tinggi dan fisik kriteria infrastruktur yang belum memadai di DAS Ciliwung Hulu lebih rendah dibandingkan DAS Ciliwung Tengah.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung Hilir paling rendah dibandingkan hulu dan tengah. Indikator yang paling dominan
membedakan tingkat kemampuan adaptasi di DAS Ciliwung adalah aspek alam atau tersedianya lahan resapan yang cukup. Lahan resapan dalam penelitian ini
menggunakan asumsi bahwa lahan selain areal terbangun dan lahan terbuka mempunyai kemampuan infiltrasi serta besarnya kemampuan tersebut
diasumsikan sama. Berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2007 terlihat bahwa DAS Ciliwung Hilir daerah resapannya sebesar 1.7, diikuti DAS
Ciliwung Tengah sebesar 32 dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 94. Sedangkan lahan non resapan di DAS Ciliwung Hilir sebesar 97, DAS Ciliwung Tengah
sebesar 67 dan DAS Ciliwung Hulu sebesar 5.4. Dapat disimpulkan bahwa alam mempunyai peranan yang penting bagi manusia untuk beradaptasi terhadap
perubahan atau ancaman yang ada karena alam menyediakan jasa dan ekosistem yang sangat vital bagi manusia Alcamo et al. 2003.
6.4 Analisis Adaptasi Berbasis Ekosistem Hutan
Dari hasil pemetaan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim terlihat bahwa perubahan iklim bersifat global, tetapi tingkat kerentanan sistem
alam dan masyarakat berbeda secara lokal. Selain itu, Gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa DAS Ciliwung rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi ini
akan berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung. Masyarakat yang lebih peka dan mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih
rendah akan lebih rentan, begitu juga sebaliknya. Untuk menghadapi perubahan iklim diperlukan usaha mitigasi dan adaptasi.
Usaha mitigasi merupakan usaha manusia untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dengan cara mengurangi sumbernya IPCC 2001. Usaha ini antara lain:
hemat energi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, menghentikan penebangan dan pembakaran hutan dan mendesak penggunaan energi terbarukan
seperti matahari, air dan angin yang ramah lingkungan. Semenjak berdirinya kerangka kerja konvensi perubahan iklim UNFCC-United Nations Framework
Convention on Climate Change sampai Protokol Kyoto, mitigasi merupakan
primadona atau fokus utama. Protokol Kyoto mewajibkan negara Annex 1 negara maju untuk menurunkan emisi GRK rata-rata sebesar 5.2 dari tingkat emisi
tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Hal ini bisa dilakukan melalui tiga mekanisme yaitu: a JI Joint Implementation; b CDM Clean Development
Mechanism; dan c ET Emission Trading. Selain itu, pada COP ke-13 di Bali tahun 2007 menghasilkan suatu konsep mitigasi perubahan iklim lewat
mekanisme REDD reducing emission from deforestation and forest degradation Kebijakan-kebijakan mitigasi di atas, sampai saat ini belum efektif dan
membutuhkan waktu lama. Selain itu, perubahan iklim tidak bisa dikurangi secara tuntas sehingga perubahan iklim akan terus berlangsung dan memberikan
dampaknya secara perlahan-lahan kepada alam dan masyarakat. Perubahan iklim, terutama curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis, terutama debit
di DAS Ciliwung KNLH 1998; Pawitan et al. 2000; Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; BPDAS Ciliwung Citarum 2007. Perubahan kuantitas atau
ketidakseimbangan kondisi hidrologis di DAS Ciliwung berpengaruh pada tingkat kerentanan masyarakat di DAS Ciliwung. Oleh karena itu, diperlukan usaha
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim ke depan. Keseimbangan hidrologis di DAS Ciliwung, selain dipengaruhi oleh
perubahan iklim juga topografi serta penggunaan lahan Singgih 2000; Pawitan 2002; Fakhruddin 2003; Asdak 2007. Dari ketiga unsur tersebut, penggunaan
lahan merupakan salah satu unsur yang dapat dikendalikan oleh manusia. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung tiap tahun mengalami perubahan.
Perubahan penggunaan lahan hampir pasti mengikuti pola dari jenis penggunaan hutan ke pertanian, perkebunan dan berlanjut ke pemukiman sejalan dengan
perkembangan wilayah perkotaan Pawitan 2002. Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan tahun 2007 tersaji pada Tabel 14.
Pada Tabel 14 terlihat bahwa pengunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1996 dan tahun 2007 telah mengalami perubahan. Lahan untuk hutan dan tubuh air
mengalami penurunan. Sedangkan lahan untuk areal terbangun mengalami peningkatan.
Tabel 14 Pola perubahan tata guna lahan di DAS Ciliwung
Jenis Penggunaan
Lahan Ciliwung Hulu Ha
Ciliwung Tengah Ha Ciliwung Hilir Ha
1996 2007 1996 2007 1996 2007
Hutan 6 089.24
5 748.89 110.09 110.09 14.11
0.00 Ladangtegalan
7 292.64 7 537.82
5 327.22 5 499.69 115.95
208.40 Sawah 0.00
0.00 30.66 72.20 0.00
0.00 Lahan terbuka
0.00 16.81
160.11 0.00 235.76
0.00 Areal terbangun
758.75 761.79
11 703.73 11 772.99
17 821.99 17 949.98
Tubuh air 0.00
0.00 165.61
38 42 119.08
107.84
Total 14 140.62
14 065.30 17 497.41
17 493.38 18 306.90
18 266.22
Sumber : Analisis peta penggunaan lahan tahun 1996 Lampiran 5 dan tahun 2007 Lampiran 7
Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung umumnya menyimpang dari rencana tata ruang wilayah RTRW. Pola penyimpangan RTRW di DAS
Ciliwung tersaji pada Tabel 15. Pada Tabel 15 terlihat bahwa telah terjadi penyimpangan tata ruang pada berbagai arahan penggunaan kawasan.
Penyimpangan terbesar terjadi pada pemukiman perkotaan seluas 22096.30 Ha 31.68, diikuti pemukiman pedesaan seluas 5153.6 Ha 29.44 dan kawasan
pertanian lahan kering seluas 14661.5 Ha 19.27. Berdasarkan fungsi kawasan hutan, penyimpangan yang terjadi relatif kecil, yaitu 1.11 di hutan lindung dan
7.52 di hutan produksi. Tabel 15 Penyimpangan RTRW di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah
No Arahan Tata
ruang Luas RUTRW
Ha Penyimpangan
Ha
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Kawasan lindung Kawasan hutan produksi
Kawasan pertanian lahan kering Kawasan pertambangan
Kawasan pariwisata Kawasan pemukiman pedesaan
Kawasan waduk Kawasan perkotaan
Kawasan industri Kawasan pertanian lahan basah
38 144.60 42 266.00
76 089.10 2 397.10
2 324.90 17 507.50
1 950.00 69 754.00
4 487.70 40 631.00
424.90 3 179.40
14 661.50 225.00
- 5 153.60
- 22 096.30
647.00 883.50
1.11 7.52
19.27 9.39
- 29.44
- 31.68
14.42 2.17
Total 295
551.90 47
271.20 15.99
Sumber : Karyana 2007
Selain terjadi pola perubahan penggunaan lahan, di DAS Ciliwung juga terjadi degradasi lahan. Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung tersaji pada
Tabel 16. Tabel 16 Penyebaran lahan kritis di DAS Ciliwung
No Kawasan Luas
Ha
1 Luar kawasan
1211.20 2
Kawasan lindung non hutan 800.00
3 Dalam kawasan
a hutan produksi
32.70 b
Hutan konservasi 240.00
Jumlah 2283.90
Sumber : Karyana 2007
Pada Tabel 16 terlihat bahwa luas lahan kritis di luar kawasan adalah 53, kawasan lindung non hutan sebesar 35.03 dan dalam kawasan sebesar 11.94,
dimana 10 berada pada kawasan hutan konservasi. Selain itu, terlihat juga bahwa lahan kritis tidak hanya terjadi pada kawasan hutan.
Degradasi lahan pada kawasan hutan, umumnya disebabkan karena proses pembalakan Alikodra Syaukani 2008; Marwa et al. 2010. Lebih lanjut
dikatakan oleh Alikodra Syaukani 2008 bahwa pada Perum Perhutani III Jawa Barat, pada tahun 1988 – 1977 intensitas pembalakan naik sebesar 180. Tahun
1998 – 1999 naik sebesar 600. Selain itu, 50 ribu Ha hutan di bawah BKSDA mengalami rusak berat karena pembalakan liar.
Degradasi dan perubahan penggunaan lahan, terutama ekosistem hutan di DAS Ciliwung telah memberikan pengaruh pada respon hidrologi di DAS
Ciliwung Singgih 2000; Fakhruddin 2003; Pawitan 2006; Lisnawati 2006 dan kemampuan potensial tanah untuk menahan hujan dan aliran permukaan
Yusmandhany 2004. Berdasarkan persepsi sebagian besar responden menyatakan bahwa kuantitas air di DAS Ciliwung dipengaruhi oleh deforestasi
dan degradasi hutan di DAS Ciliwung Hulu Gambar 19.
G
b d
l k
m p
h k
p N
C t
H r
k t
H k
p Gambar 19 P
C Pada
berpendapat dipengaruhi
lahan. Resp kehidupan m
menyadari b pembalakan
hutan telah m kemarau terj
pada Bulan Naringgul, T
Ciliwung Hu tengah dan
Hilir menya rusaknya ek
kiriman yan tinggi. Seda
Hilir manya kuranya dae
Perse penelitian la
Persenta se
Persepsi mas Ciliwung
a Gambar 19 t bahwa ku
oleh kerus ponden di D
mereka dan bahwa ekosis
liar dan ko merubah kua
rjadi kekerin n Februari 2
Tugu Selatan ulu harusnya
hilir. 61.67 atakan bahw
kosistem hut ng tiba-tiba s
angkan 38.33 atakan bahw
rah resapan epsi sebagia
ainnya Gam
100
20 40
60 80
100 120
Hu
syarakat ada 9 terlihat bah
uantitas atau sakan dan a
DAS Ciliwu mereka sang
stem hutan d nversi lahan
antitas dan k ngan sedang
2008 yang n, Cisarua, B
a menjadi da 7 dan 63.3
wa kuantitas an di DAS
sedangkan d 3 dan 36.6
wa kuantita dan adanya
an besar re mbar 16 da
61.
ulu Te
Wilay
anya pengaru hwa 100 r
u ketersedia alih fungsi l
ung Hulu m gat tergantu
di daerah m n hutan ke p
ketersediaan gkan pada m
merusak se Bogor. Kon
aerah konser 33 respond
air di DAS Ciliwung Hu
daerah mere 67 respond
as air di da curah hujan
esponden in an Tabel 13
67 63
38.33
engah
yah DAS
uh hutan pad responden d
aan air di d lahan hutan
menyadari p ng pada hut
ereka sudah penggunaan
air di daerah musim hujan
ekitar 24 ba ndisi ini san
rvasi dan per den di DAS
S Ciliwung t ulu ditandai
eka tidak ter den di DAS
aerah merek n yang tinggi
ni juga did 3 Pawitan
3.33 36.67
Hilir
da kuantitas di DAS Ciliw
daerah mere n menjadi p
pentingnya h tan. Selain i
h rusak karen lain. Akibat
h mereka. P n terjadi ban
angunan di gat ironis ka
rlindungan b Ciliwung T
terdapat pen i dengan ada
rjadi curah h Ciliwung T
ka disebabk i.
dukung oleh 1989; Sing
ya Tidak
air di DAS wung Hulu
eka sangat penggunaan
hutan bagi itu, mereka
na kegiatan t kerusakan
ada musim njir terjadi
Kampung arena DAS
bagi daerah Tengah dan
ngaruh dari anya banjir
hujan yang Tengah dan
kan karena h beberapa
ggih 2000;
Fakhruddin 2003. Simulasi perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak dan limpasan terlihat pada Tabel 17 di bawah ini.
Tabel 17 Simulasi perubahan penggunaan lahan Tahun
Penggunaa n Lahan
Stasiun Katulampa Stasiun Ratujaya
Stasiun manggarai Qp
m
3
dt Ro Qp
m
3
dt Ro Qp m
3
dt Ro 1990
100.33 23
167.67 30
191.29 36
1996 205.37 38 320.81 48 383.11 54
Sumber : Modifikasi Fakhruddin 2003
Pada Tabel 17 terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung telah meningkatkan debit puncak Qp dan limpasan Ro. Peningkatan
debit puncak dan limpasan ini terkait dengan penurunan kapasitas infiltrasi dan tampungan air permukaan. Hutan yang mempunyai seresah di permukaan tanah
berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan bahan organik tanah sehingga tanah mempunyai kapasitas infiltrasi yang besar. Selain itu
akar tumbuhan juga meningkatkan kapasitas infiltrasi maupun permeabilitas air. Apabila terjadi degradasi dan deforestasi ekosistem hutan, maka siklus hidrologi
akan terganggu dan bila terjadi hujan sebagian besar menjadi limpasan dan cepat sampai outlet DAS.
Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai pengatur karbon. Ekosistem hutan, terutama hutan tropis dapat menyerap emisi sebesar 3.0 GtC per tahun
Broadmeadow Matthews 2003. Lebih lanjut dikatakan oleh Broadmeadow Matthews 2003 menyatakan bahwa ekosistem hutan hutan alam tropis dapat
menyumbangkan emisi sebesar 1.6 GtC
1
per tahun melalui kegiatn deforestasi. Di Indonesia, deforestasi hutan menyumbangkan emisi terbesar sekitar 64
Meiviana et al. 2003. Selain itu, ekosistem hutan juga berfungsi sebagai pengaturan suhu. Suhu
pada ekosistem hutan 10 C lebih rendah daripada suhu di luar ekosistem hutan
Handadhari 2009. Tim IPB 1987 menyatakan bahwa suhu di bawah tegakan pohon pada siang hari lebih rendah dan pada malam hari lebih tinggi
1
1 GTC 1 gigaton C = 1000 juta ton carbon = 10
15
g carbon
dibandingkan suhu di luar tegakan pohon. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pohon merupakan pendingin alami melalui proses evapotranspirasi. Dalam satu pohon
dapat mentranspirasikan 4000 liter air per hari apabila air tanah tersedia. Jumlah ini setara dengan rata-rata 5 buah unit mesin pendingin yang berkapasitas 2500
kcal per jam selama 20 jam. Berdasarkan informasi di atas dan berkaitan dengan dampak perubahan
iklim di DAS Ciliwung, ekosistem hutan berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi atau tata air dan pengatur suhu. Selain fungsi tersebut, ekosistem hutan
juga menyediakan berbagai jasa dan fungsi lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan dapat mengurangi kerentanan masyarakat terhadap
perubahan iklim. Oleh karena itu, ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu adaptasi terhadap perubahan iklim.
Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan memberikan manfaat ganda bagi manusia dan alam, termasuk diantaranya melindungi dari bencana alam yang
ekstrim, mengurangi korban jiwa dan menurunkan kerugian ekonomi akibat
perubahan iklim. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan bukan saja
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghadapi dampak perubahan iklim, namun juga menyumbang pada kelayakan jangka panjang upaya
pembangunan berkelanjutan. Selain itu, strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan merupakan pemecah masalah penting dan berbiaya efektif dalam upaya
perancangan masa depan dengan perubahan iklim yang tak terelakkan. Strategi adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan hutan yang lestari Sustainable Forest ManagementSFM. Adapun caranya, antara lain :
a Konservasi yaitu usaha untuk menyelamatkan ekosistem hutan dari
kepunahan. Disadari bahwa ekosistem hutan di DAS Ciliwung juga rentan terhadap perubahan iklim. Adapun usaha konservasi dapat dilakukan
dengan: 1
Membantu ekosistem hutan bertahan terhadap gangguan iklim, seperti mengontrol atau melindungi spesies yang rentan terhadap perubahan
iklim;
2 Membantu ekosistem hutan untuk berevolusi dengan baik pada kondisi
atau tatanan baru sesuai dengan iklim yang terjadi. b Rehabilitasi lahan kritis. Dapat dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu:
1 Reboisasi, merupakan kegiatan penanaman di kawasan hutan negara. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat dengan cara mendirikan hutan tanaman rakyat atau hutan kemasyarakatan.
2 Penghijauan, merupakan kegiatan penanaman yang dilaksanakan di luar kawasan hutan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada lahan milik rakyat
hutan rakyat, sepadan sungai atau ruang terbuka hijau hutan kota. Dalam kegiatan rehabilitasi, terutama berkaitan dengan perubahan iklim,
harus diperhatikan : a Daerah tangkapan air dengan tutupan vegetasi yang cukup untuk menahan erosi tanah dan dapat mengantisipasi curah hujan
yang intensitasnya makin tinggi sebagai akibat perubahan iklim; b Memilih jenis pohon yang lebih toleran terhadap suhu yang lebih tinggi dan cuaca
yang ekstrim. c Melaksanakan kegiatan pemanenan yang ramah lingkungan atau RIL
reduced impact logging.
Kegiatan adaptasi berbasis ekosistem hutan dapat dilakukan secara cepat dan tepat, apabila akar dari permasalahan tersebut dalam kegiatan pengelolaan
ekosistem hutan dapat terselesaikan. Berdasarkan beberapa literatur, permasalahan serta akar permasalahan pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung tersaji
pada Tabel 18.
Tabel 18 Identifikasi masalah pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung
Permasalahan Akar Masalah
1 Perubahan penggunaan
lahan yang tidak sesuai RTRW
2 Degradasi lahan atau
lahan kritis 1
Aspek Kelembagaan a Tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan
b Lemahnya kapasitas dan peran serta Institusi pemerintah pusat maupun daerah yang
menyebabkan lemahnya kebijakan maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi
biaya tinggi bagi transaksi atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat
c Perbedaan persepsi dalam pengelolaan ekosistem 2
Aspek Ekonomi a Pendapatan masyarakat yang rendah
b Distribusi pendapatan yang tidak merata 3
Aspek Sosial a Terbatasnya hak akses masyarakat terhadap hutan
b Persepsi masyarakat bahwa hutan sebagai sumber daya yang open akses
4 Aspek Teknologi
a Teknologi yang tidak ramah lingkungan b Kearifan lokal terabaikan
c Kemampuan teknologi yang kurang
Sumber : Hasil analisis
Pada Tabel 18 di atas terlihat, bahwa permasalahan pengelolaan ekosistem hutan di DAS Ciliwung adalah masalah deforestasi penggunaan lahan yang tidak
sesuai RTRW dan juga degradasi hutan. Sedangkan akar permasalahannya meliputi aspek kelembagaan, ekonomi, sosial dan teknologi. Ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan, antara lain: a Menuntut pemerintah menata ulang kebijakan atau peraturan yang selama ini
dikeluarkan, terutama masalah pada sektor kehutanan, seperti: 1 pemantapan kawasan hutan; 2 peraturan pembalakan, terutama masalah pembalakan liar
baik secara lokal, nasional maupun internasional; serta 4 masalah penyalahgunaan dana atau korupsi.
b Menyelaraskan persepsi pengelolaan ekosistem secara multi pihak maupun multi sektoral. Disadari bahwa selama ini persepsi pengelolaan ekosistem
hutan berbeda, tergantung pada kepentingan pihak atau sektor tertentu. Sehingga kebijakan yang dibuat saling bertentangan antara satu dengan
lainnya. Contoh: kasus izin pendirian bangunan yang mendapat izin dari pihak atau sektor tertentu, sedangkan pihak lain atau sektor lain memandang
bahwa pada lahan tersebut tidak boleh didirikan bangunan. c
Memberikan kedaulatan hutan kepada masyarakat. Kedaulatan yang dimaksud adalah melibatkan masyarakat di sekitar hutan untuk secara
bersama menyusun tata kelola hutan dengan konsensus yang tidak berasal dari satu pihak. Dalam kasus ini, pemerintah memberikan pengawasan serta
dukungan kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi mandiri. Seharusnya pemerintah dapat belajar dari kasus pengelolaan hutan bersama
masyarakat di Guatemala atau negara lainnya. d Pengelolaan hutan seharusnya melibatkan kearifan lokal. Masyarakat di
sekitar hutan, terutama masyarakat adat yang sangat tergantung pada ekosistem hutan, berusaha menjaga hutan sebaik mungkin untuk mengelola
hutan, tempat mereka menggantungkan hidupnya. Dalam menjaga hutan, mereka mempunyai kearifan sendiri dalam mengelola hutan. Dalam tulisan
Raden Nababan 2001 mengungkapkan bahwa kelestarian hutan tercapai pada tahun 1970-an dimana kearifan lokal masih mendominasi. Namun
demikian, setelah tahun 1970-an, kelestarian hutan mulai terancam dengan kebijakan pemerintah tentang penebangan hutan komersial dengan sistem
konsesi HPH.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan