrovaskular merupakan salah satu peran yang paling penting untuk
VEGF
, terutama dengan mempertimbangkan hipermeabilitas pembuluh tumor yang
diperkirakan berperan besar untuk ekspresi
VEGF
pada sel-sel tumor Hicklin dan Ellis, 2005
Mekanisme pasti
bagaimana
VEGF
meningkatkan permeabilitas
mikrovaskular belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa
VEGF
menginduksi permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium dependent yang melibatkan produksi oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan peningkatan cGMP,
dengan aktivasi jalur Erk12 dengan cara stimulasi prostaglandin PGI2 Hicklin dan Ellis, 2005.
2. Aktivasi Sel Endotel
VEGF
menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel dan endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam morfologi sel
endotel, perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan dan migrasi sel endotel.
VEGF
menyebabkan peningkatan ekspresi berbagai gen-gen sel endotel yang berbeda, termasuk faktor jaringan prokoagulan; protein jalur fibrinolitik,
termasuk urokinase, aktivator plasminogen tipe jaringan, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan urokinase inhibitor; matrix metalloprotease; GLUT-1
transporter glukosa; sintase oksida nitrat; integrin; dan berbagai mitogen Hicklin dan Ellis, 2005.
3. Survival
VEGF
pertama kali tampak bekerja sebagai faktor survival pada sel-sel endotel retina, dan sekarang telah menunjukkan kerjanya dalam menyokong
commit to user
survival beberapa macam sel-sel endotel baik in vitro dan in vivo. In vitro, telah menunjukkan bahwa
VEGF
mengaktivasi jalur PI3K-Akt yang juga meningkatkan regulasi protein antiapoptotik seperti bcl-2 dan A1; hal ini akan menghambat
aktivasi caspase, dan meningkatkan regulasi anggota famili penghambat apoptosis termasuk survivin dan XIAP.
VEGF
juga mengaktivasi focal adhesion kinase FAK dan protein yang berhubungan yang telah menunjukkan kerjanya
mempertahankan sinyal survival sel-sel endotel Hicklin dan Ellis, 2005. In vivo, injeksi
VEGF
eksogen dapat mempertahankan pembuluh retina yang belum matang dari kerusakan, dan ketergantungan terhadap
VEGF
telah didapati pada sel-sel endotel pembuluh tumor yang baru terbentuk, tetapi tidak didapati
pada pembuluh tumor yang telah stabil Hicklin dan Ellis, 2005.
4. Proliferasi
VEGF
adalah suatu mitogen bagi sel-sel endotel. Proliferasi sel endotel ini tampaknya melibatkan aktivasi Erk12 kinase yang dimediasi
VEGFR-2
. Aktivitas mitogenik
VEGF
mungkin juga melibatkan jalur protein kinase C, yang sebagian diregulasi oleh oksida nitrat. Walau peran mitogen
VEGF
penting bagi sel endotel, penting dicatat bahwa faktor angiogenik lain peran mitogennya bagi sel
endotel lebih baik. Akan tetapi faktor angiogenik lain aktivitas pluripotennya kurang dibandingkan
VEGF
untuk proses-proses lainnya dalam angiogenesis Hicklin dan Ellis, 2005.
5. Invasi dan Migrasi
Degradasi membran dasar dibutuhkan untuk migrasi dan invasi sel endotel dan merupakan langkah awal yang penting dalam memulai angiogenesis.
VEGF
commit to user
menginduksi berbagai macam enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi, termasuk matrix degrading metalloproteinases, metalloproteinase
interstitial collagenase, dan serin protease seperti urokinase-type plasminogen activator uPA dan tissue-type plasminogen activator TTPA. Aktivasi bahan-
bahan tersebut mengarah ke lingkungan yang prodegradasi yang memfasilitasi migrasi dan pertunasan sel endotel Hicklin dan Ellis, 2005.
Mekanisme intraselular dimana
VEGF
menyebabkan peningkatan migrasi sel endotel belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan sinyal yang
berhubungan dengan FAK yang menyebabkan pergantian adhesi fokal dan organisasi filamen actin serta reorganisasi actin yang diinduksi MAPK p38.
Sebagai tambahan, telah diusulkan bahwa oksida nitrat juga berperan penting dalam migrasi sel endotel yang diinduksi
VEGF.
Oksida nitrat telah diimplikasikan dalam proses podokinesis sel endotel dan aktivasi sintase oksida
nitrat endotel yang tergantung pada Akt yang dibutuhkan pada proses migrasi sel yang diinduksi
VEGF
Hicklin dan Ellis, 2005.
f. Regulasi
VEGF
Berbagai mekanisme dapat meregulasi ekspresi
VEGF,
yang paling penting adalah hipoksia. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1HIF-1 adalah
mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut. Berbagai studi menunjukkan bahwa berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi ekspresi faktor
angiogenik pada sel-sel tumor hingga menginduksi angiogenesis secara tidak langsung, seperti EGFR dan HER2, platelet-derived growth factor PDGFs dan
COX-2. Beberapa onkogen berperan dalam regulasi VEGF, seperti c-src, BCR- perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
ABL, dan ras. Gen supresor tumor p53 berperan penting dalam regulasi
VEGF
. Perubahan genetik yang terjadi pada p53 akan meningkatkan ekspresi
VEGF
Wakisaka, 2004; Hicklin dan Ellis, 2005. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Teori