Kajian konektivitas habitat ikan terumbu ontogeni menggunakan pemodelan geospasial di perairan Kepulauan Seribu

(1)

SYAMSUL B. AGUS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

KAJIAN KONEKTIVITAS HABITAT IKAN TERUMBU

ONTOGENI MENGGUNAKAN PEMODELAN

GEOSPASIAL DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa disertasi berjudul

Kajian Konektivitas Habitat Ikan Terumbu Ontogeni menggunakan

Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu

adalah karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Syamsul B. Agus NIM. C562070021


(4)

(5)

ABSTRACT

SYAMSUL BAHRI AGUS. Modelling geospatial connectivity of reef fish ontogenetic habitat in Kepulauan Seribu. Under the supervision of VINCENTIUS PAULUS SIREGAR, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN, and ARYO HANGGONO.

Reef fish communities exist at spatially distributed populations that correspond to various reefscape elements, for example landscape connectedness, the amount of habitat, and configuration of habitat patches. One type of connection exists between reef fish population is related with ontogenetic shift, in where juveniles use different types of habitat compare to adults. Supported by appropriate accuracy setting, integrated remote sensing technology can provide functional tools for informing complex landscape of reef habitats as well as reef geomorphology, one aspect still lacking of comprehensive studies in the Indonesian seascape. A total of 17 reef sites and 14 seagrass sites were assessed to gather basic information on reef fish community structure and potential structural connectivity facilitating ontogenetic shifts between different reef habitats in Kepulauan Seribu. Quickbird imagery analysis resulted in 13 thematic habitat classes and 8 geomorphological classes, with fine to excellent accuracy. Coupled with acoustic dataset, complex details of reef geomorphology at deeper depth (>18 meter) with 13 thematic classes were obtained from Benthic Terrain Modeler revealing structures which may facilitate reef fish spawning process (i.e.: Rock outcrop highs, narrow ridges/Ronr; Scarp, cliff; or small local depression on slope/Scos; Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats/Lopb; Local ridges, boulders, pinnacles in depression/Lopd; Local ridges, boulders, pinnacles on slopes/Lops; and Crevices, narrow gullies over elevated terrain/Cret). Ontogenetic connectivity was analyzed structurally by reviewing spatial characteristics of the physical structure of the coastal environment as resulted from remote sensing imagery, and potentially by several scenarios of reef fish larval dispersal. Using spatial and statistic analysis, the results indicated that benthic habitat configuration metrics at several spatial scales (Perimeter:Area of habitat patch-P:A*, habitat extent-A*, and nearest distance between two ontogenetic habitats-JO*) may serve as proxies for examining ontogenetic connectivity and reef fish community structure. Juvenile fish species richness exhibit marginal association with P:A of seagrass patch at 250 m spatial extent (PAL250); while association between showing-spawn-cues adult reef fish is moderately strong at every spatial scale with reef area (AT*). Despite the seasonal variability of potential ontogenic connectivity, larval dispersal simulation revealed that several sites around Panggang Island provide the highest potential to be linked with seagrass patches, thus facilitating ontogenetic connectivity between spawning habitats at outer reefs to nursery habitats at inner reefs.

Keywords: geospatial, ontogenetic connectivity, habitat, reef fish, Kepulauan Seribu, remote sensing.


(6)

(7)

RINGKASAN

SYAMSUL BAHRI AGUS. Kajian Konektivitas Habitat Ikan Terumbu Ontogeni menggunakan Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR, DIETRIECH GEOFFREY BENGEN, dan ARYO HANGGONO.

Informasi geospasial, khususnya yang dikembangkan dari teknologi penginderaan jauh (inderaja), merupakan platform ideal dalam memetakan secara sinoptik kawasan perairan laut dangkal yang memiliki integrasi sejumlah habitat kritis maupun bentukan geomorfologi yang memengaruhi proses ontogeni sejumlah spesies ikan terumbu. Secara teknis, proses ontogeni ikan terumbu melibatkan peran mangrove dan/atau lamun sebagai habitat pemeliharan saat ikan tumbuh dari fase larva menjadi juvenil, serta terumbu karang sebagai habitat pemijahan yang dihuni oleh ikan-ikan dewasa yang memproduksi telur/larva. Konektivitas habitat ontogeni dapat dikaji melalui pelbagai sudut pandang, dengan meninjau distribusi spasial masing-masing habitat yang digunakan suatu spesies dalam bentang alam tertentu, maupun fungsional, berdasarkan tingkah laku ruaya dan mencecar jejak ruaya tersebut dari satu habitat ke habitat yang lain. Sebanyak 17 stasiun terumbu yang ditetapkan sebagai habitat pemijahan ikan dan 14 stasiun lamun ditetapkan sebagai habitat pemeliharaan juvenil tersebar dalam domain spasial penelitian yang dibatasi oleh koordinat 5°43’44.485” - 5°45’17.084” LS dan 106°34’48.297” - 106°37’19.743” BT. Berdasarkan ketetapan tersebut, ada 15 stasiun penelitian (8 stasiun pemijahan terumbu: TPG, TGPG, SPG, BDPG, BPG, BLPG, UPG, TLPG dan 7 stasiun pemeliharaan lamun: LPG1-LPG7) di Pulau Panggang, 4 stasiun di Pulau Karya (TKAR, BKAR, LKR1, LKR2), 2 stasiun di Gosong Pramuka (FGSP, LGSP), 6 stasiun di Pulau Pramuka (UPR, SPR, dan LPR1-LPR4), dan sisanya terisolasi dari sistem pulau yang ada (KSEM, KKEC, KPEN, KPEM). Penelitian ini menerapkan aspek keruangan (geospasial) yang set datanya berasal dari integrasi dua teknologi inderaja, yaitu citra satelit Quickbird 2008 dan pemeruman akustik bim tunggal menggunakan Garmin GP SMapSounder 585. Analisis data geospasial utamanya dilakukan menggunakan perangkat ArcGIS® versi 9.3. Aplikasi teknologi geospasial terhadap komunitas ikan terumbu yang bersifat ontogeni ditelusuri berdasarkan keragaan habitat dasarnya, yang secara in situ

diukur menggunakan transek garis (English et al. 1997; MacKenzie et al. 2003), sedangkan komunitas ikan terumbu ontogeni ditinjau secara visual berdasarkan dua kategori yaitu ikan dewasa dengan tanda pemijahan dan ikan juvenil. Aspek geospasial habitat ontogeni ditinjau secara sinoptik dan rinci berdasarkan pemetaan dan delineasi habitat perairan laut dangkal, batimetri, zona dan struktur geomorfologi, serta beberapa parameter geometrik. Keterkaitan antara keragaan


(8)

ikan terumbu ontogeni dengan geospasial habitat, ditinjau secara struktural menggunakan Analisis Regresi Linier (ARL) dan Analisis Komponen Utama (AKU), serta ditinjau secara potensial berdasarkan model aliran larva ikan terumbu dari seluruh titik pemijahan di terumbu karang ke habitat lamun.

Hasil pemetaan habitat perairan laut dangkal secara sinoptik menetapkan 13 kelas tematik habitat dan 8 kelas tematik geomorfologi berdasarkan analisis Quickbird menggunakan kombinasi klasifikasi tak terselia-terselia, sedangkan integrasi inderaja optik Quickbird dengan inderaja akustik Garmin MapSounder menghasilkan 13 kelas geomorfologi yang berbeda dan terperinci berdasarkan hasil analisis Benthic Terrain Modeler serta mampu memetakan struktur bentik terumbu hingga kedalaman > 18 meter di bawah permukaan laut rerata. Konektivitas struktural habitat ontogeni ditinjau berdasarkan karakteristik spasial dari struktur fisik lingkungan yang dihasilkan dari analisis data inderaja menurut beberapa lingkup spasial, yaitu 50 m, 100 m, dan 250 m. Diketahui bahwa sejumlah fitur geomorfologi sederhana seperti kanal antar terumbu (reef channel) dan pematang terumbu (ridge reef) berperan potensial sebagai habitat pemijahan ikan terumbu. Hal tersebut didasari oleh tingginya frekuensi jenis ikan dan tanda pemijahan yang ada di BLPG, SPG, TLPG, KPEN dan KPEM. Seluruh stasiun tersebut berada di sekitar Pulau Panggang dan menunjukkan konektivitas struktural yang tinggi dari sejumlah habitat ontogeni, namun khusus dua stasiun pemijahan terumbu yang disebutkan terakhir merupakan yang memiliki keragaan ikan terumbu dengan tanda pemijahan terbanyak.

Ada tujuh tanda pemijahan yang diamati, yaitu ikan betina gravid dan/atau berlindung; courtship behavior; ikan jantan terluka dan agresif; ikan menunjukkan corak/pewarnaan khusus; ikan yang terlihat melindungi atau menetaskan telur; agregasi ikan terumbu, dan; ikan melakukan pemijahan. Secara total dijumpai 21 famili ikan terumbu di stasiun lamun, sedangkan 23 famili ikan terumbu dewasa dengan tanda pemijahan dijumpai di stasiun terumbu. Berdasarkan keragaannya dan kondisi yang dijumpai selama penelitian lapang berlangsung, diketahui bahwa Apogonidae, Lutjanidae, Nemipteridae, Plotosidae, Serranidae, dan Siganidae merupakan taksa ikan terumbu yang memiliki sifat ontogeni paling kuat karena dijumpai pada kondisi dewasa dengan tanda pemijahan dan pada kondisi juvenil di sejumlah stasiun penelitian. Fitur geomorfologi yang diduga menjadi kunci pembeda habitat pemijahan ikan terumbu dengan habitat lain di terumbu karang adalah: Rock outcrop highs, narrow ridges (Ronr); Scarp, cliff; or small local depression on slope (Scos); Local ridges, boulders, pinnacles on broad flats (Lopb); Local ridges, boulders, pinnacles in depression (Lopd); Local ridges, boulders, pinnacles on slopes (Lops); dan Crevices, narrow gullies over elevated terrain (Cret). Keseluruhan bentukan bumi (geomorfik) yang disebutkan tadi secara umum berupa bongkahan karang atau celah antar terumbu/koloni karang yang memungkinkan adanya celah bersembunyi bagi ikan-ikan yang akan melakukan pemijahan.


(9)

Konektivitas habitat ontogeni juga ditinjau secara fungsional berdasarkan konektivitas potensialnya, yang diperoleh dari simulasi model aliran larva.. Simulasi aliran larva dijalankan untuk dua kondisi musim (musim barat dan musim timur) dan periode simulasi berlangsung 30 hari, dengan asumsi bahwa komodifikasi ikan terumbu dari telur/larva menjadi juvenil berlangsung selama periode tersebut. Jika ditetapkan bahwa seluruh titik pengamatan tanda pemijahan ikan sebagai sumber terbentuknya larva (17 stasiun terumbu), maka tidak semua stasiun memiliki potensi untuk menghubungkan dua habitat ontogeni (terumbu karang dengan lamun). Secara geospasial, diketahui bahwa KPEN, KPEM, TLPG, UPG, KSEM, SPG, TGPG, TPG, dan BKAR merupakan stasiun yang memiliki konektivitas potensial tinggi berdasarkan keajegan aliran larva yang menuju habitat pemeliharaan, bahkan pada musim berbeda sekalipun. Pada musim timur, perairan lamun dan rataan terumbu di Pulau Panggang dan Pulau Karya berperan dominan sebagai habitat pemeliharaan, sedangkan pada musim barat habitat pemeliharaan larva terlihat lebih luas melingkupi daerah penelitian. Pada akhirnya, model geospasial yang dihasilkan dalam penelitian ini, baik yang menggambarkan konektivitas struktural maupun konektivitas potensial habitat ontogeni dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbarui lingkup spasial kawasan perlindungan, baik di kawasan Taman Nasional maupun di Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, sehingga dapat meningkatkan efektivitas konservasi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu.


(10)

(11)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(12)

(13)

SYAMSUL B. AGUS

DISERTASI

sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Mayor Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

KAJIAN KONEKTIVITAS HABITAT IKAN TERUMBU

ONTOGENI MENGGUNAKAN PEMODELAN

GEOSPASIAL DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU


(14)

Ujian Tertutup: Kamis, 12 Juli 2012 Penguji luar komisi:

1. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Soesilo, M.Sc 2. Dr. Ir. Agus Soleh Atmadipoera, DESS

Ujian Terbuka: Kamis, 26 Juli 2012 Penguji luar komisi:

1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA 2. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr


(15)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Kajian Konektivitas Habitat Ikan Terumbu Ontogeni

menggunakan Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu

Nama : Syamsul B. Agus

NIM : C562070021

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Vincentius P. Siregar, DEA Ketua

Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Aryo Hanggono, DEA

Anggota Anggota

Mengetahui:

Ketua Mayor Dekan

Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(16)

(17)

PRAKATA

Teriring ucapan syukur ke-hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga manuskrip disertasi yang berjudul Kajian Konektivitas Habitat Ikan Terumbu Ontogeni menggunakan

Pemodelan Geospasial di Perairan Kepulauan Seribu dapat diselesaikan.

Penelitian ini dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa set data, yaitu data inderaja satelit dan akustik, pengukuran hidrodinamika permukaan dan periode survei lapang yang panjang dalam mengamati komunitas ikan terumbu dan kondisi habitat perairan laut dangkal di Kepulauan Seribu.

Terkait dengan hal tersebut, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas dukungan segala pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada komisi pembimbing, Dr. Vincentius P. Siregar, DEA, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr. Ir. Aryo Hanggono, DEA. Serta kepada Dr. Ir. Djisman Manurung, MSc dan staf pengelola Mayor Pascasarjana TEK. Kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Soesilo, MSc dan Dr. Ir. Agus S. Atmodipoera, DESS atas perkenannya menjadi penguji luar komisi, diucapkan terima kasih.

Ungkapan terima kasih kepada keluarga tercinta, terutama kepada istri dan anak-anakku tersayang atas ide, waktu, perhatian dan canda tawanya yang selalu sabar dan ikhlas menemani dalam proses penelitian ini.

Penghargaan juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telibat dalam penelitian ini (Anggi Afif Muzaki, Murjat, Kurniasih, Luki Pratama Satrio

Wibowo, Dino Wicaksono, dan Mega Sarfika, Asep Ma’mun, Gita Prima Putra); tim InOceana (Heron Surbakti, Achis Martua Siregar, Adi Kurniawan Harahap, M Iqbal), serta masyarakat Kepulauan Seribu terutama Boko, Lupus, Bang Oji dan Muslim. Tak lupa juga kepada para pengajar, peneliti dan staf administrasi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, di SEAMEO-Biotrop (khususnya Laboratory of Ecology and Remote Sensing), di Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Seribu, serta di P3TKP-Balitbang Kelautan dan Perikanan diucapkan terima kasih atas kebersamaan, bantuan dan kerjasamanya. Teman kuliah M. Banda Selamat, terima kasih atas waktu dn diskusinya.

Disadari sepenuhnya oleh penulis bahwa terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam diseminasi penelitian hingga terbitnya disertasi ini. Oleh karenanya pelbagai bentuk saran maupun kritik terhadap penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kegiatan penelitian serupa di masa mendatang.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2012


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dilahirkan di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 26 Juli 1972 sebagai anak ke 6 dari pasangan H. Andi Agustan (almarhum) dan Hj. Sitti Khatidjah. Riwayat pendidikan sarjana dilalui di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), FPIK-IPB dan lulus pada tahun 1997, kemudian penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Program Pascasarjana, IPB pada tahun 1999 dan diselesaikan pada tahun 2004. Penulis berkesempatan melanjutkan studi ke program doktor (S3) di Mayor Teknologi Kelautan atas sponsor beasiswa BPPS pada tahun 2007 dan mendapatkan dana bantuan penelitian dari Seameo-Biotrop pada tahun 2011. Sejumlah aspek yang dikaji dalam penelitian ini juga sulit terlaksana tanpa kerjasama yang baik dari Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Saat ini penulis bekerja sebagai anggota staf pengajar tetap di Bagian Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Selama menjalani program S3, penulis menjadi anggota himpunan profesi Society for Conservation Biology, selain sebagai anggota MAPIN (Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia) dan ISOI (Ikatasan Sarjana Oseanologi Indonesia). Sebagian dari karya tulis ini telah dan diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan serta Jurnal Segara dan dipresentasikan di Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan (SEMNASKAN) di Universitas Gajah Mada.

Penulis menikah dengan Adriani pada tahun 2005 dan telah dikaruniai 3 putra dan putri, Ahmad Baruna Syahbani, Tenriadjeng Syahrani dan Tanritatta Yahya Asy-Syahbani.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR ISTILAH ... xvii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pendekatan Masalah ... 3

1.3. Aspek Kebaharuan Penelitian ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Struktur Penulisan ... 9

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Inderaja dan Informasi Geospasial Perairan Laut Dangkal ... 11

2.1.1. Inderaja terumbu karang ... 12

2.1.2. Inderaja padang lamun ... 13

2.1.3. Benthic Terrain Modeller (BTM) ... 14

2.2. Komunitas Ikan dan Konektivitas Habitat Ontogeni ... 15

2.3.1. Komunitas ikan dan migrasi ontogeni ... 15

2.3.2. Konektivitas antar ekosistem pesisir ... 19

2.3. Perkembangan Kajian Inderaja Terhadap Komunitas Ikan ... 19

3. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KERAGAAN KOMUNITAS IKAN TERUMBU ... 25

3.1. Kawasan Kepulauan Seribu ... 25

3.2. Aspek Demografi Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 30

3.3. Terumbu Karang sebagai Habitat Pemijahan Ikan Terumbu Dewasa 32 3.3.1. Reproduksi ikan terumbu ... 33

3.3.2. Catatan pengamatan pemijahan ikan terumbu (2010-2012) ... 34

3.4. Padang Lamun sebagai Habitat Pemeliharaan Juvenil Ikan ... 43

4.2.1. Catatan pengamatan juvenil ikan terumbu di Kepulauan Seribu (2011-2012) ... 45


(22)

ii

4. KONEKTIVITAS STRUKTURAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN ANALISIS GEOSPASIAL DATA INDERAJA

SATELIT QUICKBIRD ... 47

4.1. Pendahuluan ... 47 4.2. Metodologi ... 49 4.2.1. Waktu dan tempat ... 49 4.2.2. Bahan, alat, dan alur penelitian ... 50 4.2.3. Pengolahan dan analisis data inderaja satelit ... 51 4.2.4. Survei transek dan pengamatan ikan terumbu ... 56 4.2.5. Analisis geospasial ... 59 4.3. Hasil dan Pembahasan ... 61 4.3.1. Peta tematik habitat perairan laut dangkal ... 61 4.3.2. Peta dan penampang geomorfologi terumbu ... 64 4.3.3. Akurasi peta tematik ... 67 4.3.4. Keragaan komunitas ikan terumbu dengan tanda pemijahan .. 71 4.3.5. Keragaan komunitas juvenil ikan di habitat lamun ... 73 4.3.6. Konektivitas struktural habitat ontogeni ... 75 4.3.7. Pengaruh geometrik spasial habitat ontogeni terhadap

keragaan komunitas ikan terumbu ... 77 4.4. Simpulan... 84

5. INTEGRASI INDERAJA SATELIT DAN AKUSTIK DALAM

PEMODELAN GEOSPASIAL HABITAT PEMIJAHAN IKAN TERUMBU ... 87

5.1. Pendahuluan ... 87 5.2. Metodologi ... 89 5.2.1. Waktu dan Tempat ... 89 5.2.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 89 5.2.3. Pengambilan data akustik ... 90 5.2.4. Pengamatan tanda dan kegiatan pemijahan ikan terumbu ... 92 5.2.5. Analisis data geospasial... 92 5.3. Hasil ... 97 5.3.1. Profil batimetri hasil integrasi inderaja satelit dan akustik ... 97 5.3.2. Profil batimetri habitat pemijahan ikan terumbu ... 99 5.3.3. Model geospasial habitat pemijahan ikan terumbu ... 109 5.4. Pembahasan ... 119 5.5. Simpulan... 128

6. KONEKTIVITAS POTENSIAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN MODEL ALIRAN LARVA IKAN TERUMBU ... 131

6.1. Pendahuluan ... 131 6.2. Metodologi ... 132


(23)

iii

6.2.1. Waktu dan Tempat ... 132 6.2.2. Data dan Perangkat Lunak ... 133 6.2.3. Pembangunan model dan persamaan yang digunakan ... 133 6.3. Hasil ... 138 6.3.1. Dinamika arus permukaan ... 138 6.3.2. Simulasi aliran larva ikan ... 143 6.4. Pembahasan ... 148 6.5. Simpulan ... 151 7. PEMBAHASAN UMUM ... 153

7.1. Habitat dan Komunitas Ikan Ontogeni ... 153 7.2. Konektivitas Struktural Habitat Ontogeni Ikan Terumbu ... 155 7.3. Konektivitas Potensial Habitat Ontogeni Ikan Terumbu ... 158 7.4. Implikasi Hasil Penelitian terhadap Konservasi Terumbu Karang ... 160 8. KESIMPULAN UMUM ... 163

8.1. Simpulan ... 163 8.2. Saran ... 164

DAFTAR PUSTAKA ... 165


(24)

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis ikan terumbu yang melakukan pemijahan agregasi di perairan

terumbu karang (disarikan oleh Nemeth 2009)... 17 2. Senarai penelitian mengenai kontribusi data inderaja terhadap kajian

ekologi ikan terumbu ... 21 3. Perubahan luas tutupan padang lamun di kawasan penelitian di Kepulauan

Seribu ... 29 4. Daftar pulau berpenghuni di kawasan Kepulauan Seribu ... 30 5. Kompilasi pengamatan tanda dan kegiatan pemijahan ikan terumbu ... 36 6. Komposisi penutupan jenis lamun ... 45 7. Jenis dan sumber data yang digunakan ... 53 8. Luas masing-masing kelas tematik habitat ... 65 9. Analisis Regresi Linier sederhana pada taraf nyata α= 0.05 yang mengkaji

keterkaitan komunitas ikan dewasa yang menunjukkan tanda pemijahan dengan habitat terumbu karang ... 82 10. Analisis Regresi Linier sederhana pada taraf nyata α= 0.05 yang mengkaji

keterkaitan komunitas ikan juvenil dengan habitat lamun ... 90 11. Piranti keras dan lunak yang digunakan ... 92 12. Piranti keras dan lunak yang digunakan untuk model larva ... 135


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Roadmap penelitian disertasi ... 5 2. Hubungan antar habitat ikan yang memiliki sifat ontogeni (Adams et al.

2006 dalam Nagelkerken, 2009) ... 15 3. Sebaran pulau-pulau di Kepulauan Seribu, berikut mintakat pesisir yang

mengelilingi pulau-pulau tersebut (Agus et al. 2012, in press) ... 26 4. Perubahan luas tutupan padang lamun di daerah penelitian, Kepulauan

Seribu (Agus et al. 2012, in press) ... 28 5. Sebaran stasiun penelitian untuk pengamatan tanda pemijahan ikan

terumbu dewasa (titik merah) dan juvenil ikan (titik biru). ... 35 6. Komposisi penutupan substrat dasar terumbu (dalam %) di beberapa

stasiun pengamatan pemijahan. ... 36 7. Morfologi lamun dan hamparan lamun di perairan Kepulauan Seribu ... 42 8. Keragaan komunitas juvenil ikan terumbu di stasiun pembesaran padang

lamun ... 44 9. Konektivitas struktural antar habitat ontogeni, yang bersifat optimal (a)

dan kurang optimal (b dan c); dipengaruhi oleh jarak antar tapak habitat yang mengakomodasi ruaya biota baik dewasa maupun juvenil (modifikasi Grober-Dunsmore et al. 2009) ... 50 10. Lokasi penelitian: perairan laut dangkal di sekitar Pulau Panggang, Pulau

Pramuka dan Pulau Karya, Kepulauan Seribu ... 52 11. Alur pengolahan dan analisis data inderaja satelit ... 54 12. Struktur hirarki dalam pemetaan habitat bentik dan geomorfologi terumbu

di kawasan penelitian (modifikasi Knudby et al. 2011). ... 56 13. Matriks kesalahan dalam perhitungan nilai akurasi peta tematik

(modifikasi Congalton and Green 2009) ... 57 14. Transek pengamatan tanda/kegiatan pemijahan ikan terumbu ... 59 15. Tingkah laku berlindung, pewarnaan dan morfologi unik yang menjadi

tanda pemijahan ikan terumbu (sumber Colin et al. 2003) ... 59 16. Transek untuk pengamatan ikan dan habitat bentik ... 60


(28)

viii

17. Alur pemikiran analisis geospasial ... 61 18. Ilustrasi hirarki lingkup spasial (50, 100, dan 250 m) dalam pengukuran

konektivitas struktural habitat ontogeni ... 62 19. Peta tematik habitat perairan laut dangkal berdasarkan analisis data

inderaja Quickbird ... 64 20. Penampang melintang terumbu secara geomorfologi ... 67 21. Peta geomorfologi kawasan terumbu Kepulauan Seribu ... 68 22. Matriks kesalahan dan koefisien τ (tau) dalam penilaian akurasi peta

habitat tematik ... 71 23. Matriks kesalahan dan koefisien τ (tau) dalam penilaian akurasi peta

geomorfologi karang ... 72 24. Keragaan taksa menurut famili ikan terumbu yang menunjukkan

tanda/aktivitas pemijahan di stasiun penelitian ... 74 25. Kelimpahan dan keragaan juvenil ikan terumbu ... 76 26. Konektivitas struktural habitat ontogeni ... 78 27. Grafik Analisis Komponen Utama pengaruh geometrik habitat terumbu

karang terhadap keragaan taksa ikan dewasa ... 80 28. Grafik Analisis Komponen Utama pengaruh geometrik habitat lamun

terhadap keragaan ikan juvenil ... 82 29. Ilustrasi dan diagram alir pemeruman kondisi batimetri ... 93 30. Jalur transek pemeruman kondisi batimetri ... 93 31. Metode interpolasi menggunakan Inverse Distance Weighting (IDW) ... 95 32. Tahapan analisis geospasial dan BTM ... 97 33. Kalkulasi Indeks Posisi Batimetri atau Bathymetric Position Index ... 98 34. Visualisasi kalkulasi rugositas (modifikasi Wright et al. 2005)... 98 35. Peta batimetri daerah penelitian hasil pemeruman akustik ... 99 36. Tampilan 3 dimensi profil batimetri hasil pemeruman akustik ... 100 37. Sebaran transek yang menjadi acuan profil batimetri melintang ... 102


(29)

ix

38. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Panggang: A. Utara Pulau Panggang (UPG); B. Barat Laut Pulau Panggang (BLPG); C. Barat Daya Pulau Panggang (BDPG), dan; D: Barat Pulau Panggang (BPG). ... 105 39. Tampilan 3-dimensi profil batimetri di kawasan barat Pulau Panggang ... 105 40. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Panggang: A. Soft

Coral Garden; B. Selatan Pulau Panggang (SPG); C. Stasiun Pembesaran Lamun di Selatan Pulau Panggang (LPG6), dan; D: Tenggara Pulau

Panggang (TGPG).. ... 106 41. Tampilan 3 dimensi profil batimetri di kawasan timur Pulau Panggang dan

Karang Pengantin (KPEN) ... 106 42. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Panggang: A. Timur

Pulau Panggang (TPG) dan B. Timur Laut Pulau Panggang (TLPG). ... 107 43. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Karya: A. Barat

(BKAR); B. Timur (TKAR); dan C. Tampilan 3-dimensinya ... 108 44. Profil melintang batimetri di beting terumbu Gosong Pramuka: A.

Tampilan 3-dimensi beting terumbu Gosong Pramuka; B. Fish Shelter APL Kelurahan Pulau Panggang (FSPG), dan; C. Karang Pemanggang

(KPEM). ... 109 45. Profil melintang batimetri di beting terumbu Pulau Pramuka: A. Utara

Pulau Pramuka (UPR); B. Stasiun lamun di Timur Laut Pulau Pramuka (LPR1); C. Selatan Pulau Pramuka (SPR), dan; D. Karang Pengantin

(KPEN). ... 110 46. Profil batimetri resample hasil integrasi data akustik-Quickbird, dengan

ukuran grid 1 m x 1 m ... 112 47. Profil Indeks Posisi Batimetri kasar (broad BPI) menggunakan grid 1 m x

1 m pada lingkup terstandard 100 m ... 113 48. Profil Indeks Posisi Batimetri rinci (fine BPI) menggunakan grid 1 m x 1

m pada lingkup terstandard 30 m ... 114 49. Profil rugositas dasar perairan menggunakan grid 1 m x 1 m ... 115 50. Profil lereng dasar perairan menggunakan grid 1 m x 1 m ... 115 51. Profil zonasi geomorfologi terumbu ... 116 52. Struktur geomorfologi terumbu dan model geospasial habitat pemijahan

terumbu yang ditetapkan pada skala 1 m x 1 m ... 117 53. Visualisasi struktur geomorfologi A: Broad slope (Bros) dan B: Crevices,


(30)

x

54. Visualisasi struktur geomorfologi A: Current scoured depression (Cusd), B: Depression (Deps), C: Flat plains (Flaps), dan D: Flat ridges tops,

upper slopes (Flus). ... 118 55. Visualisasi struktur geomorfologi A: Local depression, current scours on

flat (Losf), B: Local ridges, boulders, pinnacles in slopes (Lops), C: Local ridges, boulders, pinnacles in depression (Lopd), dan D: Local ridges,

boulders, pinnacles on broad flats (Lopf). ... 119 56. Visualisasi struktur geomorfologi A: Rock outcrop highs, narrow ridges

(Ronr), B: Scarp, cliff; or small local depression on slope (Scos), dan

C: Steep slopes (Stop). ... 120 57. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan barat Pulau

Panggang (A: BPG dan BDPG, B: SPG). ... 123 58. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan utara Pulau

Panggang dan Gosong Pramuka (A: BLPG dan UPG, B: TLPG, KPEM, dan FSPG). ... 124 59. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan tenggara Pulau

Panggang (A: TPG, B: TGPG dan KPEN). ... 127 60. Struktur geomorfologi dasar perairan terumbu di kawasan Pulau Karya dan

batas barat domain penelitian (A: BKAR dan TKAR, B: KSEM, C:

KKEC). ... 128 61. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari MSL

menuju surut terendah (musim timur) ... 141 62. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi surut terendah

(musim timur) ... 141 63. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari MSL

menuju pasang tertinggi (musim timur) ... 142 64. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi pasang

tertinggi (musim timur) ... 142 65. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari MSL

menuju surut terendah (musim barat) ... 143 66. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi surut terendah

(musim barat) ... 144 67. Pola arus permukaan saat kedudukan muka air pada kondisi dari MSL

menuju pasang tertinggi (musim barat) ... 144 68. Pola Arus saat kedudukan muka air pada kondisi Pasang Tertinggi (musim


(31)

xi

69. Simulasi arah pergerakan larva ikan terumbu pada musim timur ... 146 70. Simulasi sebaran larva ikan terumbu pada musim timur, menurut kondisi

pasang tertinggi (atas) dan surut terendah (bawah) ... 147 71. Simulasi arah pergerakan larva ikan terumbu pada musim barat ... 148 72. Simulasi sebaran larva ikan terumbu pada musim barat, menurut kondisi

pasang tertinggi (atas) dan surut terendah (bawah) ... 149 73. Simulasi sebaran larva ikan pada akhir periode simulasi musim timur

(atas) dan musim barat (bawah). ... 152 74. Peta struktur geomorfik penciri habitat pemijahan ikan terumbu di perairan

Pulau Panggang dan sekitarnya, Kepulauan Seribu ... 159 75. Visualisasi aliran larva ikan pada musim timur melintasi bentang habitat

perairan laut dangkal ... 161 76. Visualisasi aliran larva ikan pada musim barat melintasi bentang habitat


(32)

(33)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Lokasi stasiun pengamatan ... 177 2. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 transek 1 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 178 3. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 transek 2 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 179 4. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 transek 3 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 180 5. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 transek 1 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 181 6. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 transek 2 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 182 7. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 transek 3 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 183 8. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 3 transek 1 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 184 9. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 3 transek 2 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 185 10. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 3 transek 3 di Pulau Panggang

bulan Juli 2011 ... 186 11. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 di Pulau Panggang bulan

Pebruari 2012 ... 187 12. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 di Pulau Panggang bulan

Pebruari 2012 ... 188 13. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 3 di Pulau Panggang bulan

Pebruari 2012 ... 189 14. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 4 di Pulau Panggang bulan

Pebruari 2012 ... 190 15. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 di Pulau Karya bulan


(34)

xiv

16. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 di Pulau Karya bulan

Pebruari 2012 ... 192 17. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 1 di Pulau Pramuka bulan

Pebruari 2012 ... 193 18. Lembar pengamatan padang lamun stasiun 2 di Pulau Pramuka bulan

Pebruari 2012 ... 194 19. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 1 dibagian

utara - barat Pulau Panggang ... 195 20. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 2 dibagian

barat gobah Pulau Panggang ... 196 21. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 3 di inner

lagoon-tenggara Pulau Panggang ... 197 22. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 4 di

backreef-tenggara Pulau Panggang ... 197 23. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 1 Pulau Karya . 198 24. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 2 Pulau Karya . 198 25. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 1 Pulau

Pramuka ... 199 26. Lembar pengamatan juvenile ikan di padang lamun stasiun 2 Pulau

Pramuka ... 200 27. Lokasi pengamatan pemijahan di perairan Kepulauan Seribu ... 201 28. Matriks geospasial habitat stasiun LPG1 di Pulau Panggang ... 210 29. Matriks geospasial habitat stasiun LPG2 di Pulau Panggang ... 210 30. Matriks habitat geospasial stasiun LPG3 di Pulau Panggang ... 211 31. Matriks habitat geospasial stasiun LPG4 di Pulau Panggang ... 211 32. Matriks habitat geospasial stasiun LPG5 di Pulau Panggang ... 212 33. Matriks habitat geospasial stasiun LPG6 di Pulau Panggang ... 212 34. Matriks habitat geospasial stasiun LPG7 di Pulau Panggang ... 213 35. Matriks habitat geospasial stasiun LKR1 di Pulau Karya ... 213 36. Matriks habitat geospasial stasiun LKR2 di Pulau Karya ... 214


(35)

xv

37. Matriks habitat geospasial stasiun LGSP di Pulau Gosong Pramuka ... 214 38. Matriks habitat geospasial stasiun LPR1 di Pulau Pramuka ... 215 39. Matriks habitat geospasial stasiun LPR2 di Pulau Pramuka ... 215 40. Matriks habitat geospasial stasiun LPR3 di Pulau Pramuka ... 216 41. Matriks habitat geospasial stasiun LPR4 di Pulau Pramuka ... 216 42. Matriks habitat geospasial stasiun BPG di bagian barat Pulau Panggang ... 217 43. Matriks habitat geospasial stasiun BDPG di bagian barat dayaPulau

Panggang ... 217 44. Matriks habitat geospasial stasiun SPG di bagian selatan Pulau Panggang .. 218 45. Matriks habitat geospasial stasiun TGPG di bagian tenggara Pulau

Panggang ... 218 46. Matriks habitat geospasial stasiun TPG di bagian timur Pulau Panggang ... 219 47. Matriks habitat geospasial stasiun TLPG di bagian timur laut Pulau

Panggang ... 219 48. Matriks habitat geospasial stasiun UPG di bagian utara Pulau Panggang ... 220 49. Matriks habitat geospasial stasiun BLPG di bagian barat laut Pulau

Panggang ... 220 50. Matriks habitat geospasial stasiun BKAR di bagian barat Pulau Karya ... 221 51. Matriks habitat geospasial stasiun TKAR di bagian timur Pulau Karya ... 221 52. Matriks habitat geospasial stasiun FSPG di lokasi fish shelter Gosong

Pramuka ... 222 53. Matriks habitat geospasial stasiun UPR di bagian utara Pulau Pramuka ... 222 54. Matriks habitat geospasial stasiun SPR di bagian selatan Pulau Pramuka .... 223 55. Matriks habitat geospasial stasiun KSEM di bagian selatan Karang Semak

Daun ... 223 56. Matriks habitat geospasial stasiun KKEC di bagian timur Karang Keling

Cetek ... 224 57. Matriks habitat geospasial stasiun KPEN di lokasi Karang Penganten


(36)

xvi

58. Matriks habitat geospasial stasiun KPEM di lokasi Karang Pemanggang

Pulau Panggang ... 225 59. Matriks jarak habitat pemijahan ke habitat padang lamun ... 226 60. Principal Component Analysis: AT50; AT100; AT250 ... 227 61. Principal Component Analysis: AL50; AL100; AL250 ... 229 62. Klasifikasi Algoritma pembuatan Zonal Benthic Terrain Modeller

(xml.file) ... 231 63. Klasifikasi Algoritma pembuatan Structure Benthic Terrain Modeller

(xml.file) ... 232 64. Posisi dan penutupan substrat dasar Ground Control Point untuk keperluan

uji akurasi ... 235 65. Acuan penutupan lamun menurut SeagrassWatch (MacKenzie et al. 2003) 243 66. Kalender Lunar, tahun 2010 ... 244 67. Kalender Lunar, tahun 2011 ... 245 68. Kalender Lunar, tahun 2012 ... 246 69. Prediksi Data Pasang Surut Bulan Januari 2012, lokasi Karang Pengantin,

Pulau Panggang ... 247 70. Prediksi Data Pasang Surut Bulan Juli 2012, lokasi Karang Pengantin,

Pulau Panggang ... 249 71. Model prediksi kecepatan angin bulan Januari 2012 ... 251 72. Model prediksi kecepatan angin bulan Juli 2012 ... 255


(37)

DAFTAR ISTILAH

Acanthuridae: salah satu famili ikan terumbu, ikan butana (surgeonfish)

Agregasi: kumpulan individu, umumnya hewan, yang membentuk kelompok berukuran besar (puluhan hingga ribuan individu) dalam satu area yang sempit, biasanya agregasi dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti untuk mengejar mangsa atau memijah Bathyscape: bentang dasar laut

Batimetri: profil kedalaman dan dasar perairan laut bentik: menetap atau berada di dasar

Beting terumbu:

reef rim (Eng.); perimeter yang membatasi perairan rataan terumbu (reef flat) yang tenang di bagian dalam (inner reef) dengan perairan lereng terumbu (reef slope) di bagian luar (outer reef), biasa disebut juga sebagai zona punggung terumbu (reef crest); ; timbunan substrat kapur, pasir, dan kategori bentik lain yang telah mengendap dan puncaknya meruncing, serta membentuk struktur yang mengelilingi rataan terumbu

Bioregion: kawasan yang luas yang dapat dikarakteristikkan oleh suatu biota, yang umumnya berupa biota penyusun habitat/ekosistem

BTM: Benthic Terrain Modeller

Bulan mati: periode awal/akhir penanggalan pada bulan komariah/fase lunar (hari ke-26 sampai hari ke-3, ditunjukkan dengan tutupan bulan 1/8 (sabit) atau kosong (gelap)

Bulan purnama:

periode pertengahan bulan komariah/fase lunar (hari ke-13 sampai ke-17), ditunjukkan dengan tutupan bulan penuh

Caesionidae: salah satu famili ikan terumbu, ikan ekor kuning (fusiliers) Carangidae: salah satu famili ikan terumbu, ikan kuwe (jacks)

CM: lihat coral massive

Coral massive: karang kompak, koloni karang yang berbentuk bongkahan besar Coral

submassive:

karang bonggol, koloni karang yang berbentuk bongkahan tersekat-sekat

Courtship behavior:

aktivitas berpasangan atau berkumpul dalam kelompok kecil (< 10 individu)

CS: lihat coral submassive

DEM Digital Elevation Model

Depression: lubuk, atau bentukan lembah yang lebih dalam dibandingkan wilayah dasar di sekitarnya


(38)

xviii

DHI: Danish Hydraulic Institute

ECMWF: European Centre for Medium-Range Weather Forecasts

Ekologi: cabang ilmu biologi yang mempelajari bagaimana suatu makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungannya, dengan fokus utama terkait sebaran dan kelimpahan makhluk hidup tersebut di alam. Secara struktural, kajian ekologi dapat dibagi menjadi 4 strata, yaitu (1) individu, (2) populasi, (3) komunitas, dan (4) ekosistem. ENVI Environment for Visualizing Images

Foraging: aktivitas mengejar mangsa yang intensif

FSA: Fish Spawning Aggregation atau agregasi pemijahan ikan; merupakan agregasi ikan yang ditujukan untuk melangsungkan proses reproduksi. Kelimpahan ikan yang melakukan agregasi pemijahan jauh lebih tinggi dibandingkan masa non-reproduktif. Geomorfik: Bentukan muka bumi

Geomorfologi: Kajian mengenai karakteristik maupun sejarah dan proses pembentukan struktur atau zona di permukaan bumi.

Geospasial: informasi atau data yang terkait dengan letak atau posisinya terjadap bumi. Informasi geospasial dapat disajikan dalam bentuk lapisan-lapisan yang spesifik dan diakumulasi menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis lanjutan dari data/informasi geospasial dapat mempermudah pemahaman atau kajian dari situasi yang kompleks, seperti habitat pesisir bahkan pergerakan makhluk hidup.

GPS: Global Positioning System; perangkat elektronik yang menerima sinyal satelit untuk menetapkan referensi geografis terhadap lintang dan bujur

Gravid: ikan betina yang menyimpan telur atau larva ikan di dalam tubuhnya

Habitat: tempat hidup

Haemulidae: salah satu famili ikan terumbu, ikan kumpele (sweetlips)

Hermafrodit: kondisi makhluk hidup (hewan dan tumbuhan) yang memiliki dua jenis kelamin (jantan dan betina) atau mampu memproduksi dua tipe gonad (telur dan sperma) dalam satu badan

Ikan terumbu: komunitas nektonik yang memiliki ketergantungan erat terhadap habitat/sumberdaya terumbu karang dalam seluruh atau salah satu fase hidupnya

Inderaja: penginderaan jauh, tool mendata kondisi permukaan bumi menggunakan sensor khusus yang letaknya jauh/tidak bersentuhan dengan obyek yang dikaji. Teknologi inderaja bisa bersifat optik (foto udara, citra satelit) atau akustik.


(39)

xix

Inner reef: perairan di bagian dalam terumbu, merupakan zona terumbu yang lebih terlindung dari gelombang atau arus dan lebih umum memiliki substrat pasir bercampur pecahan karang

Karang terumbu:

biota dan koloni karang yang mampu membangun struktur terumbu, contoh: karang kompak Porites, karang bercabang Acropora, dan lain-lain

Kesuksesan rekrutmen:

merujuk pada jumlah larva ikan per unit biomassa ikan dewasa yang terlibat aktivitas pemijahan dan sukses menetap di habitat pemeliharaan dan berkontribusi dalam menambah unit populasi. Terkait ruaya larva yang meliputi perairan pelagis, maka faktor kesuksesan rekrutmen dipengaruhi oleh arus, pasang surut, ketersediaan makanan, dan predasi.

Knoll sistem terumbu/bentukan koloni karang berukuran kecil yang umumnya ada di dalam laguna atau paparan laut dangkal

Konektivitas: menggambarkan keragaan suatu populasi spesies yang berbeda terhubungkan satu sama lain melalui sebaran/pertukaran individu pada fase telur/larva, juvenil, dan dewasa; bisa juga terkait dengan hubungan ekologis antar habitat yang terpisah dalam jarak dekat maupun jauh

Koridor migrasi:

Sejumlah spesies ikan dan nekton pelagis mengikuti jalur khusus saat melakukan migrasi dari suatu perairan ke perairan lain yang berbeda karakteristik maupun lingkup wilayah (region), yang bisa ditujukan untuk mencari makan, bertelur, memijah, dan lainnya. Jalur migrasi tersebut dinamakan koridor migrasi.

Labridae: salah satu famili ikan terumbu, selain ikan keling (Thalassoma

spp.) ikan napoleon (Cheilinus undulatus) termasuk ke dalam famili ini

lamun tutupan rendah:

kumpulan vegetasi lamun yang penutupannya kurang dari 30% dan mayoritas substrat dasar perairan diisi oleh pasir, pecahan karang, lumpur berpasir, dan kategori bentik lainnya, disingkat dengan LTR

lamun tutupan sedang:

kumpulan vegetasi lamun yang kisaran penutupannya 30-60%, disingkat dengan LTS

lamun tutupan tinggi:

kumpulan vegetasi lamun yang penutupannya lebih dari atau sama dengan 60%, disingkat dengan LTT

lamun: vegetasi tingkat tinggi yang hidup terendam di air laut, mampu membentuk hamparan di dasar perairan laut dangkal, serta menjadi habitat bagi komunitas juvenil ikan terumbu

Lutjanidae: salah satu famili ikan terumbu, ikan kakap (snapper)

Mating: kawin, bertemunya individu jantan dan betina untuk melakukan kegiatan reproduksi


(40)

xx

Morfologi: bidang ilmu yang mempelajari bentuk atau sejarah pembentukan raga suatu makhluk hidup atau wujud fisik muka bumi

OA: overall accuracy, prosedur pengukuran akurasi pengolahan dan klasifikasi data inderaja berdasarkan kombinasi nilai UA dan PA Ontogeni: sifat memiliki beberapa fase hidup yang memiliki kondisi,

adaptasi, dan tipe habitat yang berbeda signifikan (misalnya: fase larva planktonik di habitat pelagis, fase juwana di lamun, dan fase dewasa di terumbu karang)

Ontogeni: dapat juga disebut sebagai ontogenesis, merujuk pada kajian perubahan struktural suatu entitas hidup (individu suatu spesies), yang biasanya diawali dari perkembangan sel telur/sperma, diikuti oleh pembentukan zigot, larva/janin, juvenil, hingga perkembangannya menjadi dewasa. Pada penelitian ini ontogeni ditetapkan sebagai perkembangan individual suatu spesies/organisme (dari hanyutan telur/larva yang diproduksi ikan dewasa hingga menetap sebagai juvenil). Sebagai contoh adalah ikan kerapu (Serranidae) yang awalnya berbentuk telur di habitat terumbu karang, tumbuh sebagai larva dan tetap hanyut mengikuti dinamika gerak massa air hingga terbawa dan menetap di habitat lamun saat akhir fase larva/awal fase juvenile, akhirnya ikan tersebut kembali ke habitat terumbu karang saat dewasa. Outer reef: perairan terumbu luar, zona terumbu karang yang terpapar

gelombang atau arus

P:A: perimeter:area; salah satu parameter matematis dalam analisis geospasial, yang memperhitungkan rasio antara keliling (perimeter) dengan luas (area) dari suatu kelas tematik

PA: producer's accuracy, prosedur pengukuran akurasi klasifikasi data inderaja berdasarkan pengelasan yang dilakukan oleh software pengolah data

Parental care: salah satu mekanisme reproduksi ikan yang mana induknya memelihara telur atau larva dengan sangat intensif selama periode tertentu; biasa dilakukan oleh Syngnathidae (kuda laut) dan Amphiprion spp. (ikan giru atau ikan badut)

Pemijahan agregasi transien:

transient spawning aggregation (Eng.); merupakan aktivitas agregasi untuk pemijahan yang dilakukan dalam waktu singkat dengan melibatkan jarak migrasi yang jauh. Umumnya tipe pemijahan ini bersifat sulit untuk diprediksi kejadiannya.

Pemijahan massal:

aktivitas pemijahan yang melibatkan banyak individu ikan (>40-ratusan individu)

Pemijahan: aktivitas reproduksi ikan terumbu yang dilakukan dengan cara melepas gonad betina dan jantan ke perairan pada waktu yang hampir bersamaan, sehingga pembuahan berlangsung terbuka


(41)

xxi

pinnacle: bentukan terumbu yang mengerucut seperti gunungan, bisa tersusun oleh koloni karang kompak atau karang bonggol

Punggung terumbu:

zona terumbu yang memuncak atau membentuk gundukan lebih tinggi dibandingkan dengan rataan terumbu di bagian yang dekat darat dan lereng terumbu di bagian yang mengarah ke laut lepas (reef crest-Eng.)

Reef rim: lihat beting terumbu

Reefscape: bentang terumbu atau pemandangan di terumbu karang

Remote sensing:

lihat inderaja

Reproduksi: aktivitas biologis yang ditujukan untuk menghasilkan keturunan atau mengamankan stok/populasi suatu spesies

Resident FSA: tipe pemijahan yang melibatkan aktivitas migrasi jarak pendek menuju lokasi pemijahan, berlangsung periodik, dan kegiatan pemijahan berlangsung singkat (hanya 1-2 jam). Biasa tercatat pada ikan baronang, ikan keling, dan ikan butana

rFSA: reef fish spawning aggregation; agregasi pemijahan ikan terumbu, biasanya dilakukan oleh ikan target dan sejumlah famili ikan lain (Labridae, Plotosidae, Centrisciidae)

Rugositas: ukuran matematis terhadap kerumitan profil dasar laut atau habitat bentik di terumbu karang

Schooling: kelompok atau kumpulan individu ikan

SCRFA: The Society for the Conservation of Reef Fish Aggregations; Perkumpulan untuk Perlindungan terhadap Agregasi Ikan Terumbu

Serap larva: perairan yang menjadi daerah tujuan telur dan larva tersebar akibat pengaruh hidrodinamika dan menetap

Serranidae: salah satu famili ikan terumbu, ikan kerapu (grouper)

Siganidae: famili ikan terumbu, pada penelitian ini dikhususkan pada jenis-jenis ikan baronang (rabbitfish)

SPAG: spawning aggregation; agregasi pemijahan spur and

groove:

deretan parit dan gundukan yang terbentuk di lereng terumbu secara tegak lurus terhadap garis pantai

substrat: materi penyusun dasar perairan atau permukaan bumi, contoh: tanah, pasir, terumbu, batu karang, dan lain-lain

Sumber larva: area dari mana telur yang sudah difertilisasi dan larva diteruskan dalam kuantitas cukup untuk mempertahankan populasi lokal dan menyokong populasi di daerah penyangga (contoh: pemijahan agregasi)


(42)

xxii

Terumbu karang:

ekosistem atau habitat yang utamanya dibangun oleh komunitas hewan karang yang mampu menyekresi zat kapur, mampu membentuk habitat bagi beragam biota laut lain, khususnya ikan. Transek: umumnya berupa garis linier melintasi area yang di dalamnya

menjadi tempat pengukuran parameter ekologis (biota, substrat, dan parameter lingkungan lain)

Transient

FSA:

tipe pemijahan yang melibatkan aktivitas migrasi jarak jauh menuju lokasi pemijahan, muncul hanya pada bulan tertentu dalam kurun waktu setahun namun dapat berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Biasa digunakan oleh ikan kerapu, ikan kakap, dan ikan kuwe.

UA: user's accuracy, prosedur pengukuran akurasi klasifikasi data inderaja berdasarkan hasil groundtruth di lapangan oleh pengguna/peneliti


(43)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Informasi geospasial, khususnya yang dikembangkan dari data penginderaan jauh (inderaja), baik dari platform satelit maupun akustik, merupakan perangkat teknologi yang ideal dalam memetakan secara sinoptik kawasan perairan laut dangkal. Kawasan pesisir dan perairan laut di sekitar pulau kecil umumnya memiliki integrasi sejumlah habitat kritis seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan goba. Kemampuan delineasi habitat secara detail dan cakupan spasial yang dapat diatur sesuai kebutuhan pemangku kepentingan, menjadikan set data inderaja sebagai salah satu komponen informasi dasar yang strategis dalam membantu merumuskan kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Mumby et al.

2004; Green et al. 2000; Mumby et al. 1999).

Permasalahan mendasar aplikasi data inderaja dalam pemetaan habitat perairan dangkal adalah akurasi. Terlepas dari tingginya resolusi spasial yang dihasilkan wahana inderaja satelit, ketepatan dalam memetakan bentang habitat dan mengidentifikasi tipe habitat secara mendetail masih menjadi tantangan dan kendala yang terus dikaji secara ilmiah (Siregar et al. 2008, 2009). Selain bentang habitat, teknologi inderaja telah juga diterapkan untuk mengkaji aspek ekologi ikan terumbu, baik yang menggunakan satelit (Knudby et al. 2011; Siregar et al.

2010), foto udara (Grober-Dunsmore 2008), maupun radar (Wedding et al. 2008). Perkembangan ini dipacu oleh kemampuan teknologi inderaja menginformasikan keberadaan dan cakupan tipe ekosistem yang berbeda, serta kerumitan geometrik masing-masing habitat yang ada.

Merujuk pada sifat ontogeni sebagian besar spesies ikan terumbu dan keeratan hubungan ekologis antara ikan dan habitatnya (Sale et al. 2004), maka keberadaan informasi geospasial perairan laut dangkal secara langsung dapat mengindikasikan konektivitas struktural antar habitat yang digunakan pada masing-masing fase hidup ikan tersebut. Khususnya ketika ikan terumbu berada


(44)

2

dalam fase juvenil yang berlangsung di habitat lamun, maupun pada masa dewasa ketika ikan dijumpai di terumbu karang. Secara teknis spasial, proses ontogeni ikan terumbu melibatkan peran mangrove dan/atau lamun sebagai habitat pemeliharan saat ikan tumbuh dari fase larva menjadi juvenil, serta terumbu karang sebagai habitat pemijahan yang dihuni oleh ikan-ikan dewasa yang memijah dan memproduksi telur/larva. Grober-Dunsmore et al. (2009) menuliskan bahwa konektivitas habitat ontogeni dapat dipelajari menggunakan dua (2) tipe pendekatan, yaitu:

(i) Pendekatan struktural, dengan meninjau distribusi spasial masing-masing habitat yang digunakan suatu biota dalam bentang alam tertentu, dan; (ii) Pendekatan fungsional, dengan meninjau keragaan bentang alam terhadap

proses ekologi yang dialami oleh biota tersebut.

Pada penelitian ini, geospasial merupakan aspek utama yang ditekankan dalam mengkaji konektivitas habitat ontogeni ikan terumbu

Informasi geospasial yang diperoleh dari set data inderaja dapat menguraikan keragaan sebaran dan ukuran geometrik habitat dasar terumbu, untuk menelusuri apakah konektivitas struktural habitat ontogeni bersifat optimal atau sebaliknya. Kombinasi data inderaja satelit-akustik yang menggambarkan kondisi dasar perairan terumbu yang kompleks, khususnya di habitat pemijahan ikan terumbu, dapat disederhanakan menjadi set data raster yang menginfomasikan kerumitan dasar perairan (rugosity), kemiringan lereng (terrain), berikut geomorfologi dasar perairan lainnya menggunakan analisis

benthic terrain modeler (BTM). BTM merupakan salah satu fitur analisis dalam perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) komersial ArcGIS® (Wright et al. 2005), yang telah mulai diaplikasikan dalam perencanaan kawasan konservasi laut (Wright and Heyman 2008).

Konektivitas habitat ontogeni secara fungsional, akan dikaji berdasarkan potensi dari sejumlah habitat pemijahan untuk mengalirkan larva ikan terumbu yang bersifat ontogeni ke habitat lamun. Hasil BTM, khususnya batimetri dengan sistem grid rapat akan digunakan sebagai data input dalam membangun model hidrodinamika yang menyimulasikan aliran dan sebaran larva ikan dari terumbu


(45)

3

karang ke lamun, sebagai komponen konektivitas potensial yang melengkapi kajian konektivitas habitat ontogeni dari penelitian disertasi ini. Penelitian ini menggabungkan beberapa aspek teknologi, yaitu inderaja optik dan akustik, perangkat lunak SIG untuk pemodelan geospasial, dan pemodelan hidrodinamika, yang ditujukan untuk mengetahui karakteristik bentukan bumi secara mendetail dan akurat. Aspek teknologi tersebut dikombinasikan dengan hasil observasi in situ, untuk mengkaji konektivitas antara habitat pemijahan dan habitat pemeliharaan ikan terumbu di perairan laut dangkal Kepulauan Seribu.

1.2. Kerangka Pendekatan Masalah

Gugusan pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan tipologi khas ekosistem pulau karang (coral cays), yang memiliki beragam habitat yang saling terkoneksi satu sama lain, yaitu adanya terumbu karang, padang lamun, goba, pantai pasir, dan mangrove. Struktur geologi pulau di Kepulauan Seribu erat dipengaruhi oleh akresi terumbu karang yang secara bertahap menuju permukaan laut dan membentuk gosong terumbu, sedangkan angin musiman dan hidrodinamika secara umum mempengaruhi morfologi gosong terumbu dan pulau yang umumnya memiliki elevasi tidak lebih dari 10 meter di atas permukaan laut (Tomascik et al. 1997). Dikelilingi laut, kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya perikanan terumbu sebagai sumber penghasilan maupun pangan.

Perkembangan yang pesat, baik dalam sektor pembangunan maupun populasi penduduk, mengakibatkan sejumlah perubahan lingkungan yang drastis di sekitar pulau dan di dalam perairan Kepulauan Seribu. Insiden pencemaran (tumpahan minyak) dan pengaruh perubahan iklim (cuaca ekstrim dan peningkatan suhu) memberikan eskalasi terhadap degradasi lingkungan di Kepulauan Seribu. Hal tersebut berdampak terhadap penurunan kualitas habitat dan sumberdaya pesisir, mulai dari penyusutan luas padang lamun (Agus et al.

2012,in press), buruknya kondisi penutupan karang hidup (Setyawan et al. 2011), hingga menurunnya dan mengecilnya ukuran ikan hasil tangkapan.


(46)

4

Sumberdaya perikanan utama di Kepulauan Seribu adalah ikan terumbu, yang sedikitnya terdiri dari 168 spesies (Setyawan et al. 2011). Sebagian besar biota laut, termasuk ikan terumbu, menunjukkan perilaku ontogeni, yaitu memiliki tipe habitat yang berbeda untuk tiap fase hidupnya, khususnya pada fase larva, juvenil, dan dewasa (Nagelkerken 2009). Khusus untuk spesies ikan terumbu yang memiliki sifat ontogeni, umumnya merupakan kelompok ikan target tangkapan nelayan (Adrim 1993) dan/atau top predator di terumbu karang, serta menunjukkan tingkah laku reproduksi berupa memijah secara massal (Russell 2001), yang memiliki nilai ekonomi penting bagi nelayan setempat (observasi personal). Beberapa contohnya adalah ikan kerapu (Famili Serranidae), ikan bawal (Siganidae), ikan kakap (Lutjanidae), ikan keneke (Haemulidae), ikan lencam (Lethrinidae), termasuk ikan salome (Cheilinus undulatus-Labridae).

Dalam proses ontogeni tersebut, ikan terumbu dewasa memijah di habitat terumbu karang, sedangkan ikan terumbu juvenil hidup di habitat padang lamun atau mangrove yang lebih terlindung. Dengan demikian, salah satu komponen kajian geospasial konektivitas ontogeni yang dilakukan penelitian ini adalah menelaah sebaran spasial komunitas ikan dewasa dan juvenil di sejumlah titik pengamatan, berikut eksplorasi lokasi pemijahan dan dokumentasi tingkah laku dan ciri morfologi unik yang mengarah pada aktivitas pemijahan. Kegiatan tersebut telah dilakukan sejak September 2010 sebagaimana diilustrasikan dalam

roadmap penelitian pada Gambar 1.

Konektivitas diartikan oleh Crooks and Sanjayan (2006) dalam Nagelkerken (2009) sebagai pintasan yang secara interaktif menghubungkan biota dan proses ekologis terkait di dalam elemen bentang alam tertentu. Teknologi inderaja mutakhir, baik inderaja satelit maupun akustik, yang dipadukan dengan perangkat SIG dan analisis spasial statistik telah memungkinkan dalam perolehan, pengelolaan, dan analisis data yang diperlukan dalam kajian konektivitas pada skala spasial yang mudah diubahsuai selaras dengan permasalahan ekologis yang mengemuka.


(47)

5

Keterangan: *= aspek penelitian yang tidak diulas dalam disertasi Gambar 1. Roadmap penelitian disertasi

Bentang habitat pesisir Kepulauan Seribu bersifat kompleks, sehingga untuk mengkaji konektivitas spasial antara habitat pemijahan dengan habitat pemeliharaan diperlukan alat bantu berupa set data inderaja yang bersifat sinoptik. Kompleksitas bentang habitat pesisir dan pulau kecil terkait dengan adanya


(48)

6

pengaruh dinamika gerak air laut (pasang surut, arus, dan gelombang), beragamnya tipe habitat, serta jarak terdekat (proximities) antar habitat yang berbeda tersebut. Namun demikian, informasi geospasial yang dihasilkan dari data satelit inderaja masih memiliki sejumlah keterbatasan, yang secara khusus terkait akurasi yang selaras dengan kondisi nyata di permukaan bumi. Hal ini menjadi aspek penelitian yang ditelusuri melalui pengukuran informasi spektral in situ (Gambar 1), namun tidak dielaborasi lebih lanjut dalam kerangka penelitian disertasi ini (dalam roadmap berupa kotak bertanda bintang).

Pada penelitian ini, akurasi data inderaja Quickbird dan akustik batimetri dalam memetakan bentang terumbu, geometrik spasial, dan pemintakatan habitat perairan dangkal akan diintegrasikan dengan profil hidrodinamika dan ekostruktur komunitas ikan terumbu (Gambar 1). Sifat sinoptik, resolusi spasial yang tinggi, dan kemampuan deteksi fitur spasial secara detail membuat data Quickbird ideal dalam memetakan bentang terumbu secara detail, yang di dalamnya berlangsung proses hidrodinamis dan ekologis penting terkait konektivitas ontogeni ikan terumbu. Kajian akurasi informasi spasial dari data inderaja satelit memerlukan komponen pengambilan data lapangan yang dilakukan secara in-situ. Dalam penelitian ini, komponen penelitian in-situ diarahkan untuk mendapatkan tiga produk yang integratif, yaitu (1) peta tematik habitat dan geomorfologi perairan terumbu yang terperinci, khususnya di daerah yang menjadi domain penelitian; (2) model geospasial dari habitat pemijahan ikan terumbu, serta; (3) model hidrodinamika yang menunjukkan aliran dan sebaran larva ikan terumbu; yang menguraikan konektivitas habitat ontogeni ikan terumbu di Kepulauan Seribu, khususnya di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya.

Sebagai sumberdaya hayati yang paling penting bagi kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu, kelestarian stok perikanan menjadi aspek kajian dan tujuan pengelolaan terumbu karang yang utama. Pendekatan berbasis ekosistem, kini mulai mengemuka dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan dan ekosistem terumbu karang, yang bila diintegrasikan dengan keberadaan kawasan konservasi memerlukan penetapan batas geografis tertentu untuk memastikan


(49)

7

keberlanjutan proses-proses ekologis terkait, seperti pemijahan, menetapnya larva/juvenil, pemeliharaan larva/juvenil, dan rekrutmen.

Aspek konektivitas menjadi salah satu kesenjangan informasi yang utama dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan terumbu karang di Indonesia, sedangkan mayoritas spesies ikan terumbu yang bernilai ekonomis penting memiliki fase hidup yang berbeda yang dilangsungkan di tipe habitat yang berbeda pula (sifat ontogeni). Informasi geospasial yang berasal dari data satelit inderaja berperan strategis dalam mengidentifikasi tipologi habitat perairan laut dangkal yang majemuk dan batas antar habitat yang kompleks. Untuk mengatasi masalah akurasi dalam pemetaan menggunakan data satelit inderaja, pada penelitian ini dilakukan pengukuran batimetri melalui survei akustik untuk masing-masing kelompok habitat bentik dan bentang geomorfik tertentu, seperti misalnya pada zona reef crest, padang lamun berdensitas tinggi, laguna, dan lain-lain. Pengukuran ground truth dalam lingkup penelitian ini meliputi survei transek secara acak yang mewakili seluruh tipe habitat dan bentang geomorfik, serta survei transek akustik dengan Garmin MapSounder untuk memetakan profil

terrain dan kedalaman, serta pemantauan komunitas ikan terumbu.

Perencanaan spasial kelautan merupakan aspek yang semakin berkembang dalam pengelolaan zonasi dan kawasan konservasi. Sebagian besar pulau di wilayah Kepulauan Seribu memang termasuk kawasan yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi (Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu), dan beberapa tahun terakhir masyarakat di beberapa kelurahan telah mengembangkan adanya Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Terlepas dari adanya mekanisme perlindungan di kawasan-kawasan konservasi tersebut, kelemahan utama dari mekanisme perlindungan yang telah ada saat ini adalah tidak terampunya perlindungan terhadap habitat lain yang berperan dalam konektivitas ontogeni yang merupakan salah satu aspek strategis keberlanjutan sumberdaya hayati di wilayah pesisir nusantara.


(50)

8

1.3. Aspek Kebaharuan Penelitian

1. Model geospasial yang dihasilkan dari integrasi inderaja optik dan akustik, ditunjukkan dalam format peta habitat dan geomorfologi yang menggambarkan konektivitas struktural habitat ontogeni ikan terumbu.

2. Model geospasial yang menyimulasikan aliran dan sebaran larva dari habitat pemijahan terumbu karang ke habitat pemeliharaan di lamun, diperoleh untuk dua periode (musim timur dan musim barat). Model tersebut menghasilkan informasi konektivitas potensial habitat ontogeni, yang bersamaan dengan poin pertama di atas menjadi aspek kebaruan utama dari penelitian disertasi ini.

Implikasi lanjutan yang dapat dimanfaatkan dari hasil penelitian ini adalah memperbarui lingkup spasial yang menjadi zona perlindungan, sehingga dapat meningkatkan efektivitas konservasi terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu, baik di kawasan Taman Nasional maupun di Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui konektivitas geospasial habitat ontogeni ikan terumbu di perairan Kepulauan Seribu, khususnya daerah Pulau Panggang dan sekitarnya, melalui pendekatan sistematis berikut:

1. Menentukan struktur konektivitas geospasial habitat ontogeni ikan terumbu menggunakan set data inderaja optik;

2. Mendeteksi fitur geomorfologi habitat ontogeni, khususnya habitat pemijahan ikan terumbu, menggunakan integrasi data inderaja optik-akustik dan Benthic Terrain Modeler;

3. Menentukan potensi konektivitas geospasial habitat ontogeni ikan terumbu menggunakan model hidrodinamika aliran larva.


(51)

9

1.5. Struktur Penulisan

Penulisan disertasi ini disajikan secara tematik, dengan mengedepankan aspek kajian konektivitas berdasarkan sifatnya (struktural dan potensial). Sebelum memasuki inti atau pokok bahasan utama, terlebih dahulu disarikan informasi berbasis literatur untuk memfasilitasi penalaran teknis dan ekologis, serta sekelumit hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan. Secara teknis, disertasi ini terdiri atas delapan (8) bab, yaitu:

BAB 1. PENDAHULUAN. Berisikan uraian singkat yang mendasari latar belakang pelaksanaan dan tujuan penelitian ini serta aspek kebaharuan yang dicapai.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menyajikan penalaran antara aspek ilmu (biosains) dengan teknologi kelautan, dalam hal ini aspek inderaja dengan ekologi ikan terumbu yang bersifat ontogeni.

BAB 3. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KERAGAAN KOMUNITAS IKAN TERUMBU ONTOGENI. Menguraikan gambaran sekilas mengenai kawasan, habitat pesisir, dan komunitas ikan di Kepulauan Seribu yang utamanya dihasilkan saat penelitian pendahuluan dilaksanakan.

BAB 4. KONEKTIVITAS STRUKTURAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN ANALISIS GEOSPASIAL DATA INDERAJA SATELIT QUICKBIRD. Menjelaskan pemetaaan tematik habitat dan geomorfologi perairan laut dangkal di daerah penelitian yang dihasilkan dari data Quickbird, serta menguraikan statistik spasial yang menakar keterkaitan aspek geometrik dengan keragaan ikan ontogeni. BAB 5. INTEGRASI INDERAJA SATELIT DAN AKUSTIK DALAM

PEMODELAN GEOSPASIAL HABITAT PEMIJAHAN IKAN TERUMBU. Mengeksplorasi bentukan bumi di habitat pemijahan ikan terumbu dengan mengombinasikan data inderaja Quickbird dan MapSounder yang dianalisis pada sistem grid rapat menggunakan

Benthic Terrain Modeler.

BAB 6. KONEKTIVITAS POTENSIAL HABITAT ONTOGENI

BERDASARKAN MODEL ALIRAN LARVA IKAN TERUMBU. Menakar potensi konektivitas habitat ontogeni menggunakan pemodelan hidrodinamika, yang data masukan utamanya adalah batimetri hasil BTM.

BAB 7. PEMBAHASAN UMUM. Menguraikan keterkaitan antar seluruh Bab dengan penekanan pada aspek geospasial dan konektivitas habitat ontogeni ikan terumbu.


(52)

(53)

11

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inderaja dan Informasi Geospasial Perairan Laut Dangkal

Penginderaan jauh (inderaja) mengacu pada teknik deteksi atau pengukuran yang dilakukan oleh pengamat secara tidak bersentuhan langsung dengan obyek studi. Teknik tersebut terdiri dari dua jenis berdasarkan metode pengumpulan data, yaitu inderaja aktif dan pasif. Inderaja sistem aktif memiliki sumber iluminasi seperti suara atau cahaya yang dipancarkan secara langsung, sedangkan sistem pasif mengandalkan sinar matahari dan energi yang dipancarkannya untuk memperoleh data (Jensen 2005).

Informasi geospasial menggunakan satelit inderaja merupakan platform

ideal dan yang paling utama diaplikasikan di perairan nusantara untuk memetakan secara sinoptik kawasan perairan laut dangkal yang memiliki integrasi sejumlah habitat kritis seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan goba. Kemampuan delineasi habitat secara detail dan cakupan spasial yang dapat diatur sesuai kebutuhan pemangku kepentingan, menjadikan set data inderaja sebagai salah satu komponen informasi dasar yang strategis dalam membantu merumuskan kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya dan lingkungan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Mumby et al. 2004; Green et al. 2000; Mumby et al. 1999). Di sisi lain, akses terhadap data yang lebih mudah dengan pilihan resolusi dan harga yang variatif, membuat data satelit inderaja multispektral lebih marak digunakan dibandingkan data inderaja lain seperti LiDAR, CASI, hiperspektral, dan foto udara.

Penelitian inderaja satelit di perairan laut dangkal, khususnya di wilayah pesisir yang memiliki beragam tipe habitat yang saling terkoneksi satu sama lain, telah dimulai sejak diluncurkannya satelit Landsat di akhir tahun 1970an. Sejak saat itu sampai kini, telah ada puluhan satelit yang data hasil pemeruman muka buminya digunakan untuk memetakan habitat perairan laut. Beberapa di antaranya kerap digunakan untuk memetakan habitat perairan laut dangkal karena kelebihan sensornya, yaitu Landsat-TM, SPOT, Ikonos, dan Quickbird.


(54)

12

2.1.1. Inderaja terumbu karang

Kegiatan pemetaan terumbu karang dan padang lamun telah giat dilakukan sejak peluncuran satelit Landsat MSS (Multispectral Scanner) tahun 1975. Diawali oleh Lyzenga pada tahun 1981 yang memetakan material penutupan dasar perairan North Cat Cay, Bahama, menggunakan citra Landsat MSS dipadu dengan pengamatan in situ (foto bawah air) menemukan bahwa pantulan dasar dapat dibagi ke dalam empat kelas, yaitu: batas area bervegetasi, lapisan Thalassia, pasir karbonat berwarna putih, dan lapisan tidak bervegetasi yang keras (Sagawa

et al. 2007).

Prinsip kerja pendeteksian obyek terumbu karang menggunakan inderaja satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reflektansi langsung yang unik dari tiap obyek di dasar perairan yang direkam oleh sensor satelit. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm). Setelah mencapai dasar perairan, kedua sinar ini akan dihamburkan kembali ke atmosfer dan dipindai oleh sensor satelit. Setakat ini, satelit Quickbird menyediakan platform yang terbaik dengan resolusi spasial mencapai 2,4 meter dan kemampuan deteksi paling unggul dibandingkan inderaja satelit lainnya (Andrefouet and Wantiez 2010).

Nilai spektral dari masing-masing tipe substrat atau habitat perairan laut dangkal dapat dihasilkan dengan menghilangkan pengaruh atmosfer (absorpsi dan penghamburan) dan kolom air (refleksi, refraksi, absorpsi dan penghamburan). Perbedaan pola spektral substrat dasar kemudian menjadi kunci identifikasi substrat dasar. Namun kemampuan membedakan substrat dasar akan turun seiring dengan pertambahan kedalaman perairan. Kajian komparasi sensor satelit dalam memetakan perairan dangkal, khususnya habitat terumbu karang dan sekitarnya, telah dilakukan oleh Mumby et al. (1997) dan Capolsini et al. (2003) dan diketahui bahwa data CASI dan Quickbird termasuk beberapa platform inderaja yang unggul untuk pemetaan habitat terumbu karang.


(55)

13

2.1.2. Inderaja padang lamun

Selain terumbu karang, padang lamun harus dipertimbangkan sebagai salah satu ekosistem perairan laut dangkal yang paling penting bagi manusia, karena berperan penting dalam perikanan, khususnya sebagai daerah pemeliharaan larva dan pembesaran larva/juvenil ikan. Perkiraan global bentang padang lamun saat ini adalah 177.000 km2, namun masih terdapat senjang informasi yang lebar untuk pemetaan padang lamun di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang diduga memiliki lamun seluas 30.000 km2 (Ooi et al. 2011; Green and Short 2003). Teknologi inderaja, seperti foto udara, citra satelit multispektral, dan citra satelit resolusi tinggi dapat mengurangi kesenjangan pengetahuan besar informasi mengenai pemetaan padang lamun di kawasan nusantara.

Hubungan antara lamun dan karakteristik spektral adalah penting untuk interpretasi citra penginderaan jauh. Sebagai salah satu tanaman penting membentuk-habitat di perairan pasang surut, lamun merupakan salah satu aspek yang paling penting dari produktivitas biologi kelautan, sumber utama makanan bagi ikan, invertebrata, penyu laut dan dugong, serta banyak habitat pembibitan komersial penting spesies. Meskipun sifat sinoptik data penginderaan jauh dalam pemetaan padang lamun, hubungan kuantitatif antara spesies lamun dan mencakup terhadap reflektansi spektral mereka masih harus sepenuhnya dieksplorasi.

Penggunaan citra multispektral atau hiperspektral untuk studi ekosistem pesisir terus berkembang. Sebuah asumsi dasar penginderaan jauh tergantung pada fitur yang menarik unik refleksi atau memancarkan energi cahaya, pada gilirannya, memungkinkan penggambaran dan pemetaan berbagai fitur (Dekker et al. 2005; Fyfe 2003). Dengan bandwidth yang sempit, variasi dalam penyerapan spektra elektromagnetik akan terdeteksi lebih detail menggunakan citra satelit hiperspektral. Dikombinasikan dengan data hasil pengukuran spektral in situ, maka interpretasi citra satelit dapat digunakan untuk menetapkan kelas habitat lamun yang lebih rinci, bahkan sampai pada tingkat spesies lamun dominan atau komposisi jenis lamun yang ada (Dekker et al. 2005).


(1)

251

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

12 4.277 303

15 3.477 322

18 5.297 311

21 5.602 329

1/18/2012 0 5.465 315

3 5.689 321

6 6.177 319

9 3.951 333

12 3.693 316

15 3.223 324

18 4.195 312

21 4.334 334

1/19/2012 0 4.555 322

3 4.664 327

6 5.134 310

9 3.36 328

12 2.937 319

15 2.682 327

18 2.835 314

21 3.72 315

1/20/2012 0 3.642 309

3 4.19 308

6 5.093 302

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

9 3.316 290

12 3.831 284

15 2.52 263

18 2.316 250

21 2.412 280

1/21/2012 0 1.29 349

3 3.541 355

6 3.346 325

9 3.446 310

12 3.184 293

15 3.034 278

18 3.14 279

21 3.239 282

1/22/2012 0 4.16 295

3 4.291 304

6 2.903 327

9 2.694 304

12 1.984 306

15 1.747 301

18 2.99 275

21 3.209 271

1/23/2012 0 3.016 255

3 2.744 269

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

6 4.234 321

9 3.701 284

12 3.166 297

15 2.783 261

18 3.219 282

21 3.59 289

1/24/2012 0 4.494 289

3 4.766 302

6 4.684 310

9 3.708 276

12 2.337 277

15 3.171 289

18 4.797 295

21 4.741 280

1/25/2012 0 4.259 287

3 4.609 286

6 3.746 300

9 4.55 270

12 3.584 285

15 3.823 273

18 5.034 255

21 4.374 267

1/26/2012 0 4.393 264


(2)

252

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

3 4.825 281

6 3.585 282

9 3.982 260

12 3.164 259

15 2.359 303

18 1.69 307

21 2.892 280

1/27/2012 0 3.196 287

3 4.003 288

6 3.67 293

9 3.678 262

12 2.98 264

15 3.077 286

18 3.429 281

21 4.121 299

1/28/2012 0 4.62 311

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

3 4.806 323

6 4.787 321

9 3.565 339

12 4.209 298

15 4.087 290

18 3.76 272

21 4.149 262

1/29/2012 0 3.135 263

3 2.758 285

6 3.542 323

9 3.611 256

12 2.615 277

15 2.21 266

18 4.144 256

21 3.5 255

1/30/2012 0 5.217 237

Tanggal Jam

Wind Speed (m/s)

Direction (Degree)

3 4.833 235

6 6.93 242

9 6.333 231

12 8.067 234

15 6.579 231

18 6.378 240

21 7.03 230

1/31/2012 0 7.038 243

3 6.544 247

6 4.564 256

9 6.512 239

12 4.429 245

15 4.259 234

18 5.252 244

21 4.036 248


(3)

253

Lampiran 72. Prediksi data kecepatan dan arah angin untuk kawasan Kepulauan Seribu bulan Juli 2011 (musim timur).

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

7/1/2012 0 4.71332 100

3 5.18944 96

6 5.62399 81

9 3.84545 104

12 5.0545 87

15 4.68447 86

18 3.94776 99

21 4.60152 81

7/2/2012 0 5.65041 94

3 6.67152 83

6 4.57164 68

9 3.76364 61

12 4.9676 53

15 3.51512 45

18 1.31653 9

21 1.58393 340

7/3/2012 0 0.421217 86

3 1.1032 96

6 2.90251 105

9 2.75936 130

12 3.10761 151

15 2.31218 147

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

18 2.74134 193

21 2.09246 145

7/4/2012 0 0.780234 221

3 0.769796 131

6 0.177011 179

9 1.39841 177

12 1.95665 233

15 2.19741 223

18 2.0031 192

21 2.792 199

7/5/2012 0 1.40609 115

3 1.06344 110

6 2.36964 69

9 2.20164 97

12 4.06723 97

15 5.18672 92

18 4.09764 87

21 3.95378 77

7/6/2012 0 3.83818 85

3 3.98671 83

6 2.62009 77

9 3.32717 103

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

12 1.7391 114

15 2.40105 112

18 1.17385 148

21 2.88661 150

7/7/2012 0 3.23245 136

3 3.49281 112

6 3.09841 119

9 3.35355 99

12 2.90766 102

15 1.66973 105

18 1.01615 111

21 1.12289 287

7/8/2012 0 0.379111 229

3 1.11565 241

6 2.24894 296

9 1.40068 243

12 2.26386 236

15 2.51316 212

18 3.46283 219

21 4.48386 201

7/9/2012 0 3.71105 201


(4)

254

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 1.38882 118

9 2.60977 144

12 2.43224 95

15 2.44654 96

18 2.88653 105

21 4.1371 123

7/10/2012 0 4.91573 104

3 5.92291 94

6 5.42551 102

9 5.05303 90

12 5.83039 98

15 5.53764 104

18 3.78173 93

21 5.09079 109

7/11/2012 0 5.73251 105

3 6.57092 102

6 5.73158 105

9 5.09642 109

12 5.07172 112

15 5.80279 112

18 4.81791 110

21 4.88846 109

7/12/2012 0 4.64086 102

3 5.74796 95

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 4.50223 91

9 4.2123 104

12 4.5377 102

15 4.57936 97

18 3.95517 91

21 3.90386 104

7/13/2012 0 3.46564 84

3 5.31566 69

6 5.73468 59

9 4.71466 77

12 3.68035 92

15 3.96215 100

18 2.70401 106

21 4.00314 113

7/14/2012 0 4.33833 108

3 5.1915 102

6 4.50811 82

9 4.42629 108

12 4.92041 103

15 5.33487 102

18 4.42127 113

21 3.73584 101

7/15/2012 0 5.9936 100

3 7.33684 101

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 7.26752 93

9 6.00073 100

12 5.04219 97

15 4.59245 104

18 3.12168 123

21 5.17614 99

7/16/2012 0 3.59699 134

3 4.95357 125

6 7.24196 108

9 8.33716 107

12 8.66539 98

15 8.96034 94

18 6.77582 109

21 8.68258 96

7/17/2012 0 7.20056 101

3 6.99794 98

6 5.82029 67

9 6.21058 103

12 4.96468 92

15 4.69777 92

18 4.64069 84

21 4.38558 105

7/18/2012 0 2.81969 94

3 4.53712 77


(5)

255

Tanggal Jam Wind

Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 4.62172 69

9 4.00896 83

12 4.0767 74

15 3.50333 89

18 2.48044 99

21 2.8941 80

7/19/2012 0 1.40718 135

3 2.61293 114

6 1.8009 168

9 3.59875 121

12 3.3049 145

15 3.84964 131

18 2.18031 141

21 4.3086 127

7/20/2012 0 3.28472 143

3 4.06378 136

6 2.83594 126

9 4.70163 120

12 3.18162 91

15 3.7079 76

18 2.17533 108

21 4.02225 94

7/21/2012 0 4.60201 105

3 5.61298 111

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 2.35704 105

9 4.73347 116

12 2.66869 112

15 2.94479 111

18 1.84114 70

21 2.27034 139

7/22/2012 0 2.30238 165

3 2.36013 143

6 1.02454 255

9 2.90668 138

12 1.51648 196

15 2.21733 198

18 1.86104 195

21 4.46329 188

7/23/2012 0 4.05124 164

3 5.13339 156

6 2.58267 110

9 4.44626 146

12 3.04372 83

15 3.62304 75

18 1.86476 68

21 3.33474 105

7/24/2012 0 3.05327 109

3 3.97925 108

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 4.9756 119

9 4.82289 105

12 4.34413 111

15 3.88274 107

18 4.09691 88

21 4.53763 110

7/25/2012 0 4.84409 106

3 5.64372 102

6 7.05701 96

9 5.22862 99

12 7.0268 102

15 6.63504 100

18 5.99955 85

21 5.55249 102

7/26/2012 0 6.45295 109

3 6.58513 108

6 3.97965 105

9 4.60745 110

12 3.83705 105

15 2.67996 106

18 2.22473 75

21 4.55315 103

7/27/2012 0 4.26992 105

3 5.15365 106


(6)

256

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

6 2.3882 161

9 4.45817 92

12 3.0802 169

15 4.77068 166

18 2.51497 190

21 5.1771 180

7/28/2012 0 4.89502 154

3 4.76532 135

6 4.59549 135

9 4.16272 124

12 3.48459 131

15 3.06866 121

18 4.96108 107

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

21 4.04739 121

7/29/2012 0 4.30168 122

3 5.24885 122

6 3.326 113

9 5.50279 110

12 6.26712 104

15 6.01471 104

18 4.49532 91

21 4.13857 99

7/30/2012 0 5.87001 88

3 6.44769 86

6 5.59479 88

9 4.38522 92

Tanggal Jam Wind Speed (m/s)

Direction (Degrre)

12 7.03011 83

15 7.6569 88

18 6.36809 91

21 6.25583 97

7/31/2012 0 6.93995 101

3 7.06082 99

6 5.87549 99

9 6.49067 102

12 5.9685 106

15 5.24632 104

18 3.75044 86

21 4.07559 126