Indeks Mortalitas Karang dan Indeks Rugositas

Melihat Gambar 13 dan 14, dapat diketahui bahwa pada kedalaman 3 meter, penutupan substrat di dominasi oleh kategori HC dan Abiotik, sedangkan pada kedalaman 8 meter didominasi oleh kategori Abiotik. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman 8 meter mengalami tekanan ekologis yang lebih tinggi daripada kedalaman 3 meter. Tekanan ekologis dapat berasal dari perbuatan manusia maupun dari faktor pembatas alami kehidupan terumbu karang Hughes et al., 2003. Kerusakan akibat perbuatan manusia dapat berasal dari kegiatan perikanan tangkap seperti nelayan muroami. Ikan dengan ukuran yang lebih besar cenderung berada di kedalaman yang lebih dalam, terutama ikan-ikan yang tergolong dalam kelompok ikan target. Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan penangkapan menggunakan metode muroami lebih sering berada pada kedalaman yang lebih dalam Chabanet et al., 2005. Faktor pembatas alami seperti intensitas cahaya, arus dan salinitas juga sangat mempengaruhi kondisi terumbu karang. Kedalaman yang lebih dalam cenderung mendapat intensitas cahaya yang semakin kecil dibandingkan dengan kedalaman yang lebih dangkal. Menurut Veron 2010, keanekaragaman hayati terumbu karang dipengaruhi oleh kondisi habitat dan lingkungannya. Kondisi lingkungan yang mengatur keanakaragaman hayati terumbu karang adalah suhu perairan, salinitas, pergerakan gelombang, arus, dan sedimentasi Veron, 2000. Kondisi lingkungan tersebut biasanya dipengaruhi oleh jarak dengan masukan air tawar ataupun mulut sungai terdekat.

4.2.2. Indeks Mortalitas Karang dan Indeks Rugositas

Kondisi habitat pada lokasi penelitian dijelaskan juga melalui indeks mortalitaskematian karang. Indeks ini menunjukkan seberapa besar perubahan yang terjadi pada karang hidup. Semakin tinggi nilai indeks mortalitas pada suatu lokasi dapat diartikan semakin tingginya kematian karang pada lokasi tersebut, selain itu juga berarti tekanan ekologis yang terjadi di lokasi itu sangat tinggi sehingga menimbulkan kematian karang. Indeks Rugositas digunakan untuk mengetahui pola kontur dasar yang ada pada suatu lokasi. Semakin tinggi nilai rugositas nilai rugositas mendekati 1, maka kontur kawasan terumbu tergolong datar atau rata. Bila dasar terumbu bersifat datar, maka hanya sedikit ditemukan celah yang menjadi tempat berlindung ikan yang menunggu masa pemijahan berlangsung. Hal ini berpotensi mengurangi populasi dan jumlah jenis ikan, maupun biota makrobenthos lain di suatu ekosistem terumbu karang. Secara lebih spesifik, celah, liang, dan gua yang terbentuk di dasar terumbu seringkali dimanfaatkan oleh ikan terumbu betina sebagai tempat berlindung dari predator sebelum pemijahan berlangsung. Gambar 15 menunjukkan indeks kematian karang dan rugositas pada kedalaman 3 meter. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa kontur substrat terumbu di seluruh lokasi penelitian cenderung datar nilai indeks rugositas mendekati 1 yang berarti tak banyak ditemui celah atau liang yang biasa dimanfaatkan ikan terumbu sebagai tempat perlindungan. Gambar 15 juga menjelaskan bahwa di lokasi penelitian PAY tidak terdapat perubahan yang signifikan untuk tingkat kematian karang, sedangkan di AIR dan KCK kematian karang yang terjadi paling tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung Gambar 15. Indeks mortalitas karang dan rugositas pada kedalaman 3 meter Tingkat kematian karang pada kedalaman 8 meter yang tergambar dalam Gambar 16 menunjukkan tingkat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Pada kedalaman 8 meter indeks kematian karang paling tinggi terdapat di lokasi penelitian APL dan UPR dengan nilai indeks mortalitas karang sebesar 0,96. Nilai tersebut bila dibandingkan dengan lokasi yang sama pada kedalaman 3 meter tampak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan pada lokasi ini tingkat kematian karang keras pada kedalaman 8 meter lebih tinggi dari pada kedalaman 3 meter. Lain halnya dengan lokasi penelitian di kawasan AIR, pada lokasi ini kematian karang yang lebih tinggi terjadi pada kedalaman 3 meter. SPG BPG TPG APL KBL TJP UPR AIR KCK PAY rugositas 0.75 0.71 0.78 0.79 0.83 0.77 0.75 0.84 0.85 0.68 imk 0.45 0.45 0.77 0.78 0.53 0.48 0.81 0.78 0.62 0.39 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Keterangan: SPG= Selatan Panggang; TJP= Tanjung Penyu; BPG= Barat Panggang; UPR= Utara Pramuka; TPG=Timur Panggang; AIR= Pulau Air; APL= Area Perlindungan Laut Kelurahan Pulau Panggang; KCK= Karang Congkak; KBL= Karang Balik Layar; PAY= Pulau Payung Gambar 16. Indeks mortalitas karang dan rugositas pada kedalaman 8 meter Nilai rugositas pada kedalaman 3 meter, secara umum menunjukkan kondisi topografi yang cenderung lebih landai dibandingkan dengan kedalaman 8 meter. Gambar 16 menunjukkan bahwa habitat yang lebih memungkinkan sebagai tempat pemijahan terletak di lokasi penelitian APL dan KBL. Nilai rugositas pada kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa di tempat tersebut paling banyak ditemukan celah-celah dan gua-gua yang menjadi tempat perlindungan bagi ikan. Habitat pesisir khususnya yang telah diekspose dan dieksploitasi, rentan terhadap berbagai gangguan dari alam dan manusia. Gangguan dari alam yaitu, badai tropis dan gelombang yang besar, paparan pasang surut, fluktuasi suhu, masukan air dari darat, serta berbagai macam penyakit yang bervariasi intensitas dan frekuensiny Connel et al., 1997. Manusia menyebabkan gangguan fisik yang cukup banyak. Beberapa contohya adalah eksploitasi berlebih biota-biota SPG BPG TPG APL KBL TJP UPR AIR KCK PAY rugositas 0.79 0.61 0.65 0.56 0.49 0.8 0.88 0.76 0.68 0.68 imk 0.69 0.78 0.75 0.96 0.65 0.66 0.96 0.78 0.80 0.39 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 yang berada dalam terumbu karang, penambangan batu karang dan pengerukan, kegiatan penangkapan ikan yang merusak Chabanet et al., 2005, serta kegiatan pariwisata Zakai dan Chadwick-Furman, 2002; Chabanet et al., 2005; Fox dan Caldwell, 2006. Kedua gangguan tersebut menghasilkan efek yang sama pada ekosistem terumbu karang Fox dan Caldwell, 2006. Pengamatan yang dilakukan pada 10 lokasi potensial pemijahan menemukan bahwa seluruh lokasi pengamatan merupakan lokasi yang telah diekspose dan dieksploitasi, baik sebagai titik tujuan penyelaman utama bagi turis yang menginap di kawasan Pulau Pramuka, dan juga sebagai lokasi penangkapan ikan penting bagi nelayan sekitar. Terdapat 3 lokasi yang menjadi titik penyelaman favorit bagi para wisatawan, yaitu area Pulau Air, Pulau Panggang bagian barat dan selatan, serta kawasan APL. Area potensial pemijahan ikan terumbu di Pulau Panggang, Karang Lebar, dan APL zona pemanfaatan merupakan wilayah penangkapan ikan yang produktif menurut nelayan setempat. Banyak ditemukan keramba di area-area tersebut juga menguatkan bahwa lokasi- lokasi potensial pemijahan ikan terumbu yang diamati merupakan area yang telah terekspose dan tereksploitasi. Hasil pengamatan kondisi substrat yang disajikan dalam subbab ini menunjukkan hanya terdapat satu lokasi BPG yang memiliki kondisi karang baik menurut klasifikasi Gomez dan Yap 1988. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat gangguantekanan di area-area tersebut sehingga tidak dapat mencapat kondisi yang optimum atau memiliki penutupan karang yang tergolong baik. Gangguantekanan ekologis yang terjadi dapat bersifat akut atau kronis Connell, 1997. Gangguan akut adalah gangguan tunggal yang secara langsung mempengaruhi lingkungan dengan sifat sementara, sedangkan gangguan kronis adalah gangguan jangka panjang. Jika serangkaian gangguan akut pada suatu lingkungan terjadi begitu sering dan hanya terdapat waktu yang singkat untuk pulih, maka akan dinggolongkan sebagai suatu gangguan kronis. Penangkapan berlebih dan kegiatan pariwisata yang merusak merupakan cotoh dari gangguan yang telah bersifat kronis. Hal ini dapat disimpulkan dari jumlah penduduk Kepulauan Seribu yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dengan titik penangkapan ikan yang sama, serta dari tingginya jumlah wisatawan yang datang tiap minggu. Distribusi dan kelimpahan ikan memiliki korelasi positif dengan distribusi dan kelimpahan karang hidup. Kesehatan hewan karang akan berkurang bila terjadi peningkatan tekanan ekologis pada kawasan hidupnya Fuad, 2010. Hal tersebut dikarenakan hewan karang merupakan biota yang tidak bergerak sessile, sehingga tidak dapat menghindari perubahan kondisi lingkungan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Berbeda halnya dengan biota lain yang dapat bergerak seperti ikan yang dapat berpindah mencari lokasi yang lebih baik. Choat dan Bellwood 1991 mengatakan terdapat ada tiga bentuk umum interaksi yang terjadi antara ikan terumbu dan terumbu karang, yaitu : 1. Interaksi langsung, yakni sebagai tempat predator atau pemangsa, terutama bagi ikan-ikan muda 2. Interaksi dalam mencari makan, mencakup hubungan antara ikan terumbu dan biota yang hidup pada karang termasuk alga 3. Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur dan kondisi hidrologi dan sedimen. Kerapatan penutupan karang keras akan berdampak pada makin banyak polip karang yang hidup Fuad, 2010. Hal ini berpengaruh pada densitas ikan yang ada di kawasan tersebut terutama ikan-ikan herbivor. Semakin banyak jumlah ikan herbivor yang ada juga akan berpengaruh pada densitas ikan karnivora yang ada di kawasan tersebut, maka dari itu interaksi ikan terumbu dan terumbu karang dapat dikatakan cukup erat Mumby, 2006.

4.3. Ekotipologi Habitat Pemijahan