Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning (Caesio cuning) dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu:

(1)

PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI KEPULAUAN SERIBU

RAIMUNDUS NGGAJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2009

Raimundus Nggajo NIM. C252070344


(3)

RAIMUNDUS NGGAJO. The Relationships between Yellow Tail Fusilier Fish Resources (Caesio cuning) and Habitat Characteristics of Coral Reefs Ecosystem in Seribu Islands. Under direction of YUSLI WARDIATNO and NEVIATY P. ZAMANI.

Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is one of the reef fish species as fishing target that associated with coral reefs in the Seribu Islands water. The purpose of this research is to determine the yellow tail fusilier fish resources condition and coral reef ecosystems and to assess yellow tail fusilier fish resources linkage with habitat characteristics. The research was conducted at Pramuka Island, Panggang Island, Belanda Island and Kayu Angin Bira Island at Seribu Islands District from April to June 2009. Each island was taken as many as two points in the fishermen catchment area. To see the percentage of benthic substrate cover, life-form and the number of coral genera square transect method, the results are analyzed using the Coral Point Count with Excell extension (CPCe) version 3.6 program. To see an abundance of yellow tail fusilier fish resources using Underwater Visual Census and to know biological condition of yellow tail fusilier fish, samples were taken from fishermen catches in the research locations. Interconnection yellow tail fusilier fish resources with habitat characteristics can be shown by benthic substrate grouping using cluster analysis methods. The result of this research showed the condition of coral reef ecosystems have 32.27% life-form cover. The condition of yellow tail fusilier fish resources growth was predicted have become over fishing, with the growth pattern was alometric and was dominated by immature fish. Yellow tail fusilier fish resource linkage habitat characteristics were characterized by the presence of encrusting coral, acropora digitate, submassive coral, dead coral with algae, soft coral and sand. The recommendation of management activities are: (1) rehabilitating habitat with encrusting coral, acropora digitate and submassive coral transplant programs that characterize the existence of yellow tail fusilier fish. (2) regulating caching effort and determining of suitable mess size.

Keywords : Ecosystem of coral reefs, yellow tail fusilier fish, habitat linkage, Seribu Islands


(4)

RAIMUNDUS NGGAJO. Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan YUSLI WARDIATNO dan NEVIATY P. ZAMANI.

Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan salah satu jenis ikan karang yang menjadi target penangkapan di perairan Kepulauan Seribu. Habitat ikan ekor kuning adalah di perairan pantai karang, perairan karang dengan suhu perairan lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan dapat ditemukan di perairan Kepulauan Seribu.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sumberdaya ikan ekor kuning dan ekosistem terumbu karang serta mengkaji keterkaitan sumber daya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Seribu dari bulan April-Juni 2009. Lokasi pengamatan adalah di Pulau Pramuka (Timur Pramuka dan Utara Pramuka), Pulau Panggang (Barat Panggang dan Selatan Panggang), Pulau Belanda (Utara Belanda dan Selatan Belanda) dan Pulau Kayu Angin Bira (Timur Kayu Angin Bira dan Barat Kayu Angin Bira). Dasar penentuan titik stasiun pengamatan di setiap pulau berdasarkan pada lokasi tangkapan nelayan pada daerah terumbu karang.

Pengambilan data untuk persentase tutupan substrat bentik menggunakan metode transek kuadrat, dan dianalisa menggunakan program Coral Point Count with Excell extension (CPCe). Untuk data kelimpahan sumberdaya ikan ekor kuning menggunakan Underwater Visual Cencus, sedangkan untuk data kondisi biologi ikan ekor kuning menggunakan sampel dari hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian pada bulan Mei 2009. Analisis yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat menggunakan cluster analysisberdasarkan pengelompokan substrat bentik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang mempunyai penutupan lifeform 32.27%, sehingga berada pada kategori sedang. Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over fishing. Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang belum matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan). Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat dicirikan dengan keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD), coral submassive (CS),dead coral with algae (DCA),karang lunak (SC) dan pasir (S).

Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1) rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning pada daerah yang rusak. (2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring.


(5)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG

DI KEPULAUAN SERIBU

RAIMUNDUS NGGAJO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

di Kepulauan Seribu

Nama : Raimundus Nggajo

NIM : C 252 070 344

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan April-Maret 2009 ini ialah dengan judul “Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Zairion, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah membantu selama masa studi penulis di SPL-IPB. Rasa hormat tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K, DKP beserta seluruh staf, yang telah memberikan kesempatan dan mendorong saya untuk melanjutkan studi ini, serta ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Direktur COREMAP II beserta seluruh staf atas beasiswa yang diberikan. Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman SPL-SANDWICH CORMEP II Angkatan I atas kebersamaan selama masa studi baik di Bogor maupun di Xiamen-China. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman di Yasmin V (Bang Wan, Pak Dokter, brur Budi dan Febry) dan Tim 1000 (brur Jimy, Dedy, Amer dan Jae) serta Harlym dan Tiny yang telah membantu dan mendukung sejak pelaksanaan penelitian sampai terselesainya penulisan tesis ini.

Ungkapan terima kasih dan rasa cinta juga disampaikan kepada ayahanda Donatus Mere (Alm), ibunda Helena Wea (Almh), Bapak Andreas Sinyo Langoday, Mama Maria Afonsa Teren, istri tercinta Maria Filomena Langoday dan anak AS. Mariano Nggajo Mere serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilimiah ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2009 Penulis


(10)

Penulis dilahirkan di Kekakodo, Flores, NTT pada tanggal 7 Januari 1972, putra ke delapan dari delapan bersaudara dari pasangan yang berbahagia Ayahanda Donatus Mere (Alm) dan Ibunda Helena Wea (Almh). Menempuh pendidikan dasar di Bengga Flores NTT, pendidikan menengah di Kupang NTT, dan pendidikan diploma (D3) Akademi Teknologi Industri Makasar di Ujung Pandang Sulawesi Selatan.Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik Industri Universitas Sahid Jakarta Tahun 2005 dan pada Tahun 2007 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Program COREMAP II Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Penulis menikah di Kupang pada Tahun 2007 dengan Maria Filomena Langoday dan dikarunia seorang Putra bernama Andreas Sinyo Mariano Nggajo Mere. Tahun 1999 – 2002 bekerja sebagai staf di Dinas Pertambangan dan Energi Pemda Propinsi NTT di Kupang, Tahun 2002 – 2005 bekerja sebagai staf pada Kantor Perwakilan Pemda NTT di Jakarta dan sejak Tahun 2005 sampai saat ini sebagai staf pada Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K DKP RI di Jakarta.


(11)

x

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 3

1.4 Kerangka Penelitian... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Parameter Lingkungan... 6

2.2 Ekosistem Terumbu Karang ... 7

2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang ... 10

2.4 Sumberdaya Ikan Karang ... 10

2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning ... 12

2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning ... 13

2.7 Pertumbuhan... 14

2.8 Hubungan Panjang-Berat... 14

2.9 Makanan Ikan ... 16

2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ... 17

2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang ... 19

2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang ... 20

3 METODOLOGI PENELITIAN... 22

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 22

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 22

3.3 Metode Pengambilan Data... 24

3.3.1 Penentuan titik stasiun ... 24

3.3.2 Parameter lingkungan... 24

3.3.3 Kondisi terumbu karang... 24

3.3.4 Sumberdaya ikan ekor kuning... 27

3.3.4.1 Kelimpahan ikan ... 27

3.3.4.2 Kondisi biometeri... 28

3.3.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ... 28

3.3.4.4 Jenis makanan ... 28

3.4 Analisis Data ... 29

3.4.1 Persentase tutupan substrat bentik ekosistem terumbu karang... 29

3.4.2 Ikan ekor kuning ... 29

3.4.2.1 Kelimpahan ikan ... 29


(12)

xi

3.4.3 Pengelompokan habitat ... 32

3.4.4 Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat ... 32

3.4.5 Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning secara terpadu... 33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 34

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan... 36

4.3 Komposisi Substrat Bentik Ekosistem Terumbu Karang ... 40

4.4 Sumberdaya Ikan Ekor Kuning ... 47

4.4.1 Kelimpahan ikan ... 47

4.4.2 Kondisi biometrik ... 48

3.4.2.4 Struktur populasi ... 48

3.4.2.4 Pola pertumbuhan ... 49

4.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ... 51

4.4.4 Jenis makanan ... 53

4.5 Pengelompokan Habitat Berdasarkan Substrat Bentik... 55

4.6 Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning dengan Karakteristik Habitat... 56

4.7 Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning ... 59

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Simpulan... 62

5.2 Saran ... 62

` DAFTAR PUSTAKA ... 63


(13)

xii

Halaman

1. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian... 22

2. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ... 26

3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang... ... 29

4. Klasipikasi kematangan gonad ikan laut... 31

5. Nilai kondisi lingkungan perairan... 36

6. Kelimpahan ikan ekor kuning ... 47

7. Sebaran frekuensi panjang ... 49

8. Sebaran frekuensi berat ... 49


(14)

xiii

Halaman 1. Diagram alir kerangka piker pengelolaan terumbu karang dan

ikan ekor kuning ... 5

2. Ikan ekor kuning ... 12

3. Peta lokasi penelitian ... 23

4. Metode pengamatan terumbu karang dan posisi transek untuk pengamatan terumbu karang ... 25

5. Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang ... 25

6. Metode sensus visual bawah air ikan karang ... 27

7. Persentase tutupan kelompok substrat bentik ... 41

8. Persentase tutupan kelompok karang keras... 41

9. Persentase tutupan kelompok Abiotik... 42

10. Persentase tutupan karang mati beralga dan karang mati ... 43

11. Persentase tutupan komponen penyusunlifeform Acropora... 45

12. Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Non Acropora... 45

13. Rata-rata persen tutupanlifeform... 46

14. Hubungan panjang berat ikan ekor kuning ... 50

15. Persentase jenis makanan dalam isi lambung ikan ekor kuning kuning ... 53

16. Regresi keterkaitan planktonk dengan kelimpahan ikan... 54


(15)

xiv

Halaman 1. Koordinat stasiun penelitian... 71 2. Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik

di lokasi penelitian ... 72 3. Persentase tutupan keanekaragamangenusdanlifeform di lokasi

penelitian... 73 4. Data kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan

jumlah spesies ikan karang ... 74 5. Data panjang, berat, TKG dan jenis kelamin ikan ekor... ... 81 6. Regresi hubungan panjang berat ... 82 7. Jumlah induvidu dan persentase jenis makanan dalam isi

lambung ikan ekor kuning ... 83 8. Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan... 84 9. Data ciri dari masing - masing kelompok berdasarkan klaster


(16)

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem kompleks dengan keanekaragaman hayati tinggi, ditemukan di perairan dangkal di seluruh wilayah tropis, mempunyai fungsi dan manfaat serta arti yang amat penting bagi kehidupan manusia baik fungsi ekologi yaitu sebagai tempat tinggal, berkembang biak, mencari makan dan tempat berlindung bagi ribuan jenis ikan, hewan dan biota laut lainnya, maupun fungsi ekonomi dan sebagai penunjang kegiatan pariwisata yaitu merupakan sumber perikanan yang tinggi.

Menurut Bengen (2002), terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota, seperti : (1) beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut); (2) beraneka ragam ikan: 50-70% ikan karnivora oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan penyu laut; dan (4) ganggang dan rumput laut, yaitu: alga hijau berkapur, alga koralin dan lamun.

Ikan karang merupakan organisme dengan jumlah terbanyak dan merupakan organisme besar yang mencolok pada daerah terumbu karang. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1988). Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hutomo 1986).

Chabanet et al. (1997), menyatakan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap. Menurut Allen (1999), kelimpahan sumberdaya ikan karang pada suatu lokasi disebabkan karena tersedianya habitat yang sangat bervariasi di ekosistem terumbu karang.


(17)

Bentuk dan variasi karang dan tempat berlindung lainnya terkombinasi menjadi habitat-habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh ikan dengan karakteristik yang berbeda pula

Coat dan Bellwood (1991) dalam Bawole (1998), menyatakan bahwa interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.

Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998) lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu Caesionidae, Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae, Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh family tersebut, Caesionidae seperti ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara komersial.

Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting. Salah satu jenis ikan karang yang dominan dan menjadi yang target penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Data BPS (2008) hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada tahun 2003 sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 sebanyak 673 ton. Berdasarkan data tersebut hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Peningkatan hasil tangkapan tersebut didukung oleh peningkatan upaya penengkapan yaitu 70 unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing) sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumberdaya itu sendiri.

Estradivari et al. (2007) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang mengalami penurunan, persentase penutupan karang keras adalah 33.2% tahun


(18)

2005 (kondisi sedang). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih. Jenis alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu antara lain adalah bubu dan jaring muroami (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007). Penyebaran alat tangkap tersebut terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kekayaan terumbu karang yang tinggi.

Menurut Randal et al. (1990), habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir. Informasi mengenai karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai keterkaitan sumbedaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem di Kepulauan Seribu.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah :

1. Degradasi ekosistem terumbu karang

2. Menurunnya kelimpahan sumberdaya ikan ekor kuning

3. Belum adanya kajian mengenai keterkaitan antara sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mendiskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang. 2. Mendiskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning.

3. Menganalisis keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.


(19)

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengelolaan eksistem terumbu karang dan ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu dan berkelanjutan.

1.4 Kerangka Penelitian

Dasar pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini adalah secara ekologis adanya potensi ekosisitem terumbu karang yang merupakan tempat hidupnya beranekaragam biota laut seperti ikan karang. Menurut Supriharyono (2000), tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termasuk ikan ekor kuning.

Terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari yang lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan karang sesuai kesukaannya.

Berdasarkan pada peran dan manfaat terumbu karang tersebut maka kerangka penelitian untuk melihat keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitatnya dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut dan ditunjukkan pada Gambar 1.

(a) Mengukur parameter lingkungan yang terdiri dari parameter fisika, kimia dan biologi berupa kedalaman, kemiringan, suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, pH, nitrat, phospat, kekeruhan dan kelimpahaan plankton.

(b) Mendeskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan kelimpahan, polah pertumbuhan (biometri) dan kondisi biologi (TKG).

(c) Mendeskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan life formdan persentase tutupan substrat bentik.

(d) Melakukan klaster habitat berdasarkan persentase tutupan substrat bentik.


(20)

(e) Menganalisis keterkaitan antara sumberdaya Ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat (kondisi ekosistem terumbu karang).

(f) Merumuskan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu dan berkelanjutan.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir penelitian Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya Ikan Ekor Kuning

(Casio cuning)

Habitat Terumbu Karang

Kualitas Perairan

Deskripsi Kelimpahan, Biometri dan TKG

Bentuk dan Persentase tutupan Substrat Bentik

Parameter Lingkungan (Fisika,

Kimia dan Biologi)

Klaster Habitat

Analisis Keterkaitan antara Karakteristik Habitat dengan Kelimpahan Sumberdaya Ikan

Ekor Kuning

Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan Ekor Kuning(Casio cuning)


(21)

2.1 Parameter Lingkungan

Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan perairan tersebut. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol komposisi komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi, salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting (Veron 1986)

Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya gelombang yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya pengadukkan di dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga dapat mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Selain itu, lingkungan biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski 2001).

Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 f.c (atau umumnya terletak pada kisaran 300–500 f.c). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut adalah 2500–5000 f.c, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan karang (coral) umumnya tersebar didaerah tropis.

Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara intensitas maupun komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka. Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya badai pada daerah tersebut. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat cahaya maksimum dan minimum. Daerah perairan disekitar muara sungai merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991)

Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri, run-off dari darat dan sungai.


(22)

Kondisi tersebut berdampak terhadap struktur komunitas terumbu karang. Dampak yang diberikan pada jenis karang tertentu bergantung pada jenis dan ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan, pembebasan hutan, morfologi dan jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen 1992; Dodge dan Lang 1983).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat untuk menahan gaya

gelombang laut. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang termasuk kelompok binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Hewan karang ini termasuk dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia (Baker et al. 1991). Organismen yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak mengandung kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk terumbu, karang dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang mampu membangun terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak mampu membentuk terumbu. Karang banyak dijumpai diantara 30 oLU dan 25 oLS. Hewan ini kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan mangsanya berupa zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang merupakan hewan karnivora (Veron 1986).

Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni karang. Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang yaitu massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan free living ( hidup lepas dari substrat).

Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,


(23)

eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine).Tahun 1998 telah terjadi perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3oC di atas suhu normal.

Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth)terhadap karang.

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 100C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25oC sampai 290C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1985).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :

1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang


(24)

baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.

2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar, contohnya adalah The Great Barier Reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.

3) Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Sebagai penyumbang barang yaitu terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut) dan tambang (pasir dan karang). Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu karang terdiri dari :

1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.

2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. 3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.

4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.

5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Menurut Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat


(25)

pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang.

2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang

Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari yang lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi. Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi pada skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona habitat yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona habitat pada skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs tersendiri yang berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan pencampuran antara koloni terumbu dengan rubble, pasir dan batuan-batuan sebagai pembentuk tipe dasar (Sale 1991).

Menurut Chappel (1980) dalam Supriharyono (2000), beberapa bentuk pertumbuhan karang diantaranya globose (Massive), ramose (Submassive), brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate, foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam, terutama oleh level cahaya, tekanan hidrodinamis, sedimen dan subareal exposure.

2.4 Sumberdaya Ikan Karang

Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah. Tingginya keragaman ini disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Sutton 1983 dalam Emor 1993).

Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang, pipih/merayap, meja daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagi tempat hidup dan tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan dan mencari makan atupun tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai


(26)

nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu (reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang ( reef-associated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian, karakteristik taxonomic dan fitur struktural.

Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies;Kedua,ikan karang tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.

Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam. Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal, berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli 1983)

Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum


(27)

diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.

2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning

Ikan ekor kuning (Gambar 2) termasuk dalam famili caesionidae, pengklasifikasian menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animal Phylum : Chordata Class : Osteichtyes Order : Perciformes Family : Caesionidae

Genus :Caesio

Species :Caesio cuning

Gambar 2 Ikan ekor kuning

Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari mata (Kottelatet al. 1993).

Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna


(28)

kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu, pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam (Kottelatet al. 1993)

2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme disebut daya dukung habitat .

Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai daya reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis ikan mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk populasi di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup.

Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Tetapi dilain pihak sifat organisme perairan itu sendiri ikut berperan. Suatu perairan yang ideal bagi kehidupan ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat mendukung kehidupan ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta dapat mendukung kehidupan organisme makanan ikan yang diperlukan dalam setiap stadia daur hidupnya dengan jumlah yang mencukupi (Wardoyo, 1981).

Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang dengan suhu perairan lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir (Randalet al. 1990).

Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap di wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung, Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun


(29)

Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan karang kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan dilihat dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder, yaitu pemakan plankton. Hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan membentuk gerombol besar. Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25 cm (Kuiter dan Tonozuka 2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu bergerombol (schooling) dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-swimming), memakanan zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan sepanjang tepi lereng terumbu karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-ubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008).

2.7 Pertumbuhan

Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.

Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).

2.8 Hubungan Panjang Berat

Ukuran panjang-berat merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan ikan dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini berat dianggap sebagai fungsi dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan


(30)

panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.

Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip ekor (Effendie 1997).

Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok, umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan produksi.

Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan


(31)

seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3 menunjukkan keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan, karena adanya pengaruh musim dan jenis kelamin.

2.9 Makanan Ikan

Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam 2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis makanan tertentu, alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut (buccal cavity) untuk menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963).

Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan daging, yang biasanya mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu pemakan daging dan tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang; (3) ikan herbivora yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang sangat panjang melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992).

Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya. Selanjutnya Lagler (1961), mengemukakan studi-studi makanan dapat memperlihatkan secara mendetail hubungan-hubungan ekologis diantara organisme-organisme, maka diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenis-jenis makanan tersebut.

Keadaan komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga suatu pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-organime makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari keberadaan


(32)

populasi ikan tersebut. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta komposisi dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut.

2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2) tahap ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. Sepanjang tahap pelagik, telur-telur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai komponen plankton laut. Fase ikan muda dimulai saat ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu proses yang dikenal sebagai perekrutan. Ikan-ikan muda cenderung untuk memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan dewasa. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai oleh suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau morphologi.

De Young (1940) dalam Effendie (1997) melakukan penelitian terhadap kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting di laut jawa berdasarkan distribusi garis tengah telurnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala. Dari perbedaan yang khas dimungkinkan membedakan tiga macam atau pola pemijahan yang berlainan. Ikan ekor kuning termasuk dalam kelompok pola pemijahan kedua, dimana pada kelompok ini sebelum telur kelompok pertama mencapai kematangan, kelompok telur berikutnya sudah memisahkan dari stok telur yang lain. Sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang bepisah. Sesudah berpijah didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih besar yang sedang mematang dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya.

Klasifikasi kematangan gonad menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) untuk ikan laut adalah:

Tingkat. I : Tidak matang (immature). Gonad memanjang, kecil hampir transparan)


(33)

kekuning-kuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata telanjang

Tingkat III : Matang (mature). Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang

Tingkat IV : Siap pijah. Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih, dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut

Tingkat V : Pijah (spent). Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak terdapat pembuluh darah

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi reproduksi yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau umur ikan pertama kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau belum. Selanjutnya ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies (Niklosky 1963; Effendie 1997).

Pemijahan dalam proses reproduksi dapat diketahui dengan melihat perubahan gonad yaitu menjadi besar dan berat. Berat gonad akan mencapai maksimum saat ikan akan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai (Effendie 1997). Untuk mengetahui perubahan gonad tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad (IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. IKG ini akan bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan (Effendie 1997).

Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 10-25% dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), menyatakan semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa dan Bhuiyan 2007).


(34)

2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi, hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Disamping itu terumbu karang kaya akan keanekaragaman spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga teripang dan kerang mutiara (Dahuriet al.1996)

Dilihat dari fungsi biodiversiti, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini perunit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi (Whiteet al.1994)

Sumberdaya ikan karang merupakan ikan yang kehidupannya terikat dengan perairan karang. Keterkaitan antara berbagai organisme di ekosistem terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang. Apabila terjadi degredasi pada suatu komunitas organisme akan dapat berakibat buruk bagi organisme lainnya, secara ekologis, terumbu karang memiliki peranan yang penting bagi ekosistem lainnya seperti ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove (Lalamatik 1991)

Fasktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan jenis dari komunitas ikan karang dalam hubungannya dengan terumbu karang adalah tutupan karang hidup (Bel dan Galzin 1984; Anderson 2002) Keanekaragaman subtratum (Robert dan Ormond 1987) dan (3) Keanekaragaman struktural (Luckhurst dan Luckhurst 1978; Mc Clanahan 1994). Hal ini didukung oleh studi Chabanet et al. (1997), dilaporkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap.


(35)

Acosta dan Robertson (2002) mengatakan bahwa kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu karang, terumbu karang yang lebih luas kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan karang akan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang yang luasannya kecil. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi komunitas ikan karang adalah dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang pada terumbu karang yang menyediakan tempat makan, perlindungan dan reproduksi.

Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang sehat keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip langsung pada keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang merupakan tempat naungan dan perlindungan ikan karang dari predator, khususnya bagi ikan berjenis kecil serta terumbu karang juga menyediakan lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan karang.

2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang

Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih lanjut Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasih yang akurat, sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berhasil dengan baik


(36)

Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai adalah ; (1) kurangnya informasi tentang data perikanan pantai, (2) penurunan hasil tangkapan, (3) dukungan pemerintah masih sangat terbatas, (4) kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, dan (5) kwalitas sumber daya manusia terutama yang menyentuh masyarakat langsung belum memadai. Keadaan sedemikian rupa menyebabkan degredasi sumberdaya cendrung semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu karang dan pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya perikanan.

Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan perencanaan dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga dapat tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk menjaga dan melindungi kakasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-kegiatan pengambilan atau pengrusakan (Supriharyono 2000).


(37)

2.

LITERATURE REVIEW

1. Parameter Lingkungan Environmental Parameters Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan perairan tersebut. The existence of an aquatic reef is determined by the condition of these waters lingkungaan. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol komposisi komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi, salinitas dan kisaran pasang surut. The most decisive factor in

controlling the composition of reef communities is the availability of light, waves, sedimentation, salinity and tidal range. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting (Veron 1986) In a larger scale, the availability of organic nutrients, temperature and the basic form of water is also important (Veron 1986)

Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya gelombang yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya pengadukkan di dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga dapat

mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Environmental factors mentioned above are interconnected, ie waves that can affect the amount due pengadukkan sediment in the bottom waters, the consequences would be murky waters that can affect light penetration into the water. Selain itu, lingkungan biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski 2001). In addition, the biological environment can also affect the existence of coral reefs, environment creates wealth of biological species traits be an coral reefs (Wolanski 2001).

Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 fc (atau umumnya terletak pada kisaran 300–500 fc). Kanwisher and Wainwright (1967) says that the compensation point of the reef animals in the intensity of light is between 200-700 ft (or generally in the range 300-500 ft). Intensitas cahaya secara umum di

permukaan laut adalah 2500–5000 fc, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan karang (coral) umumnya tersebar didaerah tropis. The intensity of light in general on the surface of the sea is fc 2500-5000, Considering the needs of the animal coral(coral)is generally spread tropical regions.

Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara intensitas maupun komposisinya. The light that comes into the waters change rapidly, both in intensity and composition. Kecerahan perairan terumbu karang dapat mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka. Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya badai pada daerah tersebut. Brightness reef waters can reach 50 meters into the coral-reef to the open ocean areas. But also can reach less than a yard after a storm in the area. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat


(38)

cahaya maksimum dan minimum. Each species of coral has a certain tolerance on the level of maximum and minimum light. Daerah perairan disekitar muara sungai merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari

penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991) Area around the mouth of the river waters are regions that are less good for coral growth in terms of light penetration is usually low due to the amount of suspended particles of river water into the sea (Lalamentik 1991)

Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri,run-offdari darat dan sungai. Areas affected by the sedimentary rock that comes from increased sediment in the coral reef itself, therun-offfrom land and rivers. Kondisi tersebut berdampak terhadap struktur komunitas terumbu karang. These conditions have an impact on the community structure of coral reefs. Dampak yang diberikan pada jenis karang tertentu bergantung pada jenis dan ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan, pembebasan hutan, morfologi dan jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen 1992; Dodge dan Lang 1983). Given the impact on certain reef species depends on the type and ukuan sediment, the frequency generated, the liberation of forest, morphology and resistant species (Bak and Elgershuizen 1992; Dodge and Lang 1983).

2. Ekosistem Terumbu Karang Coral Reef Ecosystem

Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat untuk menahan gaya

gelombang laut. Coral reefs are a community of organisms that live at the bottom of the water and limestone (CaCO3)is strong enough to withstand the force of

waves. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium karbonat. Basically coral reefs are dense deposits of calcium carbonate (lime) is produced by coral animals with a little extra from chalky algae and other organisms that produce calcium carbonate. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang termasuk kelompok binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Scientific classification showed that the rocks belonged to the animal and not as a group of plants. Hewan karang ini termasuk dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia (Bakeret al.1991). This reef animals included in the phylum

Cnidaria, class Anthozoa, order Scleractinia (Bakeret al.1991). Organismen yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang karang yang

mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak mengandung kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk terumbu, karang dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang mampu membangun terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak mampu membentuk terumbu. Organismen the dominant life on the coral reef is a reef animals that have a skeleton of limestone and algae are among many contain lime

(Supriharyono 2000). In the event that the ability to form coral, coral reefs can be distinguished on hermatipik is capable of building reefs and coral reefs are


(39)

ahermatipik coral reefs can not form. Karang banyak dijumpai diantara 30oLU dan 25oLS. Reefs are often found between 30oN and 25oLS. Hewan ini kebanyakkan bersifatnocturnal.Hal ini dikarenakan mangsanya berupa

zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang merupakan hewan karnivora (Veron 1986). Is not most animals arenocturnal.This is because the prey of zooplankton, many come at night and now are carnivores (Veron 1986). Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni karang. Morphological skeleton so now is a result of the growth of coral colonies. Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang yaitumassive (sama dalam semua dimensi),columnar(berbentuk tonggak),branching(seperti cabang pohon atau jari),encrusting(melekat pada substrata atau berbentuk kerak, foliaceous(seperti daun),laminar (seperti lempengan) danfree living ( hidup lepas dari substrat). The most common term used by Veron (1986) to describe the growth of coral reefs that generatemassivemorfolgi (equal in all dimensions), columnar(pillar-shaped),branching(such as tree branches or fingers),encrusting (attached to the substrata or shape crust,foliaceous(like leaves),laminar (such as the slab) andfree Living (living away from the substrate).

Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas,

sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine).Tahun 1998 telah terjadi perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral

bleaching)yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Veron (1986) and Wallace (1998) suggests that the coral reef ecosystem is unique because it is generally only found in tropical waters, is very sensitive to changes in the environment, especially temperature, salinity, sedimentation, eutrophication and require the quality of natural waters(PRISTINE).Year 1998 has been

environmental temperature changes due to global warming that hit the tropical waters causing coral bleaching(coral bleaching),followed by mass death reaches 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3oC di atas suhu normal. Suharsono (1998) recorded during the bleaching event, the average surface temperature of the water in Indonesian waters is 2-3oC above normal temperatures.

Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan

mempengaruhi terumbu karang. Apart from changes in temperature, the change in salinity will also affect the coral reefs. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan

sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. This is consistent with the explanation McCook (1999) that high rainfall and the flow of surface materials from the mainland(mainland run-off)can kill coral reefs by increasing the


(40)

hara (nutrient overload)berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth)terhadap karang. The next effect is the excess of nutrients(nutrient overload)contribute to the degradation of coral reefs through increased growth of abundant makroalga (overgrowth)of the reef.

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Although some corals can be found from the subtropical oceans, but the species that make up coral found only in the tropics. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 100C. Reefs in the sea of life is limited by the depth of which is usually less than 25 m and the area has an average temperature of the year for a minimum of 100C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25oC sampai 290C. The maximum growth of coral reefs occur at depths less than 10 m and a

temperature around 25oC to 290C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1985). Because of the nature of live coral reef is so often found in Indonesia (Hutabarat and Evans 1985).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang penghalang (Barrier reef)dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Next Nybakken (1992) classify coral reefs into three general types of coral reef edge(Fringing Reef / shore reef),coral reef barrier(Barrier Reef)and coral reefs ring(atoll).Among these three structures, coral reefs are the most common in Indonesian waters is the coral reef edge (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : Explanation of the three types of coral reefs as follows:

1. Terumbu karang tepi (fringing reef)ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Coral reef edge(fringing reef)was developed along the coast and reaches depths of no more than 40 m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Coral reefs grow upward or toward the sea. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. The best growth is usually located in the current enough. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. Meanwhile, among the outer edge of the beach and coral, coral stones tend to have less well pertumbuhaan even many die because of frequent

drought and lots of sediment that comes from the land.

2. Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef)terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Coral reefs are the type of barrier(Barrief reef)located at various distances and the


(41)

distance from the beach is separated from the beach by the sea is too deep for the growth of coral stone (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar, contohnya adalahThe Great Barier Reefyang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. Generally extends along the coast and are usually round and round as if a barrier for immigrants who come from outside, for example isThe Great barrier Reeflined the ocean east of Australia with a length of 1350 miles.

3. Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon). Coral reefs ring(atoll)encircling a goba(laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Goba depth within the atoll approximately 45 m to 100 m are rarely as barrier reefs, atolls example is the island of Taka Bone Rate in South Sulawesi.

Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai

penyumbang barang maupun jasa. Moberg and Folke (1999), states that the coral reef ecosystem function that refers to the habitat, biological or ecosystem

processes as a contributor of goods and services. Sebagai penyumbang barang yaitu terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut) dan tambang (pasir dan karang). As a contributor of goods that is associated with recovery resources such as food (fish, seaweed) and mining (sand and rocks). Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu karang terdiri dari : Meanwhile, as a contributor to the service, the coral reef ecosystem consists of:

1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai. Services as a protector of the physical structure of the beach.

2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. Services as habitat and biology and life suport chain.

3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen. Biochemistry services as nitrogen fixation.

4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim. Information services as the climate record.

5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan Social and cultural services as the value of beauty, and the game rekrasi Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak

meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Coral reefs provide many benefits directly or indirectly. Cesar (2000) explains that many of the coral reef ecosystem meyumbangkan various marine biota such as fish, corals, molluscs, crustacean for the area of coastal living. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Also along with other coastal


(1)

Lampiran 4

(lanjutan)

Stasiun

8 (barat kayu angin)

Tanggal

22 Mei 2009

Waktu

13.30 WIB

Depth

10 m

subsrat

karang

Zona

Slope

Jumlah

0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu

1

Caesionidae

Caesio cuning

62

11

73

2

Pomacanthidae

Chaetodontoplus mesoleucus

8

8

3

Pomacentridae

Amblyglyphidodon leucogaster

20

20

4

Pomacentridae

Pomacentrus smithi

200

200

5

Labridae

Cheilinus unifasciatus

1

1

6

scaridae

Scarus niger

1

1

7

Labridae

Cheilinus fasciatus

1

3

4

8

Pomacentridae

Pomacentrus alexanderae

400

400

9

Lutjanidae

Lutjanus biguttatus

3

3

10

Nemipteridae

Scolopsis margaritifer

1

1

11

Labridae

Halichoeres richmondi

10

10

12

Chaetodontidae

Chaetodon octofasciatus

7

7

13

Labridae

Thalassoma lunare

52

52

14

Pomacentridae

Neoglyphidodon crossi

2

1

3

15

scaridae

Scarus flavipectoralis

120

100

3

223

16

Pomacentridae

Pomacentrus burroughi

11

11

17

Pomacentridae

Neoglyphidodon melas

1

1

18

Pomacentridae

Lepidozygus anabatoides

104

104

19

Pomacentridae

Pomacentrus moluccensis

3

3

20

Labridae

Cheilinus trilobatus

1

1

2

21

Labridae

Choerodon anchorago

1

1

22

Chaetodontidae

Chaetodon kleinii

1

1

23

Pomacentridae

Neopomacentrus azysron

100

100

24

Labridae

anampses caeruleopunctatus

1

1

25

Serranidae

Cephalopholis sexmaculata

1

1

26

Serranidae

cephalopholis microprion

3 `

3

27

Serranidae

epinephelus fasciatus

4

4

28

Labridae

Hemygymnus melapterus

1

1

1006

127

21

9

3

0

1166

No.

Famili

Spesies

Ukuran (cm)


(2)

Lampiran 5 Panjang, berat, jenis kelamin dan TKG ikan ekor kuning

NO

SAMPEL

PANJANG (L)

BERAT (W)

JENIS

KELAMIN

TKG

KETERANGAN

(cm)

(grm)

1

26.70

208.63

B

2

2

21.70

96.63

J

2

3

25.70

166.44

J

3

4

23.60

108.56

J

2

5

15.90

34.90

J

1

6

14.90

29.17

B

1

7

14.90

30.38

tidak ada gonad

8

13.60

22.42

tidak ada gonad

9

15.70

33.30

tidak ada gonad

10

15.90

32.30

tidak ada gonad

11

24.00

110.09

B

1

12

29.50

234.36

B

2

13

29.60

218.50

J

3

14

28.90

190.19

J

2

15

27.70

157.72

J

1

16

30.50

259.19

J

3

17

33.10

332.25

B

2

18

31.60

275.61

B

1

19

21.80

91.78

B

2

20

22.70

104.73

tidak ada gonad

21

11.30

10.69

tidak ada gonad

22

15.90

31.35

tidak ada gonad

23

22.60

93.32

J

2

24

13.60

18.03

tidak ada gonad

25

25.00

121.45

J

2

26

13.30

15.86

tidak ada gonad

27

24.70

116.24

B

2

28

12.80

15.74

tidak ada gonad

29

24.80

116.70

J

1

30

15.40

29.58

tidak ada gonad

31

24.20

132.14

J

2

32

13.20

17.71

tidak ada gonad

33

25.40

137.51

B

1

34

20.10

66.48

tidak ada gonad

35

25.50

132.22

B

1

36

21.50

77.84

J

4

37

25.20

142.75

J

1

38

21.60

92.49

J

4

39

25.30

132.14

J

2

40

15.30

28.64

tidak ada gonad

41

24.90

132.78

tidak ada gonad

42

15.10

29.02

tidak ada gonad

43

25.00

118.60

J

3

44

13.10

17.43

tidak ada gonad

45

23.60

101.93

tidak ada gonad

46

15.60

27.87

tidak ada gonad

47

22.40

93.75

B

1

48

14.90

26.51

tidak ada gonad

49

22.50

101.49

J

3


(3)

Lampiran 6 Regresi hubungan panjang berat

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.957009583

R Square

0.915867342

Adjusted R Square

0.914114578

Standard Error

22.50422941

Observations

50

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

1

264629.0356

264629.0356

522.5275593

1.89016E-27

Residual

48

24309.13639

506.4403416

Total

49

288938.172

Coefficients

Standard Error

t Stat

P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95.0%

Upper 95.0%

Intercept

-164.0068582

11.92594961 -13.75210055

2.86112E-18

-187.9855866

-140.0281298

-187.9855866

-140.0281298

X Variable 1

12.44798911

0.544558573

22.85886172

1.89016E-27

11.35308074

13.54289749

11.35308074

13.54289749


(4)

Lampiran 7

Jumlah individu dan persentase jenis makanan dalam isi lambung

ikan ekor kuning

Nitszchia Coscinodiscus Copepodite Brachionus Mysis Calanus Heigolandicu s Sagitella Kowalewskii Parachymula larva Lauderia Borealis Thallassiothri x Longissima Calanus Minor Iasis Sonaria Clymnosera

1 19 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

4 34 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 17 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 34 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 26 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 32 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

11 18 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

12 60 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

14 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

17 38 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

18 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

19 26 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

23 41 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

25 28 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

27 38 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

28 14 7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0

29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

30 19 5 4 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0

31 42 7 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

32 34 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33 36 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

34 22 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

35 4 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

36 14 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

37 22 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

38 94 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

41 18 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

43 26 39 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

44 42 12 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

45 80 10 1 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0

46 15 24 14 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0

47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

48 91 1 0 0 0 0 0 30 34 1 8 0 0

49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

50 63 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 1103 263 36 3 2 2 1 46 34 1 8 1 1

Rata-rata 22.06 5.26 0.72 0.06 0.04 0.04 0.02 0.92 0.68 0.02 0.16 0.02 0.02

Persentase 73.48 17.52 2.40 0.20 0.13 0.13 0.07 3.06 2.27 0.07 0.53 0.07 0.07

Sampel ikan


(5)

Lampiran 8

Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics

Multiple R

0.851919371

R Square

0.725766614

Adjusted R Square

0.68006105

Standard Error

40.20526059

Observations

8

ANOVA

df

SS

MS

F

Significance F

Regression

1

25668.09713

25668.1 15.87917 0.007242874

Residual

6

9698.777874 1616.463

Total

7

35366.875

Coefficients

Standard Error

t Stat

P-value

Lower 95%

Upper 95%

Lower 95.0%

Upper 95.0%

Intercept

-198.1405172

68.00761004 -2.91351 0.026857 -364.5491439 -31.7318906

-364.5491439 -31.73189059

X Variable 1

0.096020115

0.024096184 3.984868 0.007243 0.037058878 0.154981352

0.037058878

0.154981352


(6)

ACB ACD ACS ACT CB

CE

CF

CM CMR CS CML DCA DC

AA

CA

HA MA TA

OT

SC

SP

ZO RCK

S

SI

R

I Timur Pramuka

0.28 0.00

0.00 1.97 1.12 3.98 2.86 4.97 1.03 1.92 0.00 15.60

0.75 0.14 6.42 0.00 4.40 1.08 0.61 0.52 1.97 0.09

13.50

3.98 0.19 32.61

23

Utara Pramuka

1.26 0.00

1.43 3.95 1.76 2.35 0.95 9.01 0.03 2.85 0.25 9.01 15.17 0.00 0.17 0.00 1.93 0.00 1.37 0.03 0.11 0.00

10.91

4.67 0.28 32.51

21

II Barat Panggang

3.67

0.37

0.00 2.92 0.52 0.75 0.07 10.04 0.22

8.70

0.00 22.94

2.17 0.00 0.00 0.00 0.30 0.37 1.35

10.72

0.15 0.00 0.00 4.35 0.00 30.36

100

III Utara Belanda

17.01

0.00

0.45 0.59 1.39 2.92 4.65 1.94

8.13

2.33 0.00 14.10

2.01 0.00 1.84 0.00 0.03 0.03 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00 2.12 0.00

40.14

63

Timur Kayu Angin Bira

7.34

0.03

0.00 0.10 3.55 2.16 10.96 1.10

2.46

1.20 0.00 17.71

6.21 0.00 0.10 0.17 0.56 0.90 0.47 0.70 0.00 0.00 0.03 2.86 0.00

41.40

26

IV Selatan Belanda

0.49 0.00

0.21 2.08 0.17

10.07

3.75 1.35 1.42 1.53 0.00

33.85

8.33 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14

14.27

0.00 20.63

224

Barat Kayu Angin Bira

0.49 0.00

0.21 2.08 0.17

10.07

3.75 1.35 1.42 1.53 0.00

42.15

0.03 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14

14.27

0.00 20.63

73

V Selatan Panggang

4.35 0.00

0.00 0.00 0.93 0.93

29.50 17.79

0.22 0.62 0.00 17.35

2.40 0.00 0.13 0.09 2.00 0.04 0.35 0.71 0.00 0.00 0.22 4.26

1.55

16.55

5

Substart Bentik (Habitat)

KEL.

LOKASI

IKAN

Keterangan :

1.

ACB

=

Acropora Branching

10.

CS

=

Coral Submassive

19.

OT

=

Others

2.

ACD

=

Acropora Digitate

11.

CML

=

Coral Millepora

20.

SC

=

Karang lunak

3.

ACS

=

Acropora

Submassive

12.

DCA

=

Karang mati

ber-alga

21.

SP

=

Sponge

4.

ACT

=

Acropora Tabulate

13.

DC

=

Karang mati baru

22.

ZO

=

Zoanthids

5.

CB

=

Coral Branching

14.

AA

=

Alga assemblage

23.

RCK

=

Batu

6.

CE

=

Coral Encrusting

15.

CA

=

Coralline alga

24.

S

=

Pasir

7.

CF

=

Coral Foliose

16.

HA

=

Halimeda

25.

SI

=

Endapan lumpur

8.

CM

=

Coral Massive

17.

MA

=

Macroalga

26.

R

=

Patahan karang