Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Fungsi Hutan (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara)

(1)

ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI HUTAN (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di

Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara) SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Program Studi Sosiologi

OLEH PRABU TAMBA

060901052

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ABSTRAKSI

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. di desa Tapian Nauli III terjadi tiga kali peralihan funsi hutan yaitu dari hutan ulayat, hutan reboisasi hingga hutan tanaman industri atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp tanpa membebani hutan alami. Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). dengan perubahan fungsi hutan ini maka masyarakat dengan sendirinya beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara kepada masyarakat desa Tapian Nauli III, wawancara dilakukan kepada Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa, dan masyarakat desa Tapian Nauli III. Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil interpretasi data diperoleh kesimpulan bahwa berubahnya fungsi hutan berkontribusi positif terhadap kondisi masyarakat desa. masyarakat desa mengatasi perubahan ini dengan melakukan adaptasi berupa perubahan mata pencaharian serta ada pula masyarakat yang menjadikan hutan tanaman industri sebagai pekerjaan sampingannya.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan perlindungan-Nya yang begitu besar pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul:

“ADAPTASI MASYRAKAT TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI HUTAN”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pembelajaran dan hikmad, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran, dan disiplin. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis penulis merasakan betapa pentingnya eksplorasi berpikir dan bertindak, serta mengembangkan penalaran, selain hal tersebut penulis juga mendapati berbagai hambatan. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan materi penulis. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi, serta dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Drs. Ilham Saladin, M.Sp, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku Dosen Pembimbing penulis selama proses penyusunan skripsi yang telah banyak membimbing, memberikan waktu, tenaga, dan sumbangan pemikiran dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

5. Bapak dan Ibu Dosen yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen yang mengajar mata kuliah di Departemen Sosiologi, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

6. Para Pegawai di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang membantu penulis dalam menyelesaikan studi selama di Kampus ini.

7. Ayahanda T. Tamba dan Ibunda N. Br.Pardede yang selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi seorang sarjana yang berkompeten. Orang tua yang melahirkan, membesarkan dan selalu memberikan cinta kasih dan pengertian, dorongan, pengorbanan, dan motivasi yang tidak ada hentinya kepada penulis terlebih untuk menyelesaiakan perkuliahan terutama dalam masa penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Marasudin Silitonga, selaku Camat Sipahutar yang telah membantu dan memberikan izin penelitian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Bapak Dapot Pardede, selaku Kepala Desa yang telah membantu dan


(5)

10. Masyarakat Desa Tapian Nauli III, terkhusus kepada para informan yang telah meluangkan waktunya untuk penyusunan skripsi ini.

11. Keluarga Besar Op. Pardamean Tamba, Op. Bahagia Pardede, Abang Penulis S. Tamba dan Adik-adik penulis Rianto Tamba, Sudoyok Tamba, Sri Milka Tamba, Berkat Tamba dan Dewi Siska Tamba atas dukungan dan doanya yang senantiasa memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Abang dan adik-adik di Departemen Sosiologi serta teman-teman diorganisasi GMNI dan IMASI. yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselelesaikan.

Ahir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Doa dan harapan penulis kiranya skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi siapa saja yang membanca.

Medan, Mei 2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah...11

1.3 Pembatasan Masalah...11

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian...11

1.4.1 Tujuan Penelitian...11

1.4.2 Manfaat Penelitian...12

1.5 Defenisi Konsep...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1 Solidaritas Sosial...15

2.2 Mobilitas Sosial...17

2.3 Adaptasi Sosial...20

BAB III METODE PENELITIAN...24

3.1 Jenis Penelitian...24

3.2 Lokasi Penelitian...24

3.3 Unit Analisis Data dan Informan... 25

3.3.1 Unit Analisis... 25


(7)

3.4 Teknik Pengumpulan Data...26

3.4.1 Data Primer... 26

3.4.2 Data Sekunder ...27

3.5 Interpretasi Data...27

3.6 Tabel Jadwal Kegiatan ...28

3.7 Keterbatasan Penelitian ...28

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN...30

4.1 Deskriptif Lokasi Peneltian ...30

4.1.1 Sejarah Singkat DesaTapian Nauli III ...30

4.1.2 Pola-Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Desa Tapian Nauli III ...33

4.1.3Sejarah Singkat PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) ... 35

4.2 Penyajian dan Interpretasi Data...38

4.3 Profil Informan...38

4.3.1 Informan Kunci...38

4.3.2 Informan Biasa...40

4.4 Sikap Masyarakat Terhadap Kehadiran Hutan Tanaman Industri …. ………... 41

4.5 Adaptasi Jenis Pekerjaan Terhadap Perubahan Fungssi Hutan... 43

4.6 Adaptasi Masyarakat Terhadap Keterbatasan Lahan Di Desa Tapian Nauli III...47


(8)

4.7 Hubungan( Interaksi Sosial ) Sesama Masyarakat Desa Tapian Nauli III Setelah Masuknya Hutan Tanaman Industri

PT. Toba Pulp Lestari... 50

4.8 Kondisi Nilai Sosial Setelah Perubahan Fungsi Hutan ( Masuknya HTI PT. TPL )... 58

4.9 Kondisi Norma Sosial Setelah Perubahan Fungsi Hutan ( Masuknya HTI PT. TPL )... 67

BAB V PENUTUP... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ...73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. di desa Tapian Nauli III terjadi tiga kali peralihan funsi hutan yaitu dari hutan ulayat, hutan reboisasi hingga hutan tanaman industri atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp tanpa membebani hutan alami. Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). dengan perubahan fungsi hutan ini maka masyarakat dengan sendirinya beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara kepada masyarakat desa Tapian Nauli III, wawancara dilakukan kepada Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa, dan masyarakat desa Tapian Nauli III. Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari hasil interpretasi data diperoleh kesimpulan bahwa berubahnya fungsi hutan berkontribusi positif terhadap kondisi masyarakat desa. masyarakat desa mengatasi perubahan ini dengan melakukan adaptasi berupa perubahan mata pencaharian serta ada pula masyarakat yang menjadikan hutan tanaman industri sebagai pekerjaan sampingannya.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.

Dinas Kehutanan Indonesia pada tahun 1950 pernah merilis peta hutan. Peta yang memberikan informasi bahwa dulunya sekitar 84 persen (84%) luas daratan Indonesia atau sekitar 162.290.000 hektar tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Dalam peta hutan pada tahun 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut sebagai berikut: Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.000.000 hektar, Irian Jaya seluas 17.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat serta Nusa Tenggara Timur seluas 3.400.000 hektar. Namun Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana Departemen Kehutanan mengeluarkan data luas penetapan kawasan hutan secara berturut-turut sebagai berikut: Tahun 1950 terdapat kawasan hutan seluas 162,2 juta hektar, pada tahun 1992 terdapat kawasan hutan seluas 118,7 juta hektar, tahun 2003 terdapat kawasan hutan seluas 110,0 juta


(11)

hektar, dan pada tahun 2005 terdapat kawasan hutan seluas 93,92 juta hektar. Perincian kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta sebagai berikut:

1. Hutan tetap : 88,27 juta ha. 2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha. 3. Hutan lindung : 22,10 juta ha.

4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha. 5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha.

6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha. 7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.

(diakses 13 Oktober) Menurut Dinas Perhutani Bandung Selatan ada 7 fungsi hutan yang sangat membantu kebutuhan dasar (basic needs) kehidupan manusia, yaitu :

1. Hidrologis, maksudnya adalah hutan merupakan tempat penyimpanan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai melalui mata air-mata air yang ada di hutan. Dengan adanya hutan, air hujan yang berlimpah dapat diserap dan disimpan di dalam tanah dan tidak terbuang percuma.

2. Keberadaan hutan sangat berperan melindungi tanah dari erosi dan longsor.

3. Hutan merupakan tempat memasaknya makanan bagi

tanaman-tanaman, dimana di dalam hutan ini terjadi daur unsur hara (nutrien, makanan bagi tanaman) dan melalui aliran permukaan tanahnya dapat mengalirkan makanannya ke area sekitarnya.


(12)

4. Fungsi penting hutan lainnya adalah sebagai pengatur iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memproduksi Oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan manusia dan dapat pula menjadi penyerap karbondioksida (CO2) sisa hasil kegiatan manusia, atau menjadi paru-paru wilayah setempat bahkan jika dikumpulkan areal hutan yang ada di daerah tropis ini, dapat menjadi paru-paru dunia. Siklus yang terjadi di hutan, dapat mempengaruhi iklim suatu wilayah.

5. Fungsi hutan yang lain adalah sebagai area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang bakal menambah keanekaragaman hayati. fungsi hutan ini dapat mempertahankan kondisi ketahanan ekosistem disatu wilayah.

6. Fungsi Hutan berikutnya adalah mampu memberikan sumbangan alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama dibidang industri, selain kayu hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kayu putih, rotan serta tanaman-tanaman obat.

7. Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turisme, yaitu sebagai penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.

Dari jenisnya hutan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah :

1. Hutan dibedakan menurut asalnya


(13)

a) Hutan Primer b) Hutan Sekunder

2. Hutan berdasarkan susunan jenis tanamannya

Berdasarkan susunan jenis tanamannya hutan dibedakan menjadi 2 yaitu : a) Hutan Sejenis

b) Hutan Campuran

3. Hutan berdasarkan letak geografisnya 4. Hutan berdasarkan Pembuatannya

5. Hutan berdasarkan jenis pohon yang dominan 6. Hutan berdasarkan pengelolaannya

Hutan produksi adalah hutan yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil hutan bukan kayu, salah satu hutan produksi adalah Hutan Tanaman Industri atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp tanpa membebani hutan alami.Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya akan memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat disekitar kawasan HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak yang terlibat, salah satunya masyarakat yang berada dikawasan hutan tersebut. Dengan adanya


(14)

pembangunan HTI maka secara langsung masyarakat disekitar kawasan HTI tersebut tentu akan terkena pengaruh atau dampaknya baik dari segi sosial maupun ekonomi.

Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Gambaran ini dapat dilihat dengan maraknya industri-industri bubur kertas (pulp) yang notabene bahan bakunya dari kayu. Hal tersebut telah mampu menarik banyak investor karena memiliki nilai ekonomi (benefit) yang tinggi sehingga pengelolaannya dilakukan oleh swasta (pengusaha), pemerintah hanya sebagai regulator (Dinas Perhutani).Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2).

Menurut sejarah, Industri pulp dan kertas pertama kali di Indonesia adalah N.V. Papier Fabriek Padalarang yang didirikan pada tahun 1923, selanjutnya pada tahun 1939 N.V. Papier Fabriek Padalarang mendirikan anak perusahaan yaitu pabrik kertas Letjes. Setelah itu Pemerintah mendirikan pabrik kertas Siantar di Sumatera Utara dan pabrik kertas Martapura di Kalimantan, pada tahun 1961 di pulau jawa didirikan PN Kertas Blabak, kemudian diikuti dengan didirikannya Perum Kertas Gowa pada tahun 1967 di pulau Sulawesi dan PN Kertas Basuki Rahmat di Pulau Jawa pada tahun 1971. (sumber: APKI sejarah-industri-pulp-dan-kertas diakses 30 Mei 2012 Penulis: Tirtomulyadi Sulistyo)


(15)

Semenjak didirikannya industri pulp dan kertas pada tahun 1923 Sampai saat ini industri pulp dan kertas di indonesia terus mengalami perkembangan, sekitar 80 industri pulp dan kertas yang tersebar di wilayah Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:

N o

Nama Perusahaan Lokasi

1 PT. Indah Kiat Pulp & Paper

2012)

Riaudan Serang,Banten 2 PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia

diakses 30 Mei 2012)

Jakarta,dan Sidoarjo, Jawa Timur

3 PT.PindoDeliPulpandPapersMills

Kerawang,Jaw a Barat 4 PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry

Jambi 5 PT. The Univenus

(http://www.paperworld.com/firmeninfo.php?sprache=uk&menue=10&keyfirma=26 33337 diakses 30 Mei 2012)

Tangerang 6 PT. Ekamas Fortuna

Malang, Jawa Timur

7 PT. Purinusa Ekapersada

Menteng, Jakarta 8 PT. Musi Hutan Persada (MHP)

)

Palembang, Sumatera Selatan 9 PT. Tanjung Enim Lestari

MuaraEnim, Sumatera Selatan 10 PT. Kiani Kertas

Mangkajang-Berau, Kalimantan Timur 11 PT. Intiguna Primatama

Riau 12 PT. Surabaya Agung

Gresik, Jawa Timur


(16)

13 PT. Wirajaya

(http://www. /wira-jaya-foam_tangerang_4112725.htm diakses 30 Mei 2012)

Tangerang, Banten 14 PT. Garuda Kalimantan Lestari

Kabupaten BaritoKuala, Kalimantan Selatan 15 PT. Kaltim Prima Pulp & Paper

Kapuas, Kalimantan Tengah 16 PT. Perusahaan Kertas Leces

Jakarta

17 PT. Kertas Padalarang

Bandung, Jawa Barat 18 PT. Kertas Kraft Aceh

Lhokseumawe , NAD 19 PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

diakses

30 Mei 2012)

Riau 20 PT. Toba Pulp Lestari (TPL)

Toba Samosir, Sumatera Utara

PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang berlokasi di desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir yang berjarak kira-kira 220 Km dari sebelah selatan kota Medan merupakan salah satu Industri Pulp milik swasta yang turut mendukung program Pemerintah dalam meningkatkan ekspor non migas. Berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama, Tbk adalah demi pemenuhan kebutuhan akan kertas dan rayon dalam negeri yang sebelumnya masih diimpor dari berbagai negara. Sebagai sebuah pabrik pulp dengan proses kraft bahan baku yang digunakan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk adalah Eucalyptus yang merupakan hasil Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membutuhkan waktu tumbuh sekitar 4-5 tahun. PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL) mempunyai hutan tanaman industri (HTI) pohon ekaliptus seluas 150.000 hektar dengan hutan cadangan seluas 100.000 hektar


(17)

dan keseluruhan hutan ini tersebar dibeberapa daerah kabupaten seperti di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi serta Kabupaten Simalungun.

diakses tanggal 30 November 2011 Penulis: Erixon Ambarita)

Melalui observasi awal dan pra survei yang dilakukan peneliti di desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar yang terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) juga memiliki Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah ini merupakan konversi dari hutan reboisasi dinas perhutani yang pada awalnya merupakan tanah ulayat masyarakat yang diserahkan kepada negara. Penyerahan tanah ulayat dari masyarakat kepada negara untuk kepentingan reboisasi ini terjadi dalam 4 kali tahapan penyerahan yaitu :

1. Pada surat penyerahan tanah Tanggal 6 Februari 1975 tanah perladangan yang dinamakan Sibongbong di siharbangan seluas 500 Ha.

2. Tanggal 19 Agustus 1975, tanah Panontoran di Siharbangan seluas 1.000 Ha.

3. Tanggal 22 Mei 1976 tanah di Sibongbong daerah Siharbangan seluas 800 Ha.

4. Tanggal 16 Januari 1979 tanah di Siharbangan seluas 1.145 Ha.

(Sumber: Arsip Desa Tapian Nauli III tahun 2012)

Pada tahun 1992 tanah tersebut telah mengalami pengalihan fungsi dan penguasaan yaitu dari pemerintah kepada PT. Toba Pulp Lestari dengan bukti yaitu


(18)

PT. Toba Pulp Lestari mendapat izin dengan SK HPHTI No.493/KTS-II /1992 untuk membangun Hutan tanaman industri ekaliptus guna kepentingan ekonomi perusahaan tersebut. dengan SK HPHTI tersebut PT. Toba Pulp Lestari menebang dan memanen semua tanaman pinus hasil reboisasi kemudian secara berkelanjutan menanam tanaman ekaliptus untuk dipanen setiap 4-5 tahun sekali hingga saat ini.

Lahan merupakan aset yang sangat penting bagi masyarakat desa Tapian Nauli III, hal ini dikarenakan lahan merupakan salah satu sumber harapan untuk bertahan hidup bagi masyarakat pedesaan. Dengan demikian, lahan sering kali dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa luas pemilikan lahan berkorelasi positif dengan pendapatan rumah tangga (Wiradi dan Manning, 1984).

Dari hasil observasi dan wawancara pada pra survei peneliti dengan penduduk desa Tapian Nauli III, kondisi hutan di desa Tapian Nauli III mengalami 3 kali pergantian fungsi yaitu hutan ulayat, hutan reboisasi dan kemudian berganti menjadi hutan tanaman industri. Ketika hutan masih menjadi hutan ulayat, masyarakat memanfaatkan hutan ini menjadi lahan pencaharian yaitu tempat mencari hasil hutan seperti hewan buruan, rotan damar dan kemenyan (haminjon), namun ditahun 1975 seperti yang dipaparkan di atas sebagian besar hutan mengalami peralihan fungsi yaitu menjadi hutan reboisasi yang ditanami pinus oleh dinas perhutani. Setelah menjadi hutan reboisasi, masyarakat tidak lagi mengandalkan hutan sebagai salah-satu sumber ekonomi. Masyarakat lebih menggiatkan pertanian dan perkebunan sebagai sumber pemenuhan ekonomi rumah tangga. Kemudian pada tahun 1992


(19)

hutan mengalami peralihan fungsi lagi yaitu dari hutan reboisasi menjadi hutan tanaman industri, tepatnya HTI milik PT. Toba Pulp Lestari.

Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial untuk memenuhi syarat-syarat dasar agar tetap dapat melangsungkan kehidupan. Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Sesuai dari penjabaran tentang adaptasi sosial di atas, maka dari hasil observasi awal peneliti dapat digambarkan ada pergeseran pola-pola didalam lingkungan desa Tapian Nauli III. Diantaranya dari segi pekerjaan yaitu dari petani menjadi wiraswasta dan karyawan serta kontraktor (mitra usaha PT. Toba Pulp Lestari). Bergesernya pekerjaan ini merupakan adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang ada disekitar mereka, tepatnya perubahan fungsi hutan dimana dulunya lingkungan mereka adalah hutan reboisasi yang berubah fungsi menjadi hutan tanaman industri yang menyediakan peluang kerja baru. Adaptasi yang dilakukan masyarakat pada akhirnya berpengaruh juga dengan bergesernya penilaian


(20)

masyarakat terhadap nilai kepemilikan lahan, status tenaga kerja, pendapatan, nilai sosial, status sosial dan interaksi sosial di dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan di desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan di desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara?”

1.3 Pembatasan Masalah

Agar pembahasan tidak terlampau meluas yang menyebabkan tujuan penelitian ini tidak tercapai dan pembahasan menjadi ambigu dan tidak original, maka penulis membuat pembatasan masalah yaitu, proses adaptasi masyarakat di desa Tapian Nauli III, kecamatan Sipahutar, kabupaten Tapanuli Utara terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi, penilaian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial setelah terjadinya perubahan fungsi hutan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

“Untuk mengetahui Bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan di desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara”


(21)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi kajian sosiologi, khususnya mengenai perubahan sosial, sosiologi lingkungan, struktur sosial serta nilai sosial masyarakat yang berada disekitar daerah industri padat modal.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini harapannya adalah selain meningkatkan kemampuan dan wawasan penulis dalam menulis karya ilmiah serta penerapan ilmu di tengah-tengah masyarakat.

1.5 Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian defenisi konsep sangat diperlukan dalam mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah kerangka acuan penelitian di dalam desain instrumen penelitian. Konsep digunakan agar masyarakat akademik atau masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian ini mengetahui kerangka acuan dan batasan dalam penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam konteks penelitian ini adalah:


(22)

1. Adaptasi Sosial

Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial untuk memenuhi syarat-syarat dasar agar tetap dapat melangsungkan kehidupan.

2. Perubahan Fungsi Hutan

Perubahan Fungsi Hutan adalah berubahnya kegunaan atau peruntukan hutan tersebut menjadi kegunaan lain dikarenakan adanya hal-hal yang harus dipenuhi terkait kebutuhan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah berubahnya fungsi hutan mulai dari hutan ulayat, menjadi hutan reboisasi hingga menjadi hutan tanaman industri terkait kebutuhan perusahan Toba Pulp Lestari akan kayu sebagai bahan baku produksi perusahaan tersebut.

3. Hutan Tanaman Industri

Hutan Tanaman Industri adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp dan kertas.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Secara tradisional hubungan masyarakat dan hutan meliputi multi aspek yaitu sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan masyrakat sekitar hutan memiliki kaitan dan interaksi yang tidak pernah putus dan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat memang selayaknya diakui ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positif yang didapat dari sumber daya alam untuk masyarakat lokal tentu saja adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari baik dari hasil pertanian, perkebunan ataupun dari hasil hutan. dampak negatif dari pengelolaan ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat seperti punahnya fauna, tanah gundul, serta tanah longsor.

Untuk mempertahankan hubungan masyarakat sekitar hutan dengan hutan serta untuk menghindari pengrusakan hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab maka pemerintah mengeluarkan undang tentang hutan, yaitu Undang-undang No. 41 tahun 1999. Berdasarkan pasal 69 dan 70 Undang-Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta dalam menjaga hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi, turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat yang terkait langsung dengan berbagai upaya dalam rangka


(24)

lahan, sehingga lestari danberkesinambungan. Dasar hukum penting lainnyabagi peran serta atau partisipasi

masyarakat diakomodir dalam intruksi Mentari Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest

management) yang ditekankan untuk mempromosikan peran serta masyarakat lokal

dalam pengelolaan hutan.

Tingginya permintaan industri terutama industri kertas terhadap bahan baku kayu pada saat ini menyebabkan hutan alam atau bahkan hutan reboisasi mulai menyempit dikarenakan adanya peralihan fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri guna memenuhi kebutuhan industri kertas tersebut terhadap bahan baku kayu tertentu. Seperti yang terjadi di daerah Tapanuli Utara tepatnya Desa Tapian Nauli III di kecamatan Sipahutar yang merupakan daerah penelitian skripsi ini. Perubahan fungsi hutan ini pastinya berpengaruh dengan kondisi sosial masyarakat sekitar dikarenakan dengan adanya hutan tanaman industri ini maka membuka peluang kerja baru buat masyarakat sekitar seperti karyawan perusahan, kontraktor (usaha mitra perusahan) bahkan buruh harian lepas (BHL).

2.1 Solidaritas Sosial

Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantaranya integrasi sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas merujuk pada suatu


(25)

situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

1. Solidaritas Mekanik

Solidaritas mekanis didasarkan pada suatu tingkatan homogenitas tinggi dalam kepercayaan, sentimen, pekerjaan, dan lain-lain. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.

Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, yakni:

1. Pembagian kerja rendah. 2. Kesadaran kolektif kuat. 3. Hukum represif domina. 4. Individualitas rendah.

5. Konsensus terhadap pola normatif penting.

6. Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang. 7. Secara relatif sifat ketergantungan rendah.

8. Bersifat primitif atau pedesaan.


(26)

Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah banyak, pertambahan pembagian kerja menimbulkan tingkat ketergantungan, sehingga hal itu akan sejalan dengan bertambahnya spesialisasi di bidang pekerjaan kemudian bertambahnya spesialisasi menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan individu. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, karena adanya rasa ketergantungan antara satu dengan yang lain. Dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tangung jawab yang berbeda-beda.

Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik, yakni:

1. Pembagian kerja tinggi; 2. Kesadaran kolektif lemah;

3. Hukum restitutif/memulihkan dominan; 4. Individualitas tinggi;

5. Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;

6. Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang; 7. Saling ketergantungan tinggi; dan

8. Bersifat industrial perkotaan.

Dengan pemaparan model solidaritas di atas maka karakteristik yang terdapat pada masyarakat desa Tapian Nauli III masih belum menunjukkan karakteristik dari masyarakat organik sepenuhnya, hali ini ditandai dengan masih ditemukan adanya beberapa karakteristik dari masyarakat yang mekanik.


(27)

Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mobilitas sosial menunjuk pada gerakan dari satu kedudukan atau tingkat sosial ke yang lainnya. Hal ini mungkin berupa naik ke atas dalam tangga sosial, memanjat ke puncak, atau terjun ke bawah. Mobilitas dapat terjadi misalnya ketika suatu Negara mengalami industrialisasi, Manusia cenderung bersifat dinamis. Selalu ada perubahan yang terjadi pada diri manusia. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup sedangkan sumber daya alam yang tersedia semakin menipis dan lahan kerja yang tidak memadai, keterbatasan lahan untuk migrasi, pemerataan pembangunan dan penghematan biaya produksi menyebabkan munculnya keinginan untuk menciptakan satu hal baru yang dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dengan mengubah pola hidupnya. Perubahan paling sederhana yang tampak secara spasial adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan kawasan perumahan yang tentu berdampak pada beralihnya profesi masyarakat petani ke profesi lain. Hal ini mempunyai pengaruh pada pola hidup, mata pencaharian, perilaku maupun cara berpikir. Sehingga dalam masyarakat industri memungkinkan masyarakat kelas bawah dapat mengalami perkembangan dan kemungkinan mereka untuk naik menjadi masyarakat kelas menengah.

Jenis-jenis Mobilitas Sosial 1. Mobilitas Vertikal

Mobilitas vertikal adalah pergerakan atau perpindahan orang atau kelompok ke atas atau ke bawah dalam sebuah pelapisan sosial. Mobilitas vertikal berarti gerakan ke atas atau ke bawah dalam skala sosial ekonomi.


(28)

Mobilitas horizontal (lateral) menunjuk pada gerakan seseorang atau kelompok dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain yang masih berada pada satu ranking sosial. Dapat pula berupa perpindahan seseorang atau kelompok secara geografis dari satu tempat tinggal, kota atau wilayah ke tempat tinggal, kota atau wilayah lain. Oleh karena itu, mobilitas ini sering disebut juga sebagai mobilitas geografis.

3. Mobilitas Intragenerasi

Mobilitas intragenerasi adalah perpindahan status yang dialami oleh seseorang dalam masa kehidupannya. Adapula yang berpendapat bahwa mobilitas intragenerasi adalah perubahan kedudukan sosial seseorang selama kehidupan dewasanya. naik dalam satu generasi.

4. Mobilitas Antargenerasi

Mobilitas antargenerasi adalah perubahan status yang dicapai seseorang yang berbeda dari status orang tuanya. Dalam mobilitas antargenerasi, yang berubah adalah status anak-anak jika dibandingkan dengan status orang tuanya.

Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:

1. Faktor struktur

Faktor struktur adalah faktor yang menentukan jumlah dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk memperolehnya. Faktor ini terdiri atas:

(a) struktur pekerjaan, (b) struktur ekonomi, (c) perbedaan kesuburan,


(29)

(d) penghambat dan penunjang mobilitas.

2. Faktor individu

Faktor-faktor individual akan banyak berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan mencapai kedudukan tinggi. Faktor-faktor individual mencakup:

(a) perbedaan bakat/kemampuan;

(b) perilaku yang berorientasi pada mobilitas; dan (c) kemujuran.

2.3 Adaptasi Sosial

Robert K. Merton (Beryer, terjemahan Mohammad Oemar) melihat struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tapi juga perilaku yang menyimpang. Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan menekan orang tertentu ke arah perilaku yang nonkonform (tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat). Dalam struktur sosial dan budaya, ada tujuan atau sasaran budaya yang disepakati oleh anggota masyarakat. Tujuan budaya adalah sesuatu yang “pantas diraih”. Untuk mencapai tujuan tersebut, struktur sosial dan budaya mengatur cara yang harus ditempuh dan aturan ini bersifat membatasi. Merton menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena tidak adanya kaitan antara tujuan dengan cara yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh struktur sosial. Lebih jauh Merton mengidentifikasikan ada empat tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu. tiga diantara empat tipe itu merupakan perilaku menyimpang. keempat tipe cara adaptasi tersebut adalah sebagai berikut:


(30)

Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

2. Cara adaptasi inovasi (innovation)

Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat. Akan tetapi ia memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.

3. Cara adaptasi ritualisme (ritualism)

Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

4. Cara adaptasi retreatisme (retreatism)

Bentuk adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang dikehendaki. Pola adaptasi ini menurut Merton dapat dilihat pada orang yang mengalami gangguan jiwa, gelandangan, pemabuk, dan pada pecandu obat bius. Orang-orang itu ada di dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian dari masyarakat.

Dari keseluruhan tipe-tipe yang disebutkan di atas, tipe adaptasi yang pertama (adaptasi konformitas) merupakan bentuk perilaku yang tidak menyimpang. Sementara empat tipe selanjutnya merupakan bentuk perilaku yang menyimpang.

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1996:55). Menurut Suparlan (Suparlan,1996:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:


(31)

1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).

2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah).

3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh).

Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:

1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. 3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. 4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu di antaranya:


(32)

a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. b. Menyalurkan ketegangan sosial.

c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial. d. Bertahan hidup.

Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, maka dalam penelitian ini peneliti ingin menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana proses dan pola-pola adaptasi masyarakat desa Tapian Nauli III dalam menyikapi peralihan fungsi hutan yang terjadi di desa tersebut.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartiakan sebagai penelitian yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang di dapat dari apa yang diamati (Maleong, 2006 : 6). Pendekatan deskriftif merupakan penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya dan secara sistematis baik fakta maupun karakteristik objek dan subjek yang diteliti. Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Rasionalisasi pemilihan lokasi ini adalah karena pada daerah ini Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (HTI PT. TPL) memiliki areal yang luas bahkan hutan reboisasipun telah berubah fungsi menjadi hutan tanaman industri yang menyebabkan masyarakat beradaptasi dengan kondisi yang ada dengan berubah mata pencaharian. selain itu daerah ini mudah dijangkau oleh peneliti.


(34)

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Tapian Nauli III kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

3.3.2 Informan

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Tapian Nauli III yang mengetahui dan merasakan perubahan fungsi hutan yang terjadi. diantaranya adalah Perangkat Pemerintah Desa, Tokoh Masyrakat setempat, Masyarakat yang mengalami perubahan mata pencaharian seperti menjadi Karyawan PT. Toba Pulp Lestari, Kontraktor (Pemilik Usaha Mitra Perusahaan) serta masyarakat awam.

1. Informan Kunci

Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah: 1. Perangkat Pemerintah Desa sebanyak 1 orang

2. Tokoh masyarakat sebanyak 1 orang

3. Masyarakat yang mengalami perubahan mata pencaharian dengan hadirnya Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (HTI PT. TPL) di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara seperti:

a. Karyawan PT. Toba Pulp Lestari sebanyak 1 orang

b. Pemilik Usaha Mitra Perusahaan (Kontraktor) sebanyak 1 orang

2. Informan Biasa


(35)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam menjawab masalah maka pengambilan data dilakukan melalui:

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara:

1. Observasi

Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata. Sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya atau kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindera mata serta dibantu oleh pancaindera lainnya. Dalam observasi ini yang diamati adalah bagaimana cara masyarakat beradaptasi terhadap perubahan fungsi hutan.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara (Burhan, Bungin, 2007 : 108). Salah satu bentuk wawancara adalah wawancara mendalam (depp interview), wawancara mendalam yang dimaksud adalah peneliti mengadakan tanya jawab secara langsung. Agar wawancara terarah digunakan berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diteliti. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara masyrakat beradaptasi terhadap perubahan fungsi hutan.


(36)

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian atau sember lain. Pengumpulan data dapat diambil dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen dari beberapa literatur seperti buku-buku referensi, surat kabar, majalah, karya ilmiah, jurnal dan internet yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian dan di anggap relevan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena itu, sumber data skunder diharapkan berperan membantu mengungkap data yang diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai pelengkap dan bahan perbandingan (Bungin, 2001 : 129).

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data adalah pencarian pengertian yang lebih luas tentang data yang telah di analisis. Atau dengan kata lain, interpretasi data adalah penjelasan yang terinci tentang arti yang sebenarnya dari data yang telah dianalisis atau dipaparkan. Dengan demikian interpretasi data berarti memberikan arti yang lebih luas dari data penelitian (Hasan, 2002: 137).

Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, yaitu pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah ada dalam catatan lapangan. Data tersebut akan dipelajari dan ditelaah untuk mencari apa yang ingin diteliti. Setelah itu, data direduksi yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha untuk membuat rangkuman yang inti, proses sehingga tetap berada di dalam fokus penelitian. Setelah semua terkumpul, data dianalisis kemudian diinterpretasikan berdasarkan dukungan teori dan kajian pustaka yang telah disusun, hingga pada akhirnya sebagai laporan penelitian.


(37)

3.6. Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi X

2 ACC Judul X

3 Penyusunan Proposal Penelitian X X X

4 Seminar Proposal X

5 Revisi Proposal X

6 Penelitian ke Lapangan X X X

7

Pengumpulan Data dan interpretasi

data X X X

8 Bimbingan Skripsi X X X X

9 Penulisan Laporan Akhir X X X X

10 Sidang Meja Hijau X

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengalami beberapa kendala dan keterbatasan yaitu:

1. Dalam memilih informan, peneliti kesulitan dalam menemui para informan yang akan diwawncarai. Susahnya dalam menentukan dan menemui informan membuat banyak waktu yang terbuang tanpa mendapatkan hasil.


(38)

2. Untuk mewawancarai para informan, peneliti harus mencari waktu yang tepat sesuai dengan keinginan para informan. Hal ini dilatar belakangi karena sibuknya informan dalam aktifitas sehari-harinya sehingga sangat sedikit waktu luang untuk diwawancara.


(39)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Singkat Desa Tapian Nauli III

Dari data wawancara dengan Tokoh Masyarakat dilapangan maka didapatkan sejarah desa Tapian Nauli III adalah sebagai berikut: Leluhur masyarakat Desa Tapian Nauli III awalnya berasal dari Balige yaitu Op. Pagar Batu/Op. Diharbangan Pardede dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak kemudian kedua leluhur ini membuka perkampungan di daerah Parlombuan yang merupakan cikal bakal desa Tapian Nauli III. Op. Pagar Batu Pardede membuka perkampungan di Lumban Ri dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak membuka perkampungan di huta Aek Nauli. namun kedua perkampungan itu sudah berubah menjadihutan tanaman industri

(eucalyptus), saat ini situs makam kedua leluhur ini masih terdapat di perkampungan yang mereka buka tersebut, Keturunan marga ini selanjutnya memperluas perkampungan tersebut dan menguasai areal di sekitarnya serta membuka perkampungan-perkampungan yang baru. lebih kurang telah 13 generasi hingga sekarang Turunan Op. Pagar Batu / Op. Diharbangan Pardede dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak mendiami daerah ini, sehingga mayoritas marga di Daerah ini adalah Marga Pardede dan Marga Simanjuntak. (wawancara pada November 2012)

Sekitar tahun 1975–1979 Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara menjalankan program reboisasi dengan menanam pohon pinus, kemudian masyarakat


(40)

desa Tapian Nauli III menyerahkan tanah ulayat ( tanah Adat ) kepada Pihak Pemerintah dalam proses penyerahan tanah ini dinas kehutanan memberikan sejenis biaya ganti rugi (pago–pago/piso-piso) kepada masyarakat, yakni:

1. Tanggal 6 Februari 1975, tanah perladangan yang dinamakan Sibongbong di Siharbangan seluas 500 Ha diserahkan kepadaDinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara, dengan pago-pago Rp.330,-/Ha = Rp.165.000,- 2. Tanggal 19 Agustus 1975, tanah Panontoran di Siharbangan seluas 1.000 Ha

diserahkan kepadaDinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara untuk reboisasi dengan pago-pago/ piso-piso Rp.440,-/Ha = Rp.440.000,-

3. Tanggal 22 Mei 1976 tanah di Sibongbong daerah Siharbangan seluas 800 Ha diserahkan ke Dinas Kehutanan, oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara dijadikan hutan reboisasi, dengan pago-pago Rp.800,-/Ha = Rp.640.000,-

4. Tanggal 16 Januari 1979 tanah di Siharbangan seluas 1.145 Ha diserahkan ke Dinas Kehutanan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utaradijadikan hutan reboisasi, dengan pago-pago Rp.3500,-/Ha = Rp.4.007.500,-. (Sumber: Kantor Kecamatan Sipahutar, 2012)

Pada tahun 1992 tanah yang diserahkan Masyarakat Tapian Nauli III kepada Dinas Kehutanan Tapanuli Utara tersebut telah mengalami perngalihan fungsi dan penguasaan yaitu dari Pemerintah kepada PT. Toba Pulp Lestari dengan bukti yaitu PT. Toba Pulp Lestari mendapat izin dengan SK HPHTI No.493/KTS-II /1992 untuk membangun Hutan Tanaman Industri ekaliptus guna kepentingan ekonomi perusahaan tersebut, dengan SK HPHTI tersebut PT. Toba Pulp Lestari menebang


(41)

dan memanen semua tanaman pinus hasil reboisasi kemudian secara berkelanjutan menanam tanaman ekaliptus untuk bahan baku industri hingga saat ini.

Batas-batas desa Tapian Nauli III adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Naga Saribu 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Janji Maria

3. Sebelah timur berbatasan dengan Sabuhan Ni Huta Opat 4. Sebelah barat berbatasan dengan Tapian Nauli II

Penduduk di desa Tapian Nauli III berjumlah 105 kepala keluarga (KK) dengan keseluruhan beretnis batak toba dengan mayoritas marga Pardede dan Simanjuntak, jikapun ada marga lain di luar marga tersebut pada umumnya mereka adalah menantu dari kedua marga tersebut.

Dari segi agama, penduduk desa Tapian Nauli III adalah Kristen Protestan. Hal ini didukung dengan hanya rumah peribadatan (gereja) Kristen Protestan saja yang dapat ditemui di desa Tapian Nauli III diantaranya adalah Gereja Pentakosta Indonesia (GPI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI).

Jika dari tingkat pendidikan masyarakat desa Tapian Nauli III rata-rata tamatan Sekolah Tingkat Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) hal ini dikarenakan fasilitas pendidikan di desa Tapian Nauli III hanya ada Sekolah Dasar (SD). Jika ingin melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi maka para siswa harus sekolah ke kecamatan yang jaraknya sangat jauh dari desa tersebut sehingga para usia sekolah merasa malas untuk melanjutkan tingkat pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.


(42)

Untuk bidang mata pencaharian, mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani walaupun pada saat-saat tertentu seperti pada saat lahan pertanian tidak membutuhkan perawatan khusus para penduduk desa memanfaatkannya dengan bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) di hutan tanaman industri milik PT. Toba Pulp Lestari. Selain petani, masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Kontraktor atau pemilik usaha mitra perusahaan yang bekerja sama dengan PT. Toba Pulp Lestari. Kontraktor di desa Tapian Nauli III berjumlah delapan dengan nama-nama usaha sebagai berikut: CV. Parulian, CV. Mida, CV. Sihol Mardongan, CV. Dolok Jaya, CV. Maharani, CV. Maju Parulian, CV. Riadi Gunawan, CV. Parsulang Padot Saroha.

4.1.2. Pola-Pola Hubungan Sosioal Masyarakat Di Desa Tapian Nauli III

Penduduk desa Tapian Nauli III yang mayoritas adalah Suku Batak Toba merupakan keturunan dari marga Pardede dan marga Simanjuntak yang pertama kali membuka perkampungan di daerah ini. Budaya Batak Toba masih terlihat melekat pada masyarakat yang saat ini tinggal di desa Tapian Nauli III. Pada kehidupan sehari-hari masyarakat di desa ini tetap memegang dan menjalankan konsep Dalihan Natolu yaitu Somba Marhula-Hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru yang merupakan kebudayaan masyarakat Batak Toba. Adapun konsep Dalihan Natolu

yang dijalankan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Somba Marhula-Hula

Hula-Hula dalam adat Batak Toba adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazimnya disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak, dan somba marhula-hula artinya rasa hormat yang sangat dalam kepada keluarga pihak


(43)

istri dikarenakan pihak istri telah mau memberikan putrinya untuk menjadi istri yang akan memberikan anak penerus generasi satu-satu marga ( patriakat ).

2. Manat Mardongan Tubu

Dongan Tubu dalam adat Batak Toba adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Manat mardongan tubu artinya harus bersikap sopan, hati-hati, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat ( pasu-pasu). istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, dan kekayaan, oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat Batak karena posisinya pada saat itu adalah sebagai boru. Dari pengamatan peneliti penerapan budaya masyarakat yaitu budaya Batak Toba terlihat dari interaksi masyarakat melalui tutur kata, seperti pemakain sebutan dalam sapaan bagi setiap orang yang masih tetap berdasarkan budaya leluhur masyarakat Batak Toba sesuai dengan aturan adat istiadat yang ada. Masyarakat desa Tapian Nauli III tetap menjalankan budaya tersebut. Pada acara atau kegiatan-kegiatan sehari-hari, keterlibatan dari ketiga pihak yang ada dalam dalihan natolu tersebut merupakan suatu keharusan, baik itu acara adat, acara syukuran dan kegiatan yang lainnya.

Dalam hal hubungan sosial masyarakat pada pengusahaan atau pengelolaan lahan pertanian di desa ini, masyarakat masih megenal dan menjalankan sistem bagi hasil, dengan sebutan Sistem Mamola Pining bagi masyarakat setempat. Petani yang


(44)

mengusahakan ataupun mengelola lahan pertanian milik orang lain biasanya adalah pasangan suami istri yang memiliki lahan sempit atau tidak memiliki lahan sama sekali. Dalam kesepakatan ini segala biaya dalam mengelola lahan pertanian adalah tanggung jawab dari petani penggarap lahan orang lain. Dalam pembagian hasil panen, petani yang mengelola lahan orang lain mendapatkan setengah dari hasil panen yang didapatkan dan setengahnya lagi hasil panen tersebut menjadi bagian dari pemilik lahan.

4.1.3. Sejarah Singkat PT. Toba Pulp Lestari

PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang berlokasi di desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir yang berjarak kira-kira 220 Km dari sebelah Selatan kota Medan merupakan salah satu Industri Pulp milik swasta yang turut mendukung program Pemerintah dalam meningkatkan ekspor non migas.

Berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama, Tbk adalah demi pemenuhan kebutuhan akan kertas dan rayon dalam negeri yang sebelumnya masih diimpor dari berbagai negara. PT. Toba Pulp Lestari, Tbk adalah sebuah pabrik pulp dengan proses kraft yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Bahan baku serat utamanya adalah Eucalyptus yang merupakan hasil Hutan Tanaman Industri yang membutuhkan waktu tumbuh sekitar 4-5 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO pada bulan Juli tahun 1954, ditemukan dan direkomendasikan beberapa tempat strategis yang layak untuk tempat mendirikan pabrik pulp di Indonesia, salah satunya adalah desa Sosor Ladang, Porsea, yang hingga kini merupakan tempat berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Dengan adanya rekomendasi dari FAO tersebut untuk lokasi pabrik pulp di Indonesia


(45)

yang salah satunya ada di desa Sosor Ladang, Porsea dan dengan adanya peningkatan terhadap kebutuhan kertas dan rayon, serta adanya keinginan pemerintah dalam meningkatkan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pengefektifan hasil reboisasi di luar pulau Jawa (misalnya Hutan Pinus Sumatera Utara), akhirnya menghasilkan rencana pendirian pabrik pulp di desa Sosor Ladang, Porsea yang bernama PT. Inti Indorayon Utama, Tbk (PT IIU) yang merupakan salah satu anak perusahaan Raja Garuda Emas (RGM).

Berdirinya PT. Inti Indorayon Utama, Tbk ini diawali dengan menyusun dan membuat kelayakan pabrik pulp yang dilakukan oleh Sanwel (Kanada) dan Joko Perry (Finlandia). Kemudian pada tanggal 21 Februari 1986 dilakukan peletakan batu pertama oleh Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja, sedangkan Konstruksi dan Pembangunan dimulai pada bulan mei 1986. Uji coba pabrik dilakukan sampai pada bulan September 1988 dan akhirnya pada tanggal 12 September 1988, pabrik mulai beroperasi.Perusahaan ini berdiri berdasarkan akte notaris Mirsahadi/Wilartama, SH No. 329 pada tanggal 26 April 1983 di Jakarta serta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. C-25130-HT 01 tahun 1993. Populasi dan Perencanaan yang dihasilkan memenuhi Surat Keputusan Bersama Menteri Riset dan Teknologi bersama Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) No. 43/MNKLH/II/1986 sedangkan izin usaha dari Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 269/i/PMDN/1983 pada tanggal 22 Desember 1983 dan No. 573/III/PMDN/1987. keseluruhan fasilitas yang dimiliki oleh PT. Inti Indorayon Utama ini adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan investasi sebesar 600 Milyar Rupiah yang diperoleh dengan penjualan saham serta pinjaman dari bank


(46)

dalam negeri. Kemudian pada Bulan Mei 1990 perusahaan ini melakukan “Go

Publik” dan fasilitas yang dimiliki berubah menjadi Penanaman Modal Asing (PMA)

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 07/V/1990. Saham Perusahaan ini telah dijual di Bursa Saham Jakarta dan Surabaya sejak 1992 dan di New York Stock Exchange (NYSE).

Kegiatan produksi PT. Inti Indorayon Utama, Tbk berhenti beroperasi pada tahun 1998 dan tidak beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Suhu politik dalam negeri yang meningkat akibat adanya transisi kepemimpinan turut mempengaruhi situasi di dalam maupun di sekitar perusahaan. Pada tanggal 6 Februari 2003 perusahaan ini beroperasi kembali dan berganti nama mejadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, dengan paradigma baru. Adapun yang dimaksud dengan paradigma baru tersebut adalah:

1. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

2. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dan melakukan manajemen hutan yang akan menjaga ekosistem alam melalui hutan tanaman industri.

3. Mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat. a. Mengutamakan putra daerah.

b. Melakukan kerja sama dan kemitraan bisnis dengan masyarakat lokal.

c. Menyisihkan dana kontribusi sosial untuk pengembangan masyarakat sebesar 1% dari net sales (hasil penjualan bersih) per tahun.

4. Menerima lembaga independen untuk mengawasi paradigma baru perseroan.


(47)

PT. Toba Pulp Lestari, Tbk memiliki lokasi penting dalam menjalankan operasinya, yaitu areal usaha PT. Toba Pulp Lestari, Tbk terdiri dari dua bagian yaitu

Mild Section dan Forest Section. Pabrik pembuatan pulp (Mild Section)

termasuk Chemical Plant sebagai pusat produksi berlokasi di desa Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara. PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dibangun di atas tanah seluas ±200 ha, termasuk perumahan karyawan dan Tree Inprovement (pembibitan pohon) ±10 hektar.Sedangkan areal hutan (forest section) saat ini meliputi 8 kabupaten yaitu, kabupaten Simalungun, Dairi, Karo, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Samosir, dan Tobasa. Desa Tapian Nauli III yang berada di kecamatan Sipahutar merupakan lokasi yang mengalami peralihan fungsi hutan dari hutan tanaman reboisasi menjadi Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (HTI PT. TPI). Desa ini masuk sektor Habinsaran milik PT. Toba Pulp Lestari.

4.2 Penyajian Dan Interpretai Data 4.3 Profil Informan

Profil informan dalam penelitian adalah masyarakat Desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.

4.3.1 Informan Kunci 1. DP (Lk, 35 tahun)

DP adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan etnis Batak Toba dan beragama Kristen Protestan. Informan DP lahir di desa Tapian Nauli III, Informan DP telah berumah tangga dan dikaruniai 4 (empat) orang anak. Tingkat pendidikan terakhir Informan DP adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)


(48)

Pada saat ini pekerjaan Informan DP adalah sebagai perangkat pemerintah desa, tepatnya sebagai Kepala Desa Tapian Nauli III. Selain itu Informan DP juga merupakan seorang kontraktor mitra usaha perusahaan sebagai penyedia tenaga kerja harian yang bekerja pada hutan tanaman industri milik PT. Toba Pulp Lestari.

2. BP (Lk, 35 tahun)

BP adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan etnis Batak Toba dan beragama Kristen Protestan. Informan BP lahir di desa Tapian Nauli III dan kini telah berumah tangga serta memiliki 4 (empat) orang anak. Anak sulung Informan BP sekarang duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Tapanuli Utara dan tinggal di Rumah saudara Informan BP. Tingkat pendidikan informan BP sampai Sekolah Tingkat Kejuruan (SMK).

Informan BP saat ini bekerja sebagai pengelola salah satu usaha mitra perusahan yang didirikan pada tahun lalu dengan dana kongsi (patungan) antara informan BP dengan saudara-saudaranya yang merantau di pulau jawa.

3. JP (Lk, 39 tahun)

JP adalah seorang laki-laki berusia 39 tahun dengan etnis Batak Toba dan beragama Kristen Protestan. Bapak BP lahir di desa Tapian Nauli III dan kini telah berumah tangga serta memiliki 5 (lima) orang anak. Anak sulung Informan BP sekarang tidak bersekolah lagi, anak informan ini putus sekolah pada kelas 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota kecamatan. Setelah putus sekolah, anak sulung informan JP ini memilih untuk ikut salah satu keluarga ayahnya ke Pulau Jawa. Tingkat pendidikan informan BP sampai Sekolah Tingkat Kejuruan (SMK).


(49)

Informan JP saat ini bekerja sebagai salah satu karyawan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) yaitu sebagai operator alat berat perusahaan.

4. AP (Lk, 72 tahun)

AP adalah seorang laki-laki dengan umur 72 tahun, informan AP merupakan salah-satu penatua desa (Tokoh Masyarakat) di desa Tapian Nauli III sekaligus seorang tokoh agama (Pendeta) pada salah satu gereja yang ada di desa Tapian Nauli III. Informan AP bermata pencaharian sebagai petani.

4.3.2 Informan Biasa 1. H (Lk, 37 tahun)

H adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan suku bangsa Nias dan beragama Kristen Protestan. Informan H lahir di Nias, pertama kali informan H sampai ke desa Tapian Nauli III adalah sebagai buruh harian lepas pada PT. Toba Pulp Lestari. Informan H telah menetap di desa Tapian Nauli III selama 15 (tahun) sampai saat ini. Informan H telah berumah tangga dengan salah satu warga desa Tapian Nauli III dan menjadi warga desa Tapian Nauli III buah dari pernikahannya informan H telah dikaruniai 3 (Tiga) orang anak. Tingkat pendidikan terakhir informan H adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)

Pada saat ini pekerjaan informan H adalah sebagai petani, namun jika informan H tidak memiliki kesibukan atau persawahan tidak membutuhkan perawatan khusus, maka Bapak H memilih bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) untuk PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) melalui jasa salah satu usaha mitra perusahaan (kontraktor) yang ada di desa Tapian Nauli III.


(50)

4.4 Sikap Masyarakat Terhadap Kehadiran Hutan Tanaman Industri.

Pembangunan industri yang pada awalnya ditujukan untuk mendorongkemajuan perekonomian berpengaruh pula secara sosial terhadap perkembanganmasyarakat. Pengaruh industri terhadap masyarakat sangat banyak, salah satunya adalah terbukanya kesempatan kerja yang besar yang menyerap penganguran yang ada disekitar lokasi industri.

Munculnya Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di desa Tapian Nauli III merupakan salah satu industrialisasi yang terjadi di daerah ini, munculnya Hutan Tanaman Industri tersebut menjadikan berubahnya fungsi hutan disekitar masyarakat. Perubahan Fungsi Hutan adalah berubahnya kegunaan atau peruntukan hutan tersebut menjadi kegunaan lain dikarenakan adanya hal-hal yang harus dipenuhi terkait kebutuhan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah berubahnya fungsi hutan mulai dari Hutan Ulayat, menjadi Hutan Reboisasi hingga menjadi Hutan Tanaman Industri terkait kebutuhan perusahan Toba Pulp Lestari akan kayu sebagai bahan baku produksi perusahaan tersebut.

Masuknya sebuah modernisasi pada suatu daerah seperti yang terjadi di desa Tapian Nauli III umumnya disambut gembira oleh masyarakat, hal ini dikarenakan masuknya modernisasi diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. seperti yang diutarakan salah satu tokoh masyarakat yang menjadi Informan dari penelitian ini yaitu AP (Lk, 72 tahun) sebagai berikut :

“Awal masuknya Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari disambut gembira oleh masyarakat karena masyarakat berharap


(51)

dengan adanya hutan tanaman industri ini kondisi masyarakat akan lebih baik lagi dan kondisi desa berkembang.”

Hal senada juga diutarakan oleh informan DP (Lk, 35 tahun):

“Kami sangat gembira awal masuknya Hutan Tanaman Industri ini ke desa kami, hal ini dikarenakan ada harapan desa ini semakin berkembang dengan adanya perusahaan disekitar desa kami.”

Hal ini tidak jauh berbeda dengan penuturan informan JP (Lk, 39 tahun):

“Pastinya senanglah, apalagi waktu itu kami masih usia-usia awal produktif kerja jadi pada saat itu saya merasa ada lapangan kerja baru selain bertani.”

Sedangkan informan BP (Lk, 35 tahun) menuturkan sebagai berikut:

“Saat masuknya hutan tanaman industri ke desa ini saya pada saat itu masih merantau di pulau jawa. namun karena disana kondisi pekerjaan juga tidak mendukung kemudian saya pulang karena menganggap bakal ada pekerjaan baru yang bisa dikerjakan dikampung.”

Hal lainnya dikatakan oleh H (37 tahun), informan ini menuturkan sebagai berikut:

“Dulu ketika kami mendengar disini dibuka hutan tanaman industri perusahaan Indorayon, saya dan teman-teman dari pulau nias banyak yang datang kemari untuk bekerja. saat bekerja diawal dulu kami tinggal dibarak-barak yang disediakan oleh perusahaan yaitu disekitar lokasi yang akan dibuka menjadi hutan ekaliptus. namun pada saat terjadi pro-kontra tentang indorayon dulu sehingga sampai tutupnya indorayon menyebabkan kami kehilangan pekerjaan. kawan-kawan yang lain ke Nias, namun karena saya sudah berumah tangga dengan masyarakat sini maka saya menetap disini.”


(52)

Dari hasil interpretasi data di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat menerima kehadiran hutan tanaman industri dengan adaptasi komformitas.

4.5 Adaptasi Jenis Pekerjaan Terhadap Perubahan Fungsi Hutan.

Perubahan fungsi hutan ini secara otomatis akan mempengaruhi pandangan masyarakat disekitar hutan mengenai nilai dan pemanfaatannya. Hal ini dikarenakan pada saat hutan masih menjadi Hutan Ulayat masyarakat memanfaatkannya untuk mengambil hasil hutan yang disediakan oleh alam seperti rotan, kayu, kemenyan

(haminjon). saat ini dengan masuknya hutan tanaman industri secara otomatis

menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat desa, seperti yang diutarakan oleh Tokoh Masyarakat yang merupakan salah satu informan penelitian ini yaitu A.P (Lk, 72 tahun), sebagai berikut:

Sebelum menjadi hutan tanaman industri atau ekaliptus, hutan

bagi masyarakat dimanfaatkan sebagai penyedia sumber ekonomi sampingan seperti mengambil hasil hutan yang berguna untuk kehidupan masyarakat seperti rotan, kayu dan yang lainnya selain itu, masyarakat juga berburu hewan liar yang ada dihutan demi pemenuhan kebutuhan baik sebagai konsumsi atau dijual demi tambahan uang. namun setelah hutan menjadi hutan tanaman industri yaitu pada tahun 1992 yang ditanami ekaliptus masyarakat di desa ini mendapatkan pekerjaan baru dan berramai-ramai bekerja sebagai buruh bagi perusahaan Indorayon (PT. TPL) saat itu”

Hal senada juga disampaikan oleh informan JP ( Lk, 39 tahun ), sebagai berikut:

“Setelah berubahnya hutan di desa ini menjadi hutan tanaman industri TPL, maka masyarakatpun menyambutnya dengan sangat senang dimana ini dianggap sebagai pekerjaan yang tepat pada saat lahan pertanian tidak membutuhkan perhatian dari petani, jadi petani bisa memanfaatkan waktu lenggang tesebut untuk bekerja manjadi buruh. apalagi saat pertama kali dibuka dimana


(53)

lahan yang luas butuh tenaga yang sangat banyak untuk bertanam ekaliptus jadi bisa dikatakan pada saat itu semua warga desa ini ikut menjadi buruh dan anak-anak tinggal di kampung diurus oleh nenek/kakeknya yang tidak sanggup lagi bekerja berat.”

Pernyataan ini dilanjutkan oleh DP ( Lk, 35 tahun ) sebagai berikut:

“Pasca masuknya HTI PT. TPL msyarakat disini bisa dikatakan memiliki 2 (dua) kerja sekaligus yaitu menjadi petani kemudian buruh TPL. biasanya para petani yang bekerja menjadi buruh TPL dikarenakan lahan pertanian tidak dalam kondisi ditanami (pengistirahatan tanah setelah panen) atau ketika kondisi pertanian masyarakat dalam kondisi pembuahan bunga kebulir padi. apalagi ketika menjadi buruh kita digaji dengan gaji harian jadi ketika besoknya kita tidak berangkat bekerja tidak menjadi masalah”

Hal senada juga dikatakan oleh H ( Lk, 37 tahun) yang merupakan informan penelitian ini. Pendapat informan ini sebagai berikut:

“Dibangunnya hutan tanaman industri di desa ini merupakan keuntungan tersendiri untuk masyarakat desa Tapian Nauli III, hal ini dikarenakan masyarakat menjadi memiliki pemasukan tambahan dengan bekerja menjadi buruh untuk menanam pohon ekaliptus ini.”

Melihat jawaban-jawaban informan di atas, dapat disimpulkan bahwa model adaptasi yang dilakukan masyarakat awal masuknya hutan tanaman industri milik PT. Toba Pulp Lestari adalah adaptasi komformitas. Hal ini dapat dilihat dari sambutan masyarakat yang sangat antusias. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki pekerjaan alternatif yaitu sebagai buruh harian lepas selain menjadi petani. Sesuai dengan jawaban informan di atas maka masuknya Hutan Tanaman Industri sebagai modernisasi disambut baik oleh masyarakat dikarenakan perubahan fungsi hutan tersebut mengarah kerah yang lebih baik untuk kehidupan ekonomi masyarakat.


(54)

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1996:55). Menurut Suparlan (Suparlan,1996:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan.

Dari defenisi adaptasi di atas, maka pola adaptasi yang dilakukan masyarakat desa Tapian Nauli III yang tidak terpenuhi keinginannya untuk bekerja sebagai karyawan PT. Toba Pulp Lestari kemudian mencari alternatif lain untuk menyikapi perubahan fungsi hutan yang ada yaitu dengan mendirikan usaha mitra perusahaan yang dapat menampung dan menyalurkan tenaga buruh harian lepas. hal ini diperkuat lagi setelah berubahnya paradigma yang digunakan PT. Toba Pulp Lestari menjadi paradigma baru, dimana dalam paradigma baru ini pihak perusahaan membangun usaha kemitraan dengan pihak masyarakat dalam penyediaan buru harian lepas dan perekrutan masyarakat menjadi karyawan sesuai dengan spesialisai dan kapasitasnya. hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh informan saya JP ( Lk, 39 tahun ), sebagai berikut:

“Ketika perusahaan Toba Pulp Lestari mendirikan sektor habinsaran yang arealnya sampai ke desa ini maka kami para pemuda desa waktu itu ramai-ramai memberikan lamaran pekerjaan untuk bisa bekerja. saat ini saya bekerja di PT. Toba Pulp Lestari sebagai operasional alat berat hal ini dikarenakan spesialisasi yang saya miliki hanyalah mengoperasionalkan kendaraan. banyak yang mendaftar tapi tidak banyak yang dapat diterima, hal ini dikarenakan tidak adanya spesialisasi yang dimiliki para pelamar kerja, selain itu wilayah TPL inikan luas


(55)

jadi persaingan untuk masuk menjadi karyawan juga sangat sulit. selain itu informasi juga sangat sulit diterima masyarakat dari pihak PT. Toba Pulp Lestari sehingga menyebabkan masyarakat terkadang tidak mengetahui jika ada lowongan yang kosong yang diisi oleh warga desa yang mampu atau sesuai dengan yang diinginnkan perusahaan.

Hal ini sejalan dengan pendapat informan BP (Lk, 35 tahun) yakni:

“Para pemuda desa disini sangat sulit masuk bekerja untuk perusahaan TPL walaupun itu hanya untuk sektor saja. hal ini dikarenakan tidak adanya spesialisasi yang dimiliki sekaligus tingkat pendidikan yang rendah, karena sulitnya menembus karyawan perusahaan maka kami melihat celah lain yang bisa dimanfaatkan untuk pekerjaan yaitu menjadi pengusaha mitra perusahaan, oleh karena itulah maka kami mendirikan badan usaha mitra perusahaan. badan usaha ini bekerja untuk membantu perusahaan dalam pengerjaan lapangan seperti penanaman, pemupukan hingga pembersihan tanaman ekaliptus dari gulma yang ada”

Hal ini juga diamini oleh H (37 tahun). informan ini menuturkan sebagai berikut:

“Sebenarnya jika kita punya modal untuk mendirikan CV (usaha mitra perusahaan) lebih baik kita mendirikan CV karena sangat menguntungkan. menjual tanahpun duluan tidak apa-apa karena jika kita punya CV dan sudah beroperasi tak lama tanah itupun bisa kita beli kembali. sayangnya saya perantau disini. jika saya putra daerah desa ini dan memiliki banyak modal saya akan mendirikan CV karena CV tidak ada matinya selama PT. TPL beroperasi.”

Dari interpretasi data tersebut ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat menyikapai perubahan dengan beradaptasi dengan apa yang terjadi dilingkungannya yaitu adaptasi konformitas. Adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam hal pekerjaan yaitu menciptakan suatu lembaga ekonomi yaitu dengan mendirikan CV yang


(56)

menjadi mitra perusahaan untuk menyalurkan tenaga kerja buruh harian lepas. Dari hasil wawancara dia atas dapat dilihat gambaran suatu perubahan masyarakat secara bertahap, dari keadaan yang homogen (serba sama) kepada semakin terdiferensiasi (Sanderson, 1993; Veeger, 1990). Tokoh sosiologi klasik misalnya Colleman (dalam suwarsono, 1991) menginginkan bahwa individu yang modern diharapkan akan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi. Lebih jauh A. Inkeles menyatakan manusia modern akan terbuka dengan pengalaman baru, independen terhadap bentuk otoritas tradisional.

4.6Adaptasi Masyarakat Terhadap Keterbatasan Lahan di Desa Tapian Nauli III

Lahan merupakan aset yang sangat penting bagi masyarakat pedesaan, hal ini dikarenakan lahan merupakan salah satu sumber harapan untuk bertahan hidup bagi masyarakat pedesaan. Dengan demikian, lahan sering kali dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa luas pemilikan lahan berkorelasi positif dengan pendapatan rumah tangga (Wiradi dan Manning, 1984). Setelah masuknya Hutan Tanaman Industri di desa Tapian Nauli III maka otomatis lahan yang dapat digarap masyarakat bertambah sedikit ditambah lagi pertumbuhan penduduk yang terjadi menyebabkan alih fungsi lahan tidak hanya untuk tanaman industri tetapi juga untuk pertambahan pemukiman penduduk.

Dengan kondisi masyarakat yang mengalami keterbatasan akan lahan tersebut maka masyarakat melakukan upaya untuk meminta (reclaim) sebagian lahan dari perusahaan untuk diusahakan masyarakat guna pemenuhan kebutuhannya. namun pihak perusahaan tidak memberikan lahan yang diminta masyrakat tersebut


(57)

dikarenakan perusahaan juga membutuhkan lahan tersebut sebagai lahan penyedia bahan baku produksi pabrik yaitu kayu ekaliptus. Berlarut-larutnya masalah tanah ini menyebabkan timbulnya gesekan-gesekan antara masyarakat dengan perusahaan yang menyebabkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

Hal tersebut diketahui melalui keterangan informan A.P (Lk, 72 tahun), sebagai berikut :

“masyarakat di desa ini sudah mengalami pertambahan jumlah penduduk sedangkan lahan yang tersedia sudah semakin menyempit. jadi masyarakat pernah meminta tanah kembali dari perusahaan (reclaim), sempat 300 Ha tanah diserahkan kepada masyarakat, namun ketika diusahakan masyarakat kembali PT. TPL mengambil tanah tersebut dan merusak tanaman yang kami tanam diatas areal tersebut.”

Hal ini senada dengan yang di sampaikan oleh informan DP (Lk, 35 tahun), pernyataannya sebagai berikut:

“masyarakat di desa ini memang kira-kira 4 (empat) bulan yang lalu pernah masyarakat desa ini demo kepada TPL, itu dikarenakan tanah yang diberikan TPL yang telah diusahakan masyarakat kembali dikuasai oleh TPL dan tanaman masyarakat (kopi) yang ada dibareal itu dirusak. jadi masyarakat berang kemudian berdemo kepada TPL. namun yang terjadi selanjutnya masyarakat diadukan kepada pihak kepolisian dan 4 (empat) orang warga desa ini ditangkap dan dibawa ke Tarutung untuk diproses disana. pada waktu itu masyarakat desa sampai mengumpulkan uang untuk menebus keempat warga tersebut. disinilah letak kejengkelan kami pada PT. TPL karena mereka tidak mau memberikan sedikit tanah yang kami butuhkan untuk perumahan dan diusahakan untuk pertanian. padahal masyarakat makin bertambah.”

Pernyataan ini dilanjutkan oleh BP ( Lk, 35 tahun ) sebagai berikut :

“jika berbicara mengenai penguasaan lahan kami penduduk disini melakukan upaya untuk mendapatkan kembali hak penguasaan lahan disini, baik itu mengadukan ke pihak pemerintah, melakukan


(58)

demo, karena itulah hubungan masyarakat dengan PT. TPL saat ini maka bisa dikatakan masyarakat sangat benci terhadap TPL. seandainya ditanya pada masyarakat desa ini pilih mana antara TPL buka atau ditutup maka masyarakat akan mengatakan tutup, hal ini dipicu bahwa TPL kerap kali membawa polisi dalam penyelesaian masalah tanah antara masyarakat dan TPL. batasan tanah yang tidak jelas antara mana lahan garapan TPL dengan mana lahan masyarakat menjadikan sering terjadi gesekan-gesekan antara masyarakat dengan pihak PT. TPL.”

Hal senada juga dikatakan oleh H ( Lk, 37 tahun) yang memberikan pernyataan seperti berikut:

“Dibangunnya Hutan Tanaman Industri di desa ini lama kelamaan kita merasa kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan, kita mau menanam tananam percuma saja kalau nanti di larang dan tanaman itu dicabut atau dirusak pihak perusahaan, kita juga berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasan mengolah lahan disini, tapi samapi sekarang belum ada solusinya, padahal sudah kita adukan masalah ini kepada pihak pemerintah , tapi masih tetap saja belum ada kepastian bahwa tanah ini bisa kami kelola.”

Demikian juga menurut JP ( Lk, 39 tahun ) masyarakat pada saat ini menginginkan kembalinya kebebasan mereka untuk mengolah lahan yang ada di daerah ini, berikut petikan wawancara dengan beliau :

kami masyarakat desa ini sangat berharap hak kebebasan kami

untuk mengolah tanah disini sebagai lahan pertanian kembali seperti dulu, karean sekarang ini masyarakat disini butuh kegiatan bertani untuk memenuhi hidup, untuk upaya yang kami lakukan supaya punya hak mengolah tanah disini sudah banyak, mulai dari mengadukan kepada pihak pemerintah setempat, melaukan demo, namun belum ada juga yang memperhatikan”.

Dari hasil interpretasi data di atas dapat disimpulkan bahwa model adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap keterbatasan lahan saat ini adalah adaptasi inovasi. Dengan adaptasi inovasi cara yang dilakukan seseorang mengikuti tujuan


(1)

f. Masyarakat memberikan toleransi terhadap nilai sosial yang mengalami kelonggaran. Dalam hal ini ini menyangkut nilai adat masyarakat untuk menggantikan peran boru yang seharusnya bertanggung jawab dalam urusan pengerjaan segala kebutuhan teknis dalam suatu acara adat terpaksa harus disiasati dengan cara menyewa jasa catering, ataupun keluarga dekat pihak hula-hula yang terjun langsung untuk bekerja apabila boru tidak dapat hadir dalam acara-acara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat.

g. Masyarakat memberikan tolenransi akan norma sosial yang tampak terlihat mengalami kelonggaran yaitu norma budaya yang melarang orang yang marsubang untuk berkomunikasi sedikit berkurang. Hal ini terjadi karena pengaruh pekerjaan yang mereka lakukan memaksa mereka harus melakukan komunikasi itupun hanya sebatas percakapan singkat dan kontak fisik yang tidak dapat dihindari di lokasi kerja.

2. Adaptasi Inovasi

Masyarakat melakukan upaya untuk meminta (reclaim) sebagian lahan dari pihak perusahaan untuk kembali diusahakan oleh masyarakat, meskipun hal tersebut dianggap telah menyalahi aturan yang telah disepakati, karean pihak perusahaan telah memiliki izin atau hak akan lahan tersebut.

5.2 Saran

Adapun yang menjadi saran penulis melalui hasil penelitian ini adalah sebagai


(2)

1. Perubahan merupakan sesuatu yang pasti terjadi, salah satunya adalah modernisasi. Oleh sebab itu sudah saatnya masyarakat terbuka akan perubahan-perubahan yang ada sehingga masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.

2. Bagi pihak PT. Toba Pulp Lestari sebaiknya dalam menyelesaikan sengketa lahan yang ada lebih mengutamakan diskusi dengar pendapatdahulu agar warga desa tidak semakin sakit hati dengan PT. Toba Pulp Lestari.

3. Bagi pemerintah sudah saatnya mendirikan sekolah tingkat pertama di desa ini, dengan kurangnya layanan pendidikan kepada masyarakat pasti secara tidak langsung mengurangi minat anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus maka secara tidak langsung pemerintah melakukan pembodohan kepada masyarakat.

4. Pemerintah sudah saatnya menjadi penengah antara masyarakat dengan pihak PT. Toba Pulp Lestari dalam menangani masalah sengketa lahan yang terjadi. hal ini perlu dilakukan secepat mungkin agar kasus ini tidak berlarut-larut ataupun bahkan dapat menjadi kasus yang lebih besar lagi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumu Aksara.

Alvin dan Suwarsono.2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan.Jakarta: Pustaka LP3ESIndonesia.

Bungin Burhan.2001.Metodologi Penelitian Sosial, Format-Format Kuantitatif dan kualitatif.Surabaya: Airlangga University press.

Bugin, Burhan, 2007. Penelitian kualitatif. Jakarta: Prenanda Media Group.

Beryer, P. L. 1990. Revolusi Kapitalis. Cetakan Pertama. Diterjemahkan oleh Mohammad Oemar. Jakarta. Penerbit LP3ES.

Douglas,J.Goodman.2004.Teori Sosiologi Modern.Jakarta: Prenada Media. Gerungan,W.A.1996. Psikologi Sosial.Bandung.Eresco.

Jhonson, Doyle Paul (Penerjemah Robert M.Z.Lawang).1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2.Jakarta: Gramedia

Kartini Kartono.2000. Pengantar Metodologi Riset Sosial.Bandung: Penerbit Maju. Maleong, Lexi.2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya.

M,S.Basrowi.2005. Pengantar Sosiologi.Bogor: Ghalia Indonesia.

Narwoko,Dwi.J.2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.Jakarta: Kencana. Poloma,Margaret M. 2001. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suparlan,Parsudi.1996. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya.Jakarta: Grsfindo

Persada.


(4)

Soekanto,Soerjono.2002. Sosiologi Sebagai pengantar.Jakarta:UI-Press. Sztompka,P.2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta:Prenada Media. Situs Web

2:55 WIB)

diakses 30 Mei 2012)

diakses 30 Mei 2012)


(5)


(6)

2012)


Dokumen yang terkait

Studi Perspektif Masyarakat untuk Program Restorasi Ekosistem Hutan Mangrove (Studi Kasus Masyarakat Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara)

1 55 78

Pemetaan Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Industri Tegakan Eucalyptus spp. Studi Kasus di HTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli

0 51 96

Pengaruh Keberadaan PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Terhadap Perekonomian Masyarakat dan Lingkungan di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir

0 26 88

Sikap Petani Terhadap Program CD (Community Development) PT.TPL (Toba Pulp Lestari) Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Desa Parbuluan I Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi)

0 34 74

Analisis Kandungan Kimia Sludge dari Industri Pulp PT. Toba Pulp Lestari Tbk

4 43 51

Pengaruh PT.Toba Pulp Lestari, Tbk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Porsea

0 54 114

Kajian kualitas tapak hutan tanaman industri hibrid Eucalyptus urograndis sebagai bahan baku industri pulp dalam pengelolaan hutan lestari (Studi Kasus di PT Toba Pulp Lestari, Simalungun, Sumatera Utara )

0 22 484

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERTANIAN KOPI DI DESA TAPIAN NAULI II KECAMATAN SIPAHUTAR KABUPATEN TAPANULI UTARA.

0 3 19

TANGGAPAN WARGA MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DI DESA TAPIAN NAULI II KECAMATAN SIPAHUTAR KABUPATEN TAPANULI UTARA.

0 5 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Fungsi Hutan (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara)

0 0 10