BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahwa untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar segera terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, pemerintah daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yaitu urusan
pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta kepercayaan terhadap suatu agama.
Pemberian otonomi daerah yang berjalan di Indonesia, isu mengenai pemerintahan menjadi perhatian negara-negara donor di tingkat
lokal. Penekanan diberikan pada adanya proses konsultasi dengan berbagai stakeholder di daerah, monitoring kinerja pelayanan publik dan mengaitkan
insentif karir pegawai negeri di daerah dengan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan konstituennya Hetifah, 2004 : 6. Sedangkan pada institusi
pemerintahan meliputi tiga domain, yaitu negara atau pemerintah state,
sektor swasta atau dunia private sector usaha dan masyarakat society, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Negara atau
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta atau dunia usaha menciptakan pekerjaan dan
pendapatan, sedangkan masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial maupun politik Sedarmayanti, 2003 : 4.
Dengan demikian keberhasilan suatu penyelengaraan pemerintahan pada era otonomi daerah tidak terlepas dari adanya peran serta publik secara
aktif dari anggota masyarakatnya. Masyarakat daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat
penting dari sistem pemerintahan daerah, karena prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera di
daerah. Oleh sebab itu, maka tanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesungguhnya bukan saja berada di tangan pemerintah
daerah dan aparat pelaksananya, tetapi juga ada pada tangan masyarakat daerah yang bersangkutan.
Perwujudan dari rasa tanggung jawab masyarakat tersebut, salah satunya adalah adanya sikap mendukung dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah, yang antara lain dapat ditunjukkan melalui wujud sikap partisipasi aktif dari anggota masyarakat terhadap penyelenggaraan otonomi daerah,
termasuk dalam partisipasi masyarakat untuk merencanakan, menyusun,
melaksanakan, pengendalian dan pengawasan terhadap pembangunan yang tercermin dalam suatu rancangan peraturan daerah
Sebelum terbentuknya peraturan daerah, pembuatan peraturan daerah selalu diawali dengan rancangan peraturan daerah. Dalam rancangan peraturan
daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD atau BupatiWalikota. Jika dalam waktu yang bersamaan satu masa sidang kepala
daerah BupatiWalikota dan DPRD menyampaikan rancangan peraturan daerah dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan
peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 140 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini juga diatur dalam Pasal
26 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dimana rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD atau
Gubernur, atau Bupati Walikota sebagai kepala daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 pula bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta
peraturan daerah lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
propinsi, dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan Undang-Undang sebagaimana bunyi Pasal 18 ayat 1 Undang- Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi dari pembagian daerah dan
pemberian kewenangan berupa otonomi daerah, maka setiap pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain.
Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah yang dimaksud oleh Pasal 18 ayat 1 tersebut adalah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 6 dan juga Undang-Undang tentang
pemerintahan daerah tersebut, salah satunya adalah untuk membentuk peraturan daerah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Pemberian otonomi kepada daerah dan kewenangan dalam menetapkan peraturan daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan keleluasaan
kepada daerah sesuai dengan kondisi lokalistiknya. Selain itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara pembuat peraturan daerah
pejabat daerah dengan rakyat di daerahnya sehingga terbangun suasana komunikatif yang intensif dan harmonis diantara keduanya. Artinya
keberadaan rakyat di daerah sebagai subjek pendukung utama demokrasi mendapat tempat dan saluran untuk berpartisipasi terhadap berbagai peraturan
daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana para wakil rakyat di daerah
dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah, diharapkan mereka senantiasa menjalin komunikasi dengan rakyat terkait dengan
pembuatan dan penentuan kebijakan daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah. Pemberian saluran dan ruang kepada masyarakat di daerah untuk
berpartisipasi dalam proses penyiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 139 ayat 1 yang memuat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan peraturan daerah. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga
memberikan jaminan yang senada dengan itu.
Memperhatikan kontruksi yuridis dari kedua Peraturan Perundangan tersebut, memberikan penyadaran kepada semua pihak, bahwa masyarakat di
daerah memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pembahasan rancangan peraturan daerah, dengan memberikan masukan masyarakat tersebut dapat
dilakukan secara lisan atau tertulis. Hal ini juga menyadarkan kepada kedua lembaga pembentuk peraturan daerah tersebut untuk bersikap terbuka dengan
memberikan saluran dan tempat untuk rakyat di daerah dalam proses pembahasan rancangan tersebut. Tanpa komitmen yang nyata untuk
melaksanakan bersikap terbuka dari kedua lembaga pembentuk peraturan daerah tersebut substansi dari sebuah demokrasi patut dipertanyakan. Karena
demokrasi perwakilan yang dipraktekkan sudah lama dirasakan tidak memadahi. Phipipus. M Hadjon, 1999 : 5
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik
dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada
pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban
pemerintah daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah sebagai
pedoman dan dasar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di dalam menetapkannya senantiasa tidak bisa dilepaskan dengan rakyat di
daerah. Penyerahan kewenangan pemerintahan kepada daerah pada hakekatnya adalah kepada rakyat di daerah. Konsep daerah di dalamnya
mengandung konsep sosiologis, politis serta konsep kewilayahan. Konsep daerah ini dapat ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah,
dimana daerah diberi batasan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Perlu disadari pula bahwa peraturan daerah telah membuktikan
perannya sebagai salah satu dari sekian banyak instrumen untuk melaksanakan suatu kebijakan yang sebelumnya itu telah digariskan secara umum dan tidak
hanya merupakan suatu yang akan melaksanakan kebijakan, bahkan melebihi daripada itu yaitu undang-undang sebagai sesuatu yang menentukan kebijakan
atau menggariskan suatu arah kebijakan, yang memiliki arti yang sama dengan merancangkan suatu kebijakan.
Dengan mengambil lokasi penelitian hukum empiris di Kabupaten Sragen dalam pertimbangan bahwa pemerintah Kabupaten Sragen merupakan
salah satu pemerintahan daerah yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan pemerintahan daerah lainnya dalam jajaran dan
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal masyarakat sebagai subjek dalam pelaksanaan undang-undang atau peraturan
daerah yang mengerti kebutuhan secara riil di lapangan, sudah seharusnya pemerintah daerah Kabupaten Sragen melibatkan partisipasi masyarakat dalam
setiap pengambilan kebijakan sesuai tuntutan dinamika dalam negara
demokrasi yang menghendaki dan mengharuskan adanya pelibatan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan.
Berdasarkan uraian tersebut, hakekat dari daerah otonom adalah masyarakat daerah yang bersangkutan, dan apabila berkaitan dengan
masyarakat maka kunci atau intinya adalah partisipasi masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui dan mencari faktor-faktor
yang mempengaruhi implementasi serta langkah-langkah yang ditempuh pemerintah daerah Kabupaten Sragen untuk mengatasi kendala dalam
mengimplementasikan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dengan berbagai keadaan dan pertimbangan tersebut diatas, untuk mengetahui partisipasi masyarakat Kabupaten Sragen dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah, maka penulis sangat tertarik untuk mengajukan
untuk menulis tesis dengan judul : “Implementasi Ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di
Kabupaten Sragen” .
B. Rumusan Masalah