Keh}ujjahan hadis h}asan. Kehujjahan hadis d}a’if

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id d. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya. e. Membedakan sarana yang berubah-berubah dan tujuan yang bersifat tetap dari setiap hadis. f. Membedakan makna hakiki dan makna majazi dalam memahmi Sunnah. g. Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata. h. Memastikan makna peristikahan yang digunakan oleh hadis. 64 Sedangkan menurut Bustamin dan M. Isa, langkah-langkah yang ditempuh dalam memahami hadis antara lain: a. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dengan tema yang sama. b. Memahami hadis dengan bantuan hadis sahih. c. Memahami kandungan hadis dengan pendekatan al-Qur’an. d. Memahami makna hadis dengan pendekatan kebahasaan. e. Memahami makna hadis dengan pendekatan sejarah Teori asbab al Wurud al-H}adith. 65 Berdasarkan teori di atas, maka langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk memahami makna hadis adalah: 66 a. Dengan pendekatan al-Qur’an. Sebagai penjelas makna al-Qur’an, makna hadis harus sejalan dengan tema pokok al- Qur’an. b. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama. c. Dengan menggunakan pendekatan bahasa, untuk mengetahui bentuk ungkapan hadis dan memahami makna kata-kata yang sulit. 64 Yusuf Qardawi, Studi Kritis al-Sunnah, terj. Bahrun Abu Bakar Bandung: trigenda Karya, 1995, 96. 65 Bustamin, M. Isa H A Salam, Metodologi, 64. 66 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani alHadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal Jakarta: Bulan Bintang, 1994, 4. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id d. Dengan memahami maksud dan tujuan yang menyebabkan hadis tersebut disabdakan teori asbab al-Wurud al-H}adith. e. Dengan mempertimbangkan kedudukan Nabi ketika menyabdakan suatu hadis teori maqamah. F. Mukhtalif al-H{adis\th 1. Pengertian Mukhtalif al-H{adith Kata mukhtalif secara Bahasa berarti perselisih atau bertentangan. Sedangkan dalam dunia ‘ulum al-hadis istilah ini digunakan nama dari adanya dua hadis yang sama-sama s}ah}ih} yang secara lahir bertentangan, namun pada subtansinya tidak. 67 Adapun definisi menurut al-Nawawy, dikutip oleh al-Sayut}y bahwa hadis mukhtalif ialah امدحأ حجري وأ امه يب قفويف ار اظ ىعما ي ناداضتم ناثيدح يي نأ Dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna zahirnya, maka kedua hadis tersebut dikompromikan ataupun di tarjih} untuk diambil mana yang terkuat dari salah satunya. 68 Al-Nawawy dalam definisinya, memasukkan semua hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis mukhtalif. 69 Menurut al-T{ah}awiy, hadis mukhtalif adalah 67 Salamah Noorhidayati, “ Hadis-Hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya”, Kontemplasi Jurnal Ke-Ushuluddinan, Vol. 08 No. 01 Juni, 2011, 48. 68 Ibid. 69 Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’I”, Jurnal Ushuluddin, Vol XVII, No. 2 Juli, 2011, 184. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ىعما ي ناضراعتما ناوبقما ناثيدِا فسعت ْغب امهيلولدم ْب عمِا نكمو ار اظ Dua hadis maqbul yang saling bertentangan pada makna zahirnya, dimana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan tidak dicari-cari. 70 Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib dalam Us}ul al-H{adith, adalah: اَهَ ْ يَ ب ُفِقَوُ يْوَأ ,اَهَضُراَعَ ت ُلْيِزُيَ ف ٌضِراَعَ تُم اََرِاَظ َِِلا ِثْيِداَحَأا ِ ُثَحْبَ ي ىِذِلا ُمْلِعْلا اَمَك ِثْيِداَحَأا ِ ُثَحْبَ ي .اَهُ تَقْ يِقَح ُحِّضَوُ يَو ,اَهَلَكْشَأ ُعَفْدَيَ ف ,اَُرَوَصَت ْوَأ اَهُمْهَ ف ُلُكْشَي َِِلا Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahiriyahnya tampak saling bertentangan, untuk kemudian menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromian keduanya. sebagaimana pembahasan tentang hadis-hadis yang sulit dipahami atau diambil isinya dan kemudian dihilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan hakikat pemahamannya. 71 Namun menurut yusuf Qard}awy ,bahwa h}adith d}ai’f mardud tidak termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif. Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadis mukhtalif adalah h}adith s}ah}ih} dan h}adith h}asan, secara zahirnya terlihat saling bertentangan dengan h}adith s}ah}ih} dan h}adith h}asan lainnya. Namun maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan, karena satu dengan yang lainnya pada prinsipnya dapat dikompromikan atau dapat dicari penyelesaiannya dengan cara nasakh dan tarjih}. 72 Dengan menguasai ilmu mukhtalif al-h}adis, hadis-hadis yang nampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga ke-mushkil-an yang terlihat dalam suatu hadis, akan 70 Salamah Noorhidayati, “ Hadis-Hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya”, 48. 71 Ibid., 48-49. 72 Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’I”, 185. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. 73 Sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu musykilul hadis, ilmu ta’wilul hadis, dan ilmu taufiqul hadis. 74 Imam al-Nawawi berkata dalam al- Taqrib, “Ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayat yang terpenting, yang harus diketahui oleh seluruh ulama dan berbagai golongan”. 75 Terdapat 2 kalangan yang berbeda pendapat mengenai adanya kasus pertentangan hadis: a. Kalangan pertama menyatakan bahwa riwayat tersebut tidak bersumber dari Nabi, karena seorang Nabi tidak mungkin menyatakan dua hal yang bertentangan. Pendapat ini disebabkan karena mereka yakin bahwa hadis Nabi adalah sumber ajaran islam setelah Alquran. b. Kalangan yang kedua menjadikan masalah ini sebagai salah satu alasan bahwa hadis Nabi bukan termasuk sumber ajaran Islam, karena pada dasarnya golongan ini tidak mengakui hadis Nabi sebagai salah satu mas}dar al- Tashri‘, oleh karena itu tidak heran jika terjadi pertentangan di dalamnya. 76 Menurut al-Qardhawi teks-teks syariat yang telah dikukuhkan tersebut tidak mungkin akan bertolak belakang, tidak mungkin perkara yang haq itu akan bertentangan dengan perkara h}aq lainnya, kalaupun hal tersebut ternyata ada, maka hal itu hanya seputar makna lahiriahnya saja, tidak sampai pada 73 Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’I”, 185. 74 Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 335. 75 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 114. 76 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya Jakarta: Gema Insani Press, 1995, 110. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id makna hakikatnya. Oleh karena itu, asumsi pertentangan semacam itu hendaknya harus dihapuskan. 77 Hal tersebutlah yang menjadikan para ulama mukhtalif al-h}adith ke dalam sebuah kitab, seperti imam Shafi‘iy 204 H-820 M, ia adalah pelopor penghimpunan hadis-hadis yang tampak ikhtilaf ke dalam sebuah kitab disertai pemaparan penyelesaiannya. Setelah itu, muncullah kitab Ta’wil Mukhtalif al-H{adith karya Al- Hafi z} ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Al- Dainuri w. 276 H, kitab Mushkil al-Athar , karya Imam Abu Ja‘far Ah}mad bin Muh}ammad Al-T{ahawi w. 321 H, kitab Musyki al-H{adith wa Bayanuhu karya al-Muh}addith Abu Bakr Muh}ammad bin al-H{asan al-Ans}ari al-As}bih}ani w. 406 H dan kitab-kitab lainnya yang berkonsentrasi pada bahasan hadis-hadis yang mengandung ikhtilaf. 78

2. Sebab-Sebab Mukhtalif al-H}adith

Disebabkan banyak masalah baru muncul setelah Rasulullah SAW wafat, sehingga mengharuskan para sahabat untuk berijtihad dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqh, dan beberapa sebab yang lain: 79 a. Al-‘Amil al-Dakhil Ialah faktor internal hadis yang berkaitan dengan internal redaksi hadis tersebut. Biasanya karena terdapat ‘illah cacat di dalam hadis 77 Yusuf al-Qardlawi, Studi Kritis al-Sunnah, 127. 78 Rahman, Ikhtisar Mushthalah Hadis, 339. 79 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadits Yogyakarta: Idea Press, 2008, 86. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id tersebut yang nantinya kedudukan hadis tersebut menjadi d}a’if, lalu secara otomatis hadis tersebut ditolak ketika berlawanan dengan hadis s}ah}ih}. b. Al-‘Amil al-Kharij Ialah faktor eksternal, yakni faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi SAW, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu dan tempat di mana Nabi SAW menyampaikan hadisnya. c. Al-Budu’ al-Manhaj Ialah faktor metodologi yang berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadis tersebut, dan sebagian hadis yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtalif. d. Faktor ideologi Faktor yang berkaitan dengan ideologi suatu mazhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang. 80

3. Metode Penyelesaian Mukhtalif al-H}adith

Para ulama memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Ada yang hanya menggunakan satu cara, ada juga yang menggunakan lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Diantaranya yaitu ada beberapa ulama lain yang memilih 80 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadits, 87. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id menggunakan langkah al-tawfiq, yakni menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menjernihkan atau menyelesaikan pertentangan tersebut. 81 Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa terhadap matn-matn hadis yang bertentangan, maka masing-masing hadis tersebut harus di amalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istithna’ pengecualian dalam penyelesaian itu. Cara yang ditempuh Ibn Hazm adalah al- Jam’u wa al-Tawfiq, nasakh, tarjih}, al-ikhtilaf min jihad al-Mubah}. Shihab al-Din Abu al- ‘Abbas Ahm}ad ibn Idris al-Qarafi menempuh cara al-Tarjih}. S}alah} al-Din Ibn Ah}mad al-Adadi menempuh dengan cara al- Jam’u kemudian al-Tarjih}. Ibn al-S}alah}, fas}ih} al-Harawi menempuh tiga cara kemungkinan, yakni al- Jam’u, al-Naskh wa al-Mansukh, dan al-Tarjih}. Muh}ammad Adib S}alih} menempuh cara al-Jam ’u, al-Tarjih} kemudian al- Naskh wa al-Mansukh. Ibnu H}ajar al- ‘Asqalani dan lain-lain menempuh empat tahap, yakni al- Jam’u, al-Nasikh wa al-Mansukh, al-Tarjih} dan al- Tawfiq menunggu sampai ada dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya. 82 Berikut uraian lebih jelasnya dari metode-metode tersebut:

a. Al-Jam’u wa al-Tawfiq

Metode ini dilakukan dengan cara mengkompromikan dua hadis yang tampak saling bertentangan. Hadis-hadis yang bisa diselesaikan dengan cara Al- Jam’u wa al-Tawfiq ini kualitasnya harus sederajat, tidak 81 Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, 113. 82 Ismail, Metodologi Penelitian, 142-143. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id boleh ada yang lebih unggul. 83 Adapun syarat-syarat dalam penggunaan metode ini adalah sebagai berikut: 84 1 Mempertegas kontroversi dua dalil, yaitu apabila masing-masing dalil tersebut saling bertentangan dan pantas dijadikan h}ujjah. 2 Mengkompromikan dua dalil yang tidak sampai berdampak membatalkan nas} syari’ah. 3 Mengkompromikan hingga dapat menghilangkan kontroversi. 4 Mengkompromikan dua dalil yang tidak menjadikan benturan dengan dalil s}ah}ih yang lain. 5 Dua hadis yang bertentangan terjadi pada satu waktu. Jika waktu dua hadis tersebut berbeda dan salah satunya menunjukkan nasikh atau mansukh, maka yang diamalkan adalah salah satunya. 6 Mengkompromikan dua dalil digunakan untuk tujuan dan cara yang benar, yaitu menghilangkan kontroversi yang ada pada dua dalil dan yang dapat diterima, tidak sembarangan dan dipaksakan, tidak keluar dari tujuan uni versal syari’at dan tidak menggunakan ta’wil ba’id, sehingga hasil kompromi tidak keluar dari kaidah ketetapan bahasa atau kaidah agama yang dipahami secara pasti, dan juga tidak keluar dari konteks yang tidak pantas dengan ucapan syar’i. 7 Sebagian ulama mensyaratkan kesetaraan dua dalil yang bertentangan, sehingga kompromi keduanya benar-benar valid. 85 83 Nafiz Husayn H{ammad, Mukhtalif al-H{adith Bain al- Fuqaha’ wa al-Muh}addithin Mesir, Dar al-Wafa, 1993, 26. 84 Ibid., 145. 85 Nafiz Husayn H{ammad, Mukhtalif al-H{adith Bain al- Fuqaha’ wa al-Muh}addithin , 145. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

b. Al-Nasikh wa al-Mansukh

Metode ini dapat dilakukan jika metode al- Jam’u wa al-Tawfiq tidak dapat dilakukan, dan itu pun apabila data dari sejarah kedua hadis yang bertentangan dapat diketahui dengan jelas. Jika tidak diketahui mana yang lebih dulu disabdakan dan mana yang lebih akhir disabdakan dari kedua hadis tersebut, maka metode naskh mustahil untuk dilakukan. 86 Adanya naskh dapat diketahui dengan beberapa cara, yaitu: 1 Adanya penegasan dari Rasulullah SAW, seperti naskh larangan ziarah kubur. 2 Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti penjelasan bahwa terakhir kali Rasulullah tidak berwudlu ketika hendak melakukan shalat setelah mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan api. 3 Berdasarkan Adanya fakta sejarah, seperti halnya hadis yang menjelaskan batalnya puasa karena berbekam pada tahun ke-8 H, lebih awal datangnya daripada hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri berbekam dalam bulan puasa pada tahun ke- 10 H. 4 Berdasarkan Ijma’, seperti naskh hukuman bagi orang meminum arak sebanyak empat kali. Naskh ini diketahui secara Ijma’ oleh seluruh sahabat bahwa hukuman mati itu sudah Mansukh. Hal ini tidak bermakna Mansukh dengan ijma’, akan tetapi berdasarkan ijma’ fatwa 86 Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010, 130.