Kondisi Umum Demografi Habitat Pemijahan Ikan Terumbu

2.3. Kondisi Umum Demografi

Terdapat 105 pulau di kepulauan Seribu, tetapi pulau yang dikatakan pulau berpenduduk hanya terdapat di 11 pulau, yaitu Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, Pulau Sebira, Pulau Tidung Besar, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa. Kondisi penduduk di Kepulauan Seribu setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak 19,255 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 19,593 jiwa Estradivari et al., 2009. Pada tahun 2002, mata pencaharian penduduk yang mendominasi di Kepulauan Seribu ialah nelayan 69,36 yang kemudian diikuti oleh mata pencaharian sebagai pedagang 10,39. Jumlah penduduk terbesar yang berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Pari 84,51 diikuti Kelurahan Pulau Panggang. Sedangkan kelurahan yang penduduknya paling sedikit berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Harapan 48,62. Mata pencaharian penduduk yang mendominasi di Kepulauan Seribu menurut data TERANGI tahun 2003-2004 adalah nelayan sebanyak 5.430 orang, yang kemudian diikuti oleh mata pencaharian sebagai petani rumput laut sebanyak 5.238 orang diikuti oleh pekerjaan sebagai swasta sebesar 5.008 orang. 2.4. Ekosistem Terumbu Karang 2.4.1. Definisi Terumbu Karang Terumbu karang coral reefs merupakan kumpulan binatang karang reef corals, yang hidup di dasar perairan yang berupa batuan kapur CaCO 3 dan memiliki kemampuan cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut Supriharyono, 2007. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo MadreporariaScleractenia dengan sedikit tambahan dari alga berkapur serta oragnisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat Dahuri et al., 1996. Menurut Odum 1993, terumbu karang merupakan bagian ekosistem yang dibangun oleh sejumlah biota hewan maupun tumbuhan, yang terus menerus mengikat ion kalsium dan karbonat dari air laut sehingga menghasilkan endapan kapur yang menjadi rangka, kemudian secara keseluruhan tergabung membentuk suatu terumbu atau bangunan dasar kapur. Karang terbagi menjadi dua kelompok yaitu karang pembentuk terumbu hermatipik dan karang yang bukan pembentuk terumbu ahermatipik. Karang hermatipik bersimbiosis dengan zooxanthellae, membutuhkan sinar matahari untuk membangun terumbu yang berasal dari endapan kapur. Karang ahermatipik tidak dapat membangun terumbu sehingga dikenal sebagai non-reef building coral , pada umumnya tidak tergantung sinar matahari Veron, 1996.

2.4.2. Faktor Pembatas Terumbu Karang

Sebaran karang tidak hanya terbatas secara horizontal namun juga terbatas secara vertikal. Pertumbuhan dan kecepatan tumbuh berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Keanekaragaman, penyebaran dan petumbuhan karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik dari faktor alam maupun dari aktifitas manusia. Gangguan yang berasal dari alam berasal dari faktor biologis dan fisik-kimia. Faktor biologis adalah gangguan dari predator Supriharyono, 2007. Faktor fisik-kimia yang mempengaruhi kehidupan danatau laju pertumbuhan karang antara lain : 1. Cahaya Binatang karang bersimbiosis dengan algae zooxanthellae, sebagaimana telah diketahui bahwa algae tersebut melakukan fotosintesis, maka faktor cahaya sangat penting dalam kehidupan terumbu karang. Kompensasi binatang karang dengan cahaya adalah pada intensitas antara 200-700 fc foot candle, pada umumnya 300-500 fc atau 15-20 dari intensitas cahaya di permukaan, dengan kondisi tersebut menyebabkan terumbu karang umumnya tersebar di daerah tropis Kanwisher and Wainwright 1967 in Supriharyono, 2007. Hal ini berkaitan pula dengan faktor kedalaman, penetrasi cahaya dapat mencapai kedalaman yang dalam pada kawasan yang memiliki perairan yang jernih. Secara umum terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 meter Supriharyono, 2007. 2. Kedalaman Distribusi vertikal tergantung dari kedalaman, hal ini berhubungan dengan penetrasi cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh karang, pada sebagian daerah masih maksimal hingga kedalaman 40 meter Nontji, 2005. 3. Suhu Suhu perairan berkaitan erat dengan proses metabolisme karang. Suhu rataan tahunan yang optimal dalam pertumbuhan karang adalah 23-25 o C, namun dalam Supriharyono 2007, suhu yang baik untuk habitat terumbu karang berkisar antara 25-29 o C, dengan toleransi minimum 16-17 o C dan toleransi maksimum 36 o C. 4. Salinitas Salinitas berpengaruh dalam kehidupan karang. Menurut Nontji 2005, kisaran perubahan salinitas yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 27-40 psu, namun juga ditemui terumbu karang yang hidup dengan nilai salinitas 42 psu di kawasan Teluk Persia. Supriharyono 2007, menyatakan bahwa binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas 34-36 psu. 5. Sedimentasi Pengaruh sedimen dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan hewan karang bila ukurannya terlalu besar sehingga menutupi polip karang Supriharyono, 2007. Pengaruh tidak langsungnya adalah berkurangnya intensitas cahaya sehingga menghambat laju fotosintesis. 6. Oksigen terlarut Oksigen terlarut dapat mempengaruhi kehidupan karang, nilai optimum yang dibutuhkan untuk metabolism di perairan terumbu karang adalah 4,0 mg l atau 80 saturasi Clark, 1996. 7. Kandungan nutrien Ekosistem terumbu karang merupakan kawasan yang minim unsur hara, masukan nutrien yang berlebihan dapat meningkatkan pertumbuhan alga sehingga terjadi kelimpahan yang berlebihan, hal ini dapat menghambat pertumbuhan karang karena terjadi kompetisi ruang Effendi, 2003. Bila hal ini berlangsung dalam waktu yang lama akan menyebabkan kematian pada terumbu karang di kawasan tersebut karena alga umumnya cenderung lebih cepat laju pertumbuhannya daripada terumbu karang. 8. Arus dan substrat dasar Pertumbuhan dari terumbu karang menurut Sukarno 1983, dipengaruhi juga oleh arus dalam laut dan substrat dasar perairan. Arus diperlukan karang terutama untuk menyuplai makanan berupa mikroplankton, juga membersihkan permukaan karang dari endapan material tersuspensi Dahuri, 2003. Menurut Rachmawati 2001, kecepatan arus dan turbulensi mempengaruhi morfologi dan komposisi taksonomi karang terumbu.

2.4.3. Rugositas Terumbu Karang

Rugositas merupakan suatu bentuk pengukuran sederhana yang biasa digunakan untuk menggambarkan kekasaran atau bentuk permukaan dasar perairan Magno dan Villanoy, 2006, dalam ekologi kelautan rugositas menggambarkan kerutan atau kekasaran dari bentuk terumbu karang. Rugositas memiliki beberapa sebutan lain, yaitu kompleksitas habitat, kompleksitas topografi, dan kemajemukan substrat Beck, 1998. Menurut perkembangan dalam dunia kelautan saat ini, rugositas sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies Gratwicke dan Speight, 2005. Kekasaran bentuk permukaan dasar termasuk parameter ekologi yang penting Friedlander dan Parrish, 1998. Area yang memiliki kemajemukan habitat makin tinggi, lebih disukai oleh ikan terumbu dan lebih memiliki tempat untuk tumbuh bagi alga, terumbu karang dan biota bentik yang lain Rooney, 1993 ; Mumby, 2006. Rugositas juga berhubungan dengan karakteristik dari komunitas ikan, penutupan terumbu karang, jenis gangguan yang dialami suatu lokasi dan penyerapan nutrient Kuffner et al., 2007 ; Anderson dan Precht, 1995 ; Cooper et al., 2009

2.5. Pemijahan Ikan Terumbu

Berkembang biak merupakan salah satu ciri dari makhluk hidup. Ikan pada umumnya melakukan proses perkembangbiakan dengan cara memijah. Pada beberapa spesies ikan, proses pemijahan ini dilakukan dengan cara beramai- ramaimasal.

2.5.1. Klasifikasi Ikan Terumbu

Setiap individu ikan yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang dikenal dengan istilah ikan terumbu Choat dan Bellwood, 1991. Ikan tersebut menghabiskan masa hidupnya, dari fase juvenil sampai dewasa di kawasan terumbu karang. Habitat terumbu karang yang kaya dan bervariasi sangat bermanfaat untuk kehidupan ikan-ikan tersebut Wheeler, 1975. Asosiasi ini dapat terjadi karena ekosistem terumbu karang kaya akan bahan makanan, selain itu bentuk-bentuk pertumbuhan karang digunakan sebagai tempat perlindungan dari predator yang ada. Keberadaan ikan di dalam kawasan ekosistem terumbu karang sangat di pengaruhi oleh tingkat kesehatan terumbu karang yang ada, selain itu kerumitan bentuk substrat landai, tebing, dan terdapat goa-goa serta jenis substrat pasir, lumpur, dan batu juga berpengaruh pada keberadaan ikan terumbu di kawasan tersebut Hutomo, 1986. Kelompok ikan terumbu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok ikan yang kadang-kadang berada di daerah terumbu karang contoh : family Scrombidae, Mytophidae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan hiu dan kelompok ikan yang menggantungkan seluruh hidupnya pada ekosistem terumbu karang contoh : family Pomacentridae. Sale 2002, mengelompokkan ikan terumbu menjadi tiga kelompok famili utama berdasarkan keeratan hubungannya dengan terumbu karang, yaitu: Labroid : Labridae wrasses, Scaridae parrotfish, dan Pomacentridae damselfish; Acanthuroid: Acanthuridae surgeonfishes, Siganidae rabbitfishes, Zanclidae mooris idol, dan; Chaetodontid: Chaetodontidae butterflyfishes dan Pomacanthidae angelfish. 2.5.2. Definisi Pemijahan Pemijahan merupakan proses alami yang dilakukan tiap makhluk hidup dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya. Proses pemijahan pada ikan belangsung dengan pelepasan sel telur oleh betinayang kemudian diikuti dengan penyemprotan sel sperma oleh pejantan. Agregasi adalah kondisi berkumpulnya satu spesies dalam jumlah yang sangat banyak untuk tujuan tetentu, salah satunya adalah untuk memijah. Agregasi pemijahan merupakan suatu fenomena di mana ikan dari suatu kelompok spesies yang sama berkumpul dengan tujuan bereproduksi dalam jumlah yang tinggi Colin et al., 2003. Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab terjadinya pemijahan agregasi antara lain : memungkinkan ikan menemukan pasangan dan menyamakan kesiapan fisiologis untuk memijah, serta meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari serangan predator Russel, 2001.

2.5.3. Ciri-ciri dan Tipe Pemijahan Agregasi

Terdapat beberapa tanda yang dapat diperhatikan dalam memperkirakan terjadinya pemijahan agregasi. Menurut Muljadi et al. 2001 selain bertambahnya jumlah ikan dalam suatu lokasi, terdapat beberapa perilaku yang merupakan ciri-ciri dari terjadinya pemijahan agregasi, yaitu : 1. Adanya kumpulan kelompok kecil ikan yang bermigrasi menuju ke satu wilayah terumbu tertentu. 2. Terkadang dijumpai agresi antara ikan jantan dengan jantan yang lain. 3. Perubahan warna yang tidak dijumpai pada waktu atau lokasi lain khusus untuk sejumlah spesies tertentu. 4. Luka gigitan yang masih segar pada tubuh ikan 5. Perut betina bunting sehingga terlihat bengkak. 6. Ikan terlihat berenang atau merapat di substrat secara berpasangan. 7. Ikan bermanuver untuk melepaskan gametnya. Menurut Domeier et al., 2002 pemijahan agregasi terbagi menjadi 2 tipe, yaitu: 1. Resident spawning aggregation agregasi menetap. Tipe pemijahan ini berlangsung singkat 1-2 jam. Waktu terjadinya spesifik dalam satu hari dari beberapa hari, dapat berlangsung sepanjang tahun, serta terdapat migrasi singkat ke lokasi pemijahan yang biasanya berukuran kecil dan terletak tidak jauh dari habitat ikan. 2. Transient spawning aggregation agregasi sementara. Tipe pemijahan ini berlangsung selama beberapa hari atau minggu, terjadi pada beberapa bulan dalam 1 tahun, dipengaruhi oleh fase bulan. Berlangsung tidak sepanjang tahun serta melibatkan migrasi yang panjang menuju lokasi pemijahan yang berukuran besar 10-100 km.

2.6. Habitat Pemijahan Ikan Terumbu

Menurut Russel 2001, terdapat hubungan antara pemijahan dengan fase bulan. Fase bulan mempengaruhi keadaan arus pasang surut, hal ini berhubungan dengan penyebaran larva ikan. Arus yang kencang memungkinkan larva lansung terbawa ke laut terbuka, sehingga terhindar dari predator serta tingkat bertahan hidupnya meningkat. Tempat pemijahan memiliki karakteristik arus yang kuat yang bergerak menjauhi terumbu karang. Menurut Heyman et al. 2004, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi pemijahan agregasi, yaitu suhu, kecepatan arus dan arah arus. Suhu yang diamati adalah suhu udara, permukaan, dan lokasi pemijahan. Suhu menjadi faktor penting karena pada pemijahan spesies tertentu sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan. Kecepatan dan arah arus berpengaruh langsung pada penentuan penyebaran larva ikan. Yayasan Taka 2003 menyebutkan bahwa lokasi pemijahan biasanya berupa lokasi yang berada pada terumbu karang yang berbentuk semenanjungmenjorok ke laut lepas. Bentuk topografi dasar perairan juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi. Ketersediaan gua dan celah karang memungkinkan betina untuk bersembunyi setelah pemijahan, sebab setelah proses pemijahan ikan menjadi sangat rentan baik terhadap predator maupun penangkapan berlebih oleh manusia. Proses pemijahan membuat ikan tersebut melemah, sehingga sangat memerlukan tempat untuk berlindung. 16

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai pada bulan Oktober 2010 hingga bulan Juni 2011. Waktu pengambilan data disesuaikan dengan fase lunar, yaitu pada bulan gelap barumati, peralihan, dan terang purnama. Stasiun penelitian tersebar di perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Air, Karang Lebar, Karang Congkak, dan Pulau Payung Gambar 1.

3.2. Alat dan Bahan

Tabel 1. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian No Alat Bahan Kegunaan 1 Alat Selam SCUBA Untuk pengamatan dan pengambilan data 2 Senter selam Untuk pengamatan 3 Roll meter dan rantai Acuan transek garis 4 Underwater camera Dokumentasi 5 Sabak dan alat tulis Untuk mencatat data 6 Tali Pengambilan data 7 GPS Untuk menetapkan referensigeografis 8 Kapal motor Transportasi