Kewenangan Gubernur Dalam Rangka Pembinaan Dan Pengawasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

(1)

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN

DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004

TESIS

Oleh

APRILLA HASLANTINI SIREGAR 087005081/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN

DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

APRILLA HASLANTINI SIREGAR 087005081/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004

Nama Mahasiswa : Aprilla Haslantini Siregar Nomor Pokok : 087005081

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 26 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pemerintah melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Pembinaan dan Pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.

Berdasarkan kewenangan yang luas yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah perlu melakukan penelitian sejauh mana kewenangan Gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Peraturan Daerah di Sumatera Utara agar produk hukum Perda Kabuapten/Kota tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Pembinaan dan pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia adalah dengan cara evaluasi dan klarifikasi dimana hal ini disebut dengan pengawasan preventif. Wewenang Gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Perda Kabupaten/Kota didelegasikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara, kewenangan Gubernur dalam rangka peningkatan investasi di Sumatera Utara adalah dengan mengevaluasi Perda Kabupaten/Kota tentang pajak dan retribusi daerah yang tidak boleh menimbulkan biaya ekonomi tinggi, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.

Banyaknya Perda bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan menerbitkan Peraturan Presiden maka Presiden dapat mendelegasikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan pembatalan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Disarankan perlunya peningkatan peranan Biro Hukum Setda Provsu dalam rangka pembinaan dan pengawasan yaitu dengan menambah sumber daya manusia (SDM) seperti para legislative drafter dan para ahli hukum yang hendaknya dibentuk dalam sebuah tim khusus serta perlunya peningkatan pengawasan Pusat terhadap seluruh Perda Provinsi, Kabupaten/Kota secara berjenjang Kabupaten/Kota ke Provinsi dan Provinsi ke Pemerintah Pusat, sehingga tidak ada peraturan daerah Kabupaten/Kota yang langsung ke Pemerintah Pusat dan sebaiknya Pemerintah Pusat berkoordinasi terlebih dahulu kepada Pemerintah Provinsi.


(6)

ABSTRACT

The government delegated the development of the administration of District Government to the Governor as representative of the Government in accordance with legislation. Guidance and supervision is carried out by the Governor on Local Rules District reported to the President through the Minister of Home Affairs with aa copy to the the Department / Non-Departmental GovernmentInstitution concerned.

Under the broad authority that has been submitted to the Local Government needs to do research the extent to which the authority of the Governor in the framework of guidance and supervision of regulatory regions in North Sumatra for a legal product regulation Kabuapten / City does not conflict with legislation which is higher and not contrary to public interest .

Methods of research conducted with normative legal research methods. Basic data in the research is secondary data. Collecting data in this study conducted by the research literature and field research.

Guidance and supervision of local regulations in Indonesia is by way of evaluation and karifikasi where it is called preventive supervision. Powers of Governor in the framework of guidance and supervision regulation District delegated to the Bureau of Justice Secretariat of North Sumatra province, the authority of the Governor in order to increase investment in North Sumatra was to evaluate the regulation District of taxes and levies which should not cause a high economic cost, not be contrary to public interest and higher laws.

Number of law problems who can not be solved by issuing a Presidential Decree with the publication of the Local Government Act, the President may delegate authority to the Minister of Home Affairs to cancellation Provincial Laws and District.

It is suggested the need to increase the role of the Legal Bureau of the Regional Secretariat in order Provsu guidance and supervision is to increase human resources (HR) as the legislative drafter and legal experts should be established within a special team and the need for increased oversight of the entire Provincial Laws Center, District in stages District / City to Province and the Province to the central government, so there is no local regulation District directly to the Central Government and Central Government should coordinate in advance to the Provincial Government.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Allah S.W.T atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 ”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, dan Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:


(8)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

6. Kedua Orang Tua Alm. Ayahanda H. Sutan Siregar, SH dan Almh. Ibunda Hj. Masbulan Lubis tercinta yang semasa hidupnya mendidik dengan penuh rasa kasih sayang.

7. Suami tercinta Baginda Hasibuan, SE, MSi yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini


(9)

8. Kepada Anakku tercinta, Ariq Muflih Hasibuan, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

10.Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Allah Membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Januari 2011 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Aprilla Haslantini Siregar

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 21 April 1969

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan/ Jabatan : PNS/ Kepala SUB Bagian Rancangan Produk Hukum Pada Biro Hukum SETDAPROVSU

Alamat : Jl. Kasmala No. 153 Blok A Komplek Kejaksaan

Simpang Selayang Medan

Pendidikan : SD Negeri 020261 Binjai Tamat Tahun 1982 SMP Harapan 1 Medan Tamat Tahun 1985 SMA Harapan 1 Medan Tamat Tahun 1988

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1994

Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ………..……… 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keasliaan Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi... 21

G. Metode Penelitian ... 22

1. Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data... 24

3. Alat Pengumpulan Data ... 24

4. Analisis Data ... 25

BAB II PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA ... 26

A. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Beberapa Perundang- Undangan ... 26

1. Undang-Undang Dasar 1945 ... 26

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah ……… 28

3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah ... 29

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ... 31

5. Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah ... 34

6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ... 35

7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah di Daerah dan Proses Kelahirannya ……. 37


(12)

8. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah ... 38

9. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 42

B. Pengaturan Pengawasan Dalam Beberapa Undang-Undang Pemerintah Daerah ……… .. 44

1. Pengawasan Dalam UU No.1 Tahun 1945 ... 44

2. Pengawasan Preventif Dalam UU No. 22 Tahun 1948... 45

3. Pengawasan Dalam UU No.1 Tahun 1957 ……….. ... 48

4. Pengawasan Dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 ... 50

5. Pengawasan Dalam UU No. 18 Tahun 1965 ... 51

6. Pengawasan Dalam UU No. 5 Tahun 1974 ... 53

7. Pengawasan Dalam UU No. 22 Tahun 1999 ... 55

8. Pengawasan Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ... 59

9. Pengawasan Dalam UU No. 28 Tahun 2009 ……….. .. 62

10.Pengawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintahan (PP)... 63

BAB III KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN PENGAWASAN PERDA KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH ... 72

A. Kewenangan Pembinaan dan Pengawasan Pada Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara ... 72

1. Kewenangan Pembinaan dan Pengawasan ... 72

2. Kewenangan Evaluasi dan Klarifikasi ... 75

2.1. Evaluasi …………..………. 81

2.2. Klarifikasi ………... 84

B. Efektivitas Pembinaan dan Pengawasan Perda Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara... 103

BAB IV KEWENANGAN GUBERNUR DALAM RANGKA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERDA KABUPATEN/KOTA TERHADAP IKLIM INVESTASI DI SUMATERA UTARA ... 115

A. Pengawasan Terhadap Suatu Peraturan Daerah ………. 115

B. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Bidang Pajak dan Retribusi Daerah yang Bermasalah ... 123

C. Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Perda Kabupaten/Kota Terhadap Iklim Investasi di Sumatera Utara... 149

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 152

A. Kesimpulan ……….. 152

B. Saran……….. 153

DAFTAR PUSTAKA ……….. 154


(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Daftar kinerja pemerintah provinsi terhadap peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah didelegasikan


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman


(15)

ABSTRAK

Pemerintah melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Pembinaan dan Pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.

Berdasarkan kewenangan yang luas yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah perlu melakukan penelitian sejauh mana kewenangan Gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Peraturan Daerah di Sumatera Utara agar produk hukum Perda Kabuapten/Kota tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Pembinaan dan pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia adalah dengan cara evaluasi dan klarifikasi dimana hal ini disebut dengan pengawasan preventif. Wewenang Gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Perda Kabupaten/Kota didelegasikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara, kewenangan Gubernur dalam rangka peningkatan investasi di Sumatera Utara adalah dengan mengevaluasi Perda Kabupaten/Kota tentang pajak dan retribusi daerah yang tidak boleh menimbulkan biaya ekonomi tinggi, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.

Banyaknya Perda bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan menerbitkan Peraturan Presiden maka Presiden dapat mendelegasikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan pembatalan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Disarankan perlunya peningkatan peranan Biro Hukum Setda Provsu dalam rangka pembinaan dan pengawasan yaitu dengan menambah sumber daya manusia (SDM) seperti para legislative drafter dan para ahli hukum yang hendaknya dibentuk dalam sebuah tim khusus serta perlunya peningkatan pengawasan Pusat terhadap seluruh Perda Provinsi, Kabupaten/Kota secara berjenjang Kabupaten/Kota ke Provinsi dan Provinsi ke Pemerintah Pusat, sehingga tidak ada peraturan daerah Kabupaten/Kota yang langsung ke Pemerintah Pusat dan sebaiknya Pemerintah Pusat berkoordinasi terlebih dahulu kepada Pemerintah Provinsi.


(16)

ABSTRACT

The government delegated the development of the administration of District Government to the Governor as representative of the Government in accordance with legislation. Guidance and supervision is carried out by the Governor on Local Rules District reported to the President through the Minister of Home Affairs with aa copy to the the Department / Non-Departmental GovernmentInstitution concerned.

Under the broad authority that has been submitted to the Local Government needs to do research the extent to which the authority of the Governor in the framework of guidance and supervision of regulatory regions in North Sumatra for a legal product regulation Kabuapten / City does not conflict with legislation which is higher and not contrary to public interest .

Methods of research conducted with normative legal research methods. Basic data in the research is secondary data. Collecting data in this study conducted by the research literature and field research.

Guidance and supervision of local regulations in Indonesia is by way of evaluation and karifikasi where it is called preventive supervision. Powers of Governor in the framework of guidance and supervision regulation District delegated to the Bureau of Justice Secretariat of North Sumatra province, the authority of the Governor in order to increase investment in North Sumatra was to evaluate the regulation District of taxes and levies which should not cause a high economic cost, not be contrary to public interest and higher laws.

Number of law problems who can not be solved by issuing a Presidential Decree with the publication of the Local Government Act, the President may delegate authority to the Minister of Home Affairs to cancellation Provincial Laws and District.

It is suggested the need to increase the role of the Legal Bureau of the Regional Secretariat in order Provsu guidance and supervision is to increase human resources (HR) as the legislative drafter and legal experts should be established within a special team and the need for increased oversight of the entire Provincial Laws Center, District in stages District / City to Province and the Province to the central government, so there is no local regulation District directly to the Central Government and Central Government should coordinate in advance to the Provincial Government.


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sesuai dengan jiwa konstitusi Undang Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18 ayat (2), kepada Pemerintah Daerah (Pemda) diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Berbagai perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah melalui asas desentralisasi,1 dekonsentrasi2dan tugas perbantuan3 dapat dijadikan indikator besar kecilnya wewenang daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya. Semakin besar penerapan asas desentralisasi pada daerah, semakin luas urusan pemerintah yang diatur masing-masing daerah, sebaliknya semakin besar penerapan penerapan asas dekonsentrasi akan semakin kecil penerapan asas desentralisasi, maka semakin kecil pula urusan pemerintahan yang diatur oleh masing-masing daerah.4

Pembentukan pemerintah daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah melahirkan berbagai produk undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang pemerintah daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,

1

Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan daeri pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

2

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3

Tugas Pembantuan ialah tugas untuk turut serta dalam melakukan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

4

Ujang Bahar, Wewenang Pemerintah Daerah Terhadap Pinjaman Yang Sumber Dananya Berasal Dari Luar Negeri, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, 2007, hal.49.


(18)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pada era reformasi telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pengutamaan Pelaksanaan otonomi daerah (asas desentralisasi) nampak pada Pasal 7 yang mengatur/menetapkan sebagai berikut: “Kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.”

Penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintah kepada daerah, telah menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional, dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat yang adil dan merata. Dalam kaitan ini peran dan dukungan daerah dalam rangka perundang-undangan sangat strategis, khususnya dalam membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan daerah lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.5

Pada umumnya juga dapat dikatakan, bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah, merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak mungkin pula ada negara di dalam

5

Muhammad Sapta Murti, “ Harmonisasi Peraturan daerah dengan Peraturan

Perundang-undangan Lainnya”, http://www.dipp.depkumham.go.id/index.php , diakses tanggal 27 Januari 2010,


(19)

negara.6

Peraturan Daerah sebagai jenis Perundang-undangan nasional memiliki landasan konstitusional dan landasan yuridis dengan diaturnya kedudukan Peraturan Daerah dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, Undang-Undang. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah termasuk perundang-undangan tentang Pemerintah Daerah termasuk perundang-undangan tentang daerah ekonomi khusus dan daerah istimewa sebagai lex specialis dari Undang-Undang. No.32 Tahun 2004. Penting pula diperhatikan Undang-Undang. Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Restribusi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam rangka pengendalian Perda tentang Pajak dan Retribusi dan Undang-Undang. Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dalam rangka keterpaduan nasional, provinsi, kabupaten/kota.7

Akhir-akhir ini Pemerintah Pusat mempunyai perasaan yang kurang baik, karena sebagian besar daerah tidak mau mengirimkan Peraturan Daerahnya kepada Pemerintah Pusat. Menurut perkiraan Departemen Keuangan, dari 11.000 Peraturan Daerah terdapat sekitar 1.366 yang dilaporkan ke pusat. 8

Peraturan Daerah yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas.

6

Yusrin Nazief, Kewenangan Daerah Dan Fungsi Aparatur Pemerintah Daerah, Artikel, Medan: Juli 2007, hal. 13.

7

Muhammad Sapta Murti, Loc. Cit, hal. 1.

8

Ni’matul Huda, Problematika Yuridis Di Seputar Pembatalan Perda, Jurnal Konstitusi,


(20)

Pembatalan Perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.9

Berbagai kebijakan di bidang pemerintahan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat dan digunakan sebagai payung hukum oleh Pemerintah Daerah didalam menetapkan suatu Kebijakan Daerah, berulang kali mengalami perubahan yang sangat signifikan yang ditandai dengan adanya paham sentralistik yakni lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang kemudian berubah ke faham yang bernuansa otonomi daerah, akibat lahirnya pemerintahan yang reformasi, sebagai wujud hancurnya kekuatan Orde Baru yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghancurkan faham sentralistik menuju kebebasan secara luas didalam mengatur rumah tangga daerahnya masing-masing yang pada akhirnya cenderung tidak terkendali sampai memunculkan ide melepaskan hubungan hierarki dari pemerintahan tingkat atasnya merujuk Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dimaksud yang antara lain menegaskan bahwa tidak adanya hubungan secara hierarki satu sama lain, sehingga masing-masing daerah berdiri sendiri. Sebagai akibatnya muncul berbagai kebijakan daerah yang cenderung hanya

9


(21)

memikirkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (selanjutnya disingkat PAD)10 tanpa mengindahkan tatakrama birokrasi yang selama ini telah terbina sehingga tanpa adanya pengawasan bahkan melahirkan produk-produk hukum daerah yang cenderung semena-mena tidak pro investasi yang pada akhirnya menghambat iklim investasi di daerah.

Munculnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah implikasi dari kebijakan Pemerintahan Pusat yang mulai memikirkan pembangunan dan perkembangan pemerintah daerah, sehingga membawa angin segar bagi pengembangan investasi karena kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang semula cenderung semaunya, ditata ulang kembali, dengan memperketat pengawasan terhadap produk hukum daerah yang pada dasarnya lahir dari kebijakan Kepala Daerah beserta lembaga mitranya yaitu DPRD setempat khusunya di dalam pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum

(Rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat), yang harus ditempatkan dalam suatu keseimbangan, keserasian dan keselarasan kehidupan bermasyarakat.

Mengingat beratnya beban daerah dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dalam rangka menyejahterakan masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah maka setiap kebijakan publik yang dihasilkan merupakan kebijakan dalam rangka mengatur rumah tangga daerah tersebut dan materi muatan Peraturan Daerah dapat juga memuat dan menampung kondisi khusus

10


(22)

daerah yang bersangkutan.

Kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan di sini mengandung arti bahwa daerah yang bersangkutan bahwa membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang kemudian antara lain diberi nama Peraturan Daerah.

Kemudian dalam rangka otonomi daerah, Pemerintah Daerah memerlukan sumber-sumber pendapatan guna menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah. Idealnya sumber tersebut digali dari daerah sendiri dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) disamping transfer dana yang berasal dari Pusat. Sumber dana yang paling penting dari PAD adalah Pajak dan Retribusi. Pajak dipungut dari masyarakat wajib pajak tanpa memperhatikan besar kecilnya pelayanan/jasa yang telah dinikmati/diperoleh dari Pemerintah Daerah, sementara pembayaran retribusi oleh masyarakat wajib retribusi sangat ditentukan oleh pelayanan/jasa yang telah diberikan oleh Pemerintah Daerah.11

Sejalan dengan otonomi daerah yaitu dengan bertambahnya kewenangan-kewenangan yang diserahkan ke daerah dalam rangka desentralisasi menimbulkan konsekuensi dibutuhkan dana yang semakin besar bagi daerah untuk menjalankan operasionalisasi dari kewenangan-kewenangan tersebut, Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, daerah memperoleh kewenangan untuk mendapatkan sumber pendapatan yang layak diantaranya kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah sendiri berupa pajak daerah dan

11


(23)

retribusi daerah. Pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah hanya dapat dilakukan apabila ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Sejak otonomi daerah bergulir, muncul ribuan Perda pajak dan retribusi daerah yang memberatkan investor. Perda ini dianggap menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang berdampak bagi pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional. Banyak Pemerintah Daerah memanfaatkan peluang meningkatkan PAD melalui perda.

Perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah merupakan sumber persoalan utama karena bersinggungan langsung dengan kehidupan ekonomi masyarakat dan negara. Bagi daerah sendiri, Perda pajak dan retribusi daerah merupakan daerah hukum untuk melegalkan praktik pemungutan. Masyarakat wajib mematuhi Perda karena merupakan bagian dari perundang-undangan, meskipun merasa Perda membebani mereka.

Ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat menjadi masalah tersendiri bagi daerah, karena bisa saja pemerintah membatalkan peraturan daerah yang telah ditetapkan dan diberlakukan kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah harus berhati-hati dan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan masyarakat banyak di daerahnya, sehingga Peraturan Daerah yang telah disahkan Pemerintah Daerah tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.


(24)

sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih terdapat ribuan peraturan daerah yang direkomendasikan untuk dievaluasi dan atau dibatalkan. Peraturan Daerah yang dibatalkan pada umumnya Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Sampai dengan bulan juli 2009 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai 1152 Peraturan Daerah. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 sudah terdapat sekitar 8000 Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang dibuat dan lebih dari 3000 Perda tersebut terindikasi bermasalah. Perda-Perda yang mengatur pajak dan retribusi dan bermacam-macam pungutan lainnya dibatalkan karena pada umumnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dinilai telah menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan menghambat iklim investasi.12

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, prinsip otonomi daerah yang digunakan dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangna membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.13

Berkaitan dengan keadaan tersebut di atas, untuk terciptanya harmonisasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana diamatkan

12

Muhammad Sapta Murti, Op. Cit., hal. 8.

13

Jimly Ashiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2006), hal. 37-39.


(25)

dalam Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai petunjuk pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut pada bulan Desember 2005 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan, di samping Pemerintah Daerah merupakan subsystem dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, dan secara implisit Pembinaan dan Pengawasan terhadap Pemerintah Daerah merupakan bagian integral dari system penyelenggaraan Negara, maka harus sesuai dengan rencana dan ketentuan yang berlaku dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah masih belum berjalan secara efektif dan efisien, yang tercermin dari belum optimalnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, penegembangan ekonomi lokal, dan iklim investasi. Hal itu disebabkan oleh masih besarnya perangkat organisasi daerah, belum tersusunnya standar pelayanan minimal, koordinasi antar perangkat organisasi daerah dan hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang belum optimal, belum optimalnya praktik pemerintahan daerah yang


(26)

baik, dan belum optimalnya kerja sama antar pemerintah daerah. 14

Oleh karena itu di perlukan juga reformasi bidang pelayanan publik yang menyeluruh yaitu peningkatan kualitas pelaksanaan sistem pemerintahan. Bagaimana Pemerintah menjalankan fungsinya, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan kewenangan dalam bertindak merupakan kunci pokok terlaksananya pemerintahan dengan baik. 15

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 200516, secara tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam rangka pembinaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervise yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten dan Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap Peraturan daerah Kabupaten/ Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada

14

Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah”,

http://www.google.co.id/#hl=Id&g=revitalisasi=proses+desentralisasi&=ag=f&al=&agl=&og=&gs_rf ai=&fp=31, diakses terakhir tanggal 28 Januari 2009.

15

Affila, Reformasi Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jurnal Konstitusi, Volume I No. 2, November 2009, hal. 98.

16

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 pengaturan mengenai Pembinaan terdapat dalam Bab II dari Pasal 2-19 dan mengenai Pengawasan terdapat dalam Bab III dari Pasal 20-43.


(27)

Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.

Berdasarkan kewenangan yang luas telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah penulis perlu melakukan penelitian sejauh mana kewenangan Gubernur Dalam Rangka Pembinaan dan Pengawasan Perda di Sumatera Utara supaya produk hukum/Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Kewenangan Gubernur Dalam Rangka Pembinaan dan Pengawasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana pengawasan dan pembinaan peraturan daerah di Indonesia?

2. Bagaimana wewenang Gubernur dalam pembinaan dan pengawasan peraturan daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?

3. Bagaimana kewenangan Gubernur dalam rangka peningkatan iklim investasi di Sumatera Utara?


(28)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengawasan dan pembinaan peraturan daerah di Indonesia. 2. Untuk mengetahui sejauh mana wewenang Gubernur dalam rangka pembinaan

dan pengawasan peraturan daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. 3. Untuk mengetahui sejauh mana wewenang Gubernur dalam rangka peningkatan

iklim investasi di Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini secara umum memberikan manfaat sebagai menambah dan memperluas pengetahuan terkait Pembinaan dan Pengawasan Peraturan Daerah terhadap iklim investasi dan dapat dipakai sebagai pedoman dalam merumuskan suatu kebijakan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan investasi, sebagai bahan kebijakan Gubernur, Bupati/Walikota dalam menciptakan dan meningkatkan iklim usaha dan investasi yang kondusif

2. Manfaat praktis

Untuk memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dalam membentuk


(29)

Peraturan Daerah yang baik agar tidak menghambat iklim investasi di Sumatera Utara.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai wewenang gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan penulis, bahwa tesis ini memiliki keaslian, dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau secara akademik.

F.Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis


(30)

artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.17 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak di setujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.18

Oleh sebab itu langkah teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengmbangkan definisi-definisi; 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti; 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.19

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas kerja Perda adalah dengan menggunakan pendekatan teori “ negara berdasar atas hukum” (rechtsstaat) sebagai grand theory

17

Kaelan M.S , Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 239.

18

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 19


(31)

yang didukung oleh midle theory “trias politica” untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai applied theory-nya.

Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya dan dalam hal ini yang dimaksud ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. (pembagian kekuasaan secara teritorial/teritoril divison of power)

Secara Horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya, pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat yudikatif, eksekutif dan yudikatif (division of powers/trias politica).20

Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi) tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetaap pada pemerintah pusat. Jadi adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri tidak berarti bahwa pemerintah itu berdaulat. Sebab, pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap pada pemeritah pusat.

Pemerintah daerah secara internal juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Pengawasan internal ini terdiri atas:

1. Pengawasan yang bersifat self administrative regulation, yaitu pembuatan dan penetapan standar operasional dan prosedur (SOP) dan pembuatan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Kepala Daerah.

20

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 138.


(32)

Pengawasan ini dilakukan oleh Kepala Daerah, dengan tujuan agar semua mekanisme dan prosedur administrasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pengawasan ini bersifat preventif.

2. Pengawasan melekat/built control. Yaitu pengawasan atasan langsung kepada bawahannya. Pengawasan ini dilakukan oleh atasan langsung dari seorang pegawai. Pengawasan ini bersifat Preventif.

3. Pengawasan layanan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM). Pemerintah daerah harus membuat standar pelayanan minimal untuk semua jenis pelayanan yang diberikan. Setiap dinas, kantor, dan lembaga pada pemerintah daerah harus membuat SPM. SPM menjadi acuan utama untuk melakukan pelayanan. Dinas, Kantor, Biro, dan lembaga dalam pemerintah daerah yang memberikan pelayanan tidak sesuai dengan SPM yang ditetapkan berarti kinerjanya tidak baik.

4. Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian. Pengawasan ini bersifat refresif.21

Sebagaimana telah terjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan selalu aktual, dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini, setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap kata “negara” maupun kata “hukum”. Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule Of Law.

Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa kontinental adalah Freidrich Julius Stahl.

21

Hanif Nurcholis, “Teoridan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah”, (Jakarta: PT Grafindo, 2007, hal. 328.


(33)

Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant. Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang (wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan administrasi (administratieve rechtpraak). Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law ); kedua, persamaan didepan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi berdasarkan atas hak-hak asasi manusia (constitusion based on human rights ).

Jhon Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya. Kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).22

Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampaui batas wewenang masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system ( sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya

22


(34)

kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.23

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai

fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum yang

lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.24

Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Bentuk dan Jenis Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Menteri.

Setelah Undang-Undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan–Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRS/XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.

23

Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila:

Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiarjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 227.

24

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 41-42.


(35)

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang- Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/kota dan Peraturan Desa.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsenkuensi teori perjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak ada peraturan Perundang-Undangan yang bertentangan dengan UUD. Hans Kelsen mengemukakan norma berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya “ regressus” ini berhenti pada suatu norma yang lebih tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed


(36)

yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Berikut ini adalah gambar piramida

theorie von stufenbau der rechtsordnung: 25

Gambar 1. Piramida

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh azas Undang-undang yaitu:26

1. Undang-Undang tidak berlaku surut.

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Undang- undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum.

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu ( Lex posteriori derogat lex priori).

25

Maria Farida Indrati Soeprapto, IPPU Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), Hal. 38.

26

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 47.


(37)

5. Undang –undang tidak dapat diganggu gugat.

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan maupun pelestarian (asas welvaarstaat) .

7. Undang-undang yang dibawah tidak bertentangan dengan Undang-undang yang diatasnya ( Lex superiore derogat lex infiriore).

2. Konsepsi

a. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah, Menteri, dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.27

b. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala

27


(38)

daerah.28

c. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.29

d. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk daerah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.30

e. Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 31

f. Investasi (Penanaman Modal) adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.32

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

28

Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

29

Pasal 1 angka (11)Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

30

Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

31

Pasal 1 angka (64) Undang-Undang Nomor28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

32


(39)

mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin yang diterjemahkan Bismar Nasution, yang menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.33 Menurut Sunaryati Hartono, Dalam Penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum, teori hukum dan pembentukan asa hukum baru. 34Namun untuk memperkuat data, penulis mempergunakan data empiris sebagai data pendukung, yakni dengan melakukan wawancara kepada informan Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara, khususnya Pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.35

Selain hal itu, penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang sengaja menggambarkan wewenang gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan peraturan daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. Dikatakan bersifat deskrifptif karena penulis berusaha mengetahui dan memaparkan informasi faktual secara objektif dan sistematis.

33

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU,Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

34

.C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), Hal. 12.

35

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat,


(40)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan buku, tulisan ilmiah, dan karya-karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu seperangkat peraturan yang berhubungan dengan

Pemerintahan Daerah dan investasi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan kajian dan analisis para ahli hukum yang bersumber dari berbagai jurnal, buku-buku, hasil-hasil penelitian dan dokumen-dokumen terkait lainnya.

3. Bahan hukum tertier, berupa bahan-bahan yang berfungsi memberikan kejelasan pemahaman terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus-kamus Hukum, Ekonomi, dan Ensiklopedia.

3. Alat Pengumpulan Data a. Studi Dokumen

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan


(41)

sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif-kualitatif untuk samapi pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.36

b. Pedoman Wawancara

Wawancara terhadap Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara. Wawancara ini dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun dengan tujuan penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klarifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

36

Bambang Sungono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.


(42)

BAB II

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA

A. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Beberapa Perundang-Undangan 1. Undang-Undang Dasar 1945

Pengaturan tentang hubungan pusat dan daerah, dituangkan dalam peraturan setingkat undang-undang. Diperlukannya peraturan setingkat undang-undang mengenai pemerintah daerah adalah amanat lebih lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah tersebut diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan:

”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Namun setelah UUD 1945 diamendemen yang berkaitan dengan pemerintahan daerah berubah menjadi tujuh ayat. Ayat (1) menyebutkan ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang selanjutnya pada ayat (1) menyatakan ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Oleh karena terjadi perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 yang selama ini turut serta menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, satu-satunya sumber konstitusional pemerintah daerah adalah Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B. Selain meniadakan kerancuan, penghapusan, penjelasan Pasal 18 sekaligus juga sebagai penataan tatanan


(43)

UUD baik dari sejarah pembuatan penjelasan maupun meniadakan “keganjilan” bahakan “anomali” 37Selain tidak lazim UUD memilik penjelasan, juga selama ini penjelasan dianggap sebagai sumber hukum disamping ketentuan batang tubuh UUD.

Di dalam Pasal 18 A UUD 1945 Perubahan Kedua, hubungan antara Pusat dan Daerah hanya dirumuskan secara garis besar, sehingga belum memberikan kejelasan tentang bagaiman hubungan antara Pusat dan Daerah itu dilaksanakan. Pasal 18A UUD 1945 menyatakan :

1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah;

2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksankan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 setelah diamandemen adanya keharusan dalam menyelenggarakan pemerintahan menerapakan asas desentralisasi. Akan tetapi perintah/amanat untuk melaksanakan otonomi (asas desentralisasi) pada UUD 1945 sebelum diamandemen bersifat umum; dan tidak tegas secara terinci model otonomi yang bagaimana, maka formulasi dan penerapan otonomi pada setiap undang-undang tentang pemerintahan daerah yang pernah ada sejak Indonesia merdeka selalu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah sebagai berikut ini:

37

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat studi Fakultas Hukum UII, 2001), Hal. 7


(44)

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

Pengaturan yang berbeda itu menimbulkan keberatan bukan hanya pada masalah hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga dalam hal timbulnya ketidakseragaman dalam pemerintahan antara satu daerah dengan lainnya. Undang-Undang No.1 Tahun 1945 juga tidak berhasil melaksanakan fungsinya dengan baik maupun terlalu dominannya kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan atas prakarsanya sendiri.

Diakui bahwa pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 dipandang kurang memuaskan karena isi Undang-Undang tersebut sangat sederhana, banyak hal mengenai pemerintahan daerah tidak diatur dalam Undang-Undang tersebut, sehingga pada umumnya peraturan-peraturan dari masa yang lampau masih dijadikan pegangan.

Terlepas dari berbagai kendala tersebut, kontribusi utama dari kehadiran Undang-Undang No.1 Tahun 1945 ini ialah, Undang-Undang ini tidak saja telah meletakkan tiang pancang konstruksi badan legislatif lokal dan hubungan-hubungan legislatif lokal dengan eksekutif lokal di Negara Republik Indonesia, ia juga telah menanamkan tradisi berpemerintahan sendiri alias berotonomi kepada elit lokal kita di daerah-daerah dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri maupun golongan. 38

38

Soetandyo Wignyosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, (Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, 2005), Hal. 71.


(45)

3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah

Untuk menjamin agar kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah tidak disalahgunakan, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap daerah. Bagi propinsi pengawasan dilakukan oleh presiden, sedang bagi tingkat-tingkat daerah lainnya oleh daerah setingkat di atasnya, yaitu propinsi mengawasi kabupaten/kota besar dalam lingkungan wilayahnya, sebaliknya kabupaten/kota besar mengawasi desa/kota kecil yang berada di bawahnya. Bentuknya dapat berupa pengawasan preventif yaitu sebelum putusan dikeluarkan oleh DPRD atau DPD, kepala daerah selaku wakil pemerintahan berhak menahan putusan tersebut bila putusan-putusan tersebut dinilainya bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu, bisa pula dilakukan pengawasan represif, yaitu putusan-putusan yang telah dikeluarkan DPRD atau DPD jika dinilai oleh presiden bagi propinsi dan oleh DPD setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah bertegangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat ditunda atau dibatalkan. 39

Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, sifat dualisme dalam pemerintahan di daerah masih ada. Ada dua hal lain yang dicatat oleh Bagir Manan yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,

39

Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), Hal. 58.


(46)

yaitu, pengisian sistem rumah tangga daerah (asas otonomi) dan keuangan daerah. Karena dua faktor tersebut, maka kecenderungan desentralistik yang dikehendaki oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan sebaliknya, daerah menjadi tergantung pada pusat sehingga terjadi kecenderungan sentralistik.

Sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu:

Pemerintah Daerah terdiri dari 2 (dua) macam yaitu:

a. Pemerintahan Daerah yang bersandar pada hak otonomi, dan b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind

Tentang perbedaan hak otonomi dan hak medebewind adalah sebagai berikut: Pada pembentukan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah in maka pemerintah pusat ditentukan kewajiban pekerjaan mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua macam yaitu:

a.Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan yang diserahkan itu), diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi), dan

b.Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind).

Hak medebewind ini jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja, sekali-kali tidak. Oleh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri. Jadi masih mempunyai hak otonom sekalipun hanya mengenai cara menjalankan, ini benar artinya bagi tiap-tiap daerah.40

40


(47)

Kajian lain terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyimpulkan, bahwa konstruksi desentralisasi politik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini dikatakan “overdosis” alias kebablasan atau terlalu maju, tidak sesuai dengna realitas pertumbuhan pemerintahan kita, ini disebabkan oleh pemikiran liberal yang merasuki perancang undang-undang waktu itu demi menampakkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis sebagai dukungan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pokok-pokok utama dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 adalah untuk menghapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dengan daerah di luar Jawa-Madura. Peraturan ini menuju persamaan cara dalam pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia dan membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin. Termasuk untuk penghapusan dualisme dalam pemerintahan daerah, dan pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyawaratan.41

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Di daerah sendiri, keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 baru terasa seelah pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) diselenggarakan. Di beberapa daerah di Jawa, Sumatera Selatan, dan Kalimantan. DPRD hasil pemilu segera memilih kepala daerah dan membentuk

41


(48)

Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi dalam menjalankan kekuasaannya DPD beserta kepala daerahnya sering jatuh bangun, persis seperti model kabinaet di Pusat, gara-gara dilancarkannya mosi tidak percaya oleh DPRD. Kemelut bertambah pelik, karena di daerah selepas diberlakukannya Undang-Undang ini, terdapat dua nahkoda atau dua pimpinan pemerintahan. Urusan desentralisasi dan medebewind dipimpin oleh DPD/kepala daerah, sedangkan urusan dekonsentrasi/pemerintahan umum ditangani oleh pejabat pamong praja. Dampaknya adalah, efisiensi, efektivitas dan koordinasi tidak berjalan.42

Sebagai Undang-Undang yang berinduk pada UUD Sementara 1950 Pasal 131, maka Undng-Undang No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni “otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. Ini merupakan implikasi dari asas yang terlampau demokratis sehingga menjadi ultra democratis, yang mengandung bahaya membawa perpecahan-perpecahan dalam golongan-golongan masyarakat dan memperlemah hubungan hirarki antara pusat dan daerah. 43

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya, dalam pelaksanaannya apabila dibutuhkan setiap saat urusan pangkal yang menjadi urusan rumah tangga daerah itu dapat ditambah dan dikurangi, sesuai kebutuhan yang didasarkan pada faktor-faktor riil.

42

Soetandyo Wignyosubroto, Pasang Surut Otonomi Daerah,...Op. Cit, Hal. 84-85.

43

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah (Bandung: Alumni, 1978), Hal. 93-94.


(49)

Adapun yang dimaksud dengan sistem otonomi riil menurut Jimmi Mohammad Ibrahim adalah wewenang daerah otonom ini dibatasi secara positif yaitu disebutkan secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya.44

Menurut analisis Moh. Mahfud MD, ada dua alasan yang sangat rasional mengapa Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 harus segera diganti menyusul perpindahan kekuasaan dari partai di parlemen ke tangan Soekarno, yaitu tuntutan konstitusi dan realitas politik. Pertama, dalam logika Soekarno Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tidak sesuai dengan UUD 1945 karena bersendikan demokrasi liberal yang mengandung instabilitas. Karenanya harus diganti dengan Undang-Undang yang bersendikan demokrasi kekeluargaan (gotong royong). UUD 1945 melalui Pasal 18 memberikan garis-garis besar atau prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kedua, dilihat dari sudut politik, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ternyata menyebabkan munculnya fenomena disintegrasi atau penyempalan daerah-daerah terhadap pusat yang mengancam prinsip negara kesatuan. Jadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang merupakan produk sistem politik yang sangat liberal-demokratis telah membawa efek desintegrasi sehingga sebuah kekuatan politik yang otoriter di bawah demokrasi terpimpin segera mencabut dan menggantinya.45

Ketika Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin, masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi aspirasi mereka. Demokrasi Terpimpin sebenarnya merupakan nama lain dari otoritarianisme. Dalam

44

Jimmi Mohammad Ibrahim, Prospek Otonomi Daerah Dalam Rangka Memberi Peranan

Yang Lebih Besar Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. (Semarang: Dahara Prize, 1991), Hal. 54.

45


(50)

kaitannya dengan mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dengan Daerah, pemerintah pada waktu itu menguburkan ide otonomi daerah yang luas, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diganti dengan hanya sebuah “Penetapan Presiden”, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959”.46 Penetapan Presiden merupakan suatu produk hukum baru yang disetarakan dengan Undang-Undang.

5. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah

Penpres No. 6 Tahun 1959 menggariskan kebijaksanaan politik yang ingin mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat. Kepala daerah diberi fungsi rangkap, yaitu sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi, tetapi dalam prakteknya jauh lebih menonjol dekonsentrasinya. Penpres ini dimaksudkan sebagai perubahan atau penyempurnaan terhadap tata pemerintahan daerah yang berlaku sebelumnya, minimal mencakup dua hal. Pertama,

menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi dan pelaksana dan fungsi kepamong prajaan. Kedua, memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah.

Di dalam Pasal 15 ditetapkan bahwa dalam rangka menjalankan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah selaku alat pusat diserahi kewenangan untuk menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya yang bertentangan

46

Syaukani, HR Afan Gaffar dan M. Ryas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,

Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Kerjasama Dengan


(51)

dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Kehadiran Penpres yang memberi kekuasaan besar kepada pemerintah pusat untuk mengatur pemerintah daerah, khususnya kedudukan kepada daerah, merupakan langkah mundur dalam sejarah pembuatan kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Alasannya, pertama, pemilihan kepala daerah yang dilakukan murni oleh DPRD dan direncanakan paling lambat empat tahun ke depan akan ditunaikan langsung oleh rakyat seperti ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, kini pupus sudah. Pemilihan langsung kepala daerah kepada DPRD selaku wakil rakyat diganti menjadi kepada pemerintah pusat. Malahan, kepala daerah sebagai wakil pusat dapat menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD. Ketiga, sekaligus alat daerah memang berguna untuk menghapus dualisme pemerintahan di daerah, tetapi juga berpotensi membuat kepala daerah menjadi sewenang-wenang karena ia menjadi penguasa tunggal.

6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Secara khusus Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 memuat bab khusus tentang pengawasan terhadap daerah, yakni Bab VII mencakup Pasal 78 sampai dengan Pasal 87. Menurut Pasal 78 suatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh pusat atau kepala daerah yang tingkatannya lebih tinggi. Penetapan keputusan yang harus menunggu pengesahan itu diatur dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Jangka waktu pengesahan


(1)

B. Saran

1. Disarankan Mengingat banyaknya kasus perda bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan Peraturan Presiden maka dengan terbitnya Undang-Undang pemerintah daerah dapat melimpahkan kewenangan Presiden dalam Pengendalian Perda kepada Menteri Dalam Negeri untuk Perda Provinsi dan Gubernur untuk Perda Kabupaten/Kota.

2. Diharapkan Perlunya Peningkatan Peranan Biro Hukum dalam rangka pengawasan yaitu dengan menambah sumber daya manusia di Biro Hukum Setda Provsu yaitu para legislative drafter dan para ahli hukum yang hendaknya dibentuk dalam sebuah tim khusus.

3. Disarankan dan diharapkan untuk meminimalisir terbitnya perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi khususnya perda pajak daerah dan retribusi daerah (dalam investasi) yaitu dengan peningkatan pengawasan pusat terhadap seluruh perda Provinsi, Kabupaten/Kota secara berjenjang Kabupaten/Kota ke Provinsi dan Provinsi ke Pemerintah Pusat, sehingga tidak ada peraturan daerah Kabupaten/Kota yang langsung ke Pemerintah Pusat dan sebaiknya Pemerintah Pusat berkoordinasi terlebih dahulu kepada Pemerintah Provinsi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ashiddiqie Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006.

Aji, Firman dan Sirait, S. Martin, Perencanaan Dan Evaluasi (Suatu Sistem Untuk

Proyek Pemabangunan, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Budiarjo, Miriam dan Ambong, Ibrahim, Fungsi Legislatif, Dalam sistem Politik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers Kerjasama Dengan AIPI, 1993.

Budiarjo, Miriam, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Huda, Ni”Matul, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Yogyakarta: FH UII Press, 2007.

Huda, Ni”Matul, Problematika Pembatalan Perda, Yogyakarta: FH UII Press, 2010. Hartono, Sunaryati, C.F.G, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,

Bandung: Alumni, 1994.

Ibrahim, Mohammad, Jimmi, Prospek Otonomi Daerah Dalam rangka Memberi

Peranan Yang Lebih Besar Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, Semarang:

Dahara Prize, 1991.

Joeniarto, R, Perkembangan Pemerintah Lokal, Bandung: Alumni, 1979.

Locke, John, Two Treatise Of Government, London: New Edition, Everyman, 1993. Lubis, .M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

M.S, Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Manan, Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.


(3)

Manar, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi FH UII, 2001.

Murhani, Suriansyah, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, Palangkaraya: Agvenda, 2008.

Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1978 Muslimin, Amrah, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1986. Nasution, Akbar, Faisal, Pemerintah Daerah dan Sumber Pendapatan Asli Daerah,

Jakarta: PT Sofmedia, 2009.

Purbacaraka, Purnadi, dan Soekanto, Soerjono, Ikhtisar Antinomi Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, 1994.

Rasyid, Ryas, M, dan Gaffar, Afan, Syaukani, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pusat Pengkajian Etika dan Politik dan Pemerintahan Kerjasama Dengan Pusat Pelajar, 2002.

Ridwan, Hukum Administrasi di Daerah, Yogyakarta: FH UII Press, 2009.

Ridwan, Juniarto, H dan Sudrajat, Sodik, Achmad, HAN Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa, 2009.

Sabarno, Hari, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Santosa, Pandji, Adinistrasi Publik (Teori dan Aplikasi Good Governance), Bandung: PT Refika Aditama, 2008.

Soedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka

Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Soekanto Soerjono dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Soeprapto, Indrati, Farida,Maria, IPPU Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998.


(4)

Soetjipto, Irawan, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Dan Keputusan Kepala Daerah, Jakarta: PT Bina Aksara, 1983.

Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintah Daerah, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2008. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2001.

Sutedi, Adrian, Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah, Jakarta: Ghalai indonesia, 2008. Syarief, Amiroeddin, Pengantar Ilmu PerUndang-Undangan, Bandung: Mandar

Maju, 1998.

Widjaja, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Wignyosubroto, Soetandyo, dkk, Pasang surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta: Institite For Local Development dan Yayasan Tifa, 2005.

Wirjosoegito, Soenobo, Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.

Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah di Indonesia, Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2002.

B. Makalah, Jurnal Hukum, dan Artikel

Affila, “Reformasi Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”, Jurnal Konstitusi, Volume I Nomor 2, November 2009.

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum disampaikan pada dialog interaktif, Majalah Akreditasi Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Bahar, Ujang, ” Wewenang Pemerintah Daerah Terhadap Pinjaman Yang Sumber Dananya Berasal Dari Luar Negeri”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 Nomor 4, 2007.


(5)

Nazief, Yusrin, Kewenangan Daerah dan Fungsi Aparatur Pemerintah Daerah, Juli, 2007.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Bentuk dan Jenis Peraturan yang Dikeluarkan Pemerintah Pusat.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Dlama Rangka Keterpaduan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

D. Internet

http://www.dipp.depkumham.go.id/index.php, Harmonisasi Peraturan Daerah Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya, diakses tanggal 27 Januari 2010. http://www.google.co.id/#hl=Id&g=revitalisasi=proses+desentralisasi&=ag=f&al=&a

gl=&og=&gs_rfai=&fp=31, Revitalisasi Proses Desentralisasi Dan Otonomi Daerah ,diakses tanggal 28 Januari 2010.

http://www. Legalitas.org, Upaya Preventif Dan Penanganan Perda Bermasalah, diakses tanggal 20 Juni 2010.

http://www.tempo.com, Perda Penghambat Investasi Akan terus Dibabat, diakses tanggal 21 Juni 2010.


(6)

http://www.hukumonline.com, Indonesia Dinilai Masih Sangay Menarik Untuk Investasi, diakses tanggal 25 Juni 2010.

http://www. Ahmadheryawan.com, Timbulkan ekonomi Biaya Tinggi, diakses tanggal 25 Juni 2010.

http://www.depkeu.go.id, Ekonomi Biaya Tinggi, diakses tanggal 26 Juni 2010. http://www.beritadaerah.com, Optimalisasi Pendapatan Asli daerah, diakses tanggal

26 Juni 2010.

http://www.scribd.com, Efektifitas Pemungutan Pajak Daerah dan retribuís Daerah, diakses tanggal 26 Juni 2010.

http://www.depkeu.go.id, Prinsip-Prinsip Umum Perpajakan daerah, diakses tanggal 27 Juni 2010.

http://www.bpkp.go.id/index, Penyempurnaan Peraturan Pajak Daerah Dan Retribusi, diakses tanggal 27 Juni 2010.

http://www.koran-jakarta/berita.detail.php, Regulasi Pajak /Undang-Undang PDRD bersifat “CLose List”, diakses tanggal 27 Juni 2010.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

2 86 112

Pengawasan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

3 97 90

Evaluasi Peraturan Daerah Di Lingkungan Propinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

0 93 208

Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)

2 37 129

Kewenangan Gubernur Dalam Rangka Pembinaan Dan Pengawasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

0 69 174

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004

2 56 119

Kajian Yuridis Pemekaran Wilayah Kecamatan Dikabupaten Bondowoso Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 4 7

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

0 0 20

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 35

Atas Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 32 "tahun

0 0 33