Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah

(1)

PROVINSI SULAWESI TENGAH

DODY PERMANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI KABUPATEN SIGI

PROVINSI SULAWESI TENGAH

DODY PERMANA

E14050468

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(3)

Dody Permana (E14050468). Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh Ir. Sudaryanto.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai luas hutan terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo. Laju deforestasi di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (2007) mencapai 1,08 juta hektar per tahun. Deforestasi dan degradasi merupakan salah satu penyebab dari meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) karena menurut Brown (1997) hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon. Perubahan iklim berdampak pada sumberdaya alam dan kehidupan masyarakat utamanya mereka yang penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam (Sylviani & Sakuntaladewi 2010). Dampak buruk perubahan iklim memaksa masyarakat untuk beradaptasi sesuai dengan pemahaman mengenai perubahan iklim. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial sebagai respon terhadap perubahan dan variabilitas iklim (Herawaty dan Santoso 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap perubahan iklim, jenis dampak dari perubahan iklim dan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan terhadap perubahan iklim berdasarkan fenomena perubahan iklim yang dirasakan masyarakat sekitar hutan.

Data penelitian ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara atas responden pada masyarakat sekitar hutan yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Di samping itu dikumpulkan pula informasi tambahan melalui studi pustaka atas sumber-sumber data sekunder dari aparat desa. Responden yang diwawancarai dalam penelitian berjumlah 30 orang yang berasal dari Desa Toro dan 30 orang yang berasal dari Desa Omu.

Data penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di kedua desa tidak mengetahui istilah perubahan iklim namun masyarakat mengetahui telah terjadi perubahan musim yang merupakan salah satu komponen pembentuk iklim. Dampak perubahan iklim dirasakan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan iklim mengakibatkan terjadinya pergeseran kalender musim yang menyebabkan penurunan produksi pertanian dan menimbulkan bencana seperti banjir dan longsor. Dampak perubahan iklim yang terjadi di antisipasi masyarakat secara reaktif dan proaktif. Adaptasi reaktif yang dilakukan masyarakat diantaranya dengan melakukan perubahan jenis tanaman pangan pada musim-musim tertentu dan pembuatan saluran-saluran irigasi. Adaptasi proaktif yang dilakukan adalah dengan mempertahankan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam untuk mencegah terjadinya bencana yang timbul di masa datang.


(4)

Dody Permana (E14050468). Climate Change Impacts and Local Forest Community Adaptations in District of Sigi, Province of Central Sulawesi. Under Supervision of Ir. Sudaryanto.

Indonesia is one of countries that has the largest forest area in the world after Brazil and Congo. The rate of deforestation in Indonesia according to the Departement of Forestry (2007) reaches 1,08 million hectares per year. Deforestation and degradation is the of causes of Greenhouse Gases (GHGs) because according to Brown (1997) almost 50% of forest vegetation composed by the element carbon. Climate change impact on natutal resources and people’s lives mainly those whose livelihoods depend on natural resources (Sylvani and Sakuntaladewi 2010). The adverse effects of climate change force people to adapt according to the an understanding of climate change. Adaptation is the act of adjusting the natural and social systems as a response to climate change and variability (Herawaty and Santoso 2007).

This study aims determine people’s understanding of climate change, kind of impact by climate change and adaptation by local forest communities to climate change based on phenomenon of climate change felt by local forest communities.

The data in this research were collected through observation and interviews the respondents in the local forest communities that are selected using purposive sampling method. Besides, information was collected through literature review of some secondary data obtained from local goverment offices. The amount of respondents was interview in this research are 30 people from Toro Village and 30 people from Omu Village.

The data showed that people’s in both village didn’t know the term climate change, but the people’s know there has been a change of seasons is one of the components of the climate. The impact of climate change perceived people directly and indirectly. Climate change resulted in a shift in season calendar leading to decreased agricultural production and caused disasters such as floods and landslides. The impact of climate change that occorred in anticipation of the reactive and proactive. Reactive adaptation is done by making changes such as the crops in certain seasons and making irrigation canals. Proactive adaptations is performed by keeping local wisdom to preserve the balance of nature and to prevent disasters that arise in the future.


(5)

)' & * &# + " , " - % & . %# , / ("01 , %' ! 2 &' "3 " '" &"& &0 # & ' % #" & % " ' # & # "%"% % ' # %4 ,%" 50" " ' % & % # &" "& " %# %&& " & " #%' ' ' & % &' &&6 %&' 5 "( % & " " # 4

700"/Januari 2013

Dody Permana NIM E14050468


(6)

8 9:9; S<=> ?@ ABaC ?D<EF=9 GDhaHI<;>C: DHJ: D?Kas> MasLa=a<DK SF<>Ka= M9 KaH:>Nab9 ?DKFHO>P>, P=QR>H@> S9;aSFs> TFHPah

NaCa ABQ:L PF=CaHD

NIM ATUVWVXYZ

BF?D=KFCFH A MaHDjFCFHM9 KaH

MFH LFK9[9> A BQ@FHEFCb>Cb> HP

I=. S9: D=LaHKQ

NIP. U\XZV]UVU\ZVV]U VVU

MFHPFKah9> A

NFK9 DBF?a=K FC FHMaHDjFCFHM9 KaH^

B=. I=.B>:><O9_ D=j> KQ^MS

NIP. U\Y]VXVUU\\XV]U VVU


(7)

Penulis dilahirkan di Jakarta, 06 Oktober 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Nurdjaman dan (Alm.) Kustinah.

Tahun 1992 penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Assa’adatul Abadiyah. Penulis memulai Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Mekarjaya XXI Depok 2 Tengah, dilanjutkan di SLTP Negeri 189 Kelapa Dua, Jakarta Barat. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 85 Srengseng, Jakarta Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Mayor Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2008 penulis memilih Laboratorium Sosial dan Kebijakan Departemen Manajemen Hutan sebagai bidang keahlian.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Panitia Pelatihan Mahasiswa Kehutanan Indonesia, Komisi Disiplin (KOMDIS) Bidang Keanggotaan Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) tahun 2007-2008, Ketua Umum Rimbawan Pecinta Alam (RIMPALA) tahun 20008-2009, Panitia Pelatihan Pertolongan Pertama dan Panitia Seminar Nuansa Ular.

Selama pendidikan penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Indramayu dan Linggarjati, Jawa Barat, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHKA-HA PT. Inhutani I, Kalimantan Timur. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Perubahan Iklim dan Adaptasi Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah” dibawah bimbingan Ir. Sudaryanto.


(8)

abc bdefg bfc bh

i jk` lmn opjq jr stn ju`o smn kmvqmn q twml`rmv xuu m w y z { pmn | vtu m w }t}~tr`qmn rm w}mv, w`lm pmw o trvm qm rjn`m-pm o tw`n ||m stn ju`o lmsmv }tnptutom`qmn oqr`so` pmn| ~tr kjl ju €m}smq i trj~m wmn ‚qu` } lmn xlm svm o` ƒmopm rmq mvy tq`vmr„jv m nl`…m~jsmvtny`|`, ir†vinsi Sulawesi Tengah”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Nurdjaman dan Ibunda (Alm) Kustinah, kakakku Romell Abdul Rahman beserta keluarga dan adikku Nungki Maya Safitri yang telah memberikan dukungan moral maupun materil serta kasih sayang kepada penulis.

2. Ir. Sudaryanto selaku dosen pembimbing atas arahan, nasehat, kesabaran dan bimbingannya dalam menyelesasikan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Niken Sakuntaladewi, masyarakat Desa Toro, masyarakat Desa Omu atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

4. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku Ketua Departemen Manajemen Hutan, staf TU dan AJMP, mamang bibi serta seluruh keluarga besar Departemen Manajemen Hutan.

5. Keluarga besar RIMPALA Fahutan IPB, mulai dari anggota senior, anggota biasa dan anggota muda atas kesempatan untuk mengembangkan diri, memberikan kisah-kisah terbaik dan kekeluargaannya.

6. Dita Ismartanti atas semangat, kesabaran, motivasi dan doa yang mewarnai hari-hari penulis.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2013


(9)

ˆ‰Š‹ ‰Œ  Ž

‘’“ ”•– •—˜™š•™– •›

... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1œžŸ ‘¡“¢... 1

1.2£ ž¤’¤¥ “¦¥ ‘§... 2

1.3¨¤©¤“£ “ ‘ª ª“... 4

1.4¦“ «£ “ ‘ª ª“... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1¬¤­®“¯¡‘ª’... 5

2.2¦¤¥ª’... 5

2.3£ ž¤°§“¯¡‘ª’®“±’ ²¡“³... 6

2.3.1£ ’“¥ “´‘µ° ‘®“£ ž¤°§ “¯¡‘ª’... 6

2.3.2£ ž¤°§“¯¡‘ª’®ª¯“®µ“ ¥ª... 6

2.3.3 ±’²¡£ ž¤°§“¯¡‘ª’... 7

2.4£ ž¥ ²¥ª¨ ž§ ®²£  ž¤°§“¯¡‘ª’... ¶ 2.5·ž  ¢ª¸®  ²¥ª... ¹ BAB III KERANGKA PEMIKIRAN... 10

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1œµ¡¥ª® “º ¡¤£ “ ‘ª ª“... 12

4.2Ÿ§ “®“¸‘... 12

4.3» “ª¥®“·¤’ ° ž±... 13

4.4¦ µ® £ “¢¤’ ²¤‘“± ... 13

4.5¦ µ® ¸“ ‘ª¥ª¥±... 14

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1·  ©ž§± ¥ ... 15


(10)

5.1.2½ ¾¿ ÀÁÀÂÃÄ Å... 16

5.2ƾÀÇÀ ÀÈÉÊ ËÌÊ ÍÊ Î... 17

5.2.1ϾÐÀÎ, ÏÅÀÍÇÀÈÑÎ;ÍÊÒÊÓÊÐ ÀÍ... 17

5.2.2ÔËÕËÖÁ ÀÌÊ... 1×

5.2.3ØÎÓÊÄ... 1×

5.2.4پ־РÀÍÊ... 1Ú 5.2.5½ ÀÐ Û ÀÏÊÀÁ... 1Ú 5.3ƾÀÇÀ ÀȽËÍÊÀÓÇÀÈÜÎ ËÈ ËÄÊ... 20

5.3.1ÑÇÄÊÈÊÍÐ ÁÀÍÊݾľÁÊ ÈÐ À ÀÈ... 20

5.3.2Ý¾È ÇÅÇÅÎÞÝ¾È ÇÊ ÇÊ ÎÀÈÇÀÈßÀÐ ÀݾÈàÀ À ÁÊÀÈ... 20

5.3.3ÝËÓÀÝ¾È ÖÖÅÈÀ ÀÈÏÀ ÀÈ... 22

BAB VI HASIL DAN PEMABAHASAN 6.1ݾÁ;ÕÍÊÔ¾ÁÂÀÇÀÕݾ ÁÅÒÀ ÀÈØÎÓÊÄ... 23

6.2áÅÁÀÂâÅ¿ ÀÈÇÀÈÔ¾ÄÕ¾ÁÀÐ ÅÁã ÇÀÁÀ... 23

6.2.1áÅÁÀÂâÅ¿ ÀÈ... 23

6.2.2Ô¾ÄÕ¾ÁÀÐ ÅÁã ÇÀÁ À... 25

6.3äÀÄÕÀÎݾÁÅÒ À ÀÈØÎÓÊÄ... 26

6.3.1ݾÁÅÒÀ ÀÈáÅÀàÀÜÎ ÍÐ ÁÊÄ... 26

6.3.2ßÅÍÊÄâÅ¿ ÀÈ... 2×

6.3.3ßÅÍÊÄÆ¾Ä ÀÁÀÅ... 30

6.3.4ÆÓÀÍÊÌÊ ÎÀÍÊäÀÄÕÀÎݾÁÅÒÀ ÀÈØÎÓÊÄ... 31

6.4ÑÇÀÕÐÀÍÊßÀÍåÀÁÀÎÀÐ... 33

6.4.1ÑÇÀÕÐÀÍÊÔ¾ÁÂÀÇÀÕƾξÁÊÈÖÀÈ... 33

6.4.2ÑÇÀÕÐÀÍÊÔ¾ÁÂÀÇÀÕÉÀÈ¿ÊÁÇÀÈÏËÈÖÍ ËÁ... 34

6.4.3ÑÇÀÕÐÀÍÊÔ¾ÁÂÀÇÀÕݾÈÅÁÅÈÀÈÝ¾È ÇÀÕÀÐ ÀÈ... 35

6.4.4ÆÓÀÍÊÌÊ ÎÀÍÊÑÇÀÕÐÀÍ ÊßÀÍåÀ ÁÀÎÀÐ... 36

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1ƾÍÊÄÕÅÓ ÀÈ... 3Ú 7.2½ ÀÁÀÈ... 40


(11)

DAFTAR TABEL

èéêéëéì

1. íîïðñîòîì óôë õô êéìöé ïé... 14

2. íîïðñî÷ìé êøùøùöé ïé... 14

3. úøìóûé ïòîìñøñøûéìöîùéúð üð... 20

4. ýîìøùíéïéòîìþéÿé üøé ìíéù éüé ûé ïö îùéúð üð... 21

5. úøìóûé ïòîìñøñøûéìöîùéë ô... 21

6. ýîìøùíéïéòîìþéÿé üøé ìíéù éüé ûé ïö îùéë ô... 21

7. é êîìñî üëôùøëöé êé ëî îüéõéò î üøðñî... 24

ì ïîìù øïéùé ô ïñøòéóøèéüø... 25

êéù ø øûéù øöéë õé ûòîüô éÿéìûêøëñøö îùéúð üð... 32

10. êéù ø øûéù øöéë õé ûò îüô éÿéìûêøëñøö îùéëô... 32


(12)

DAFTAR GAMBAR

1. ... 11

2. ... 12

3. !"... 25

4. #$% &-'( ... 26

5. ) * !! ... 27

6. ) * !!" ... 2+

7. , - .'- / ... 20 +. ( ) ( )1 2 ' ) ... 30

(-3 ( ... 30

0. ! %) ... 31

10. ( .- (. !' !' ... 34

11. & -.' !'( *( ... 35


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

7898:8; 1. <=>?>@; AB... 45 2. C8DE8BFABE8;G8 8;H=A?>@; AB... 46 3. C8E8I =B8 J 7=K 8;... 47 4. C8E8LA:FAB8E=BMN8 B8... 4O 5. C@H=:A;E8?>P A; A9>E>8;... 50


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan salah satu isu lingkungan yang penyebabnya adalah pemanasan global. Pemanasan global adalah dampak dari terakumulasinya gas CO2 di atmosfer sehingga menimbulkan efek Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu peningkatan suhu udara bumi secara global (Lestari 2011). Efek Gas Rumah Kaca itu sendiri diantaranya yaitu, karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O) yang bersifat menahan radiasi inframerah yang dipancarkan oleh bumi di atmosfer, sehingga menyebabkan suhu bumi mengalami peningkatan (Gintings 2003).

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai luas hutan terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo. Laju deforestasi di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (2007) mencapai 1,08 juta hektar per tahun. Deforestasi dan degradasi merupakan salah satu penyebab dari meningkatnya GRK karena menurut Brown (1997) hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon.

Meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan menyebabkan tingkat GRK di atmosfer kini menjadi lebih tinggi dibandingkan yang pernah terjadi.

Qntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan tahun 2005 konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer meningkat sekitar 280 ppm (part per million) menjadi 379 ppm per tahun dan meningkat terus dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun (UNDP 2007). Dampak perubahan iklim menurut United Nation Development Programme (2007), antara lain :

a. Perubahan musim dan curah hujan b. Kejadian cuaca yang lebih ekstrim c. Kenaikan muka air laut

d. Kenaikan suhu air laut e. Kenaikan suhu udara


(15)

Perubahan iklim berdampak pada sumberdaya alam dan kehidupan masyarakat utamanya mereka yang penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam (Sylviani & Niken 2010). Hasil penelitian Sylviani dan Niken (2010) mendapatkan fenomena perubahan musim yang perlahan maupun yang ekstrim memberikan dampak langsung pada masyarakat yang tinggal di pedalaman maupun di pesisir serta perubahan iklim yang menjadikan tekanan masyarakat terhadap hutan meningkat sehingga menimbulkan potensi konflik antara masyarakat dan institusi pengelola kawasan/wilayah.

Perubahan musim dan curah hujan berdampak buruk pada sistem pengelolaan sumberdaya alam sebagai sumber kehidupan. Dampak dari pergeseran musim yakni semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar sehingga pola tanam juga akan mengalami pergeseran. Selain itu kerusakan pertanian terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi yang berdampak pada banjir dan tanah longsor serta angin. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mengurangi produktivitas pertanian. Menurunnya hasil pertanian akan menurunkan pendapatan masyarakat yang berdampak pada berkurangnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat (Festiani 2011).

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan iklim yang terjadi secara global berdampak pada perubahan curah hujan, perubahan musim dan peningkatan suhu udara. Secara lokal terjadinya perubahan iklim memberikan dampak kepada masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada kelestarian sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh iklim lokal. Yayasan Pelangi Indonesia (2009) mengklasifikasikan tanda-tanda perubahan iklim yang terjadi secara perlahan dan yang terjadi secara ekstrim, serta dampak yang ditimbulkannya diklasifikasikan ke dalam dampak langsung dan dampak turunan.

Dampak perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, berubahnya pola curah hujan dan meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino


(16)

3

danLa-Nina, dan naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Las 2007).

Berbagai penelitian dan pemodelan terhadap produksi pertanian dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian (Kurniawati 2011). Adanya perubahan iklim yang terjadi maka dapat menyebabkan aktivitas pertanian menjadi terganggu (Handoko

et al. 2008). Menurut Kurniawati (2011) sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar dan menjadi sektor penting terutama bagi masyarakat miskin.

Fenomena perubahan iklim memberikan dampak terhadap ekosistem hutan dan kehidupan manusia, terutama yang berdomisili di negara berkembang yang kurang mampu secara kondisi sosial ekonominya dan penghidupannya tergantung pada hutan. Terkait dengan masyarakat, perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air berdampak pada sumber nafkah, ketahanan pangan, juga kesehatan (Adger et al. 2009). Perubahan iklim langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat meski banyak diantara masyarakat tidak memahami perubahan iklim, mereka yang penghidupannya dari hasil pertanian dan bergantung pada sumberdaya alam (hutan) merasakan dampaknya (Departemen Kehutanan 2010).

Dampak buruk perubahan iklim memaksa masyarakat untuk beradaptasi sesuai dengan pemahaman mengenai perubahan iklim. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial sebagai respon terhadap perubahan dan variabilitas iklim. Adaptasi dapat mengurangi kerentanan dan resiko. Dengan mengurangi kerentanannya, maka adaptasi terhadap perubahan iklim diharapkan mengurangi dampak kepada komponen alam dan sosial (Herawaty dan Santoso 2007).

Adaptasi perubahan iklim dipahami sebagai penyesuaian hutan dan masyarakat terhadap efek langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim dengan cara yang cukup merugikan atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan (Peter 2009). Klasifikasi dampak perubahan iklim akan membedakan penanganan terhadap dampak yang sedang dan akan terjadi. Hasil penelitian Sylvani dan Niken (2010) menunjukkan masyarakat dengan dan tanpa


(17)

bantuan pemerintah mempunyai kapasitas untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Menurut Aziz dan Napitupulu (2010) adaptasi secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi spontan/reaktif dan adaptasi terencana/proaktif.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap perubahan iklim, jenis dampak dari perubahan iklim dan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan terhadap perubahan iklim berdasarkan fenomena perubahan iklim yang dirasakan masyarakat sekitar hutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim sehingga dapat dijadikan pertimbangan menyusun langkah-langkah antisipasi mengahadapi perubahan iklim.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cuaca dan Iklim

Menurut Sutjahjo dan Gatut (2007), cuaca adalah rata-rata kondisi atmosfer di suatu tempat tertentu dengan waktu yang relatif singkat. Iklim adalah keadaan rata-rata cuaca dari suatu wilayah yang luas dan diperhitungkan dalam jangka waktu yang lama. Cuaca dan iklim mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Temperatur atau suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara

disuatu tempat pada waktu tertentu.

2. Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air yang terdapat di udara.

3. Curah hujan adalah titik-titik air hasil pengembunan uap air di udara yang jatuh ke bumi.

4. Angin adalah udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan udara maksimum ke daerah yang bertekanan minimum.

5. Tekanan udara adalah udara yang mempunyai massa atau tenaga yang menekan bumi.

6. Penyinaran matahari adalah penerimaan energi matahari oleh permukaan bumi dalam bentuk sinar-sinar gelombang pendek yang menerobos atmosfer.

2.2 Musim

Musim adalah periode tahun yang dibedakan oleh suatu kondisi iklim khusus meliputi musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Letak geografis Indonesia menyebabkan wilayah Indonesia memiliki iklim muson yang berpengaruh terhadap perubahan musim di Indonesia sehingga perubahan musim di Indonesia terjadi dari musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau adalah musim dengan curah hujan <50 mm/dasarian dan diikuti oleh dasarian berikutnya, sedangkan musim hujan adalah kondisi sebaliknya dengan curah hujan >50 mm/dasarian dan diikuti oleh dasarian berikutnya. Pergantian musim antara musim hujan dan kemarau terjadi apabila curah hujan dalam tiga


(19)

dasarian melampaui atau kurang dari 50 mm diikuti oleh dua dasarian berikutnya (Nasrullah 2011).

2.3 Perubahan Iklim dan Dampaknya

Definisi perubahan iklim menurutRntergoverment Panel on Climate Change (IPCC) mengacu pada perubahan dalam status iklim yang diidentifikasikan dengan perubahan rata-rata dan/atau variabilitas faktor-faktor yang berkaitan dengan iklim dan tetap berlaku untuk satu periode yang luas atau lebih panjang.

2.3.1 Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi GRK di atmosfer. Iklim bumi dipengaruhi oleh suhu global rata-rata dan peka terhadap perubahan suhu. Suhu bumi ditentukan oleh keseimbangan antara energi yang datang dari matahari dan energi yang diemisikan dari permukaan bumi ke luar angkasa. Radiasi inframerah dari permukaan bumi sebagian diserap oleh beberapa gas rumah kaca (khususnya CO2 dan uap air) di atmosfer dan sebagian diemisikan ke permukaan untuk memanasi permukaan bumi dan atmosfer bawah (Syahbana 2011).

Menurut Koesmaryono (1999), perubahan iklim dan pemanasan global diduga akan meningkatkan kekerapan dan intensitas peristiwa El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Peristiwa ini sering dikaitkan dengan penghangatan atau pendinginan suhu muka laut yang menyimpang dari normal yang berakibat pada cuaca atau sering disebut dengan El-Nino dan La-Nina. Kejadian kekeringan akibatEl-Nino telah menyebabkan meningkatnya luas daerah tanam yang terkena kekeringan sampai 8 – 10 kali lipat dan sebaliknya La-Nina menyebabkan meningkatnya luas tanaman yang terkena banjir sempai 4 – 5 kali lipat dari kondisi normal.

2.3.2 Perubahan Iklim di Indonesia

Indonesia menurut Boer et al. (2003), berdasarkan data hujan historis yang dibagi dua periode, yaitu tahun 1931 – 1960 dan 1961 – 1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan dimusim penghujan wilayah Selatan Indonesia dan sebagian kawasan Indonesia Timur akan semakin basah dan musim kemarau akan semakin kering. Sedangkan pada Indonesia bagian Utara, curah hujan pada


(20)

7

musim penghujan akan semakin berkurang dan musim kemarau akan semakin bertambah.

Data historis trend curah hujan di Indonesia (data NOAA 2005) yang dikutip Susandi (2012) menunjukkan dari tahun 1950 hingga tahun 2000 di Indonesia terus terjadi peningkatan curah hujan. Menurut Tjahyono (1997) dalam laporan akhir Kementerian Lingkungan Hidup (2001), menyebutkan bahwa pengaruhEl-Ninokuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistemmonsoon, lemah pada daerah sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Menurut Koesmaryono (1999) dalam Syahbana (2011), gejala kebalikan dari El-NinoadalahLa-Nina, yaitu mendinginnya permukaan laut Pasifik Timur sehingga pusat konvergensi udara pasifik tropis akan berada di wilayah Indonesia dimana udara panas cenderung membentuk awan dan hujan serta memungkinkan terjadinya banjir. Frekuensi kejadian La-Nina dalam kurun waktu 100 tahun terakhir sekitar separuh jumlah kejadian El-Nino dan 16 kali peristiwa La-Nina,

sekitar 87% terjadi berdampingan dengan El-Nino, serta umumnya La-Nina

mendahuluiEl-Nino.

2.3.3 Dampak Perubahan Iklim

Studi yang dilakukan oleh Handoko et al. (2008) mengungkapkan bahwa secara temporal akan terjadi potensi peningkatan curah hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan pada musim kemarau di beberapa wilayah. Ini yang dirasakan oleh banyak petani di sebagian besar wilayah yang di survey dalam rangka verifikasi lapang, dan hal tersebut berpotensi menjadi bencana banjir serta bencana kekeringan yang dapat mengganggu produksi pangan strategis.

Perubahan iklim berdampak pada berbagai sektor dan sangat kompleks karena mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Bila tidak mulai ditangani dengan serius, kondisi ini dapat menjadi bencana dan berdampak sangat luas. Dampak tersebut dapat meliputi aspek ekonomi, sosial budaya hingga politik. Dampak perubahan iklim menyangkut hajat kehidupan dasar masyarakat untuk hidup yang meliputi ketersediaan pangan dan keamanan untuk tinggal. Di sektor kelautan perubahan iklim mengakibatkan kenaikan suhu permukaan air laut; peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim; perubahan pola curah hujan dan limpasan air tawar yang dipicu oleh fenomena El-Nino dan La-Nina;


(21)

perubahan pola sirkulasi laut dan kenaikan muka air laut (Sucofindo, 2009). Hasil penelitian World Wide Fund (WWF) mendapatkan adanya peningkatan suhu sebesar 0,3°C sejak tahun 1990 dan peningkatan suhu ini diperkirakan akan terus berlanjut. Penelitian Aldrian dan Alfian (2008) dalam Sylvani dan Niken (2010) menunjukkan adanya peningkatan suhu permukaan laut antara 0,0148°C – 0,0268°C di Makassar, Lifamatola, Halmahera, Lombok, Ombai dan Timor. Naiknya suhu muka laut berdampak antara lain pada perubahan siklus hidrologi yang berakibat berubahnya pola curah hujan dan aliran air tawar. Di sektor kesehatan, perubahan iklim global berpengaruh terhadap perubahan resiko penyakit yang utamanya ditularkan oleh vektor nyamuk. Peningkatan suhu mempercepat pertumbuhan larva dan nyamuk sehingga meningkatkan resiko penularan malaria dan demam berdarah. Selain suhu, peningkatan curah hujan menyebabkan genangan air yang merupakan habitat potensial bagi berkembangnya larva nyamuk. Hasil penelitian mendapatkan makin banyaknya daerah di Indonesia yang rawan malaria dan demam berdarah (PT. Sucofindo, 2009).

2.4 Persepsi Terhadap Perubahan Iklim

Persepsi dalam arti sempit merupakan suatu penglihatan bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas yaitu pandangan atau pengertian bagaimana seseorang memandang atau mengerti sesuatu (Leavitt 1978). Menurut Muchtar (1998) dalam Yuwono (2006), persepsi adalah proses penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu objek atau peristiwa yang diinformasikan sehingga seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan dimana ia berada dan dapat menentukan tindakannya.

Menurut Schiffman and Kanuk (1987) dalam Festiani (2011) setiap individu mempunyai pandangan yang spesifik dalam melihat suatu realita. Empat orang yang secara bersama-sama melihat suatu kejadian yang sama, dapat menuliskan empat macam laporan yang ditulis secara jujur tetapi isinya berbeda-beda satu sama lain. Hal ini terjadi karena bagi setiap orang realita adalah suatu fenomena yang bersifat individual tergantung dari kebutuhan, keinginan, nilai yang dipegang dan pengalaman dari individu tersebut. Jadi, bagi individu, realita


(22)

9

bukanlah merupakan realita objektif. Cara memandang suatu kenyataan yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya disebut persepsi.

Penduduk lokal Phinaya di wilayah Pegunungan Andes, Peru, dalam studi Adgeret al . (2009) mengemukakan berbagai persepsi mengenai perubahan iklim. Fenomena alam yang disebakan oleh ketidakstabilan atmosfer ini dianggap sebagai suatu proses lingkungan yang menyebabkan mencairnya lapisan es di wilayah tersebut. Proses ini beberapa kali disebut oleh masyarakat setempat sebagai “tukurapunqa vida” yang berarti akhir dari kehidupan. Makna kalimat tersebut lebih dipresentasikan kepada kepunahan Alpaca (spesies domba di wilayah Andes) dan kedatangan angin besar yang akan menyapu seluruh vegetasi.

2.5 Strategi Adaptasi

Strategi adaptasi menurut Las (2007) adalah pengembangan berbagai upaya adaptif dengan situasi yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya infrastruktur dan lain-lain melalui :

a. Reinventarisasi dan redeliniasi potensi karakterisasi sumberdaya lahan dan air.

b. Penyesuaian dan pengembangan infrastruktur pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air. c. Penyesuaian sistem usaha tani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis

tanaman dan vareitas, dan sistem pengolahan tanah.

Adaptasi disusun oleh berbagai tindakan dalam masyarakat yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan pemerintah. Adaptasi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor termasuk perlindungan terhadap kesejahteraan dan keselamatan. Hal tersebut dapat dilakukan secara individu atas dasar kepentingan pribadi, atau tersusun dalam aksi pemerintah dan publik untuk melindungi penduduknya (Adgeret al.2003). IPCC sebagai lembaga antar-pemerintah yang membahas sisi ilmiah perubahan iklim mendifinisikan adaptasi sebagai penyesuaian sistem manusia atau alam dalam menanggapi rangsang iklim yang sebenarnya atau yang diperkirakan atau efeknya, yang meringankan/merugikan atau mengeksploitasi peluang yang menguntungkan. Adaptasi secara umum dibedakan menjadi adaptasi reaktif dan adaptasi proaktif (FAO 2007). Upaya adaptasi reaktif merupakan upaya yang lebih dikenal dibandingkan dengan adaptasi proaktif.


(23)

Terjadinya perubahan iklim secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak negatif pada masyarakat. dampak perubahan iklim tersebut diantara perubahan musim dan curah hujan, kejadian cuaca yang lebih ekstrim, kenaikan muka air laut, dan kenaikan suhu global. Akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim berpengaruh kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam seperti bertani, berkebun, dan mencari ikan. Fenomena perubahan iklim memaksa masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam untuk melakukan suatu tindakan adaptasi untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim.

Adaptasi yang dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor untuk beradaptasi diantaranya pemahaman masyarakat terhadap perubahan iklim. Selain itu, dampak yang ditimbulkan perubahan iklim juga mempengaruhi tingkatan adaptasi yang akan diambil. Berdasarkan tanda-tanda terjadinya, perubahan iklim dapat dibagi menjadi dua yaitu, perubahan iklim secara perlahan dan perubahan iklim secara ekstrim. Kedua tanda-tanda telah terjadinya perubahan iklim tersebut akan memberikan dampak langsung dan dampak turunan. Dampak langsung adalah dampak yang langsung terjadi terhadap lingkungan dan dapat dilihat serta dirasakan. Sedangkan dampak turunan adalah akibat dari dampak terhadap lingkungan yang terjadi beberapa waktu kemudian dan dapat dirasakan langsung baik bagi rumah tangga maupun kelompok. Klasifikasi tersebut akan membedakan penangan terhadap dampak yang terjadi.

Masyarakat sekitar hutan sebagai suatu kelompok yang bergantung penghidupannya dari sumberdaya alam. Oleh karena itu, terjadinya perubahan iklim berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan dampak yang terjadi maka akan diketahui jenis adaptasi yang dilakukan masyarakat sekitar hutan berdasarkan klasifikasi dampak. Sehingga terlihat kendala masyarakat untuk beradaptasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penanganan terhadap perubahan iklim. Alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.


(24)

11

Gambar 1 Kerangka Pemikiran.

Perubahan Iklim

Persepsi terhadap perubahan iklim

Perlahan Ekstrim

Dampak Langsung Dampak Turunan

Adaptasi Masyarakat


(25)

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2011. Pengambilan data dilakukan di Desa Toro, Kecamatan Kulawi dan Desa Omu, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah (lihat Gambar 2).

4.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Alat tulis 2. Kamera 3. Kuisioner

4. Peta lokasi penelitian


(26)

13

4.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat dan observasi lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh melalui berbagai sumber diantaranya, data kondisi umum penelitian dan data yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Data primer yang dikumpulkan meliputi data identitas responden, perubahan musim di lokasi penelitian, perubahan suhu di lokasi penelitian, dampak perubahan musim dan adaptasi terhadap perubahan musim. Sedangkan data sekunder meliputi data kondisi umum lokasi penelitian dan data demografi lokasi penelitian.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Teknik penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang berkaitan dengan perubahan iklim. Purposive Sampling adalah metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan struktur penelitian, dimana pengambilan sampel dengan mengambil sampel orang-orang yang dipilih oleh penulis menurut ciri-ciri spesifik dan karakteristik tertentu (Djarwanto 1998).

Pemilihan desa penelitian berdasarkan ketinggian lokasi desa dari permukaan laut yang berada di dataran tinggi dan dataran rendah serta kemudahan akses menuju lokasi penelitian. Responden yang dipilih adalah masyarakat desa yang mata pencaharian berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu dilakukan wawancara kepada lembaga yang ada dan aparat desa setempat perihal dampak perubahan iklim dan adaptasi yang dilakukan. Responden berasal dari Desa Toro sebanyak 30 orang dan Desa Omu sebanyak 30 orang. Pengumpulan data juga dilakukan melalui studi pustaka untuk menunjang penelitian. Lebih lanjut metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.


(27)

Tabel 1 Metode Pengumpulan Data

No Metoda Sumber data/Responden Lokasi

1. Studi Pustaka Buku, Internet, Penelitian dll. Kampus

2. Pencatatan Instansi Pemerintah Propinsi, Kabupaten,

Desa

3. Pengamatan

lapangan

Teknik beradaptasi, alternatif mata pencaharian, bangunan pereduksi dampak, kondisi lingkungan hutan, dll

Desa

4. Wawancara Responden masyarakat sekitar hutan Desa

4.5 Metode Analisis Data

Menganalisis data merupakan proses lanjutan setelah dilakukannya pengumpulan data. Menganalisis data ditujukan agar data yang telah dikumpulkan dapat lebih berarti serta dapat memberikan informasi. Adanya hasil analisis data ini dapat memberikan jawaban atas perumusan masalah yang terdapat dalam perumusan ini. Pengolahan data dilakukan secara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi dampak perubahan iklim terhadap lingkungan sumberdaya dan masyarakat serta strategi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perubahan iklim (Tabel 2).

Tabel 2 Metode Analisis Data

Jenis data Metode Pengolahan dan Analisis

Jenis-jenis dampak perubahan musim terhadap lingkungan hutan dan masyarakat

a. Indentifikasi jenis-jenis dampak terhadap kondisi SDH, SDM dan kondisi lingkungan pemukiman dan fasilitas umum

b. Analisis deskriptif Jenis adaptasi dan hambatan

masyarakat dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim

a. Identifikasi bentuk adaptasi

b. Klasifikasi bentuk-bentuk adaptasi sesuai jenis sumber dana

c. Analisis deskriptif Sumber: Sylvani dan Sakuntaladewi (2010)

Secara garis besar penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan menganalisa dampak perubahan iklim dan adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap perubahan iklim yang dirasakan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosial/alam secara sistematis, faktual dan akurat. Penelitian deskriptif bersifat komparatif dengan membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu (Sugiyono 2006).


(28)

BAB V

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Sejarah Desa 5.1.1 Sejarah Toro

Dalam Bahas Kulawi, Toro berati “sisa”. Terminologi ini mengacu pada suatu wilayah yang telah ditinggal pergi oleh penduduknya dalam waktu yang cukup lama, sehingga menjadai hutan belantara. Diperkirakan sekitar 500 tahun yang silam, terjadi perpindahan penduduk dari Malino ke Toro. Perpindahan tersebut terjadi akibat terdesak peperangan dengan suku lain. Keluarga yang terdesak dan sempat mengungsi saat itu sebanyak tujuh rumah tangga, dibawah pimpinan Mpone (Shohibuddin 2003).

Sebelum akhirnya mendiami daerah Toro, kelompok pimpinan ini transit di beberapa tempat. Awal mulanya mereka tinggal di Balinggi yaitu wilayah bagian Parigi yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Parimo. Di Balinggi mereka berkembang menjadi 11 rumah tangga. Setelah itu, mereka pindah ke tempat transit kedua yaitu Kulawi melalui Paboya (Palu), Bora (Sigi Biromaru), Tuwa, dan kemudian Namo. Atas perkenaan Balu, seorang bangsawan Kulawi, mereka ditempatkan di Kauawu yang saat itu masih berupa hutan, dengan harapan mereka dapat mengelola untuk menopang hidupnya. Di tempat transit kedua ini pun tidak berlangsung lama. Ternyata setelah mereka berhasil, mereka mengalami tekanan-tekanan berupa kewajiban membayar pajak untuk setiap lahan yang dikelolanya pada orang Kulawi. Keadaan yang tidak menguntungkan ini mendorong orang asal Malino tersebut untuk mencari tempat baru.

Melihat gelagat ini, Balu, orang pertama yang menempatkan mereka di Kauawu mengambil kebijakan dengan menawarkan alternatif lain. Balu menawarkan lokasi perburuan miliknya agar dibeli dan terjadilah kesepakatan jual beli antara Balu dengan orang asal Malino. Tempat dilaksanakan kesepakatan tersebut disebut ”kaputua” yang artinya keputusan akhir jual beli tanah di wilayah perburuan Balu. Kawasan perburuan tersebut dihargai setara dengan tujuh biji emas, masing-masing sebesaar burung pipit. Sejak saat itu hingga sekarang, orang Malino ini mendiami wilayah yang dinamai Toro.


(29)

5.1.2 Sejarah Omu

Masyarakat Desa Omu, sebagian besar adalah penduduk yang berpindah (mengungsi) dari wilayah Seko di Sulawesi Selatan karena adanya konflik di daerah asal mereka. Perpindahan berlangsung antara tahun 1952 sampai dengan 1966 dalam jumlah yang cukup besar, lebih dari setengah jumlah warga di Seko diperkirakan melakukan pengungsian ke wilayah-wilayah sebelah utara atau wilayah yang masuk wilayah Sulwesi Tengah. Kedatangan masyrakat dari Seko tahun 1956 berjumlah 10 Kepala Keluarga, kemudian menyusul sebanyak 800 jiwa di tahun yang sama dan menempati berbagai wilayah di Sulawesi Tengah seperti desa Tuva, Simono, O’o Parese, Watukilo, Makuhi dan Gimpu serta dibeberapa kampung lain di sekitar Kecamatan Kulawi.

Masyarakat Seko yang telah mendiami wilayah Desa Omu saat ini adalah masyarakat yang dulunya mengungsi ke wilayah Sigi Dolo, menempati wilayah antara desa Tuva dan Pakuli, dipimpin Oleh P. Taeli, P. Kalesu, YT. Saniang dan P. Taeteng. Pemerintahan wilayah Sigi pada saat itu adalah Wawo Lamakarate sebagai Kepala Swapraja Sigi Dolo.

Perkembangan jumlah pengungsi yang terus bertambah membuat Kepala Swapraja Sigi Dolo berinisiatif untuk menata dan menempatkan pengungsi di satu wilayah yang pada saat itu menjadi bagian pemerintahan dari kampung Tuva/Sinduru. Pada tahun 1956, pengurusan dan pembinaan pengungsi Seko diserahkan kepada Pemerintah melalui Departemen Sosial serta pengungsian yang terus bertambah. Selama Pengurusan dan Pembinaan Departemen Sosial, masyrakat Omu mendapatkan kebutuhan bersa, alat-alat pertanian (parang dan pacul) serta kebutuhan hidup rumah tangga. Kepala Swapraja Sigi Dolo kemudian memberikan nama wilayah yang ditempati pengungsi dengan kata “Omu”. Pemberian nama Omu diambil dari bahasa Kaili “Naomu” yang berarti hangat. Kepala Swapraja Wawo Lamakarate mengatakan bahwa nama itu diberikan sebagai perpaduan kondisi di wilayah Seko yang berhawa panas.

Pada tahun 1958, Omu diresmikan menjadi sub-distrik yang dikepalai oleh bapak Harum Batu Sisang. Masyarakat Omu terbagi menjadi lima kelompok sesuai asal kampung masin-masing yaitu, Kampung Lipu, Kampung Singkalong, Kampung Eno, Kampung Tenterang, dan Kampung Tanete. Pada tahun 1958 pula,


(30)

17

pacah konflik PEMESTA sehingga sebagian masyarakat Omu mengungsi ke Kali Omu/Tarangka dan Tomutu. Selama pengungsian di wilayah tersebut, masyarakat membuka lahan pertanian dan menanam berbagai jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman. Sampai saat ini di wilayah tersebut tetap digarap oleh masyarakat Desa Omu. Akhir tahun 1959 situasi berangsur membaik dan kondusif, masyarakat Omu yang berada di pengungsian secara bertahap kembali ke pemukiman. Tahun 1986 petani mulai melakukan penanaman Kakao, Vanili, Lada dan tanaman perkebunan lainnya untuk memenuhi kebutuhan makan dan sebagaian dipasarkan.

Sistem pemerintahan sub-distrik berubah menjadi desa pada tahun 1968 dan otomatis sub distrik Omu menjadi Desa Omu. Pada tahun itu pula terjadi peristiwa banjir Bandang di wilayah Desa Tinggede. Situasi tersebut membuat Komandan Sektor (Dan Sektor) Marawola Komandan Payung berkoordinasi dengan Kepala Daerah Bapak Pusadan, memintakan agar warga Tinggede dipindahkan ke desa Omu yang kemudian disetujui dan sebagian masyarakat Tinggede dipindahkan ke desa Omu. Sejak saat itu, terdapat dua etnis besar di desa Omu yaitu Seko dan Kaili.

5.2 Keadaan Biofisik

5.2.1 Letak, Luas dan Aksesibilitas

Desa Toro terletak sekitar 120°1’47 BT – 120°3’30” BT dan 1°29’30” LS – 1°32’04” LS, dengan luas wilayah ± 99,03 km2dan ketinggian rata-rata 796 m di atas permukaan laut (dpl). Secara administratif Desa Toro berada dalam wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari ibukota Kecamatan Kulawi sejauh 16 km, dapat ditempuh dalam waktu setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak dari ibu kota propinsi di Palu lebih kurang 86 km dan dapat ditempuh lebih 3 jam perjalan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Toro terdiri dari 7 dusun. Batas-batas wilayah Desa Toro secara administratif adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Matue dan Lindu b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kaduwa


(31)

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Oo dan Parese d. Sebelah Barat berbatasan deng Lonca dan Winatu

Desa Omu terletak pada titik 119°56’43” BT dan 1°16’37” LS dengan luas wilayah ±49,18 km2dan ketinggiaan rata-rata 154 m di atas permukaan laut. Desa Omu secara administratif berada di wilayah Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah. Menuju Desa Omu dapat di tempuh menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua. Waktu tempuh dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah menuju Desa Omu adalah 2 jam perjalanan. Batas-batas wilayah Desa Omu secara administratif adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Simono b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Anca c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tuva d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bangga.

5.2.2 Topografi

Topografi Toro termasuk dalam kategori pegunungan, dimana persentase pegunungan sebanyak 50%, dataran 30%, dan perbukitan 20%. Tingkat kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60% - 70%. Topografi Desa Omu termasuk daerah perbukitan. Hal ini dilihat dari persentase topografi yang ada di Desa Omu. Sebanyak 50% wilayahnya adalah perbukitan, pegunungan 20% dan dataran sebanyak 30%. Tingkat kemiringan tanah berupa perbukitan dengan kelerangan berkisar 40% - 60%. Jenis tanah berupa Asosiasi Cokelat kelabu, Podsol dan Renzina (Badan Pusat Statistik 2011).

5.2.3 Iklim

Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt-Fregusson, daerah lokasi penelitian mempunyai tipe iklim G dengan rata-rata curah hujan tahunan pada rentang tahun 1991 – 2010 sebesar 725 mm/tahun dengan curah hujan tahunan terendah pada tahun 2004 yaitu sebesar 434 mm dan curah hujan tahunan tertinggi pada tahun 1999 sebesar 1063 mm. Rata-rata curah hujan bulanan pada rentang tahun 1991 – 2000 adalah 37 mm/bulan – 92 mm/bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan terendah pada bulan September dan tertinggi pada bulan Juli. Rata-rata curah hujan bulanan pada rentang 2001 – 2010 adalah 39 mm/bulan – 77


(32)

19

mm/bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan terendah pada bulan Februari dan tertinggi pada bulan April. (Badan Pusat Statistik 2011). Data curah hujan dan temperatur udara dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4.

5.2.4 Vegetasi

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) memiliki tingkat keanekaragaman jenis vegetasi yan tinggi di Pulau Sulawesi. Diperkirakan 5.000 spesies tumbuhan tinggi terdapat di dalamnya. Flora di dalam TNLL umumnya diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis vegetasi utama berdasarkan ketinggian, meskipun bentuk lahan, topografi dan iklim juga memegang peranan penting.

Pada ketinggian 500 – 1.000 mdpl, hutan dataran rendah berkembang dengan baik. Jenis-jenis yang dapat dijumpai antara lain: Mussaendopsis beccariana, Dysoxylum sp., Ficus sp., Myristica spp., Caryota spp., Elmerilia ovalis, Strychnos axillaris, Celtis sp., Pterospermum subpeltatum, Canangium odoratum, dan Durio zibethinus. Pada pegunungan rendah dengan ketinggian 1.000 – 1.500 mdpl dijumpai jenis-jenis Castanopsis argentea, Lithocarpus spp., Garcinia spp., serta berbagai epifit, termasuk didalamnya puluhan jenis Anggrek dan pakis yang tumbuh di dahan-dahan pohon (Purwawangsa 2008).

5.2.5 Satwa Liar

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Dari jenis mamalia langka dapat dijumpai Anoa quarlesi, Anoa depressicornis, Babyrousa babyrusa, Sus celebensis, Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, Phalanger celebensis, Tarsius spectrum dan Cervus timorensis. Kawasan ini juga terkenal akan keanekaragaman jenis burung. Sekitar 224 jenis burung ditemukan, 97 diantaranya merupaka endemik di Sulawesi, seperti Tanygnatus sumtrana, Loriculus exillis, Trichoglossus platurus, Cacatua sulphurea, Buceros rhinoceros, Aceros cassidix, Anhinga rufa, Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo dan Megapoidus freycynet. Selain itu, terdapat pula jenis reptil seperti Phyton reticulatus, Ophiophagus hannah dan Elaphe erythura. Jenis serangga antara lain Papilio blumei, Graphium androclesdanAppies spp(Purwawangsa 2008).


(33)

5.3 Keadaan Sosial dan Ekonomi 5.3.1 Administrasi Pemerintahan

Desa Toro terbagi ke dalam tujuh dusun dan empat belas Rukun Tetangga (RT). Dalam struktur pemerintahan, Desa Toro terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan dan urusan pembangunan, urusan umum dan urusan keuangan. Desa Omu terbagi ke dalam empat dusun dan tujuh Rukun Tetangga (RT). Dalam struktur pemerintahan, Desa Omu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan dan urusan pembangunan, urusan umum dan urusan keuangan.

5.3.2 Penduduk, Pendidikan dan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk Desa Toro pada tahun 2010 sebanyak 1.976 jiwa dengan kepadatan penduduk sebanyak 20 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga (RT) sebanyak 486 rumah tangga dengan rata-rata empat jiwa/RT. Menurut jenin kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1028 jiwa dan perempuan sebanyak 948 jiwa. Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk desa Toro dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat Pendidikan Desa Toro

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1. tidak tamat SD 842 42,61

2. SD/sederajat 736 37,25

3. SLTP/sederajat 262 13,26

4. SLTA/sederajat 119 6,02

5. perguruan tinggi 17 0,86

Jumlah 1976 100

Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi (2010)

Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Toro tergolong rendah. Pada Tabel 3 menunjukkan sebagian besar penduduknya tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan hanya sebagian kecil yang sampai sekolah hingga Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 0,86%. Hal ini menyebabkan sebagian besar mata pencaharian di Desa Toro hanya sebagai petani atau buruh tani. Berdasarkan sumber mata pencaharian penduduk Desa Toro dapat dilihat pada Tabel 4.


(34)

21

Tabel 4 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Toro

No. Jenis Pekerjaan Desa Toro

1 Petani/buruh tani 1360

2 PNS 19

3 Pegawai Swasta 20

4 Pengusaha 33

5 Polri/TNI 0

Jumlah 1432

Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi (2010)

Jumlah penduduk Desa Omu pada tahun 2010 sebanyak 2.010 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 392 Rumah Tangga. Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 998 jiwa dan perempuan sebanyak 1012 jiwa. Desa Omu terbagai menjadi 7 administrasi tingkat Rumah Tangga (RT) dan terdiri dari 4 dusun. Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk Desa Omu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat Pendidikan Desa Omu

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1. tidak tamat SD 892 44,38

2. SD/sederajat 600 29,85

3. SLTP/sederajat 353 17,56

4. SLTA/sederajat 150 7,46

5. perguruan tinggi 15 0,75

Jumlah 2010 100

Sumber: Pemerintah Kabupaten Sigi (2010)

Tingkat pendidikan yang rendah di Desa Omu juga menyebabkan sebagaian besar mata pencaharian penduduk Desa Omu adalah sebagai petani atau buruh tani. Jenis mata pencaharian penduduk Desa Omu disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Omu

No. Jenis Pekerjaan Desa Omu

1 Petani/buruh tani 1548

2 PNS 15

3 Pegawai Swasta 14

4 Pengusaha 16

5 Polri/TNI 1

Jumlah 1594


(35)

5.3.3 Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan di Desa Toro dan Omu berupa sawah irigasi sederhana dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi sederhana adalah sawah yang sumber airnya berasal dari irigasi yang tidak permanen/sederhana berupa bahan material dari tumpukan batu yang tidak ditata dengan baik. Perkebunan yang dikembangan masyarakat adalah kakao, jagung dan kelapa. Luas padi/sawah di Desa Toro 91 ha, jagung 51 ha dan kakao 493 ha. Sedangkan luas sawah di Desa Omu adalah 86 ha, kelapa 20 ha, kakao 600 ha, jagung 30 ha, kacang kedelai 6 ha dan kacang tanah 4 ha.


(36)

BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Persepsi Terhadap Perubahan Iklim

Responden penelitian secara umum merasakan terjadinya perubahan iklim yang terjadi. Responden merasakan gejala-gejala terjadinya pergeseran musim dan perubahan suhu yang terjadi selama beberapa tahun terkahir. Namun mereka belum mengerti istilah perubahan iklim. Hal ini disebabkan tingkat pendidikan respoden yang sebagian besar hanya lulus Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masyarakat merasakan telah terjadinya pergeseran musim yang hujan dan musim kemarau serta perubahan lama musim hujan dan kemarau. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Azhari (1988) dalam Ramdhani (2011) bahwa pendidikan baik formal maupun non formal adalah sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.

Perubahan musim yang tidak menentu sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada jadwal penanaman padi. Masyarakat hanya mengikuti instruksi aparat desa mengenai jadwal tanam dan jadwal panen. Perubahan musim yang tidak menentu mengakibatkan menurunnya hasil panen karena cuaca yang tidak mendukung. Hal ini juga mengakibatkan masyarakat mudah terserang penyakit karena perubahan yang tidak menentu.

6.2 Curah Hujan dan Temperatur Udara 6.2.1 Curah Hujan

Hasil wawancara dengan masyarakat Desa Toro dan Desa Omu menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran musim dalam beberapa dekade terakhir. Curah hujan sebelum Tahun 1990 terjadi dengan intensitas yang tinggi pada bulan Oktober hingga bulan Februari. Walaupun pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1985 yang terjadi selama bulan Maret hingga bulan Desember. Periode setelah tahun 1990 hari hujan dengan intensitas tinggi mulai berkurang. Setelah Tahun 1991 hujan mulai terjadi sepanjang tahun walaupun dengan intensitas yang rendah. Intensitas curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Desember, bulan April, bulan Mei dan bulan Juli. Musim hujan tidak lagi bisa diprediksi karena hujan turun sepanjang tahun atau 1 – 2 bulan saat musim


(37)

kemarau. Hasil wawancara menunjukkan terjadinya musim pergeseran musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan yang dulu terjadi selama bulan Oktober hingga bulan Maret kini tidak dapat ditentukan lagi. Setelah tahun 2000 rata-rata hujan terjadi sepanjang tahun dengan waktu yang tidak dapat diprediksi. Perubahan kalender musim menurut masyarakat dapat dilihat pada Tabel 7

Tabel 7 Kalender musim dalam beberapa periode di kedua desa

Tahun Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

<1990-an xxx xxx xxx xx x xx xxx xxx

1990-an x x xx x xx xx xx xx x xx xx xx

2000-an x x x xx x x xx x x x x x

Keterangan :

xxx = Intensitas Tinggi

xx = Intensitas Sedang

x = Intensitas Rendah

Terjadinya perubahan musim yang tidak dapat diprediksi oleh masyarakat tidak berbeda jauh dengan data curah hujan per bulan dan per tahun dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun Mutiara Palu. Terjadinya perubahan musim dari tahun 1991, tahun 2001 dan tahun 2010 (Gambar 3). Tahun 1991 curah hujan tertinggi pada bulan Mei dan terendah pada bulan September. Tahun 2001 mulai terjadi perubahan musim dengan terjadinya hujan sepanjang tahun dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September, berbeda dengan tahun 1991 dimana tidak terjadi hujan pada bulan September. Tahun 2010 hujan dengan curah hujan tinggi terjadi sepanjang tahun, dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan tinggi sepanjang bulan April sampai bulan Oktober. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan musim hujan dan musim kemarau yang tidak menentu.


(38)

25

Gambar 3 Curah Hujan Desa Toro dan Desa Omu (BMKG 2011).

6.2.2 Temperatur Udara

Hasil wawancara dengan masyarakat Desa Toro dan Desa Omu mengungkapkan bahwa temperatur udara juga semakin meningkat. Sebelum tahun 1990 masyarakat masih merasakan sejuknya udara pada pagi hari sampai menjelang siang. Hal ini ditandai dengan masih adanya kabut tipis hingga jam 9 pagi atau jam 10 pagi. Setelah tahun 1990 sampai sekarang intensitas kabut mulai berkurang pada pagi hari. Kabut lebih cepat hilang dibandingkan sebelum tahun 1990. Temperatur udara lebih hangat pada bulan Februari hingga bulan Mei dan bulan Agustus hingga November pada tahun pada rentang tahun 1991-2000. Pada rentang tahun 2000-2010 temperatur udara juga lebih hangat pada bulan yang sama seperti rentang tahun 1991-2000. Hanya saja pada rentang tahun 2001-2010 temperatur udara dirasakan lebih panas daripada rentang sebelumnya. Indikator temperatur udara berdasarkan intensitas kabut pada pagi hari dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Intensitas kabut di pagi hari di kedua desa

Tahun Waktu (dalam 24 jam)

06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00

1990 xxx xxx xxx xx

1991-2000 xxx xxx xx x

2001-2010 xx x

Ket : xxx = Intensitas tinggi xx = Intensitas sedang x = Intensitas rendah

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0

jan feb mar apr mei jun jul agu sep okt nop des

mm

Bulan

1991 2001 2010


(39)

Data BMKG Stasiun Mutiara Palu menunjukkan terjadinya peningkatan temperatur udara rata-rata bulanan dari tahun 1991 hingga tahun 2010. Rata-rata temperatur udara tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 28,13C pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2010 dan terendah pada bulan Oktober 27,10C pada rentang tahun 1991 hingga tahun 2000. Rata-rata termperatur udara bulanan pada rentang tahun 2001 hingga tahun 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan rentang tahun 1991 hingga tahun 2000. Terjadi peningkatan temperatur udara rata-rata bulanan selama 20 tahun terakhir. Peningkatan temperatur udara bulan pada tahun 1991 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik suhu rata-rata per bulan (BMKG 2011).

6.3 Dampak Perubahan Iklim 6.3.1 Perubahan Cuaca Ekstrim

Perubahan musim yang perlahan maupun yang ekstrim memberikan dampak langsung pada masyarakat yang tinggal di pedalaman maupun di pesisir (Sylviani dan Sakuntaladewi 2010). Perubahan musim dan curah hujan berdampak buruk pada sistem pengelolaan sumberdaya alam sebagai sumber kehidupan. Dampak dari pergeseran musim yakni semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar sehingga pola tanam juga akan mengalami pergeseran. Selain itu kerusakan pertanian terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi yang berdampak pada banjir dan tanah longsor serta angin. Fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mengurangi produktivitas pertanian. Menurunnya hasil pertanian akan menurunkan pendapatan masyarakat

25.5 26 26.5 27 27.5 28 28.5

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

°C

Bulan

Rataan/bulan Tahun 1991-2000 Rataan/bulan Tahun 2001-2010


(40)

27

yang berdampak pada kurangnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat (Festiani 2011).

Cuaca yang tidak menentu sangat berpengaruh pada masyarakat Desa Toro dan Desa Omu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan dari mengelola sumber daya alam. Masyarakat Desa Toro 95,97% bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani dan sebagian kecil pegawai swasta sebanyak 1,40%, pengusaha sebanyak 2,30% dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 1,33% (Gambar 5).

Gambar 5 Mata pencaharian penduduk Desa Toro (data diolah).

Mata pencaharaian masyarakat Desa Omu tidak berbeda jauh dengan masyarakat di Desa Toro. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharaian dengan menjadi petani atau buruh tani sebanyak 97,11% sedangkan PNS sebanyak 0,94%, pegawai swasta sebanyak 0,88%, pengusaha sebanyak 1,00% dan Tentara Republik Indonesia (TNI) sebanyak 0,06% (Gambar 6).

94.97% Petani/buruh tani

27

yang berdampak pada kurangnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat (Festiani 2011).

Cuaca yang tidak menentu sangat berpengaruh pada masyarakat Desa Toro dan Desa Omu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan dari mengelola sumber daya alam. Masyarakat Desa Toro 95,97% bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani dan sebagian kecil pegawai swasta sebanyak 1,40%, pengusaha sebanyak 2,30% dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 1,33% (Gambar 5).

Gambar 5 Mata pencaharian penduduk Desa Toro (data diolah).

Mata pencaharaian masyarakat Desa Omu tidak berbeda jauh dengan masyarakat di Desa Toro. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharaian dengan menjadi petani atau buruh tani sebanyak 97,11% sedangkan PNS sebanyak 0,94%, pegawai swasta sebanyak 0,88%, pengusaha sebanyak 1,00% dan Tentara Republik Indonesia (TNI) sebanyak 0,06% (Gambar 6).

94.97%

1.33% 1.40%

2.30% 0.00%

Petani/buruh tani PNS Pegawai Swasta Pengusaha Polri/TNI

27

yang berdampak pada kurangnya kesejahteraan dan kesehatan masyarakat (Festiani 2011).

Cuaca yang tidak menentu sangat berpengaruh pada masyarakat Desa Toro dan Desa Omu. Hal ini karena sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan dari mengelola sumber daya alam. Masyarakat Desa Toro 95,97% bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani dan sebagian kecil pegawai swasta sebanyak 1,40%, pengusaha sebanyak 2,30% dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 1,33% (Gambar 5).

Gambar 5 Mata pencaharian penduduk Desa Toro (data diolah).

Mata pencaharaian masyarakat Desa Omu tidak berbeda jauh dengan masyarakat di Desa Toro. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharaian dengan menjadi petani atau buruh tani sebanyak 97,11% sedangkan PNS sebanyak 0,94%, pegawai swasta sebanyak 0,88%, pengusaha sebanyak 1,00% dan Tentara Republik Indonesia (TNI) sebanyak 0,06% (Gambar 6).

1.33% 1.40%

2.30% 0.00%


(41)

Gambar 6 Mata pencaharian penduduk Desa Omu (data diolah)

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan ketergantungan masyarakat di kedua desa terhadap alam karena sebagian besar mata pencaharian dengan mengelola sumber daya alam dan lingkungan sekitar. Perubahan cuaca secara ekstrim menimbulkan berbagai dampak terhadap pola hidup masyarakat di kedua desa tersebut.

6.3.2 Musim Hujan

Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pergeseran dan menyingkatnya musim hujan. Hujan tidak bisa lagi diprediksi waktu dan intensitasnya. Hujan yang terjadi secara tiba-tiba dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bencana. Hal ini berdampak pada masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dan berbukit-bukit seperti masyarakat di Desa Toro dan Desa Omu yang tinggal di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Walaupun berada si sekitar kawasan taman nasional yang kondisi tutupan lahannya relatif terjaga, ternyata bencana banjir dan longsor tetap saja terjadi. Bencana banjir dan longsor beresiko terhadap pertanian masyarakat Desa Toro yang berada di kaki bukit.

Peningkatan curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada tahun 1998 menyebabkan gagal panen padi masyarakat. Hal ini disebabkan karena terendamnya sawah milik masyarakat akibat curah hujan yang tinggi. Tahun 2010 hujan yang terjadi sepanjang tahun tidak hanya menyebabkan bencana banjir bagi masyarakat Desa Toro. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya longsor di beberapa tempat yang merusak sawah milik masyarakat. Hujan dengan

97.11%

Petani/buruh tani

Gambar 6 Mata pencaharian penduduk Desa Omu (data diolah)

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan ketergantungan masyarakat di kedua desa terhadap alam karena sebagian besar mata pencaharian dengan mengelola sumber daya alam dan lingkungan sekitar. Perubahan cuaca secara ekstrim menimbulkan berbagai dampak terhadap pola hidup masyarakat di kedua desa tersebut.

6.3.2 Musim Hujan

Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pergeseran dan menyingkatnya musim hujan. Hujan tidak bisa lagi diprediksi waktu dan intensitasnya. Hujan yang terjadi secara tiba-tiba dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bencana. Hal ini berdampak pada masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dan berbukit-bukit seperti masyarakat di Desa Toro dan Desa Omu yang tinggal di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Walaupun berada si sekitar kawasan taman nasional yang kondisi tutupan lahannya relatif terjaga, ternyata bencana banjir dan longsor tetap saja terjadi. Bencana banjir dan longsor beresiko terhadap pertanian masyarakat Desa Toro yang berada di kaki bukit.

Peningkatan curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada tahun 1998 menyebabkan gagal panen padi masyarakat. Hal ini disebabkan karena terendamnya sawah milik masyarakat akibat curah hujan yang tinggi. Tahun 2010 hujan yang terjadi sepanjang tahun tidak hanya menyebabkan bencana banjir bagi masyarakat Desa Toro. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya longsor di beberapa tempat yang merusak sawah milik masyarakat. Hujan dengan

97.11%

0.94%

0.88%

1.00%

0.06%

Petani/buruh tani PNS Pegawai Swasta Pengusaha Polri/TNI

Gambar 6 Mata pencaharian penduduk Desa Omu (data diolah)

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan ketergantungan masyarakat di kedua desa terhadap alam karena sebagian besar mata pencaharian dengan mengelola sumber daya alam dan lingkungan sekitar. Perubahan cuaca secara ekstrim menimbulkan berbagai dampak terhadap pola hidup masyarakat di kedua desa tersebut.

6.3.2 Musim Hujan

Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pergeseran dan menyingkatnya musim hujan. Hujan tidak bisa lagi diprediksi waktu dan intensitasnya. Hujan yang terjadi secara tiba-tiba dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bencana. Hal ini berdampak pada masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dan berbukit-bukit seperti masyarakat di Desa Toro dan Desa Omu yang tinggal di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Walaupun berada si sekitar kawasan taman nasional yang kondisi tutupan lahannya relatif terjaga, ternyata bencana banjir dan longsor tetap saja terjadi. Bencana banjir dan longsor beresiko terhadap pertanian masyarakat Desa Toro yang berada di kaki bukit.

Peningkatan curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada tahun 1998 menyebabkan gagal panen padi masyarakat. Hal ini disebabkan karena terendamnya sawah milik masyarakat akibat curah hujan yang tinggi. Tahun 2010 hujan yang terjadi sepanjang tahun tidak hanya menyebabkan bencana banjir bagi masyarakat Desa Toro. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya longsor di beberapa tempat yang merusak sawah milik masyarakat. Hujan dengan

0.94%

0.88%

1.00%

0.06%


(42)

29

intensitas yang tinggi tidak hanya menyebabkan turunnya produksi padi bagi masyarakat. Hasil panen coklat yang dimiliki masyarakat sebagai tambahan penghasilan juga menurun hasilnya. Turunnya produksi padi dan coklat masyarakat diantisipasi dengan menanam tanaman palawija di sekitar tempat tinggal mereka seperti jagung (Gambar 7).

Gambar 7 Tanaman jagung sebagai antisipasi perubahan iklim.

Pekerjaan sampingan juga dilakukan masyarakat sebagai antisipasi berkurangnya pendapatan seperti beternak sapi dan ayam serta menjadi buruh ternak dengan mencari rumput. Mencari rotan di sekitar hutan juga dilakukan masyarakat sebagai alternatif pendapatan. hujan yang tidak menentu tidak hanya menyebabkan banjir dan longsor bagi masyarakat Desa Toro. Akibat hujan yang tidak menentu menyebabkan banyaknya hama tikus yang menyerang sawah masyarakat. Menurut masyarakat hal ini disebabkan karena berkurangnya buah-buahan di hutan yang menjadi pakan tikus hutan sehingga tikus-tikus mencari makan di sawah-sawah milik masyarakat.

Banjir dan longsor juga dialami masyarakat Desa Omu yang berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu dan di lewati sungai Omu. Desa Omu yang berada di kaki bukit dengan tingkat kecuraman yang tinggi menyebabkan Desa Omu rawan terkena bencana longsor dan banjir. Hujan yang turun lebih dari tiga jam di musim hujan membuat masyarkat Desa Omu bersiap untuk menyingkirkan tumpukan material berupa tanah atau lumpur dan kerikil yang menutupi badan jalan dan pemukiman mereka.

Tahun 1999 dan tahun 2000 akibat curah hujan yang tinggi di hulu menyebabkan banjir sungai yang merusak pemukiman warga akibat meluapnya


(43)

aliran sungai Omu. Curah hujan dengan intensitas tinggi juga menyebabkan terjadinya bencana longsor bagi masyarakat di Desa Omu seperti yang terjadi pada tahun 2000 dan tahun 2004. bencana longsor merusak sebagian rumah warga yang berada di kaki-kaki bukit Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan menurunnya produksi perkebunan seperti coklat dan kopra (Gambar 8). pada kondisi normal satu pohon bisa menghasilkan 2 hingga 4 kilogram buah kakao matang, namun meningkatnya curah hujan menyebabkan 1 pohon kakako hanya menghasilkan sekitar 1 kilogram buah kakao matang.

a b

Gambar 8 (a) Buah kakao milik warga yang hampir masak, (b) Proses penjemuran biji kakao.

6.3.3 Musim Kemarau

Musim kemarau yang terjadi secara ekstrim tidak berpengaruh besar bagi masyarakat di Desa Toro karena letak Desa Toro yang berada di hulu hampir di kelilingi oleh Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Kondisi tutupan lahan terjaga oleh status taman nasional serta aturan adat mengenai pelarangan mengambil kayu di hutan turut menjaga ketersedian mata air di musim kemarau. Irigasi yang dibangun secara gotong royong oleh masyarakat atas bantuan pemerintah daerah menjaga sawah masyarakat dari kekeringan. Kearifan lokal masyarakat Desa Toro dalam menjaga dan mengelola sumberdaya alam berlangsung secara turun-temurun. Mereka percaya bahwa alam di sekitar mereka memberi penghidupan bagi mereka dan harus dijaga kelestariannya. Salah satu kearifan masyarakat Desa Toro adalah adanya peraturan yang melarang membuka lahan atau menebang pohon di atas tanah dengan kemiringan 35%. Masyarakat dilarang membuka


(44)

31

ladang di daerah yang terdapat sumber mata air. Masyarakat juga membantu menangkap para penebang liar di kawasan TNLL baik yang berasal dari desa mereka atau dari luar desa.

Musim kemarau panjang bagi masyarakat Desa Omu berpengaruh pada konsumsi air yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan air untuk kehidupan sehari-hari masyarakat akan disuplai dari bak-bak penampungan air dari atas bukit. Kemarau panjang membuat sumur-sumur warga mengering sehingga berkurangnya konsumsi untuk pertanian dan ternak. Akibat kemarau panjang hasil produksi kopra menurun. Hal ini karena kelapa yang dihasilkan memiliki daging buah yang tipis akibat kurangnya air. Sebelum dibuat bak penampungan, saat kemarau panjang masyarakat kesulitan mendapatkan air karena sumber mata air yang berada dekat pemukiman warga mengering. Masyarakat harus berjalan berjalan jauh ke hutan untuk mencari sumber mata air bagi kebutuhan sehari-hari. Kondisi air yang sulit dan berkurangnya produksi pertanian memaksa warga untuk pergi ke hutan mencari rotan sebagai tambahan penghasilan (Gambar 9).

Gambar 9 Keadaan sungai saat musim kemarau.

6.3.4 Klasifikasi Dampak Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim yang ditimbulkan menurut Yayasan Pelangi Indonesia (2009) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dampak langsung dan dampak turunan. Dampak langsung adalah dampak yang timbul secara langsung terhadap lingkungan dan dirasakan oleh masyarakat. Sedangkan dampak turunan adalah dampak yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam waktu yang lama sehingga kemudian dirasakan oleh masyarakat. Hal ini akan mempengaruhi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengantisipasi perubahan iklim.


(45)

Klasifikasi dampak perubahan iklim baik secara langsung maupun turunan akibat perubahan iklim di Desa Toro dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Klasifikasi dampak perubahan iklim di Desa Toro

Fenomena

Perubahan Iklim

Dampak

Langsung Turunan

Perubahan musim dan cuaca yang tidak menentu

1. Banjir 2. Longsor

3. Berkurangnya sumber air bersih

4. Terjadinya angin Puting Beliung

5. Bertambahnya hama pertanian

6. Sulit mencari rumput sebagai pakan ternak

a. Berkurangnya hasil pertanian akibat banjir dan longsor

b. Berkurangnya

pendapatan masyarakat c. Rusaknya fasilitas desa

dan rumah warga

d. Warga mudah terserang penyakit karena perubahan cuaca yang tidak menentu

Tabel 9 menunjukkan bahwa perubahan musim yang tidak menentu baik musim hujan maupun musim kemarau memberikan dampak langsung maupun turunan. Dampak langsung dari curah hujan yang tinggi pada Tabel 9 ditunjukkan pada poin (1), poin (2) dan poin (5). Sedangkan dampak langsung karena musim kemarau yang ekstrim ditunjukkan pada poin (3), poin (4) dan poin (6). Dampak turunan dari perubahan musim yang ekstrim ditunjukkan pada poin (a) hingga poin (d). Klasifikasi dampak fenomena perubahan iklim di Desa Omu baik secara langsung maupun turunan disajikan dalam pada Tabel 10.

Tabel 10 Klasifikasi dampak perubahan iklim di Desa Omu

Fenomena Perubahan Iklim

Dampak

Langsung Turunan

Perubahan musim dan cuaca yang tidak menentu

1. Banjir 2. Longsor

3. Kerusakan fasilitas desa dan rumah

4. Gagal panen

5. Pengikisan tepi sungai 6. Kekurangan air bersih 7. Pendangkalan sungai

a. Produksi kopra menurun karena waktu menjemur kelapa menjadi lebih lama b. Biaya tambahan untuk

memperbaiki rumah yang rusak akibat banjir atau longsor c. Pendapatan menurun d. Mudah terserang


(46)

33

Dampak langsung dari perubahan musim hujan bagi masyarakat Desa Omu pada tabel ditunjukkan pada poin (1) – (5). Sedangkan dampak langsung perubahan musim kemarau ditunjukkan pada poin (6) dan (7). Dampak turunan yang ditimbulkan secara umum pada tabel ditunjukkan pada poin (a) – (d). Tidak berbeda jauh dengan masyarakat Desa Toro, perubahan musim berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat karena hasil panen menurun.

6.4 Adaptasi Masyarakat

Adaptasi disusun oleh berbagai tindakan dalam masyarakat yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan pemerintah. Adaptasi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor termasuk perlindungan terhadap kesejahteraan dan keselamatan. Hal tersebut dapat dilakukan secara individu atas dasar kepentingan pribadi, atau tersusun dalam aksi pemerintah dan publik untuk melindungi penduduknya (Adgeret al. 2003).

Dampak yang ditimbulkan karena fenomena perubahan iklim memaksa masyarakat melakukan tindakan adaptasi. Masyarakat Desa Toro dan Desa Omu sebagai masyarakat yang mengalami fenomena perubahan iklim secara naluriah melakukan tindakan adaptasi sebagai antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan iklim. Tindakan adaptasi yang dilakukan dipertimbangkan berdasarkan dampak yang sedang atau dialami oleh masyarakat Desa Toro dan Desa Omu.

6.4.1 Adaptasi Terhadap Kekeringan

Desa Toro dan Desa Omu yang berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu ternyata tidak luput dari bencana kekeringan. Sumber mata air yang berkurang saat kemarau panjang yang berakibat berkurangnya pasokan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pertanian. Untuk mengantisipasi berkurangnya pasokan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, pemerintah daerah membuat bak-bak penampungan air bersih yang berasal dari sumber mata air yang digunakan saat sumber mata air berkurang (Gambar 10). Pemerintah daerah juga membangun saluran irigasi untuk mengantisipasi kekeringan pada sawah-sawah masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat bisa melakukan kegiatan pertanian secara wajar walaupun dengan sumber daya air yang terbatas.


(47)

Untuk menjaga ketersediaan air saat musim kemarau masyarakat di Desa Toro dan Desa Omu membuat peraturan bersama dengan instansi TNLL tentang pelarangan penebangan hutan dan pengambilan rotan. Masyarakat boleh menebang pohon jika untuk keperluan domestik dan atas ijin dari lembaga adat. Penebangan dan pembukaan lahan tidak boleh dilakukan di daerah dengan kemiringan yang curam. Kearifan lokal masyarakat Desa Toro dalam menjaga lingkungan merupakan salah satu adapatsi yang dilakukan dalam menghadapi perubahan musim terutama musim kemarau panjang yang berpengaruh pada berkurangnya hasil pertanian dan serangan wabah penyakit saat musim kemarau tiba.

Gambar 10 Bak air sebagai bentuk adaptasi terhadap kekeringan.

6.4.2 Adaptasi Terhadap Banjir dan Longsor

Banjir dan longsor akibat tingginya curah hujan di Desa Toro dan Desa Omu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa. Banjir dan longsor merusak lahan-lahan pertanian serta mengurangi hasil produksi pertanian masyarakat desa. Berkurangnya hasil pertanian secara tidak langsung mengakibatkan pendapatan masyarakat menurun sehingga mengancam kesejahteraan masyarakat. Hal ini memaksa masyarakat dan pemerintah daerah mengambil suatu tindakan adaptasi guna mengurangi efek buruk dari bencana yang ditimbulkan.

Untuk mencegah terjadinya banjir dan longsor, masyarakat desa Toro melakukan tindakan antisipasi seperti menanam tanaman keras di sekitar ladang, membuat sawah hanya pada lereng-lereng bukit serta mengatur waktu perladangan guna menjaga kesuburan tanah. Tanaman keras yang ditanam diantaranya manggis, petai, rambutan, langsat dan tanaman-tanaman yang dapat


(48)

35

diambil buahnya. Pengerasan jalan desa juga dilakukan pemerintah daerah guna mengantisipasi genangan air yang menghambat masyarakat desa untuk menjual hasil pertaniannya ke luar desa.

Banjir akibat luapan air sungai yang melintas Desa Omu berdampak pada rusaknya fasilitas desa dan rumah warga. Tindakan adaptasi yang dilakukan masyarakat dibantu oleh pemerintah daerah untuk mengatasi banjir antara lain dengan membuat pondasi beton di pinggir sungai untuk mencegah luapan air sungai. Masyarakat Desa Omu yang tinggal di bantaran sungai beradaptasi dengan membangun rumah seperti rumah panggung agar saat banjir datang tempat tinggal mereka masih dapat terlindungi (Gambar 11). Adaptasi juga dilakukan oleh masyarakat yang tinggal dekat dengan lereng yang curam yaitu dengan membuat pondasi beton sebagai antisipasi jika terjadi longsor. Sebagai antisipasi terjadinya banjir dan longsor, pemerintah daerah bersama Balai Taman Nasional Lore Lindu melakukan kegiatan penanaman di lereng-lerng bukit dan tepian sungai.

Gambar 11 Rumah panggung sebagai antisipasi terhadap bencana banjir.

6.4.3 Adaptasi Terhadap Penurunan Pendapatan

Fenomena perubahan iklim secara tidak langsung menyebabkan pendapatan petani menurun karena berkurangnya hasil panen dan bertambahnya biaya yang dikeluarkan oleh petani. Hal ini memaksa petani untuk melakukan adaptasi untuk meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat Desa Toro mencari pendapatan tambahan dengan mencari rotan di hutan. Selain itu masyarakat Desa Toro juga menanam jagung, kacang dan ubi sebagai tambahan penghasilan karena mempunyai nilai jual yang tinggi. Untuk meningkatkan produksi coklat, petani di Desa Toro juga mendapatkan pelatihan teknik sambung samping dari pemerintah daerah. Selain dari hasil pertanian,


(1)

Lampiran 1 Kuisioner

KUESIONER PENELITIAN

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN ADAPTASI PERUBAHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI KABUPATEN SIGI

PROVINSI SULAWESI TENGAH

No. Responden :

Tanggal :

Identitas Responden

1. Nama :

2. Umur : Tahun

3. Jenis kelamin : L/P

4. Alamat :

5. Jumlah tangggungan : Jiwa

6. Mata pencaharian kepala keluarga

a. Pokok :


(2)

Lampiran 2 Daftar pertanyaan kuesioner I. Responden

1. Pemahaman terhadap perubahan iklim 2. Perubahan musim

a. Apakah telah terjadi perubahan kalender musim?

b. Tanda-tanda telah terjadi perubahan musim? (curah hujan dan temperatur udara/suhu)

c. Apakah pernah terjadi musim ekstrim? (musim hujan dan musim kemarau) 3. Dampak perubahan musim

a. Dampak perubahan musim terhadap sumberdaya lingkungan? (hutan, air dan tanah)

b. Dampak perubahan musim terhadap sosial ekonomi? (pertanian, ternak, pendapatan dan pengeluaran)

4. Adaptasi terhadap perubahan musim

a. Jenis adaptasi terhadap perubahan musim pada aspek sumberdaya lingkungan dan aspek sosial ekonomi?

b. Alasan pemilihan teknologi adaptasi? c. Sumber dana/biaya adaptasi?

5. Pernanan kelembagaan desa, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam adaptasi terhadap perubahan iklim?

II. Instansi Terkait

1. Data monografi desa 2. Data curah hujan bulanan 3. Data temperatur udara bulanan 4. Peranan terhadap perubahan musim


(3)

Lampiran 3 Data Curah Hujan

Data Curah Hujan Tahun 1991 – 2000 (dalam milimeter)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Jumlah

1991 50,0 38,0 5,0 87,0 113,0 30,0 69,0 9,0 0,0 50,0 14,0 55,0 520,0

1992 20,0 24,0 17,0 4,0 62,0 94,0 138,0 36,0 21,0 19,0 24,0 27,0 486,0

1993 99,0 29,0 54,0 37,0 57,0 40,0 37,0 5,0 9,0 44,0 19,0 24,0 454,0

1994 26,0 52,0 119,0 23,0 126,0 60,0 78,0 78,0 8,0 30,0 34,0 122,0 756,0

1995 20,0 67,0 54,0 43,0 95,0 41,0 94,0 166,0 86,0 55,0 65,0 81,0 867,0

1996 24,0 71,0 43,0 67,0 42,0 89,0 110,0 80,0 87,0 61,0 43,0 244,0 961,0

1997 47,0 47,0 86,0 10,0 59,0 90,0 71,0 0,0 1,0 6,0 65,0 39,0 521,0

1998 19,0 17,0 20,0 24,0 96,0 130,0 218,0 193,0 84,0 41,0 131,0 36,0 1009,0

1999 218,0 32,0 116,0 85,0 97,0 144,0 60,4 77,0 48,0 139,0 39,0 8,0 1063,4

2000 93,0 6,0 67,4 27,7 10,8 192,5 44,2 65,0 30,0 143,0 130,0 64,0 873,6

Jumlah 616,0 383,0 581,4 407,7 757,8 910,5 919,6 709,0 374,0 588,0 564,0 700,0 7511,0

Rataan 1991 - 2000 61,6 38,3 58,1 40,8 75,8 91,1 92,0 70,9 37,4 58,8 56,4 70,0 751,1

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Mutiara Palu Keterangan:

Jumlah bulan basah : 19 bulan Jumlah bulan kering : 66 bulan


(4)

Data Curah Hujan Tahun 2001 – 2010 (dalam milimeter)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Jumlah

2001 50,0 83,6 46,0 74,0 52,0 24,0 50,0 27,0 112,0 99,0 47,0 25,0 689,6

2002 113,0 12,0 43,0 126,0 69,0 61,0 2,0 11,0 29,0 2,0 117,0 20,0 605,0

2003 28,2 56,2 51,8 30,8 49,4 18,7 73,1 80,9 43,5 39,8 31,9 95,9 600,2

2004 77,7 21,9 63,6 49,6 54,4 13,0 58,1 0,0 61,7 0,0 12,8 21,4 434,2

2005 38,3 5,4 28,2 59,0 126,3 135,5 45,2 32,1 38,6 111,8 42,9 72,9 736,2

2006 40,3 20,3 130,2 69,9 77,7 61,6 6,0 14,0 93,2 4,6 51,5 31,3 600,6

2007 110,8 88,5 48,9 55,4 78,6 104,4 142,8 107,5 47,7 26,9 76,4 61,0 948,9

2008 37,0 12,8 135,0 59,4 30,1 53,4 186,8 199,0 60,7 102,7 49,5 20,9 947,3

2009 11,7 55,9 73,3 161,5 28,2 40,2 44,0 15,9 10,4 12,6 54,2 54,9 562,8

2010 58,9 31,3 11,7 80,2 81,5 123,0 112,4 96,7 114,3 66,6 44,2 38,6 859,4

Jumlah 565,9 387,9 631,7 765,8 647,2 634,8 720,4 584,1 611,1 466,0 527,4 441,9 6984,2

Rataan 2001 - 2010 56,6 38,8 63,2 76,6 64,7 63,5 72,0 58,4 61,1 46,6 52,7 44,2 698,4

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Mutiara Palu Keterangan:

Jumlah bulan basah : 21 bulan Jumlah bulan kering : 74 bulan


(5)

Lampiran 4 Data Temperatur Udara

Data Temperatur Udara Tahun 1991 – 2010 (dalam derajat Celcius)

TAHUN JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEPT OCT NOV DEC

(°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C) (°C)

1991 26,4 26,6 27,4 27,0 27,0 27,0 26,5 27,4 27,7 27,6 27,7 27,2

1992 26,7 26,9 27,6 28,0 27,7 27,0 26,1 26,9 27,3 27,7 27,4 26,6

1993 26,7 26,2 27,0 27,1 27,5 27,2 27,0 27,3 27,8 27,1 26,7 28,0

1994 27,1 26,9 26,1 26,8 26,5 26,3 26,3 26,9 27,3 28,1 28,0 26,4

1995 26,7 25,5 26,6 27,4 27,1 26,7 26,0 25,9 26,6 26,9 26,6 25,9

1996 26,0 26,2 27,1 26,9 27,1 26,4 26,2 26,6 26,9 27,4 26,7 26,4

1997 25,7 25,9 26,2 27,1 27,2 27,7 26,7 27,4 27,9 28,3 27,7 27,4

1998 27,9 28,1 28,7 28,5 28,3 27,0 26,4 26,3 27,0 27,7 26,7 26,9

1999 26,7 27,1 25,7 26,5 26,5 26,0 26,3 26,6 27,1 26,8 26,6 27,7

2000 26,6 27,1 27,4 26,9 28,6 25,8 26,9 27,0 27,3 27,1 26,6 27,1

2001 27,1 26,6 27,3 27,9 27,7 27,3 27,6 27,6 27,8 27,7 27,7 26,5

2002 26,5 26,6 27,2 27,9 27,7 26,9 28,2 28,1 28,4 29,3 28,2 28,5

2003 27,3 27,0 27,5 27,8 28,0 28,5 27,1 27,7 28,1 28,2 28,5 27,2

2004 27,4 26,7 27,5 27,8 27,8 27,5 27,0 27,9 28,5 29,2 28,9 28,2

2005 27,5 28,2 28,1 27,7 27,3 27,2 27,0 27,8 28,3 28,1 27,4 27,3

2006 27,2 27,7 27,6 26,9 27,4 26,8 28,2 28,1 27,8 28,6 28,6 29,0

2007 27,2 26,3 27,2 28,0 28,1 27,5 27,0 27,0 27,3 27,5 27,3 28,0

2008 27,7 27,1 26,5 26,3 26,7 26,6 25,1 25,7 26,5 26,8 26,8 27,1

2009 27,1 26,8 26,9 27,0 27,5 27,4 26,7 28,1 28,7 28,2 28,5 27,9

2010 27,4 28,1 28,7 28,7 28,2 27,1 27,1 26,7 27,0 27,7 28,2 27,6


(6)

Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian

Kondisi sawah masyarakat wawancara dengan responden

Kondisi tanah saat kemarau Kolam penampungan air

Bak penampungan air bersih Saluran pengairan warga