KECENDERUNGAN NABI SAW MEMILIH YANG LEBIH MUDAH TENTANG DUA PERSOALAN DUNIAWI : HADIS SUNAN ABI DAWUD NO. INDEKS 4775.

(1)

KECENDERUNGAN NABI SAW MEMILIH YANG LEBIH MUDAH TENTANG DUA PERSOALAN DUNIAWI

(Hadis Sunan Abi> Da>wud No. Indeks 4775)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

MUHAMMAD NIZAR NIM : E33212086

JURUSAN AL-QURAN DAN HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK Nama : Muhammad Nizar

NIM : E33212086

JUDUL: Kecenderungan Nabi SAW Memilih Yang Lebih Mudah Tentang Dua Persoalan Duniawi (Hadis Sunan Abi> Da>wud No Indeks 4775)

Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Fungsinya tidak lain yaitu sebagai mubayyin dari al-Qur’an yang mana merupakan sumber rujukan dari hukum islam. Dari keduanya tersebut terkandung berbagai hukum, nasihat, cerita dan lain sebagainya yang tentunya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti halnya mengenai gambaran kehidupan dunia ini.

Berangkat dari kandungan hadis Sunan Abi> Da>wud No Indeks 4775 yang menjelaskan mengenai teladan Rasulullah dalam menyikapi antara kedua pilihan yang berhubungan dengan duniawi. Selain itu juga, dalam hadis tersebut tidak hanya dijelaskan mengenai sikap Rasulullah dalam memilih di antara dua pilihan yang berhubungan dengan duniawi saja. Namun, di dalamnya juga diajarkan mengenai hidup yang sederhana dan tidak berlebihan dalam segala hal.

Fenomena yang sering terjadi, ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan, maka mayoritas memilih yang lebih mudah, ada juga yang memilih yang lebih susah dengan alasan sebuah tantangan agar hidup ini lebih menarik dan berwarna. Namun, Rasulullah sendiri mengajarkan kepada umatnya jika dihadapkan kepada dua pilihan, maka pilihlah yang lebih mudah selama pilihan tersebut tidak mengandung dosa. Alasan Rasulullah memilih yang lebih mudah ialah salah satunya untuk menghindari kategori tabdhi>r dalam segala hal.

Penelitian pada hadis ini menggunakan penelitian kualitatif yang datanya tidak lain bersumber dari pustaka (libraray research). Penjelasan skripsi ini arahnya kepada penelitian kandungan hadis (matn al-h}adi>th). Walaupun arahnya pada matan, dalam skripsi juga mencantumkan penelitian sanad dari berbagai aspeknya, mulai dari ketersambungan sanad, kredibilitas perawi, shadh dan ‘illat.

Setelah dilakukan penelitian dari segi kandungan sanad dan matan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, hadis Sunan Abi> Da>wud No Indeks 4775 ini merupakan hadis yang maqbu>l dan s}ah}i>h} dengan adanya data pendukung (tawa>bi’) dari kitab s}ah}i>h} muslim, al-Muwat}t}a, Musnad Ah|}mad Ibn H}anbal, serta dapat dijadikan sebagai h}ujjah. Hal ini dapat dibuktikan dari sanad yang bersambung, kandungan matannya tidak shadh, tidak ada ‘illat dan para perawinya pun disepakati oleh muh}addithi>nsebagai perawi yang thiqah.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Masalah ... 9

E. Kegunaan Penelitian... 10

F. Kerangka Teori... 10

G. Penegasan Judul ... 11

H. Kajian Pustaka ... 12

I. Metode Penelitian ... 13


(7)

BAB II PERSOALAN DUNIAWI DAN UKHRAWI SERTA HADIS

NABAWI ... 21

A. Kehidupan Duniawi dan Ukhrawi ... 21

1. Terjadinya alam dunia ... 21

2. Gambaran kehidupan dunia ... 24

3. Akhirat dan seluk beluknya ... 27

B. Hadis dan Metode Penelitiannya ... 30

1. Klasifikasi hadis ... 30

2. Kaidah ke-s}ah}i>h}-an hadis ... 35

3. Teori ke-h}ujjah-an hadis ... 41

4. Metode penelitian hadis ... 45

5. Al-Jarh} wa al-Ta’di>l ... 53

6. muta>bi’dan sha>hid ... 55

7. Teori pemaknaan hadis ... 58

BAB III IMAM ABU DAWUD DAN HADIS TENTANG TAKHYI>R RASU>LULLAH ... 62

A. Biografi Imam Abi> Da>wud ... 62

1. Guru-guru dan murid-muridnya ... 64

2. Pandangan ulama terhadap Imam Abu> Da>wud ... 65

3. Kitab Sunan Abi>> Da>wud ... 66

4. Komentar ulama tentang Imam Abi> Da>wud dan Kitab Sunannya ... 69

B. Hadis Tentang Takhyi>r Rasu>lullah ... 70


(8)

D. Skema Sanad Hadis ... 80

E. I’tiba>r al-Sanad ... 95

F. Data Biografi Perawi Hadis Takhyi>r Rasu>lullah ... 96

BAB IV VALIDASI DAN PEMAKNAAN HADIS TENTANG TAKHYI>R RASU>LULLAH NO. INDEKS 4775 ... 102

A. Analisis Hadis dari segi Sanad ... 102

B. Analisis Hadis dari segi Matan ... 110

C. Pemaknaan Hadis Takhyi>r Rasu>lullah ... 117

BAB V PENUTUP ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bila dunia ini diamati dari ufuk barat sampai ke ufuk timur, dari ufuk utara sampai ke ufuk selatan, maka akan terlihat betapa dunia penuh dengan isi yang beraneka ragam jenis dan bentuknya. Itu adalah tumbuh-tumbuhan yang hidup subur, mulai dari yang kecil hingga yang terbesar, yang hidup di dataran rendah, dataran tinggi, di tepi pantai, di rawa-rawa, di gunung-gunung, di hutan belantara dan di tempat-tempat lain yang tak terhitung banyaknya.1

Dari sekian banyaknya dunia beserta isinya itu, pasti terdapat faedahnya, bukan tidak ada faedahnya. Dari tumbuhan sendiri, dapat dihasilkan bermacam-macam hasil yang sangat berguna, mulai dari bahan makanan, sayur-sayuran, bahan bangunan hingga barang-barang yang mahal harganya dan modern di mana sampai sekarang tetap diusahakan oleh orang-orag ahli untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin dari tumbuh-tumbuhan, sungguh merupakan kekayaan materi tersendiri yang tidak ada harganya.2

Secara sepintas, dunia dan seisinya ini memang penuh dengan segala macam yang bisa menggiurkan hati manusia, siapa pun itu orangnya. Bahkan di tempat pelosok sekalipun, orang-orang tetap saja sibuk dengan urusan keduniaannya dan jarang memperhatikan urusan keakhiratan.

1

Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 45.

2 Ibid.


(10)

2

Ibarat gunung, dunia memang begitu mengasyikkan bila dipandang begitu saja dari jauh tanpa penelitian lebih dalam. Kelihatan hijau bagai jamrut kemilau tertimpa sinar matahari. Terasa sangat menyejukkan di sela-sela pemandangan yang indah. Begitulah dunia ibarat gunung. Namun bila diperhatikan ternyata gunung itu tidak seindah yang diduga. Banyak jurang-jurang dalam menganga menanti maut siapa saja yang terperosok ke dalamnya. Orang pasti takut melihat gunung dari dekat. Gunung itu menipu setiap orang yang melihatnya. Begitu pula dunia tidak terlihat seperti gunung, bisa menipu dan membujuk orang bila tidak waspada.3

Jika diperhatikan, orang-orang yang sibuk dengan urusan keduniaanya. Seperti mereka yang sibuk dengan perniagaan, pertanian, pemerintahan dan bidang lainnya. Pada awalnya, mereka memang baik cara tindakannya dalam menangani bidangnya. Akan tetapi, setelah merasa betapa manisnya dunia, mereka lupa akan tujuan awal mencari dunia pada hakikatnya adalah mencari keridhoan Allah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban.

Sebagai makhluk yang paling mulia, manusia akan mengalami dua fase kehidupan. Diantaranya adalah kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan dunia merupakan fase dimana manusia berkewajiban untuk melaksanakan segalam yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala yang dilarangnya. Fase kehidupan duniawi ini, dapat diibaratkan sebagai kebun. Artinya, barangsiapa yang menanam benih maupun apapun, dia akan menuainya di akhirat.

3


(11)

3

Dalam konteks ini apabila merujuk lebih jauh tentang klasifikasi kehidupan, terdapat empat tahap kehidupan yang pasti akan dilalui oleh manusia, yaitu: kehidupan di alam rahim, kehidupan di alam duniawi, kehidupan di alam kubur dan kehidupan di alam akhirat. Empat tahap kehidupan ini ada yang telah dilalui oleh manusia dan ada yang belum dilalui. Untuk manusia yang saat ini masih hidup di dunia, maka setidaknya ia telah melampaui dan sedang mengalami dua kehidupan yaitu kehidupan rahim dan kehidupan duniawi. Kehidupan rahim terjadi manakala Allah meniupkan ruh kepada calon bayi yang akan lahir di muka bumi di saat empat puluh hari di dalam rahim seorang ibu. Pada saat itu, Allah juga mengikat perjanjian dengan sang jabang bayi untuk senantiasa bertauhid.4 Setelah si jabang bayi lahir ke dunia pada kurun rata-rata sembilan bulan di kandungan sang ibu, ia adalah manusia yang lahir berproses dan mengalami kehidupan duniawi.

Adapun sikap manusia terhadap dunia, dalam ilmu tasawuf dikenal dengan sebutan zuhud (asketisme). Ia merupakan respon hati manusia, bahwa dunia bukan kesenangan yang terbentang di depan mata, akan tetapi hanyalah sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih senang dan kekal, yaitu kehidupan akhirat.

Rasulullah menggambarkan dunia dalam hadisnya yang berbunyi:

َِا ُلوُسَر َلاَق َلاَق َةَرْ يَرُ ِ َأ ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ِ َََعْلا ْنَع يِاْرَواَردلا ِ ْعَ ي ِزيِزَعْلا ُدْبَع اَ َ ثدَح ٍديِعَس ُنْب ُةَبْيَ تُ ق اَ َ ثدَح

ِرِفاَكْلا ُة َ َو ِنِمْ ُمْلا ُنْجِس اَيْ ندلا َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص

5

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Sa'i>d telah menceritakan

kepada kami Abdul aziz al-Dara>wardi> dari Al Ala>` dari ayahnya dari Abu>

4 Sobari, Konsepsi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988), 57.

5 Muslim ibn al-H}ajj>aj Abu> al-H}asan al-Qushayri> al-Naysa>bu>ri>, Sah}i>h} Muslim, Vol 2,


(12)

4

Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: Dunia penjara orang mu’mi>ndan surga orang kafir.

Bahkan dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang zuhud, seperti yang tertulis dalam Surat Al Imran Ayat 14:







































































Dijadikan indah pula pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan, bahwa Allah memang menghendaki dunia ini dipenuhi dengan segala macam kesenangan yang menggiurkan, yang menarik pandangan, dan menggoda manusia (sebagai cobaan).agar seseorang mampu bersabar dan bertahan menghadapi godaannya. Namun, jika tidak bersabar, seseorang justru terjerumus di bawah kakinya (menjadi budak dari dunia).6

Sungguh tolak ukur dunia sama sekali berbeda dengan tolak ukur akhirat. Pasalnya penghuni dunia ini selalu mengukur segala sesuatu dengan yang biasa tampak oleh mata telanjang berupa apa yang mungkin mereka gapai dan rasakan di hadapan mereka ketika di dunia. Berbeda dengan urusan akhirat, yang diukur

6

Ibnu Rajab al-H}anbali>,Zuhud Dunia Cinta Akhirat: Sikap Hidup Para Nabi dan


(13)

5

dengan perkara-perkara ghaib yang hanya diketahui oleh orang-orang beriman melalui penggambaran wahyu.7

Nabi Muhammad adalah sosok manusia yang patut di contoh. Kerana ia dinyatakan sebagai manusia berakhlak mulia sebagai pengejawantahan kehidupan zuhud nabi, para hali sejarah mencatat perilaku sehari-harinya. Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidupnya menceritakan bagaimana kesukaran rumah tangganya sehari-hari. Bukan saja tidak terdapat perabot-perabot rumah tangga, keperluan sehari-hari pun jarang terdapat, dan jangankan makanan lezat, makanan yang biasa sehari-hari pun belum tentu tersedia tiap waktu makan. Beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipinya. Begitupun bahwa dirumahnya tida terdapat meja makan, sehingga ahli rumahnya terpaksa menghadapi hidangan makan dengan duduk di atas tanah, ini pun cerita yang banyak dibaca dalam kitab-kitab sejarah.8

Hidup kerohanian yang semacam ini selain dipraktikan dan diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, terdapat pula dalam

kehidupan Nabi-nabi terdahulu. Kesederhanaan dan kesungguhan

memperjuangkan kebaikan seperti ini adalah akhlak yang seharusnya diikuti oleh para pengikut Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad memberikan suritauladan kepada umatnya untuk menjalankan kehidupan secara seimbang dalam segala aspek kehidupan, dan aktif di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Setiap muslim dilarang hidup

7

al-H}anbali>, Zuhud, 135 8

Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Solo: CV. Ramadhani, 1992), 232-233


(14)

6

menyendiri. Eksklusif. Sebaliknya, sebagai muslim harus hidup bermasyarakat, senang bekerja keras untuk mencari bekal hidup di dunia, hasil yang diperoleh juga diperuntukan memperbanyak amal shaleh, dengan harapan pahalanya bisa dipetik di akhirat kelak.

Dengan demikian, sebagai Umat Nabi Muhammad SAW, seharusnya lebih bersikap mawas diri (menjaga diri) atau dalam bahasa fiqh dikenal dengan istilah

-al-Ikhtiya>t}. Sikap tersebut haruslah dipraktikan Umatnya dalam menyikapi persoalan-persoalan dunia yang dihadapinya.

Sebagaimana Rasulullah ketika menghadapi dua persoalan yang dihadapkan kepadanya, agar ia memilih salah satu dari persoalan tersebut. Adapun kedua persoalam tersebut adalah persoalan-persoalan yang berbau urusan duniawi. Namun, dalam menyikapinya, Rasulullah lebih cenderung memilih hal yang lebih mudah dari pada yang sulit. Walaupun perkara yang lebih sulit tersebut mudah untuk diwujudkan.

Fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat, biasanya seseorang jika dihadapi dua persoalan dunia, mayoritas, orang tersebut akan memilih yang lebih mudah. Namun, di samping itu, beberapa orang juga memilih sesuatu yang lebih sulit. Sebab, sesuatu tersebut dianggapnya sebagai tantangan agar terbiasa menghadapi persoalan-persoalan yang sulit dan rumit. Hal ini tentu menarik dibahas, dikarenakan pada masa kontemporer ini segala sesuatu semakin berubah seperti teknologi dan lain-lain, tentu sifat manusia dalam menyikapi sesuatu-pun berubah dengan seiringnya perkembangan zaman yang ada.


(15)

7

Mengenai kecenderungan Rasulullah tersebut, penulis akan membahasnya dalam skripsi dengan menyertakan hadis Sunan Abi Dawud no indeks 4775 yang berbunyi sebagai berikut:

اَه نَأ اَهْ َع َُا َيِضَر َةَشِئاَع ْنَع َِْْ بزلا ِنْب َةَوْرُع ْنَع ٍباَهِش ِنْبا ْنَع ٍكِلاَم ْنَع َةَمَلْسَم ُنْب َِا ُدْبَع اَ َ ثدَح

اًِْْإ َناَك ْنِإَف اًِْْإ ْنُكَي ََْ اَم اََُُرَسْيَأ َراَتْخا َِإ ِنْيَرْمَأ ِِ َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا ُلوُسَر َُِّْخ اَم ْتَلاَق

ََاَعَ ت َِا ُةَمْرُح َكَهَ تْ ُ ت ْنَأ َِإ ِهِسْفَ ِل َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا ُلوُسَر َمَقَ تْ نا اَمَو ُهْ ِم ِسا لا َدَعْ بَأ َناَك

اَِِ َِِ ُمِقَتْ َ يَ ف

.

9

Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah ibn Az Zubair dari 'Aisyah radliallahu 'anha ia berkata, "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diberi dua pilihan kecuali beliau memilih yang paling mudah dari keduanya selama tidak termasuk dosa. Jika hal itu bagian dari dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi dosa di antara manusia. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah merasa dendam untuk dirinya kecuali jika itu berhubungan dengan pelanggaran terhadap kehormatan Allah, maka beliau dendam karena Allah".

Alasan penulis memilih kitab Sunan Abi Dawud Karena, dalam kitab

tersebut tidak hanya terdapat hadis-hadis sah}i>h}, tetapi juga terdapat hadis-hadis selain s}ah}i>h}, seperti hadis hasan, d}a’i>f. Oleh karenanya, kitab Sunan Abi> Da>wud lebih menarik untuk dijadikan pembahasan dalam skripsi ini. Adapun kitab hadis lain, seperti kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan lain-lain dijadikan sebagai muta>bi’ dan shawa>hid semata.

Pembahasan pada skripsi ini, tertuju pada hadis Nabi Muhammad SAW, karena hadis merupakan sumber hukum kedua dalam islam. Pembahasan dalam skripsi ini mengenai sikap Rasulullah dalam menghadapi dua persoalan dunia dan analisis kritik sanad dan matan. Walaupun fokus penulis hanya terhadap makna

9 Sulaima>n ibn al-Ash’as ibn Ish}a>q ibn Bashi>r ibn Syida>d ibn Amr al-Azdi> al-Sijistani>,


(16)

8

dai hadis tersebut, penulis tetatp mencantumkan analisis sanad. Karena sanad dan matam merupakan kedua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan lagi.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Hadis yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah hadis riwayat Ima>m Abi>

Da>wud dalam Kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775 . Maka dalam skripsi ini, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas, di antaranya:

1. Persoalan Keduniaan dan sekitarnya.

2. Gambaran mengenai kitab Sunan Abi> Da>wud beserta pengarangnya (Ima>m

Sulaiman ibn al-Ash’as ibn Isha>q ibn Basyi>r ibn Syida>d ibn Amr Azdi al-Sijistani).

3. Kualitas hadis dalam kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775. 4. Kehujjahan hadis dalam kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775.

5. Pemaknaan Takhyi>r Rasulullah dalam kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775.

Agar mendapat hasil penelitian yang maksimal, diperlukan adanya batasan masalah untuk meghindari perluasan dalam penelitian, dengan demikian penulisan skripsi ini bisa terfokus pada batasan masalah yang ingin dibahas. Dari beberapa masalah yang sudah teridentifikasi, peneliti membatasi pada 3 permasalahan, diantaranya:


(17)

9

1. Bagaimana kualitas hadis tentang Takhyi>r Rasu>lullah dalam kitab Sunan Abi>

Da>wud nomor indeks 4775 ?

2. Apa makna Takhyi>r Rasu>lullah dalam kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775 ?

3. Mengapa Nabi SAW lebih cenderung memilih hal yang lebih mudah dalam dua persoalan duniawi ?

C. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini, di antaranya:

1. Bagaimana kualitas hadis tentang Takhyi>r Rasu>lullah dalam kitab Sunan Abi>

Da>wud nomor indeks 4775 ?

2. Apa makna Takhyi>r Rasu>lullah dalam kitab Sunan Abi> Da>wud nomor indeks 4775 ?

3. Mengapa Nabi SAW lebih cenderung memilih hal yang lebih mudah dalam dua persoalan duniawi ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:

1. Mengetahui kualitas hadis Takhyi>r Rasu>lullah itu sendiri dalam hadis Sunan


(18)

10

2. Memahami makna Takhyi>r Rasu>lullah itu sendiri dalam hadis Sunan Abi>

Da>wud nomor indeks4775.

3. Memahami alasan Nabi SAW dalam memilih hal yang lebih mudah dalam dua persoalan duniawi.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini mempunyai kegunaan secara praktis dan teoritis. Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis

Menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penleitian hadis yang terkait dengan penelitian sanad dan matan hadis serta menambah pemahaman tentang metode pemaknaan hadis sehingga bisa menginterpretasikan hadis sesuai pemaknaan yang semestinya. 2. Kegunaan secara praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai ilmu penegtahuan yang memberikan informasi yang valid sehingga kualitas hadis tidak diragukan dan bisa dipakai sebagai rujukan karya tulis ilmiah dan sebagainya. Serta memberikan informasi tentang pemaknaan hadis konsep zuhud rasulullahpaling sesuai.

F. Kerangka Teori

Teori yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan kajian keilmuan


(19)

11

mengetahui integritas dan tingkat intelektualitas perawi, serta untuk mengetahui validitas periwayatan hadis dari guru kepada muridnya.

Disamping itu, peneliti juga menggunakan kajian ma‘a>ni al-H}adi>th (teori pemaknaan hadis) yang meggunakan pendekatan kebahasaan dan historis hadis yang mana kajian ini merupakan tujuan utama dari pembahasan dalam skripsi ini. Manfaat dari ilmu ini juga, bisa memahami maksud lain yang tertulis dalam hadis. Ma‘a>ni al-H}adi>th yang penulis sertakan dalam skripsi ini, cenderung pada tulisan M. Syuhudi Ismail, yaitu buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani Hadis Tentang Ajaran Islam yan Universal, Temporal dan Lokal.

G. Penegasan Judul

Ketidakjelasan maksud dari suatu judul skripsi akan mengakibatkan kesalahpahaman dan timbul pengertian yang tidak utuh dan kabur, bahkan kebnyakan orang menjadi salah tafsir, maka dari itu untuk memperjelas dan mempertegas dari skripsi dengan judul Kecenderungan Nabi SAW Memilih Yang Lebih Mudah Tentang Dua Persoalan Duniawi (Hadis Sunan Abi> Da>wud No. Indeks 4775) bahwa penulis perlu untuk menguraikan kata perkata, sehingga nantinya akan lebih mudah untuk difahami, dengan uraian sebagai berikut:

Kecenderungan : agak miring; tidak tegak lurus;

condong; menrauh minat.


(20)

12

(hati); kesudian’ keinginan (kesukaan) akan.10

Memilih Hal yang Lebih Mudah : dua persoalan yang sama

derajatnya, namun hanya berbeda pada tingkat kemudahan dan kesulitannya

Sunan Abi> Da>wud : merupakan kitab hadis karangan

Imam Abi Dawud

Dari penjelasan per-kata judul skripsi di atas, dapat diambil garis besar, bahwa maksud dari “Kecenderungan Nabi SAW Memilih Hal yang Lebih Mudah Tentang Dua Persoalan Duniawi (Hadis Sunan Abi> Da>wud No. Indeks 4775)”, berbicara mengenai kecenderungan (dalam artian Kecondongan) Nabi Saw. dalam memilih dua persoalan dunia yang dihadapinya. Dua persoalan tersebut sama derajatnya, hanya berbeda pada tingkat kemudahan atau kesulitannya saja. Hal ini sebagaimana yang tercantun jelas dalam hadis yang akan dibahas dalam skripsi ini.

H. Kajian Psutaka

Setelah menelusuri berbagai data yang terkait dalam penelitian ini, baik buku maupun skripsi, yaitu sebagai berikut:

1. Skripsi karangan Siti Chaniyah dengan Judul Kedudukan Manusia Dalam

Alam Dunia Dan Alam Akhirat. Skripsi ini menjelaskan kedudukan manusia itu

10

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 161.


(21)

13

sendiri dalam alam dunia dan alam akhirat yang dikaji melalui kajian penafsiran Ahmad Musthafa al-Maraghi, M. Quraish Shihab dan lain-lain. Penekanan pembahasan pada skripsi ini tertuju pada pentingnya memupuk peran-peran manusia sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah. Skripsi ini ditulis pada tahun 2007 dengan ketebalan 55 halaman.

Setelah mencari ke beberapa perpustakaan khususnya perpustakaan UIN Sunan Ampel baik pusat maupun Pascasarajana dan mencari di perpsutakaan fakultas ushuluddin satu persatu, penulis tidak menemukan karya baik berupa skripsi, tesis, maupun desertasi yang membahas materi yang penulis kaji dalam tulisan ini. Penulis juga mencoba mencari di beberapa perpustakaan lain baik dalam maupun di luar kota tetapi penulis juga belum menemukan. Artinya, tidak ada karya yang secara mandiri membahas tentang materi hadis tentang kecenderungan pilihan Nabi SAW.

Karya-karya yang ada masih membaur dalam berbagai kajian baik di kitab-kitab tafsir, hadis, dan fiqih, masih ada dalam bentuk area yang sangat luas dan masih jauh dari apa yang dibahas dari penelitian ini, yang lebih fokus dan dikhususkan pada materi hadis tentang kecenderungan pilihan Nabi SAW dalam hal yang paling mudah.

I. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis atau


(22)

14

lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.11 Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan penelitian library research (penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:

a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:

1) Sunan Abi> Dawud. Kitab Hadis Nabawi karangan Ima>m Sulaima>n ibn al-Ash’ash ibn Ish}a>q ibn Bashi>r ibn Syida>d ibn Amr Azdi> al-Sijistani>.

b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelenkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:

1) ‘Au>n al-Ma’bu>d, Sharh} dari kitab Sunan Abi> Da>wud karangan Abi> al-T}ayyib Muhammad shamsh al-Haq al-‘Az}i>m a>ba>di>

11

Lexy J. Moleing, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 3.


(23)

15

2) Sah}i>h} Muslim, Vol 2, karya Muslim ibn H}ajj>aj Abu> H}asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri

3) Sah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2, karya ’Muhammad ibn Isma>’i>l Abu> Abdillah al-Ju’fi

4) Fath} al-Ba>ri> fi Sharh} Sah}i>h} al-Bukha>ri>, kitab syarah karangan Ibn H}ajr al-‘Asqola>ni>.

5) al-Muwat}t}a, Vol. 2, karya Imam Ma>lik ibn Anas

6) Musnad Ima>m Ah}mad ibn H}anbal, Vol. 6, karya Imam Ahmad ibn

Hanbal

7) Sharh} al-Muwat}t}a, karya Imam al-Zarqoni>

8) ‘Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-Hadi>th, karya A. J. Wensinck 9) Metodologi Rijalil Hadis, karya Suryadi

10)Metode Krtitik Hadis, Karya M. Abdurrahman dan Elam Sumarna 11)Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, karya Mahmud al-Thahan 12)Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis karya M. Zuhri 13)Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, Karya Umi

Sumbullah

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, skripsi, buku, dan sebagainya.12

12

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipa, 1996), 234.


(24)

16

4. Langkah-langkah Penelitian

Dalam penelitian hadis, diperoeh tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Takhri>j

Berdasarkan metode Takhri>j, peneliti berusaha menelusuri asal hadis secara lengkap, dari segi matan dan keadaan sanadnya dengan lengkap. Kegiatan dalam penelitian ini dengan melakukan penelusuran dari kata kunci dari sebagian matan hadis yang bisa dicari dengan Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>th karya A. J. Wensinck.13 Takhri>j al-H}adi>th ini merupakan suatu pekerjaan yang cukup melelahkan, karena jarus membongkar seluruh kitab hadis yang terkait. Jadi harus dihadapi dengan kesabaran, ketekunan dan kemauan yang keras. Tanpa ini, semua sulit dihasilkan dari yang diinginkan.

Adapun faedah dari takhri>j al-H}adi>th ini antara lain:

1) Akan dapat banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.

2) Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan. Makin banyaknya jalur periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya tanpa dukungan periwayatan lain, berarti keuatan periwayatan tidak bertambah.

3) Kekaburan suatu periwayatan dapat diperjelas dari periwayatan jalur isna>d yang lain, baik dari segi ra>wi>, isna>d maupun matn al-h{adith.

13


(25)

17

4) Dapat diketahui persamaan dan perbedaan atau wawasan yang lebih luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadis yang terkait.14 b. I‘tiba>r

I’tiba>r hadis dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, yaitu hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya seorang perawi saja.15 Kegiatan in dilakukan untuk mengetahui jalur-jalur sand-sanad hadis dari nama-nama perawi serta metode periwayatan yang dipakai oleh setiap perawi.

c. Penelitian Sanad

Setelah melakukan takhri>j dan ‘itibar, langkah selanjutnya adalah kritik sanad. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis itu sendiri.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode krtik sanad dengan pendekatan keilmuan Tari>kh al-Ruwa>h dan Jarh} wa al-Ta‘di>l.16

Peneliti berusaha mengetahui kualitas suatu hadis dengan memenuhi syarat tertentu sehingga bisa diterima atau ditolak. Jika suatu hadis memeiliki ketersambungan sanad antara peraw-perawinya, periwayatnya bersifat

14

Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), 107. 15

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan bintang, 1992), 51.

16


(26)

18

‘a>dil dan d}abit} serta terhindar dari shadh dan ‘illat, maka sanad hadis

tersebut sudah memenuhi syarat dan dapat diterima.

d. Penelitan Matan

Melalui penelitian matan, peneliti mengkaji dan menguji keabsahan matan hadis, dengan memastikan matan hadis tersebut sesuai atau bertentangan dengan ayat al-Quran, logika, sejarah, dan hadis yang bernilai sahih atau lebih kuat kualitasnya.

5. Metode Analisis Data

Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matn, maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-h}adi>th dan al-jarh} wa al-ta'di>l, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tahammul wa al-ada>' ). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang periwayat serta validitas pertemuan antara guru dan murid dalam periwayatan hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit Alquran, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis


(27)

19

lain yang bermutu s}ah}i>h} serta hal-hal yang diakui oleh masyarakat umum sebagai bagian dari integralitas ajaran Islam.17

Dalam hadis yang akan diteliti ini, pendekatan keeilmuan yang digunakan untuk analisis ini adalah ‘ilm al-ma’a>ni al-Hadi>th ynag digunakan dalam memahami arti ma’na yang terdapat dalam matan hadis. Sehingga dalam analisis ini akan diperoleh pemahaman suatu hadis yang komprehensif.

J. Sistematika Pembahasan

Sebuah karya ilmiah, agar mudah difahami oleh khlayak pembaca walaupun bukan bidang ahlinya. Maka dalam penyusunannya, penulis menbagi pembahasannya kedalam beberapa bab. Masing-masing bab memiliki sub bab memiliki sub bab tersendiri yang sistematis. Maka format pembahasan akan dijabarkan berdasarkan pokok-pokok bahasan sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab yang paling berisikan pendahuluan. Adapun sub bab-sub babnya, di antaranya, latar belakang, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian, kerangka teori, penegasan judul, kajian pustakam metode penelitina, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

Bab kedua, merupakan bab yang menerangkan landasan teori yang berfungsi sebagai pengantar pembaca dalam memahami beberapa terminologi yang sukar difahami atau asing bagi pembaca. Adapun susnan pada bab ini di

17


(28)

20

antaranya membahas mengenai persoalan duniawi dan ukhrawi dan yang tareakhir membahas sepuar hadis dan metode penelitiannya.

Bab ketiga, merupakan bab yang berisi data yang dibahas dalm skripsi ini. Adapun isi dari bab ini mengenai biografi Imam Abu Dawud, data hadis yang dibahas, takhri>j h}adi>th, skema sanad hadis dari masing-masing mukharrij

al-h}adi>th, I’tibar al-sanad (gabungan seluruh sanad hadis yang dibahas dari beberapa kitab hadis yang mencantumkan hadis tersebut), dan terakhir mengenai biografi perawi Sunan Abu Dawud.

Bab keempat, merupakan bab utama atau intisari dari skripsi ini yang menyertakan analisa dari seluruh pembahasan skripsi ini. Analisis pertama membahas analisis dari segi sanad yang menjelaskan kritik sanad dengan cara meneliti ke-muttas}il-an sanad, meneliti kredibilitas perawi hadis, meneliti ‘illat, meneliti kejanggalan dalam sanad. Kedua, menyertakan analisis dalam matan yang menelaah matan dari berbagai penelitiannya. Ketiga, menganalisa kandungan hadis sendiri dengan menyertakan sharah} dari matan hadis, penjelasan dari beberapa buku yang membahas hal yang serupa serta mencantumkan analisis pribadi.

Bab kelima, merupakan final dari pembahasan skripsi ini yang mencakup beberapa kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari beberapa rumusan masalah pada bab pendahuluan, dan yang terakhir, penulis menyertakan saran sebagai masukan dari pembaca agar penelitian ini dapat dikembangkan dan diteruskan atau lebih disempurnakan.


(29)

21

BAB II

PERSOALAN DUNIAWI DAN UKHRAWI SERTA HADIS

NABAWI

A.Kehidupan Duniawi dan Ukhrawi

1. Terjadinya Alam Dunia

Asal mula alam semesta, tentunya telah didiskusikan sejak sekian lama. Menurut sejumlah kosmologi awal dalam tradisi Hebron/Kristen/Islam, alam semesta berawal pada saat yang terhingga, pada waktu tidak begitu lampau di masa lalu. Satu alasan atas permulaan seperti itu adalah perasaan bahwa untuk menjelaskan tentang eksistensi alam semesta dieprlukan adanya penyebab pertama.1

Kosmologi, ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta secara keseluruhan, telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa bentuk: bersifat mitologi dan religious, mistis dan filosofis, bersifat astronomis. Orang-orang Babilon dan Mesir Kuno, yang membangun sistem mereka dari campuran mitos terletak di dasarnya. Gunung-gunung di penjuru bumi menopang langit yang ada di atasnya. Sungai Nil, yang mengalir di tengah-tenagh bumi, merupakan cabang dari sungai yang lebih besar yang mengalir di sekitar bumi. Di sungai ini berlayarlah perahu Dewa Matahari, yang melakukan perjalanan hariannya. Konsep Mesopotamia menganggap alam semesta

1

Stephen W. Hawking, Teori Segala Sesuatu:Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta,


(30)

22

berbentuk kubah yang berisi cakram datar bumi yang dikelilingi oleh air. Air juga membentuk langit di atas kubah; di tempat tersebut pula tinggal para dewa, matahari, dan benda-benda angkasa lainnya. Mereka muncul setiap hari dan mengatur segala yang terjadi di atas bumi. Lintasan mereka yang teratur di langit dipercaya dalam menentukan nasib manusia.2

Argumen lain dikemukakan oleh St. Augustine dalam bukunya, The City

of God. Ia menegaskan bahwa peradaban umat manusia mengalami kemajuan,

dan harus diingat siapa yang membuat segala sesuatu itu terjadi atau siapa yang membangun mekanisme tersebut. Dengan demikian, manusia, dan mungkin juga alam semesta tidak selamanya berada. Terlepas dari hal tersebut, manusia telah membuat cukup banyak kemajuan.3

St. Augustine menerima tahun 5.000 S.M sebagai hari penciptaan alam semesta sesuai dengan kitab Genesis (Kitab Kejadian). Ini menarik bahwa masa ini tidak begitu jauh dengan zaman es terakhir, sekitar 10.000 tahun sebelum masehi, ketika perdaban benar-benar dimulai. Aristoteles dan sebagian filsuf Yunani yang lain, sebaliknya, tidak suka dengan gagasan tentang penciptaan, sebab hal ini mejadi suatu kejadian yang terlalu melibatkan campur tangan Tuhan. Mereka telah memeprtimbangkan alasan tentang kemajuan yang dideskripsikan lebih awal, dan dijawab dengan mengatakan bahwa telah ada

2

Howard R. Turner, Sains Islam Yang mengagumkan: Sebuah Catatan Terhadap Abad

Pertengahan, Terj: Zulfahmi Andri, (Badnung: Nuansa, 2004), 47.

3


(31)

23

banjir secara periodik atau bencana lain yang secara periodik menyusun ulang peradaban manusia kembali pada awal peradaban.4

Ketika sebagian besar orang percaya pada alam semesta yang tidak berubah dan benar-benar statis, pertanyaan tentang apakah alam semesta itu mempunyai permulaan atau tidak, benar-benar menjadi sebuah pertanyaan metafisika atau teologi. Orang dapat memberikan penjelasan tentang apa yang telah diamati dari kedua cara. Apakah alam semesta disusun dalam proses yang berjalan pada saat yang terhingga, sehingga menjadi seperti orang memandangnya bahwa alam semesta ini telah ada selamanya. Namun pada tahun 1929, Edwin Huble melakukan sebuah observasi yang sangat penting bahwa dilihat dari sudur manapun, bintang yang jauh akan terlihat bergerak menjauh dengan kecepatan yang tinggi. Dengan kata lain, alam semesta ini mengembang, ini berarti bahwa pada awalnya benda-benda bersama-sama berada pada jarak yang sangat dekat. Dalam kenyataannya, tampak terdapat suatu masa sekitar sepuluh atau dua puluh milyar tahun yang lalu ketika benda-benda tersebut semuanya benar-benar berada pada suatu tempat.5

Penemuan ini akhirnya membawa pertanyaan tentang asal mula alam semesta ke dalam dunia sains. Obesrvasi yang dilakukan Hubbel menyatakan bahawa ada suatu saat yang dinamakan dentuman besar (Big Bang) ketika alam semesta berada dalam ukuran yang sangat kecil tidak terhingga dan pada kerapatan yang tidak terhingga. Jika terdapat kejadian-kejadian lebih awal dari pada saat dentuman besar itu, maka kejadian-kejadian itu tidak dapat

4

Ibid. 5


(32)

24

mempengaruhi apa yang telah terjadi pada saat ini. Keberadaannya tidak akan memilki konsekuensi-konsekuensi obsevasional.6

Sebagai gambaran, bahwa alam dunia (semesta) ini asalnya merupakan satu-kesatuan yang kemudian berpisah dengan terjadinya dentuman besar yang dinamakan oleh para kosmolog sebagai Big Bang. Teori yang sampai sekarang masih dipegang teguh oleh semua orang. Dengan demikian, penciptaan alam semesta ini membutuhkan suatu proses yang sangat lama hingga bisa menjadi seperti apa yang ditempati manusia sekarang ini.

2. Gambaran Kehidupan Dunia

Setelah membahas mengenai bagaimana bumi ini diciptakan dengan meggunakan pendekatan ilmu kosmologi dari cabang sains. Selanjutnya, akan terasa lebih lengkap dengan adanya pembahasan mengenai gambaran kehidupan di dunia ini melalui pendekatan Agama.

Adapun perumpaman kehidupan dunia sebagaimana yang digambarkan Allah dalam al-Quran Surat Yunus ayat 24, sebagai berikut:

                                                                            

Sesungguhnya permisalan kehidupan dunia ini tidak lebih seperti air yang kami turunkan dari langit, lalu ia bercampur dengan tetumbuhan yang kemudian dimakan oleh manusia dan hewan melata. Hingga apabila bumi itu telah semourna keindahannya, dan memakai perhiasannya dan pemilik-pemiliknua mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab

6


(33)

25

kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, sekan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kepada orang berfikir

.

Ayat ini menerangkan sifat kehidupan dunia dan perumpaman yang tepat ditinjau dari segi kefanaannya, seperti lenyapnya suatu harapan yang mulai timbul pada diri seseorang. Sifat dunia seperti ini disamakan dengan air hujan yang diturunkan Allah dari langit. Dengan adanya air, tumbuhlah beraneka macam tanaman dan tumbuhan, yang beraneka rupa dan berlainan rasa yang menjadi makanan bagi manusia dan binatang. Lalu permukaan bumi ditutupi oleh keindahan pemandangan dari pohon-pohon yang menghijau, yang dihiasi oleh bunga dan buah-buahan yang beraneka warna. Pada saat itu timbullah harapan dan dan cita-cita manusia yang mempunyai kebun itu, seandainya tumbuh-tumbuhan itu berbuah dan bisa dipetik di tengah harapan yang demikian datanglah malapetaka yang memusnahkan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan itu, sehingga bumi yang berhiaskan pohon yang beraneka warna itu tiba-tiba menjadi datar dan rata seakan-akan belum pernah ditumbuhi apapun. Pada saat itu, sirnalah harapan dan cita-cita itu sebagaimana kehidupan dan kesenangan duniawi yang dapat pula sirna seketika.7

Ini merupakan sebuah penggambaran kehidupan dunia yang hakiki tentang bagaimana kehidupan dunia yang fana ini sesungguhnya. Seperti itulah kehidupan dunia. Ketika manusia memiliki kenikmatannya, ia pun

7

Kementrian Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya, Vol 6 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 296.


(34)

26

lupa untuk melihat kenikmatan yang jauh lebih abadi, nikmat dan indah darinya.8

Para penempuh kehidupan dunia mengira bahwa kekuatan merekalah yang menyebabkan tetumbuhan itu tumbuh dan berbunga. Keinginan merekalah yang menyebabkan tetumbuhan itu berhias, dan merekalah yang mengatur itu semua tanpa ada satupun yang dapat mengubahnya.9

Lalu tiba-tiba, di tengah aroma kegembiraan itu, di sela ketenangan itu, di saat mereka larut dalam pendangan seperti itu, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab di waktu siang atau malam dan tanaman-tanaman itu dijadikan laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.10

Seperti itulah kehidupan dunia di mana banyak manusia tenggelam. Hingga mereka melalaikan akhirat hanya untuk mereguk sedikit bagian dari dunia itu. Kehidupan dunia yang fana inilah jika ditimbang dan nilainya di sisi Allah dianggap sama berharganya dengan sehelai sayap nyamuk. Maka tidak ada seorang kafirpun yang akan diberikan kesempatan untuk meminum seteguk air pun darinya.11

Kehidupan dunia beserta segala hal yang menggiurkan ini, merupakan perkara yang tidak abadi, berbeda dengan kehidupan di akhirat kelak. Maka

8 Amir Sa’id al

-Zaibary, Karena Dunia Ini Tak Abadi: Esai-esai Perenungan Untuk

Kembali ke Jalan Allah, terj: Abul Miqdad al-Madany (Jakarta: Dar Ibn Hazm, 2008), 2.

9 Ibid. 10

Ibid. 11


(35)

27

hendaknya bagi seorang muslim, untuk tidak menjadi hamba dari dunia yang fana ini, akan tetapi hendaknya ia menjadi tuan dari dunia itu sendiri. 3. Akhirat dan Seluk Beluknya

Perbedaan dunia dan akhirat, diantaranya, ditandai dengan waktu dan tempat berlangsungnya. Dari segi waktu, alam dunia adalah alam kehidupan yang terjadi lebih dahulu. Dalam istilah bahasa, kata dun-yan juga berarti dekat. Artinnya, kehidupan yang dekat yang sedang dialami manusia sekarang ini. Sedangkan akhirat adalah kehidupan yang terkahir atau lebih akhir dari pada dunia sekarang. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa kehidupan akhirtat memang adalah kehidupan yang finla, tidak ada lagi kehidupan sesudah itu.12

Secara terminologi waktu, Allah memang mengatakan bahwa manusia memang melewati beberapa tahapan kehidupan. Pertama, adalah suatu waktu ketika manusia belum berwujud apa-apa. Allah mengatakan sebagai bentuk yang belum bisa disebut. Boleh jadi, ini menunjuk kepada bahan-bahan dasar tubuh manusia di dalam tanah. Pada waktu itu, manusia memang belum ada bentuk sedikit pun. Seluruh bahan dasarnya tersebar di seantero permukaan bumi atau bahkan di udara bebas berupa gas. Kehidupan tahap pertama itu diakhiri saat sperma seorang laki-laki bertemu dengan ovum dari seseorang perempuan. Sejak terjdainya pembuahan itulah, maka proses penciptaan terjadi, dan sejak saat itu pula manusia memasuki kehidupan tahap kedua.13

12

Agus Mustofa, Ternyata Akhirat Tidak Kekal (Sidoarjo: Padma Padang Mahsyar, 2004), Cet V, 76.

13 Ibid.


(36)

28

Tahap kedua, dimulai dengan terjadinya pembuahan (yaitu bertemunya sperma sang ayah dengan ovum sang ibu), sampai terjadinya kelahiran seseorang manusia. Ini adalah ketika manusia berproses di dalam rahim. Saat itu Allah menciptakannya lewat proses kehamilan. Di sini Allah semakin banyak bercerita tentang proses penciptaan itu.14

Tahap ketiga, adalah kehidupan di alam dunia. Kehidupan ini didahului oleh kelahiran seorang bayi, dan diakhiri dengan kematiaannya. Inilah drama kehidupan manusia, di mana diharuskan melakukan berbagai kebajikan dan menjauhi maksiat. Segala apa yang dilakukan akan membawa dampak pada kehidupan berikutnya, yaitu alam akhirat.15 Setelah manusia meninggal dan dikubur, maka setelah terjadinya kiamat, manusia akan dibangkitkan kembali untuk menjalani proses kepada kehidupam akhirat.

Setelah manusia di bangkitkan kembali dari alam kubur masing-masing, mereka diperintahkan untuk menuju mahshar. Penderitaan dan kesusahan makin memuncak atas semua manusia yang menunggu di tempat perhentian

(mahshar) maka Rasulullah telah bersyafaat memohon dari Allah agar

berkenan memutuskan perkara hamba-hambanya serta melepaskan mereka dari keadaan yang kritis itu. Setelah itu, semua makhluk dibawa menghadap Allah, di antara mereka ada yang tidak dihisab sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang didahulukan masuk surga dan adapula yang dihisab secara ringan sekali, dan ada pula yang dihisab dengan amat teliti. Kemudian setiap orang

14

Ibid, 77. 15


(37)

29

akan menerima buku catatannya. Ada yang menerima dari sebelah kanan, ada yang dari sebelah kiri, dan ada yang dari belakang mereka.16

Sesudah itu mizan akan ditegakkan untuk menimbang semua amalan manusia. Segala kebajikan dan kejahatan ditimbang dengan seadil-adilnya. Siapa yang kebajikannya lebih berat dari kejahatannya, niscaya dia beruntung dan bahagia, siapa yang kejahatannya lebih berat dari keabajikannya, niscaya dia kecewa dan rugi.17

Selanjutnya s}ira>t} pun dibentangkan di atas jahannam lalu semua manusia diperintahkan untuk melintasinya. Diriwayatkan bahwa s}ira>t} itu lebih tajam dari pedang licin menggelincirkan. Manusia melaluinya bersama amalan masing-masing. Siapa yang sempurna imannya dan bersegera mengerjakan ketaatan kepada Allah, maka mudahlah ia melalui s}ira>t}.18

Manusia kemudian akan mengahampiri h}awd} Rasulullah SAW. Untuk meminum airnya yang akan menhilangkan segala haus dan dahaga. Air h}awd} itu lebih putih dari pada susu, lebih wangi dari pada kasturi dan lebih manis dari pada madu. Mengalir melalui dua saluran yang berasal dari telaga

kawshar. Panjang dan lebarnya sejauh perjalanan satu bulan, di sekitarnya

terdapat sejumlah bintang-bintang di langit, siapa yang meminum seteguk saja, maka ia tidak akan merasakan dahaga sama sekali sesudah itu.19

16Saifuddin, Memahami Hadis Eskatlogi Dalam Kitab Ja>mi’ al-T}urmu>dzi> (Yogyakarta:

Teras, 2008), 41.

17 Ibid, 41-42. 18 Ibid, 42. 19 Ibid.


(38)

30

Para ulama berbeda pendapat, apakah h}awd} itu sesudah s}ira>t dan sebelum masuk surga atau sebelum mi>za>n dan s}ira>t}. Semuanya adalah mungkin. 20 Namun, perbedaan ulama mengenai hal tersbut tidak menjadi sebuah persoalan yang continue dibahas.

B.Hadis dan Metode Penelitiannya

1. Klasifikasi Hadis

Hadis itu terdiri dari yang diterima dan yang ditolak. Ini merupakan pembagian hadis secara garis besar. Tetapi para ahli hadis membagi hadis dalam tiga bagian. Pertama, hadis s}ah}i>h}. Kedua, hadis h}asan. Ketiga, hadis d}a’i>f.. setiap hadis tidak bisa dikeluarkan dari pengelompokan tersebut.

Menurut pendapat pertama, hadis h}asan jelas termasuk salah satu kelompok dari kedua bagian tersebut. Adakalanya termasuk hadis s}ah}i>h} seperti yang dikutip oleh al-Dhahabi> dari Imam Bukhari dan Muslim, dan adaklanya pula termasuk hadis d}a’i>f yang tidak boleh diamalkan begitu saja, tetapi menurut Ahmad ibn Hanbal lebih layak untuk diamalkan daripada qiyas. Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, hadis h}asan adalah otonom yang tidak termasuk hadis s}ah}i>h}, dan tingkatan lebih tinggi daripada hadis d}a’I>f. 21

Untuk mempermudah pengenalan berbagai macam hadis dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya, maka secara garis besar, hadis diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas

20 Ibid.

21


(39)

31

periwayat dan klasifikasi hadis ditinjau dari segi kualitas periwayat.

a. Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas periwayat Ditinjau dari segi banyak sedikitnya (kuantitas) periwayat yang menjadi sumber berita, hadis dibagi menjadi dua macam yaitu:

1) Hadis Mutawa>tir

Ditinjau dari segi bahasa, mutawa>tir adalah isim Fa>’il yang diambil dari kata al-tawa>tur yang berarti al-tata>bu` (berturut-turut), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Lihya>ni>:

ةفطصم ئى َو صعب رثا هضعب ا اذا ئيش كو اطقلاو بَا تارتاوت

22

Sedangkan menurut istilah, hadis mutawatir adalah:

تخ َ نا ىلع هاهت م َا د سلا لوا نم مهلثم نع ب كلا ىلع م طاوت ةااعلا ي عَ هاور ام

د سلا تاقبط نم ةقبط يا عم ا ا

23

Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil mereka sepakat untuk berbohong, (diriwayatkan) dari periwayat yang banyak pula dari awal sanad hingga akhir sanad dalam semua tingkat

Hadis yang ternasuk kategori ini dikenakan persyaratan yang ketat. Menurut Ah}mad ‘Umar Ha>shim, bahwa hadis mutawatir harus meme uhi lima syarat yaitu dari segi sanad, periwayata harus berjumlah banyak, bersambung dan mustahil menurut akal berkolusi untuk berbuat dusta, sedangkan dari segi matan, harus hasil tangkapan panca indra seperti

22 Ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab, Vol 5 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 275.

23Muhammad ‘Ajjaj al-Khati>b, Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muhu wa must}alah}u>hu, (Beirut: Da>r


(40)

32

dilihat, didengar sendiri oleh periwayat, bukan melalui nalar akal.24

2) Hadis a>h}a>d

Kata A>h}a>d adalah jama’ dari kata ahad yang berarti satu atau tunggal.25 Menurut istilah, Hadis A>h}a>d adalah:

رثكا وا ادحاو يوارلا ناك اوس رتاوتما طورش هيف د وي َام

Hadis yang tidak ditemukan syarat-syarat hadis mutawatir, baik berupa periwayatnya satu orang atau lebih.26

Menurut jumhur ulama bahwa beramal dengan h}adi>th a>h}a>d adalah

wajib selama memenuhi ketentuan-ketentuan h{adi>th maqbu>l.27

b. Klasifikasi Hadis ditinjau dari Segi Kualitas Periwayat

Pada awalnya, hadis hanya dibagi dalam dua kategori yaitu hadis

maqbu>l, hadis yang diterima dapat dijadikan hujjah yakni hadis s}ah}i>h{ dan hadis Mardu>d, hadis yang ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah yakni hadis d}a’i>f. Pembagian hadis ditinjau dari segi kualitas periwayat, dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu hadis s}ah}i>h}, hadis h}asani dan hadis d}a’i>f. Hadis h}asan merupakan istilah yang baru dikenal dan sebagai pencetusnya yakni Imam al-Tirmi>dhi>.28

Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tingkatan hadis sebagai berikut:

24Ah}mad ‘Umar Ha>shim, Qawa>’id Us}u>l al-H}adi>th (Beirut: Da>r al-Kitab al-Arabi, 1984),

143.

25 Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th (Surabaya: Bungkul Indah, 1985), 22 26

Ha>shim, Qawa>’id, 153.

27

al-Khati>b, Ushu>l. 198.

28 Abu> `Abd al-Rahman S{ala>h Ibn Muh}ammad Ibn `Uwayd}ah, Ta`li>q Muqaddimah Ibn


(41)

33

1) Hadis S}ah}i>h}

S}ah}i>h} menurut bahasa adalah ضارمااو بويعلا نم ميلسلا yang berarti selamat dari berbagai cacat dan penyakit. Kata S}ah}i>h} juga telah menjadi kosa kata Bahasa Indonesia yang berarti sah, benar, sempurna dan tidak cacat.29 Menurut istilah, hadis S}ah}i>h} adalah:

نوكي َ و هاهت م َا باضلا لدعلا نع باضلا لدعلا ق ب هاا سا صتا ي لا د سما ييد ا

َلعم َو اذاش اثيدح

30

Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan d}a>bit} dari periwayat yang adil dan d}a>bit} pula (dari awal) hingga akhir sanad, tidak ada shahdh dan tidak ber-illat. Definisi hadis s}ah}i>h} di atas memberikan pengertian bahwa hadis

s}ah}i>h} harus memenuhi lima syarat, yaitu:

a) Sanad Muttas}il yakni sanadnya harus selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap periwayat dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.31

b) Periwayat yang adil, yang dimaksud dengan adil adalah konsistensi seorang periwayat dalam melakukan perintah Allah dan menjauhi larangannya dan konsisten untuk menjaga harga diri.32

c) Periwayat yang d}a>bit}, yang dimaksud adalah kuat ingatannya atau bagus catatnnya sehingga ia sanggup untuk menghadapkan

29 Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 849. 30 Muhammad Ibn Muhammad Abu> Shuhbah, al-Wasi>t} fi> `Ulu> m wa Mus}t} alah al-H{adi>th

(Kairo:Dar al-Fikr al-Arabi>, tt.), 225.

31 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits (Bandung: PT al-Ma’arif, 1995), 100 32 Ibid.


(42)

34

(manghadirkan) apa saja yang telah diterima dari gurunya, kapan dan di mana saja.33

d) Tidak ada shudhu>dh, yang dimaksud adalh kejanggalan yang terletak pada adanya perlawanan antara hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang maqbu>l (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang lebuh ra>jih} (kuat) dari padanya disebabkan dengan

adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan ke-

d}a>bit}

-an

periwayatnya atau adanya segi-segi

tarji>h}

yang lain.34

e) Tidak ada ‘illat, yang dimaksud dengan

‘illat adalah suatu sifat

yang samar yang dapat menodai dan membatalkan diterimanya

hadis.35

2) Hadis H}asan

Menurut bahasa, kata h}asan berasal dari kata h}asuna yah}sunu yang berarti bagus , baik. Sedangkan menurut istilah, hadis h}asan adalah:

ةلعلاو ذو شلا نم ملسو بضلا فيفخ لدع ق ب هد س صتا ي لا ييد ا

36

Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh beberapa periwayat adil yang kurang ke-d}a>bit}-annya dan selamat dari

sha>adhdh dan ‘illat.

Berdasarkan defnisi hadis hasan di atas ini, ternyata antara hadis

s}ah}i>h} dan hadis h}asan terdapat kesamaan dalam syarat-syaratnya, kecuali

33 Uwayd}ah, Ta`li>q, 18. 34 Rahman, Ikhtisar, 100. 35 Ibid.


(43)

35

syarat-syarat ke-d}a>bit}-an dalam hadis h}asan lebih ringan dibandingkan hadis s}ah}i>h}.

3) Hadis D}a’i>f

Pengertian hadis d|}a’i>f sebagaiberikut:

نس ا ييد ا تافص َ و حيحصلا ييد ا تافص هيف عمتج َ ييدح ك

37

Hadis yang di dalamnya tidak terdapat sifat-sifat hadis s}ah}i>h} dan

sifat-sifat hadis h}asan.

Mahmud Yunus dalam kiabnya ‘ilmu al-Must}alah} al-H}adi>th, memberikan pengertian hadis d}a’i>f sebagai hadis yang tidak bersambung sanadnya atau dalam sanadnya terdapat orang yang cacat, yang dimaksud dengan cacat adalah ra>wi> yang bukan islam, belum ba>ligh, berubah akalnya, tidak dikenal orang, buruk hafalannya, biasa lupa, suka menyamarkan nama ra>wi>, dituduh dusta, bersifat fa>siq, suka mngerjakan dosa, dan lain sebagainya.38

2. Kaidah Ke-s}ah}i>h}-an Hadis

Adapun kaidah ke-s}ah}i>h}-an hadis yaitu terletak pada sanad dan matan hadis, di mana keduanya merupaka dua bagian yang tidak terpisahkan. Mengenai penjelasannya, sebagai berikut:

a. Kaidah Ke-s}ah}i>h}-an Hadis pada Sanad 1) Sanadnya Bersambung

37 al-Khati>b, Us}u>l, 222.

38 Zainul Arifin, Ilmu Hadis: Historis dan Metodologis (Surabaya: al-Muna, 2012),


(44)

36

Adapun yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah bahwa setiap rawi yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.39

Adapun cara mengetahui sebuah hadis yang sanadnya bersambung atau tidak, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sperti berikut:

a) Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti. b) Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.

c) Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.

Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila: a) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqah(a>dil dand}a>bit})

b) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekta sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tah}ammul wa al-ada’ al-h}adi>th.40

2) Rawinya Bersifat A>dil

Seorang rawi bisa dikatakan adil menurut Ibnu Sam’ani, harus memenuhi empat kriteria sebagai berikut:

a) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan ma’siat

b) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.

39

al-T{ah}h}a>n, Taysi>r, 34.

40 Ibid.


(45)

37

c) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat merendahkan citra diri , membawa kesia-sian, dan menagkibatkan penyesalan. d) Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan

dengan syara.41

Sedangkan menurut al-Irsyad, adil adalah berpegang teguh pada pedoman dan adab-adab syara’. Adapun adil yang dikemukakan oleh al -Razi adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar menghindari kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menodai muru>’ah (kehormatan diri), seprti makan di jalan umum, buang air kecil di sembarang tempat, dan bersandu gurau secara berlebihan.42

Dengan demikian, sifat keadilan mencakup beberapa unsur penting berikut:

a) Islam. Periwayatan orang kafir tidak diterima. Sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya.

b) Mukallaf. Karenanya, periwayatan dari anak yang belum dewasa, menurut pendapat yang lebih s}ah{i>h}, tidak dapat diterima. Sebab ia belum terbatas dari kedustaan. Demikian pula periawayatan orang gila.

c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fa>siq dan mencacatkan kepribadian.43

41

Rahman, Ikhtisar, 119. 42

Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 9. 43


(46)

38

Perlu diketahui, bahwa keadilan dalam periwayatan hadis bersifat lebih umum daripada keadilan dalam persaksian. Dalam hal persaksian, dikatakan adil jika terdiri dari dua orang laki-laki yang merdeka. Sementara itu, dalam periwayatan hadis, cukup seorang perawi saja, baik laki-laki maupun perempuan, seorang budak ataupun merdeka.44 Hal ini sebagai penjelasan dan perbedaan mengenai ruang lingkuo adil dalam istilah hadis dan adil dalam hukum perdata atau pengadilan.

3) D}a>bit}

D}a>bit} adalah orang yang ingatannya kuat. Artinya, yang diingat lebih banyak dari pada yang dilupa, dan kualitasnya lebih besar daripada kesalahannya. Jika seseorang memiliki ingatan yang kuat sejak menerima sampai menyampaikan hadis kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan pun dan di manapun ia kehendaki, maka ia layak disebut d}a>bit} al-S}adr (memiliki hafalam hati yang kuat). Akan tetapi, apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatannya maka ia disebut sebagai oarng yang d}a>bit} al-Kitab (memiliki hafalam catatan yang kuat).45

D}a>bit} adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni: a) Tidak pelupa.

b) Hafal terhadap apa yang dikatakan kepada muridnya, bila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan, bila ia meriwayatkan dari kitabnya.

44

Rahman, Ikhtisar, 120. 45


(47)

39

c) Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan

mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.46

4) Tidak Memiliki ‘Illat

‘Illat adalah suatu penyakit yang dapat mencederai ke-s}ahi>h}-an hadis. Misalnya, meriwayatkan hadis secara muttas}il (bersambung)

terhadap hadis mursal (yang gugur seorang sahabat yang

meriwayatkannya), atau terhadap hadis munqati’i (yang gugur salah seorang perawinya), dan sebaliknya. Selain itu, yang dianggap ‘illat hadis adalah suatu sisipan yang terdapat pada matn hadis.47

5) Tidak Janggal

Kejanggalan suatu hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbu>l (orang yang dapat diterima periwayatnnya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang ra>jih}. Disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-d}a>bit}-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih}.48

b. Kaidah Ke-s}ah}i>h}-an Hadis pada Matan

Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matn al-H}adit>h}

menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan tersebut

46

Rahman, Ikhtisar, 122. 47

Dzulmani, Mengenal, 11. 48


(48)

40

diketahui kualitasnya. Ketentuan kulaitas ini adalah dalam hal Ke-s}ah}i>h}-an hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a’i>f-annya.49

Apabila merujuk pada definisi hadis s}ah}i>h} yang diajukan Ibnu

al-Shalah, maka Ke-s}ah}i>h}-an matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua kriteria, antara lain:

1) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (shadh)

2) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan (‘illah).50

Maka dalam penelitian matan hadis, dua unsur tersebut harus menjadi acuan utama tujuan dari penelitian.

Dalam prakteknya, Ulama hadis memang tidak memberikan ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena tampaknya, dengan keterikatan secara letterlik pada dua acuan di atas, akan menimbulkan beberapa kesulitan. Namun hal ini menjadi kerancuan juga apabila tidak ada kriteria yang lebih mendasar dalam memberikan gambaran bentuk matan yang terhindar dari shadh dan ‘illat. Dalam hal ini, Shaleh al-Din al-Adzlabi dalam kitabnya Manhaj Naqd al-Matn ‘inda al-‘Ulama> al

-H}adi>th al-Nabawi> mengemukakan kriteria yang menjadikan matn layak

untuk dikritik, antara lain:

1) Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan. 2) Rusaknya makna

3) Berlawanan dengan al-Quran yang tidak ada kemungkinan ta’wil padanya.

49

Syuhudi Ismail, Metodologi Peneltian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 123. 50


(49)

41

4) Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa nabi. 5) Sesuai dengan madhhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya. 6) Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak

mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang.

7) Mangandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil.51

Selanjutnya, agar kritik matan tersbut dapat menentukan akan kevaliditasan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu hadis, para ulama telah menentukan tolok ukur tersebut menjadi empat kategori, antara lain:

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran.

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat. 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah. 4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.52 3. Teori Ke-hujjah-an Hadis

Ke-hujjah-an hadis merupakan sesuatu yang terkait dengan hadis untuk

dijadikan pedoman dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hadis digunakan h}ujjah apabila telah memenuhi Ke-s}ah}i>h}-an hadis, yaitu berkenaan dengan sanad dan matan sebagaimana penjelasan sebelumnya.

51

Ibid, 127. 52


(50)

42

Sebagaimana dijelaskan, bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pembahasan yang seksama, khususnya hadis ah}ad, karena hadis tersebut tidak mencapai mutawattir.

Hadis ah}ad (hadis tidak mencapai derajat mutawatir) apabila dinilai dari segi kualitasnya terbagi menjadi, hadis sah}i>h}, hadis h}asan, dan hadis d}a’i>f.

Masing-masing dari tiga macam hadis tersebut mempunyai tingkat ke-hujjah-an masing-masing.

Sedangkan hadis dinilai dari kuantitasnya (jumlah periwayatnya) terbagi menjadi, hadis mashhu>r, hadis ‘azi>z, hadis ghari>b. Jumhur ulama sepakat bahwa hadis ah}ad yang thiqah adalah h}ujjah dan wajib diamalkan.

Kemudian untuk hadis h}asan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai h}ujjah. Sedangkan hadis d}a’i>f pada umumnya ulama menolaknya sebagai h}ujjah dan mereka juga sepakat melarang meriwayatkan hadis d}a’i>f yang maud}u’ tanpa menyebutkan ke-maud}u’-annya. Tetapi, jika hadis d}a’i>f itu bukan hadis maud}u’ maka masih diperselisihkan tentang boleh tidaknya diriwayatkan untuk ber-h}ujjah. Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:

a. Malarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadis d}a’i>f baik untuk menetapkan hukum maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu> Bakar Ibn al-‘Arabi>.


(51)

43

b. Membolehkan, meskipun sanadnya dilepaskan tanpa menkelaskan

faktor-faktor kelemahannya, unutuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan lain-lain yang bukan menetapkan syariah.53

Sehubungan hal di atas, hadis ahad ditnjau dari segi diterima dan tidaknya terbagi menjadi, hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis maqbul

Menurut bahasa, maqbul berarti yang diambil dan yang dibenarkan atau diterima (mushaddaq).54 Menurut istilah, yaitu hadis yang telah disempurnakan padanya sarat-sarat penerimaan.

Adapun syarat-syarat diterimanya suatu hadis manjadi suatu hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya (perawi adil dan dlabit), juga berkaitan dengan matannya (tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat). Dengan kata lain hadis maqbul adalah suatu keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda atau berbuat atau lainnya lebih berat daripada tidak adanya. Ada juga yang memberika pengertian bahwa hadis maqbul ialah hadis yang diterima dan menjadi hujjah untuk menempatkan hukum halal haram sesuatu, dan sebagainya karene memenuhi syarat.

Jenis-jenis hadis maqbul yaitu, hadis shahih li daztihi, hadis shahih li gahirihi, hadis hasan li daztihi. Adapun pembagian hadis maqbul di antara sebagai berikut:

53

Rahman, Ikhtisar, 229. 54


(52)

44

1) Hadis Maqbu>l Ma’mu>l bihi

a) Hadis muhkam, yaitu hadis tidak berlawanan dengan hasdis lain yang sama nilainya (sama kuat). Hadis muhkam tidak menerima ta’wil.

b) Mukhtalif al-H}adi>th yaitu hadis maqbul yang mempunyai mu’aridh (yang melawan) dan sama nilainya, tatpi dapat dikompromikan atau dapat dicocokkan.

c) Hadis nasikh, yaitu hadis maqbul yang berlawanan dan tidak dapat dikompromikan akan tetapi dapat diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian. Hadis yang dahulu dinamakan hadis mansukh. Dan yang datang disebut nasikh.

d) Hadis rajih, yaitu hadis maqbul yang berlawanan, tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat diketahui mana yang dahulu mana yang datang kemudian, maka diteliti mana yang lebub rajig atau kuat dan yang dipandang kuarng kuat disebut marjuh.55

2) Hadis Maqbu>l Ghairi Ma’mu>l bihi

a) Hadis mansukh, yaitu lawannya hadis nasikh b) Hadis marju>h}, yaitu lawan dari hadis rajah}.

c) Hadis Mutawaqquf fihi, yaitu hadis maqbul yang berlawanan, namun

tidak diperoleh keterangan mana yang ra>jih} mana yang marju>h}. Maka keduanya hadis itu untuk sementara waktu ditinggalkan sampai ditemukan mana yang lebih kuat atau yang lebih dahulu.56

55

Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 114-115. 56


(53)

45

b. Hadis Mardu>d

Kata mardu>d berasal dari kata radda-yaruddu-raddan secara bahasa berarti yang ditolak, yang tidak diterima, atau yang dibantah. Maka hadis

mardu>d menurut bahasa berarti hadis yang ditolak atau hadis yang dibantah.57

Sedangkan secara terminologis, hadis mardu>d adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbu>l. Adapun tidak terpenuhinya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan.58 4. Metode Penelitian Hadis

Penelitian hadis adalah sejumlah rangkaian penelitian terhadap hadis Nabi SAW. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian hadis ini telah disusun oleh ulama hadis kaedah-kaedahnya. Penelitian tersebut dilakukan atas obyek tersebut bersikan tentang dari mana sumber berita itu didapatkan dan isi berita itu dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Nama lain dari penelitian hadis adalah tah}qi>q al-h}adit>h atau Naqd al-H}adi>th.59

Istilah kritik jika ditinjuk asal muasalnya adalah berasal dari bahasa Yunani, krites artinya seorang Hakim, Krinein berarti menghakimi, Kriterion

berarti dasar penghakiman. Dalam istilah studi hadis, kritik dipakai untuk menunjuk kepada kata al-Naqd. Dalam literatur arab kata al-Naqd dipakai

untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk”. Kata

al-Naqd ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua

57

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 154. 58

Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 125. 59

Suryadi, Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), 5.


(54)

46

hijriyah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Naqd

identik dengan penelitian hadis baik dari sisi sanad maupun matan. Oleh karenanya ada yang menyebutkan bahwa penelitian hadis pada hakekatnya

Naqd al-H}adi>th atau jika diperinci menjadi Naqd al-Sanad dan Naqd

al-Matn.60

Penelitian hadis dalam kontek yang lebih luas perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang proporsional dalam konteks kekinian. Dalam konteks tersebutdapat pula diakses melalui kitab hadis yang ditulis ulama hadis

mutaqiddimi>n maupun muta’akhkhiri>n. Dalam hal ini banyak ragam dan bentuk kitab hadis yang dihasilkan. Berdasarkan sumber yang satu dan perkembangan zaman ternyata terdapat penyuguhan yang beragam dalam hasil kodifikasinya. Selain itu juga ditemukan tentang fenomena pemahaman di masyarakat. Dalam hal ini disebut dengan living hadis.61

Metodologi penelitian hadis diperlukan untuk memahami keberadaan suatu hadis. Metodologi digunakan untuk membedah keseluruhan dari tubuh hadis, mulai dari sanad hingga matan. Jika suatu hadis yang menjadi obyek peneitian itu dilihat dari segi kualitasnya, maka hadis tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu s}ah}i>h}, h}asa dan d}a’i>f. Jika hadis tersebut diteliti dari segi kuantitas rperawi, maka dapat disimpulkan hadis tersebut terbagi menjadi dua, yaitu ah}ad dan muatawa>tir.62

60

Ibid. 61

Alfatih Surayadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), 2. 62

Muhid, dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 3.


(1)

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Setelah melakukan penelitian terhadap matan dan sanad hadis, maka dapat disimpulkan, bahwa hadis riwayat ‘Aisyah yang di-takhrij oleh Imam Abu Dawud dengan no indeks 4775 ini berstatus s}ah}i>h} dan maqbu>l. Hal ini dapat dilihat dari segi sanad yang bersambung, kredibilitas perawi yang tidak diragukan lagi, matan yang tidak ada ‘illat dan kejanggalan dengan diperkuat adanya data hadis pada kitab s}ah}i>h} al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, al-Muwat}t}a Ima>m Ma>lik dan Musnad Ah}mad Ibn H}anbal sebagai Tawabi’ yang keseluruhannya berstatus s}ah}i>h} dan maqbu>l.

2. Takhyi>r yang dimaksud dalam hadis Sunan Abi Dawud no indeks 4775, yakni pilihan di antara dua pilihan duniawi dan yang paling mudah dijadikan sebagai pilihan, selama pilihan yang paling mudah ini tidak menjerumus kepada hal-hal yang berhubungan atau mengarah untuk berbuat dosa.

3. Alasan Rasulullah dalam memilih hal yang lebih mudah, yakni untuk menghindari dari kategori tabdzi>r. Mubaddzir dalam waktu yang digunakan, dalam sarana prasarana pendukung dan lain-lain.


(2)

123

B.Saran

Sebagai implikasi dari penelitian ini adalah upaya menigkatkan spiritualitas Islam melalui tradisi keilmuan sehingga membentuk kepribadian yang seimbang antara nilai ukhrawi dan duniawi. Kajian ini tentunya sangat jauh dari kategori sempurna, mengingat cakupan kadnungan hadis yang demikian luas. Hal ini menuntut penelitu selanjutnya untuk mengoptimalkan pembahasan inib dengan wacana selanjutnya sehingga semangat dan kemajuan keilmuan akan semakin berkembang, sehingga keberadaan akan saling melengkapi.

Pembahasan yang mungkin perlu diteliti oleh peneliti selanjutnya, bisa di bidang living hadis dengan berbagai pendekatan. Hal ini bertujuan agar karya ilmiah ini terus menerus semakin berkembang, baik dari segi khazanah

pembahasannya, atau dari segi sebagai dispilin karya ilmiah yang kedepannya bermanfaat bagi generasi selanjutnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. 2004. Pembakuan Redaksi. Yogyakarta: Teras

Abu> Shuhbah, Muhammad Ibn Muhammad. T.t. al-Wasi>t} fi> `Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>th. Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi>

Aceh, Abu Bakar. 1992. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo: CV. Ramadhani

‘Alimi, Ibnu Ahmad. 2008. Tokoh dan Ulama Hadis. Sidoarjo: Mashun

Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedia Islam, Jilid 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Amin, Mus}tafa. Ali al-Jarimi. 1961. Bala>ghohWad}>ih}ah}. Surabaya: al-Hidayah Anas, Imam Ma>lik ibn. T.t. al-Muwat}t}a, Vol. 2. Beirut: Da>r al-Kitab al-Ilmiyah Arifin, Zainul. 2012. Ilmu Hadis: Historis dan Metodologis. Surabaya: al-Muna ___________. 2010. Studi Kitab Hadis, cet II. Surabaya: al-Muna

Arikunto, Suharsini. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Assa’idi, Sa’dullah. 1996. Hadis-hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

‘Asqala>ni, Al-H}a>fiz} shiha>b Di>n ah}mad ibn ‘Ali> ibn H}ajar. 1995. Tahdhi>b al-Tahdhi>b. Beirut: Da>r al-Fikr

Bustamin, M. Isa H A Salam. 2004. Metodologi Kritik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1988. Kams Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


(4)

125

Fatah, Abdul. 1995. Kehidupan Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi. Jakarta: Rineka Cipta

Farid, Ahmad. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf, terj: Masturi Ilham (Jakarta: Pustaka al-Kautsar

H}anbal, Ahmad ibn. T.t. Musnad Ima>m Ah}mad bin H}anbal, Vol. 6. Beirut: Da>r al-Fikr

Al-Hanbali, Ibnu Rajab. 2012. Zuhud Dunia Cinta Akhirat: Sikap Hidup Para Nabi dan Orang-orang shalih. terj: Abu Umar Basyir al-Maidani. Surakakrta: al-Qowam

Ha>shim, Ah}mad ‘Umar. 1984. Qawa>’id Us}u>l H}adi>th. Beirut: Da>r Kitab al-‘Arabi>

Hawking, Stephen W. 2007. Teori Segala Sesuatu:Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta, terj: Ikhlasul Ardi Nugroho. Yogyakarta: Pustaka Peajar. Cet III

Ismail, M. Syuhudi. 1994. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah

Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Binntang

________________. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: PT. Bulan Bintang

________________. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang

al-Ju’fi, ’Muhammad ibn Isma>’i>l Abu> Abdillah. 2012. Sah}i>h} al-Bukha>ri>, Vol. 2. Kairo: Da>r al-Taufiqiyyah

Kementrian Agama RI. 2011. al-Quran dan Tafsirnya, Vol 6. Jakarta: Widya Cahaya

al-Khati>b, Muhammad ‘Ajjaj. 2011. Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muhu wa must}alah}u>hu. Beirut: Da>r al-Fikr


(5)

126

M Abdurrahman, Elan Sumarna. 2011. Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Manz}ur, Ibn. 1990. Lisa>n al-‘Arab, Vol 5. Beirut: Da>r al-Fikr

al-Mazzi, Al-h}afiz} Jama>l al-Di>n Abi> al-H}ajja>j Yu>suf. 1994. Tahdhi>b al-Kama>l fi> Asma> al-Rija>l, Vol 8. Beirut: Da>r al-Fikr

Moleing, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Muhid, dkk. 2013. Metodologi Penelitian Hadis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

Mustofa, Agus. 2004. Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Sidoarjo: Padma Padang Mahsyar. Cet V

al-Naysa>bu>ri, Muslim ibn al-H}ajj>aj Abu> al-H}asan al-Qushayri>. 2005. Sah}i>h} Muslim, Vol 2. Beirut: Da>r al-Fikr

Poerwadarminta. 1993. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Qardawi, Yusuf. T.t. Studi Kritis as-Sunnah, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: trigenda Karya

Rahman, Fatchur. 1995. Ikhtisar Musthalah al-Hadits. Bandung: PT al-Ma’arif Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia

Saifuddin. 2008. Memahami Hadis Eskatlogi Dalam Kitab Ja>mi’ al-T}urmu>dzi>. Yogyakarta: Teras

ash-Shalih, Subhi. 2009. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus as-Siddieqy, M. Hasbi.1987. Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang __________________. 2009. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis (Semarang:


(6)

127

Sijistani>, Sulaima>n ibn Ash’ash ibn Isha>q ibn Bashi>r ibn Shida>d ibn Amr al-Azdi. 1999. Sunan Abi> Da>wud, Vol 4. Kairo: Da>r al-H}adi>th

Sulaiman, Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press

Sumbullah, Umi. 2008. Hadis: Pendekatan Historis metodoligis. Malang: UIN Malang Press

Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press

Suryadi, Muhammad Alfatih Suryadilaga. 2009. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras

Surayadilaga, Muhammad Alfatih. 2009. Aplikasi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras

Sobari. 1988. Konsepsi Islam. Yogayakarta: Pustaka Pelajar

al-T{ah}h}a>n, Mah}mu>d. 1985. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>th. Surabaya: Bungkul Indah Turner, Howard. R. 2004. Sains Islam Yang mengagumkan: Sebuah Catatan

Terhadap Abad Pertengahan, terj: Zulfahmi Andri. Bandung: Nuansa

Uwayd}ah, Abu> ‘Abd al-Rah}man S{ala>h Ibn Muh}ammad Ibn. 2006. Ta`li>q Muqaddimah Ibn S{ala>h fi> Ulu>m H{adi>th. Beirut: Da>r Kutub al-Ilmiyah

Wensinck, Arnold Jon. 1962. Mu’jam al-Mufahras li alfa>z} al-H}adi>th al-Nabawi>, Vol. 2. Leiden: EJ. Brill

al-Zaibary, Amir Sa’id. 2008. Karena Dunia Ini Tak Abadi: Esai-esai Perenungan Untuk Kembali ke Jalan Allah, terj: Abul Miqdad al-Madany. Jakarta: Da>r Ibn H}azm