PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI CALON ANGGOTA LEGISLATIF YANG MELAKUKAN POLITIK UANG (MONEY POLITIC) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM (Studi Putusan No. 34/pid.B/2014/PN.LW)
ABSTRAK
PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI CALON ANGGOTA LEGISLATIF YANG MELAKUKAN POLITIK UANG (MONEY
POLITIC) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM
(Studi Putusan No. 34/pid.B/2014/PN.LW)
Oleh
DICO PRIMANTARA MARGA PUTRA
Indonesia sebagai negara demokratis yang dicirikan dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang relatif adil dan adanya ruang yang lebih terbuka bagi warga negara yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pelaksanaan demokrasi selalu dikotori dengan cara-cara yang tidak baik salah satunya adalah politik uang (money politic). Pelakunya perlu dilakukan penerapan sanksi pidana. Dalam penelitian ini perlu dirumuskan permasalahan bagaimana proses penerapan sanksi pidananya dan apa saja faktor penghambat dalam penerapan kasus semacam ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian diolah dan diadakan analisis secara kualitatif.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang yang diatur dalam Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada hanya saja sanksi yang diberikan kepada Efan Taulani masih kurang berat yakni terdakwa dikenai sanksi dengan pidana penjara 4 bulan dan menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila di kemudian hari terdapat perintah lain dalam putusan majelis hakim karena terdakwa telah melakukkan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.6.000.000,00. Seharusnya terdakwa dapat dikenai sanksi yang lebih berat sebagaimana tercantum dalam isi Pasal 301 Ayat (1). Sedangkan faktor penghambat yang
(2)
paling mempengaruhi dalam penerapan sanksi pidana terhadap anggota legislatif yang melakukan politik uang adalah faktor masyarakat. Faktor masyarakat sangat mempengaruhi dalam proses penegakan hukum politik uang karena masyarakat dapat menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang telah terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka, selama ini kebanyakan masyarakat menganggap bahwa politik uang menguntungkan bagi mereka,sehingga masyarakat yang sebenarnya adalah korban enggan melaporkan tindakan politik uang. Penegakan hukum sebagai proses sosial bukan merupakan proses yang tertutup, melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu penegakan hukum akan berinteraksi dengan lingkungannya dengan unsur-unsur yaitu manusia, sosial, budaya, politik, dan lainnya.
Dalam penerapan sanksi pidana kasus politik uang (money politic) ini, seharusnya terdakwa dikenai sanksi hukum yang lebih berat dan benar-benar sesuai dengan isi Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku money poltic. Perlu adanya kasadaran dari seluruh lapisan masyarakat, jika ada kasus politik uang (money poltic) sebaiknya masyarakat melaporkan kepada aparat kepolisian.
Kata kunci : Penerapan, Calon, Politik Uang, Undang-Undang.
(3)
iii iv ABSTRACT
APPLICATION OF CRIMINAL SANCTIONS FOR PROSPECTIVE MEMBERS LEGISLATIVE POLITICAL WILL TAKE MONEY
UNDER THE LAW NO. 8 IN 2012 ON ELECTORAL (Studi Putusan No. 34/pid.B/2014/PN.LW)
By
DICO PRIMANTARA MARGA PUTRA
Indonesia uses a democratic political system characterized by the implementation of a relatively fair elections, and the presence of more open space for citizens who have different political views. Elections is an important instrument in the system of representative democracy embrace. Implementation of democracy is always littered with ways that are not either one of them is money politics. Money politic is defined as a form of gift or promise bribe someone good that the man did not exercise their right to vote and that he may exercise this right in a particular way at the time of elections. In the case of money politics of this kind need to know how to process the application of criminal sanctions and what are the factors inhibiting the adoption of such cases.
The method used in this study is the juridical approach to normative and empirical. As for the sources and types of data are primary data obtained from field studies, this data was obtained by interviewing law enforcement officials, and academics related to the application of criminal sanctions for legislative candidates who do the politics of money. While secondary data obtained from the literature. The data obtained is then processed by examining and correcting the data, then the data is processed and held a qualitative analysis.
Based on research that has been done it is known that the application of criminal sanctions against legislative candidates who do political money stipulated in Article 301 Paragraph (1) of the Act. No. 8 of 2012 on the general election members of the House of Representatives, Regional Representatives Council, and the House of Representatives has been run in accordance with the provisions exist only sanction given to Efan Taulani still less severe sanction the defendant to imprisonment for 4 months and set of imprisonment is not necessary unless undertaken in the future there are other commands in the decision of the judges because the defendant has melakukkan a criminal offense before the trial
(4)
i iv
period ends for 6 months and impose a fine of 6 million dollars. Supposedly the defendant may be subject to more severe sanctions as stated in the content of Article 301 Paragraph (1). While the factors that most affect the application of criminal sanctions against legislators who do politics society money is a factor. Community factors greatly influence the political process of law enforcement money because people can judge good or bad an action that has occurred in their neighborhood, so far most people assume that money politics favorable to them, so that people who are victims reluctant to report political action money. The rule of law as a social process is not a closed process, but a process that involves the environment. Therefore, law enforcement will interact with its environment with elements that the human, social, cultural, political, and others.
Dalam penerapan sanksi pidana kasus maney politic ini, seharusnya terdakwa dikenai sanksi hukum yang lebih berat dan benar-benar sesuai dengan isi Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku money poltic. Perlu adanya kasadaran dari seluruh lapisan masyarakat, jika ada kasus kasus money poltic sebaiknya masyarakat melaporkan kepada pihak yang berwajib, karena faktanya dalam kasus ini masyarakatlah yang nantinya menjadi korban.
Key Word : Application, Members, Money Politic, Under The Law
(5)
PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI CALON ANGGOTA LEGISLATIF YANG MELAKUKAN POLITIK UANG (MONEY POLITIC)
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM (Studi Putusan No. 34/pid.B/2014/PN.LW)
Oleh
DICO PRIMANTARA MARGA PUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
(6)
(7)
(8)
(9)
RIWAYAT HIDUP
Penulisdilahirkan di Desa MerakbatinKecamatan Natar, Lampung Selatan sebagai anak kedua dari empat bersaudara daripasanganBapakHerman SyarifdanIbuYurita Sari.
Jenjang pendidikan penulis dimulai dari pendidikan Taman Kanak-Kanak Darma Wanita Natar pada tahun 1997. Kemudian masuk ke sekolah dasar (SD) pada tahun 1998 di SD Negeri 7Merakbatin Natar, Lampung Selatan dan diselesaikan padatahun 2004. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan ke SekolahMenengahPertama (SMP) di SMP Negeri1Natar, Lampung Selatan yang diselesaikan padatahun 2007 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SekolahMenengahAtas (SMA) di SMA Negeri 1Natar, Lampung Selatan dan diselesaikan tahun 2010. Tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur PKAB.
(10)
x MOTO
“Lebih baik berdiam diri dari pada bicara tanpa arti sedikit bicara namun berarti” (Dico Primantara Marga Putra)
“Jadilah lilin yang terbakar habis untuk menerangi kegelapan” (Johan Azis)
“Manusia yang paling tinggi kedudukanya adalah mereka yang tidak melihat kedudukan dirinya, dan manusia yang paling banyak memiliki kelebihan adalah
mereka yang tidak melihat kelebihan dirinya.” (Imam Syafi’i)
“Jangan kecewa apabila hasil yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan, percaya bahwa semuanya adalah kesuksesan, bukan kegagalan.”
(11)
ix
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan dan segala kerendahan hati serta rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kasih sayang dan segala nikmat-Nya,
kupersembahkan karya kecil ini kepada:
Kedua Orangtuaku Tercinta
“AYAH dan IBU tersayang yang selalu memberiku cinta, kasih sayang, semangat, pengorbanan dan selalu menyebut namaku dalam setiap bait do’a
yang mereka panjatkan untuk kelancaran dan keberhasilanku”
Kakak dan Adikku Tersayang
“Resefa Getri Mantarisa, Augia Mantafani, Naraike Aurel Mantasaina yang selalu memberiku semangat, dorongan, perhatian, dan kebahagiaan
kepadaku sehingga hari-hari yang berat terlewati”
Someone, that I Love
“Lidya Permata Dewi yang selalu memberikan semangat, pengertian, perhatian, pengorbanan, cinta dan kasih sayang, sehingga karya kecil ini
dapat terselesaikan dengan lancar”
Serta
(12)
xii
SANWANCANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selalu tulus mendukung, membantu, membimbing dan mendoakan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang penuh kesabaran memberikan bimbingan motivasi, saran, dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku pembimbing II atas kesediaannya yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini.
6. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. selaku pembahas I atas masukan dan saran yang diberikan dalam penulisan ini.
(13)
xii
7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku pembahas II yang memberikan waktu dan kritikan dalam penulisan ini.
8. Bapak Elman Eddy Patra, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Unuversitas Lampung.
9. Seluruh dosen dan staff fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberi bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
10. Kedua orangtuaku, atas segala pengorbanan, kesabaran, kasih sayang, dan doa tulus selama ini sehingga mendapat yang terbaik dalam hidup ini. Kasih sayang yang hangat, cinta dan perhatian yang mengalir tiada hentinya adalah motivasi bagiku.
11. Untuk Lidya Permata Dewi terima kasih atas doa, semangat keringat dan dukungannya sehingga hari-hari yang berat dapat terlewati.
12. Teman-teman seperjuangan ku Hukum Pidana 2010 khusus Lukman, Eric, Johan, Vian, Wahyu, Ardi, Bery, Rizki, dan Rendi. Serta semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua kenangan terindah dan cerita perjuangan selama di bangku kuliah.
Semoga Allah memberikan balasan yang lebih besar atas semua bantuan kalian. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Bandar Lampung, Februari 2015 Penulis
(14)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT. yang senantiasa memberikan nikmat iman dan menganugerahkan rahmat, kasih sayang dan ilmu pengetahuan kepada manusia. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Calon Anggoata Legislatif yang Melakukan Politik Uang (Money Politic) Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum (Studi Putusan No.34/pid.B/2014/PN.LW)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk mendapat gelar Sarjana Hukum dari Universitas Lampung.
Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kelemahan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap kelanjutan dan hasil yang akan dicapai. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, Februari 2015 Penulis,
(15)
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 14
B.Pengertian Pidana Penjara ... 21
C.Pengertian Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana ... 23
D.Pengertian Putusan Hakim ... 27
E. Pengertian dan Dasar Hukum Politik Uang (Money Politic) ... 29
F. Bentuk-bentuk Politik Uang (Money Politic) ... 33
III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah... 37
B.Sumber dan Jenis Data ... 38
C.Penentuan Narasumber ... 39
D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39
E. Analisis Data ... 41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden ... 42
(16)
C.Penerapan Sanksi Pidana Bagi Calon Anggota Legislatif yang Melakukan Politik Uang (Money Politic) ... 49 D.Faktor-faktor Penghambat Penerapan Sanksi Pidana Bagi Calon Anggota Legislatif yang Melakukan Politik Uang (Money Politic) ... 57
V. PENUTUP
A.Simpulan ... 63 B.Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(17)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat.1 Sudah semestinya, bahwa insan akademis sangatlah wajib dan berhak ikut serta dalam suksesnya kehidupan berdemokrasi dan berpolitik yang sehat demi terealisasinya tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk mencegah kebiasaan-kebiasaan buruk yang notabene telah terlanjur dianggap baik oleh sebagian kalangan. Dengan runtuhnya rezim orde baru Suharto yang otoriter pada 21 Mei 1998, Indonesia bergerak menuju sistem politik yang demokratis yang dicirikan dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang relatif adil, dan adanya ruang yang lebih terbuka bagi warga negara yang memiliki pandangan politik yang berbeda.2
Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus” yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan, mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok
1
Mahfud, MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999, Hlm. 25.
2
(18)
2
yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol).
Pelaksanaan demokrasi selalu dikotori dengan cara-cara yang tidak baik. Money politic kini tidak hanya terjadi di tingkat pemerintahan pusat, tapi sudah sampai di pelosok daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Sudah tidak asing memang, bahkan pelakunya tidak lagi sembunyi-sembunyi tapi sudah berani terang-terangan. Baik lewat sumbangan sarana prasarana, perbaikan jalan, renovasi sarana sosial, sampai masing-masing individu menerima uang “panas”, dengan syarat memberikan suaranya pada ajang pemilihan dan pemungutan suara.
Secara umum politik uang (money politic) didefinisikan sebagai suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan. Money politic muncul karena adanya hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politisi, atau perantara) dan korban (rakyat). Keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme money politic. Bagi politisi, money politic merupakan media instan yang dengan cara itu suara konstituen dapat dibeli. Sebaliknya, bagi rakyat, money politic ibarat bonus 2
(19)
3
rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingkan dengan program-program yang dijanjikan.3
Kasus politik uang ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, contohnya kasus yang terjadi di wilayah Liwa, Lampung Barat. Dalam contoh kasus ini seorang calon anggota legislatif terindikasi melakukan tindak pidana money politic karena telah membagikan uang sebesar 50 ribu rupiah kepada peserta pemilu langsung dengan tujuan agar orang tersebut memberikan hak suaranya dalam pemilihan legislatif. Dalam kasus ini “jaksa menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana penjara selama 6 bulan dan masa percobaan 9 bulan dan denda 10 juta (sepuluh juta rupiah) sub. 3 (tiga) bulan kurungan” berdasarkan “Pasal 89 Jo. Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 08 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Liwa telah menjatuhkan putusan pada tanggal 06 Maret 2014 yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja memberikan uang sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung untuk memilih calon angggota DPRD Provinsi tertentu”.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
3
Ismawan, Indra. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta: Media Presindo. 1999, Hlm. 35.
(20)
4
3. Menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila di kemudian hari terdapat perintah lain dalam putusan majelis Hakim karena terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir.
4. Menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa sebesar 6 juta rupiah.
5. Menetapkan apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa maka diganti dengan pidana kurungan 3 (tiga) bulan.
Berdasarkan hasil putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Liwa, penulis melakukan penelitian mengenai penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang untuk mengetahui apakah hasil putusan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic) ?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic)?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam skripsi ini meembahas penerapan sanksi pidana sehubungan dengan perkara tindak pidana calon anggota legislatif yang melakukan politik uang studi kasus Pengadilan Negeri Liwa (Putusan No.
(21)
5
34/pid.B/2014/PN.LW ). Kasus money poltic ini terjadi di daerah Liwa Lampung Barat, pada hari Sabtu tanggal 25 Januari 2014 sekitar jam 22.00 WIB dengan tersangka Efan Tolami.
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan saksi pidana bagi calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic) studi kasus Pengadilan Negeri Liwa ( Putusan No. 34/pid.B/2014/PN.LW ).
b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan sanksi pidana bagi calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic).
2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Secara Teoritis
Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek hukum pidana tentang politik uang (money politic).
b. Kegunaan Secara Praktis
Sebagai sarana bagi penulis untuk memperdalam ilmu hukum pidana dan memberikan kontribusi atau masukan sebagai bahan pemikiran bagi pihak pihak yang memerlukan,khususnya yang berkaitan dengan penerapan saksi pidana terhadap pelaku politik uang (money politic).
(22)
6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abtraksi dari hasil pemikiran atau krangka acuan yang pada dasarnya untuk melaksanakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti.4
Istilah politik uang (money politic) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara. Ketidakjelasan definisi money politic ini menjadikan proses hukum terkadang sulit menjangkau.5
Dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman harus dijatuhkan.
4
Soekanto, Soerjono. Metode penelitian sosial. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1986. Hlm. 125. 5
Alexander and Herbert E. 2003. Financing Politics, Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara Langsung, Pengalaman Amerika Serikat, (Terj). Yogyakarta: Narasi. Hlm. 29.
(23)
7
Utrecht mengemukakan:
“Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan (demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis (De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ). Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro
apakah hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang dipertimbangkan secara primer (pokok)”.6
Kant menambahkan:
“Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat di dalam apa yang disebut
kategorishen imperatif menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus
dikesampingkan”.7
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi
6
Utrecht, E. 1995. Hukum Pidana I (Jakarta: Pustaka Tinta Masyarakat), Hlm. 159-160. 7
(24)
8
perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.8
c. Teori Gabungan / Modern ( Verenigings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut dan teori retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologis dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Teori ini diperkenalkan oIeh Prins, Van Hammel, Van List, dengan pandangan sebagai berikut:
1) Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
2) Ilmu hukum pidana dan dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.
3) Pidana ialah satu yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.9
Penerapan sanksi hukum dalam hukum pidana berarti penetapan sanksi hukum (hukuman) kepada seseorang. Permasalahan pertama dalam skripsi ini terfokus pada masalah ide-ide dasar dalam menerapkan jenis dan bentuk yaitu berupa sanksi pidana atau sanksi tindakan. Kebijakan legislasi khususnya menyangkut penerapan sanksi dalam hukum pidana merupakan bagian terpenting karena keberadaannnya dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana, tidak terkecuali dalam
8
P.A.F Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 25. 9
(25)
9
tindakan money politic yang dilakukan oleh anggota legislatif. Tindak pidana money poltic ini dikenakan Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum (PEMILU) yang berisi:
(1) Setiap pelaksana kampanye pemilu yang dengan sengaja menjajikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.
Masalah kedua, dalam usaha penerapan sanksi pidana terhadap tindakan politik uang (money politic) yang dilakukan anggota legislatif terdapat beberapa faktor penghambat tersebut sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri.
b. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau faktor fasilitas pendukung, yakni faktor yang mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan di terapkan.
e. Faktor kebudayaan,yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karya manusia dalam pergaulan hidup.
Selain itu, penulis menggunakan teori yang diambil dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Faktor yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara terhadap terdakwa Ir. Evan
(26)
10
Taulami, MAP dalam perkara nomor: 34/pid.B/2014/PN.LW. dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain faktor latar belakang, faktor perbuatan yang dilakukannya, dan saksi-saksi serta alat bukti di persidangan. Mengenai putusan dipertegas juga dalam Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 50 Ayat (1) tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan hakim mempunyai kekuasaan sepenuhnya dan kebebasan untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa.10 Hakim dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk melaksanakan putusan tidak ada tekanan dari pihak manapun tidak terikat oleh lembaga manapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 50 Ayat (1) tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.11
2. Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.12
Pada penelitian ini dijelaskan pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga mempunyai batasan tepat dalam penafsiran beberapa istilah,
10
Undang-Undang Dasar )Pasal 25 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 50 Ayat (1).
11
Pasal 28 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 50 Ayat (1).
12
(27)
11
hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian. Istilah-istilah yang digunakan dalam skripsi ini adalah :
a) Money Politic
Istilah politik uang (money politic) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara. Ketidakjelasan definisi money politic ini menjadikan proses hukum terkadang sulit menjangkau.13
b) Penerapan
Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu.14
c) Sanksi pidana
Sanksi pidana adalah suatu hukum sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan meemperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib.15
d) Calon Anggota Legislatif
Secara umum calon anggota legislatif ialah orang-orang yang berdasarkan pertimbangan, aspirasi, kemampuan atau adanya dukungan masyarakat, dan dinyatakan telah memenuhi syarat oleh peraturan diajukan partai untuk menjadi
13
Alexander and Herbert E. 2003. Financing Politics, Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara
Langsung. Pengalaman Amerika Serikat, (Terj). Yogyakarta: Narasi. Hlm. 45.
14
http://id.wikipedia.org/wiki/penerapan, Akses Tanggal 12 Agustus 2014. 15
Khusnul, Khasanah. Mediapusat.com/Pengertian Sanksi Pidana. Akses Tanggal 12 Agustus 2014.
(28)
12
anggota legislatif (DPR) dengan mengikuti pemilihan umum yang sebelumnya ditetapkan KPU sebagai calon anggota legislatif tetap.16
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan maka sistematika penulisan terdiri dari :
I. PENDAHULUAN
Bab ini, penulis mengemukakan latar belakang dan pokok permasalahan dari skripsi yang akan dibahas, tujuan penelitian, metode pengumpulan data, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan skripsi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini, penulis mencoba menelusuri berbagai acuan yang berkaitan dengan materi pokok skripsi ini berupa; definisi, ketentuan, peraturan, dan perundang-undangan yang berlaku, serta pendapat hukum dari beberapa ahli.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan uraian tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, cara penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data. Dari proses pengolahan data, kemudian diuraikan dengan melakukan analisis data.
16
(29)
13
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan. Adapun pembahasan yang dimaksud adalah penerapan sanksi pidana bagi calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic) studi kasus Pengadilan Negeri Liwa (putusan No.34/pid.B/2014/PN.LW).
V. PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu serta berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
(30)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan 1. Pidana dan Pemidanaan
Menurut Van Bemmelen arti Pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah:
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh Negara”. 1
Menurut Simons, pidana atau straf adalah:
“Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”. 2
Dari dua rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno ialah sebagai berikut: a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
1
P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1984. Hlm. 47. 2 Ibid., Hlm. 48.
(31)
15
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.3
Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Muladi, perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman yang dapat diartikan sebagai berikut:
“Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim”.4
Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Utrecht dan Kant. Mereka menganggap bahwa hukuman itu adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan tetapi hukuman harus dijatuhkan.
Utrecht mengemukakan:
3
Dwidja, Priyatno. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia ( Bandung: PT. Relika Aditomo, 2006), Hlm. 27.
4
Muladi dan Barda Nawawi arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni.Bandung. Hlm. 33.
(32)
16
“Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan (demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis (De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ). Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro apakah hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang dipertimbangkan secara primer (pokok)”.5
Kant menambahkan:
“Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat didalam apa yang disebut kategorishen imperatif menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan”. 6
Teori tersebut di atas, nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Sajalan dengan itu, Polak menjelaskan bahwa: “ Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat esse malos)”.7
Selanjutnya Polak8 menambahkan bahwa pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat: 1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif.
2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.
5 Utrecht, E. 1995. Hukum Pidana I (Jakarta: Pustaka Tinta Masyarakat), Hlm. 159-160.
6
Op.Cit. Hlm. 33.
7
Andi, Hamzah. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Press), Hlm. 32.
8
(33)
17
3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya hukuman itu tidak lain kerana kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.9
Menurut Feurbach dalam bukunya (Iehrbuch des peinlichen Rechts 1801) bahwa yang dimaksud teori paksaan psikologis ancaman pidana bekerja sebagai
9
(34)
18
ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti untuk meIakukan delik”.10
Tentang kejahatan, Hamzah berpendapat:
“Pembinaan suatu kejahatan adalah hal yang wajar, akan tetapi harus dipersoakan apakah manfaat bagi masyarakat atau penjahat, kita tidak bisa melihat pada masa lalu melainkan juga pada masa depan. Oleh karena harus ada tujuan Iebih dahulu pada sekedar menjatuhkan pidana belaka”.11
Van Bemmelen12 memberi 3 teori relatif yaitu:
1) Prevensi umum, tujuan pemerintah menjatuhkan pidana adalah untuk mencegah rakyat pada umumnya melakukan kejahatan. Adapun fungsinya adalah:
a) Menegakkan wibawa pemerintah, b) Menegakkan hukum,
c) Membentuk norma.
2) Prevensi khusus, pidana adalah pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana berfungsi mendidik atau memperbaiki.
3) Fungsi perlindungan, bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama waktu tertentu,masyarakat telah terhindar dari sasaran kejahatan, yang mungkin dilakukan jika seandainya dia tidak dihukum.
c. Teori Gabungan / Modern ( Verenigings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut dan teori retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologis dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Teori ini diperkenalkan oIeh Prins, Van Hammel, Von List, dengan pandangan sebagai berikut:
1) Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
10
Hamzah, Andi. 1993. Delik-Delik Tertentu Didalam KUHP (Jakarta: Sinar Grafika), Hlm. 141.
11
Hamzah Andi, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Bandung Akademika Presindo, 1993. Hlm. 52.
12
(35)
19
2) Ilmu hukum pidana dan dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.
3) Pidana ialah satu yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.13
Keseluruhan teori dan pandangan dan para pakar, realitas di masyarakat menunjukkan dalam kondisi dan komunitas tertentu instrument pidana tidak dapat memberi fungsi prevensi diduga dari kejadian tindak pidana yang menjadi faktor pemicu terjadinya pelanggaran.
Masalah pokok yang dihadapi yakni belum adanya rumusan baku tentang tujuan pemidanaan. Rumusan tujuan pemidanaan baru tampak dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RKUHPN 1972) berbunyi sebagai berikut:
1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman (Perlindungan) Negara dan Penduduk.
2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berguna.
3) Untuk menghilangkan noda-noda oleh tindak pidana.
Konsep tersebut di atas, mendapat perubahan-perubahan yang tertuang dalam Konsep Rancangan Undang-Undang (KUHP) Tahun 2012. Dalam hal pembaharuan hukum pidana, konsep Rancangan Undang-Undang (KUHP) 2012
13
Prakoso. Pidana Dalam Teori dan Praktek Peradilan (Jakarta: Galia Indonesia, 1984), Hlm. 47.
(36)
20
telah merancang mengenai sistem pemidanaan yang sedikit berbeda dari KUHP sebelumnya. KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi di dalam Rancangan Undang-Undang (KUHP) tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada Pasal 54 Ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan untuk:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.14
Rancangan konsep pidana dan pemidanaan tersebut di atas nampaknya memberikan suatu arah yang jelas bagi tujuan yang hendak dicapai dari pidana dan pemidanaan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
J.E Sahetapy yang berorintasi kepada pandangan filosofi pancasila menyatakan: “Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan dijelaskan selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pemikiran yang jahat, keliru melainkan Ia harus pula dibebaskan dalam kenyataan sosial di mana ia terbelengu.”15
14
Prakoso. Hukum pidana 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 1988.), Hlm. 48.
15
(37)
21
Dari pendapat di atas, nampak jelas bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah si pelaku (penjahat) dalam pengertian pembebasan, disini sedemikian rupa sehingga si penjahat terbebas dan kenyataan sosial yang membelenggu.16 Sejalan dengan pandangan di atas, Lamintang menyatakan:
“Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
1) Untuk memperbaiki pribadi dan penjahat itu sendiri.
2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi”.17
Untuk memperbaiki pribadi dan menguraikan pendapat tentang tujuan pemidanaan sebagai berikut:
“Tujuan pemidanaan adalah bentuk untuk memperbaiki penjahat, sehingga dapat menjadi warga Negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi delik tanpa korban (Victumless Crime) seperti homo seks, asas kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan (derent) pidana yang akan dijatuhkan, begitu pula sifat pembalasan (revenge) suatu pidana.18
B. Pengertian Pidana Penjara 1. Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara ialah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan dengan menempatkan terpidana dalam sebuah penjara, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam penjara. Menurut Roeslan Saleh menyatakan:
“Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu”.19
16
Prakoso. Op. Cit. Hlm. 43.
17
P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung CV. Armico, 1984. Hlm. 25.
18
Hamzah dan Sumangelipu. (Jakarta: Sinar Grafika, 1984), Hlm .14-15.
19
(38)
22
Barda Namawi Arif menyatakan:
“Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dan seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana”.20
Berdasarkan uraian di atas pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan, kemerdekaan yang dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara.
2. Efektivitas Pidana Penjara
Menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan komflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.21
a. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat
20
Barda Namawi Arif. Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara (Semarang: Badan Penerbit UNDIP.1996), Hlm. 44.
21
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampal Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti.2002), Hlm. 224.
(39)
23
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.
b. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku.
Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.
Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan di atas dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor.
C. Pengertian Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pemidanaan
Ternyata menurut penelitian yang pernah dilakukan, efektifitas pidana denda masih jauh dari tujuan pemidanaan. Faktor yang berhubungan dengan turunnya nilai mata uang, dalam hal ini pengadilan jarang sekali menjatuhkan pidana denda karena masih dirasakan tidak efektif.
Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik kriminal, pidana ini tidak kalah
(40)
24
efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. Kalau keadaan mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat dikembalikan dari kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengganti itu tidak mungkin, maka pidana penjara pengganti dikerjakan kepadanya. Ketentuan agar terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa kepadanya diberi kesempatan oleh hakim untuk mengangsur dendanya.
Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata.
1. Hakikat dan tujuan pidana denda
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau pembayaran denda telah terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi sangat banyak ragamnya dalam menitkberatkan soalnya dalam sistem ini.
Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dan yang dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dan pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan.
(41)
25
Cara penghukuman denda memberikan banyak segi-segi keadilan diantaranya adalah:
a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman Iainnya, seperti penderaan atau penjara yang sukar dimaafkan.
b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai dengan penjara untuk yang tidak sanggup membayar.
c. Pidana denda dapat dilihat, dapat diatur untuk tidak melanjutkan pelanggar dan keadaan Iainnya dengan Iebih mudah dibanding dengan jenis hukuman Iainnya.
d. Pidana denda membawa atau tidak mengakibatkan nama tercela kurang hormat seperti yang dialami terhukum penjara.
e. Tidak merintangi pelanggar untuk memperbaiki hidupnya
f. Pidana denda akan menjadi penghasilan bagi negara daerah dan kota.
2. Pidana denda dalam pemidanaan
Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada disekitar pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan. perngaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan.
(42)
26
Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan, merupakan suatu proses. Hakim dalam menerapkan pidana penjara disamping mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), seperti misalnya:
a. Faktor usia si pembuat tindak pidana,
b. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali, c. Kerugian terhadap korban,
d. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.
Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara), kiranya eksistensi pidana tidak perlu diragukan dan dicemaskan Iagi.
Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan serta pedoman penerapan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda.
Di sini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan hakim secara cermat, objektif dan praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.
(43)
27
D. Pengertian Putusan Hakim 1. Bentuk-bentuk Putusan
Perihal putusan hakim atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyeIesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan Iebih jauh bahwasannya “putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszeketheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan Iangkah berikutnya terhadap putusan tersebut tersebut dalam artian dapat berupa: menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah “mahkota” dan “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dan hakim yang bersangkutan.
Pada hakikatnya, secara teoretik dan praktik “putusan akhir” ini dapat berupa: a. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)
Dalam penjelasan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan tidak cukup terbukti menurut penilaian atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.
b. Putusan Pelepasan Terdakwa dan Segala Tuntutan (Onslag van alle Rechtsvervolging)
(44)
28
Secara fundamental terhadap putusan pelepasan dan segala tuntutan hukum (Onslag van alle Rechtsvesvolging) diatur dalam ketentuan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP dengan redaksional:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
c. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Pada dasarnya putusan pemidanaan/veroordeling diatur oleh ketentuan Pasal 193 Ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan Iebih intens, detail, dan mendalam, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika:
1) Dari hasil pemenksaan di depan persidangan. 2) Majelis hakim beroendapat, bahwa :
a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang Iingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijved atau peIanggaran/overtredingen): dan
c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di persidangan (PasaI 183, Pasal 184 Ayat (1) KUHAP).
3) OIeh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan.
Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan
(45)
29
hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya selalu dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari keadilan, dan ini berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak, tergantung dari sisi mana kita memandangnya. OIeh karena, itu dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum tetapi juga memenuhi rasa keadilan.
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan atau yang Iebih urgent lagi adalah pertimbangan nasib korban kejahatan sebagai subjek hukum yang terkena dampak Iangsung akibat kejahatan yang dilakukan sebagai seseorang sehingga, hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah serta, menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala hukum.
E. Pengertian dan Dasar HukumPolitik Uang(Money Politic)
Istilah politik uang (money politic) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Sebagai bentuk korupsi, politik uang masih menjadi perdebatan karena praktiknya yang berbeda-beda di lapangan, terutama terkait perbedaan penggunaan antara uang pribadi dan uang negara.
(46)
30
Ketidakjelasan definisi money politic ini menjadikan proses hukum terkadang sulit menjangkau.22
Sementara itu secara umum istilah korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi, telah tumbuh dan berkembang sebagai problem sosial yang serius dan akut di Indonesia. Kalau penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai money politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Seperti yang ditulis Indra J. Piliang, bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan kepala desa, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Kalau kepala desa itu terpilih, lalu dianggap melakukan money politic, tentu akan menghadapi krisis multilevel dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi atas pemerintahan atau pimpinan formal negara kita.23
Dari diskursus yang tergelar, belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demarkasi antara money politic (politik uang) dan political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada yang mencoba mendefinisikan istilah money politic. Salah satunya, money politic biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli
22
Alexander and Herbert E.2003. Financing Politics, Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara Langsung, Pengalaman Amerika Serikat, (Terj). Yogyakarta: Narasi. Hlm. 46.
23
(47)
31
suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara.24
Publik memahami money politic sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan money politic itu dilakukan secara sadar oleh pelaku. Definisi ini nampaknya kurang akurat ketika dipakai untuk menganalisis kasus seperti pembagian sembilan bahan pokok oleh partai atau orang tertentu kepada masyarakat. Kalau motifnya adalah semata-mata untuk membantu masyarakat, tentunya pemberian itu bukan money politic walaupun tetap mendapatkan political gain dari aktivitasnya itu. Dengan hadirnya berbagai definisi di atas, menunjukkan belum adanya definisi money politic yang bisa dijadikan acuan. Hal inilah yang seringkali membuat bingung untuk mengkategorikan sebuah peristiwa tergolong money politic atau bukan. Implikasinya, beberapa pihak dapat secara leluasa melakukan tindakan yang sebenarnya sudah menjurus pada money politic, tanpa bersedia dikatakan melakukan praktik money politic.
Leo Agustino menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang digunakan sebagai acuan pilkada langsung, mendefinisikan politik uang masih tidak jelas dan bersifat umum (normatif).25 Hal serupa juga tidak diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
24
Ismawan, I. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), Hlm. 5.
25
(48)
32
Daerah. Kendati Peraturan Pemerintah tersebut telah disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 sebagai respon atas putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak juga mengatur persoalan politik uang secara lebih baik karena hampir sama dengan aturan sebelumnya.26
Ketentuan yang memberikan definisi tentang politik uang secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian pada Ayat (2)-nya, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.27
Pelanggaran tentang money politic dalam pemilu legislatif Tahun 2009 telah dirumuskan dalam Undang-Undang Pemilu 2008 Nomor 10 Pasal 265, menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 dan paling banyak Rp 36.000.000,00”.28
26
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 dan No. 17 Tahun 2005.
27
Pasal 82 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No. 32 tahun 2004
28
(49)
33
Sementara dasar hukum normatif lain yang dapat digunakan untuk menjerat kasus money politics adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 mengenai pemilu presiden-wakil presiden. Pasal 90 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara teretentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat dua bulan atau paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 atau paling banyak Rp 10.000.000,00”.29
F. Bentuk-Bentuk Politik Uang (Money Politic) a. Pemberian Berbentuk Uang atau Barang
Uang sebagai sumber daya yang paling konvertibel, menjadi acuan bagi setiap transaksi atau manuver individual. Dalam persentuhannya dengan dunia politik, justru uang menemukan hakikat ekstensialnya, yakni sebagai alat tukar menukar. Ketika uang menjadi media barter politik, peran kelompok-kelompok strategis yakni elit politik dan elit ekonomi yang menyelingkupi pucuk penguasa tertinggi, tak dapat dikesampingkan. Uang merupakan faktor urgen yang berguna untuk mendongkrak kharisma personal seseorang, sekaligus untuk mengendalikan wacana strategis terkait dengan sebuah kepentingan politik dan kekuasaan. Karena pada dasarnya, politik adalah seni. Di mana seseorang leluasa mempengaruhi dan
29
(50)
34
memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui berbagai sarana, termasuk uang.30
Dalam banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius, uang memang diakui sebagai senjata politik ampuh yang sangat strategis untuk menaklukkan kekuasaan. Karena pada dasarnya, uang merupakan saudara kembar kekuasaan.31
Hugh Dalziel Duncan menyatakan bahwa barang siapa memiliki uang satu sen, maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya, sejauh satu sen.32 But money is symbolic.33 Dalam kompetisi politik yang ketat, uang berperan hanya sebatas instrument. Peran pentingnya adalah bagaimana uang digunakan orang-orang tertentu untuk mencoba mendapatkan pengaruh, ditukar atau dikombinasikan dengan bentuk sumber daya yang lain, guna meraih kekuasaan politik. Sementara, Hermawan Sulistiyo justru menangkap fakta ironi di balik kultur politik Indonesia. Di mana kekuasaan politik di negeri ini justru lebih difungsikan sebagai alat untuk menghasilkan uang, sebagai upaya pengembalian modal politik dan pencarian laba kekuasaan.34
a. Pemberian Melalui Tokoh Masyarakat
Tidak selamanya tim sukses yang berada di sekeliling bakal calon anggota legislatif mampu menembus sasaran yang hendak diberikan suplemen gizi
30
Nugroho. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, H. 2001), Hlm. 95.
31
Umam, A.K. Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia (Semarang: Rasail, 2006), Hlm. 24.
32
Duncan, Hugh Dalziel.1997. Sosiolog Uang. pp. 13.
33
Herbert and Alexander. Financing Politic (Yogyakarta: Narasi, 1980), Hlm. 2-3.
34
(51)
35
penarik simpati. Dalam praktik politik uang berbagai cara dilakukan, diantaranya adalah dengan mendekati para tokoh masyarakat suatu daerah yang menjadi sasaran pembagian hadiah politik. Cara seperti ini justru lebih sering dilakukan oleh para calon anggota legislatif.
b. Pemberian Berbentuk Fasilitas Sarana Umum
Gerakan tebar pesona dan tarik simpati ternyata tidak hanya menguntungkan rakyat secara personal. Dalam musim mencari suara, tak jarang fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, mushala, panti asuhan, dan madrasah juga ikut kecipratan berkah. Ironisnya, kadang kondisi ini malah dimanfaatkan masyarakat untuk merampungkan proyek pembangunan masjid atau jalan kampung yang tak kunjung selesai. Cukup dengan proposal sekedarnya, bahkan kadang melalui oral, dana berjuta-juta turun dan pembangunan selesai.
c. Sistem Ijon
Pelaksanaan sistem ijon yang dimaksudkan di sini memang hampir sama sebagaimana yang terjadi dalam fenomena rentenir, di mana pemodal meminjamkan kapitalnya pada pihak yang membutuhkan. Dikatakan meminjamkan karena memang bantuan tersebut akan ditarik kembali dalam jangka waktu tertentu. Mekanisme serupa terjadi pula dalam permainan politik, dimana praktik money politic berbentuk hibah politis tidak selalu terjadi saat menjelang even politik. Melainkan juga dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan even politik, atau bahkan sebelum sang politisi menyampaikan maksud dan tujuan jangka panjang strategisnya. Kemudian hibbah politis ini akan diminta kembali dalam bentuk sikap dukungan politik.
(52)
36
d. Serangan Fajar
Serangan fajar adalah pemberian berupa uang ataupun barang yang diberikan pada malam hari atau menjelang fajar sebelum pemilihan oleh tim sukses calon anggota legislatif agar yang menerima uang ataupun barang memilih calon anggota legislatif tersebut.
(53)
37
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap teori-teori, konsep-konsep, dokumen-dokumen hukum berupa Rancangan Undang-Undang (RUU), Undang-undang, makalah-makalah, serta perumusan-perumusan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dan diteliti.
Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian di lapangan, untuk melihat realitas bagai mana penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang. Tujuannya adalah untuk memperoleh data murni tentang masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Pendekatan yuridis normatif dan empiris maksudnya untuk memproleh gambaran yang jelas, cermat dan mendalam mengenai gejala dan obyek yang diteliti dalam skripsi ini.
(54)
38
B. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) dengan cara, membaca dan menganalisis berbagai literature. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:
a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Undang-Undan Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
4) Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
b. Bahan hukum sekunder,yaitu berupa bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer antara lain (Pasal) .
c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, mediamasa, kamus mupun data-data lain nya.
2. Jenis Data
Sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada:
(55)
39
a. Data primer, adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari masyarakat. Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum sebagai penyelenggara pradilan di masyarakat dalam penerapan sanksi pidana bagi calon anggota legislatif yang melakukan politik uang (money politic).
b. Data sekunder, adalah data yang di peroleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier sesuai dengan masalah yang dibahas.1
C. Penentuan Narasumber 1. Narasumber
Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan mengenai informasi yang di berikan. Narasumber dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yang terdiri dari:
1. Hakim Pengadilan Negeri liwa 1 orang 2. Jaksa kejaksaan Negeri Liwa 1 orang 3. Polisi di Kepolisian Resort Liwa 1 orang 4. Akademisi Fakultas Hukum UNILA 1 orang
Jumlah 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1
Soerjono, Soekanto. Metode penelitian social (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1986), Hlm. 49-50.
(56)
40
a. Studi dokumentasi dan studi pustaka, studi dokumentasi dan studi pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tersier). Kemudian menginfentarisir dan kemudian mensistematisirnya.
b. Wawancara, wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara terarah atu directive interview. Dalam pelaksanaan wawancara terlebih dahulu melaksanakan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada kepala pengadilan.2
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relefansinya dengan penelitian.
b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya.
c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisis data tersebut.
2
(57)
41
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul,kemudian dianalisa secara menyeluruh. Tujuan analisa ini adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Pada penganalisaan data, digunakan analisis kualitatif dengan cara mendeskripsikan data mengenai langkah-langkah kebijakan yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri Liwa dalam Penerapan Sanksi Pidana Bagi Calon Anggota Legislatif yang Melakukan Politik Uang (Money Politic) Studi kasus Pengadilan Negeri Liwa (Putusan No.34/pid.B/2014/PN.LW).
(58)
V. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah penulis mengadakan penelitian baik melalui pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris guna memperoleh data yang mencukupi untuk menggunakan dan menjawab permasalahan dalam penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas adalah sebagai berikut:
1. Penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang didasarkan pada Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada hanya saja sanksi yang diberikan masih kurang berat yakni terdakwa dikenai sanksi dengan pidana penjara 4 bulan dan menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila di kemudian hari terdapat perintah lain dalam putusan majelis hakim karena terdakwa telah melakukkan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 6.000.000,00. Penerapan pidana di atas dipandang telah sesuai dengan pidana maksimal berdasarkan Pasal 301 Ayat (1) yakni pidana penjara maksimal selama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.
(1)
a. Studi dokumentasi dan studi pustaka, studi dokumentasi dan studi pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tersier). Kemudian menginfentarisir dan kemudian mensistematisirnya.
b. Wawancara, wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara terarah atu directive interview. Dalam pelaksanaan wawancara terlebih dahulu melaksanakan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada kepala pengadilan.2
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:
a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relefansinya dengan penelitian.
b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya.
c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisis data tersebut.
2
(2)
41
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul,kemudian dianalisa secara menyeluruh. Tujuan analisa ini adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Pada penganalisaan data, digunakan analisis kualitatif dengan cara mendeskripsikan data mengenai langkah-langkah kebijakan yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri Liwa dalam Penerapan Sanksi Pidana Bagi Calon Anggota Legislatif yang Melakukan Politik Uang (Money Politic) Studi kasus Pengadilan Negeri Liwa (Putusan No.34/pid.B/2014/PN.LW).
(3)
A. Simpulan
Setelah penulis mengadakan penelitian baik melalui pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris guna memperoleh data yang mencukupi untuk menggunakan dan menjawab permasalahan dalam penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas adalah sebagai berikut:
1. Penerapan sanksi pidana terhadap calon anggota legislatif yang melakukan politik uang didasarkan pada Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada hanya saja sanksi yang diberikan masih kurang berat yakni terdakwa dikenai sanksi dengan pidana penjara 4 bulan dan menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila di kemudian hari terdapat perintah lain dalam putusan majelis hakim karena terdakwa telah melakukkan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 6.000.000,00. Penerapan pidana di atas dipandang telah sesuai dengan pidana maksimal berdasarkan Pasal 301 Ayat (1) yakni pidana penjara maksimal selama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.
(4)
2. Faktor penghambat yang paling dominan dalam penerapan sanksi pidana terhadap anggota legislatif yang melakukan politik uang adalah faktor masyarakat. Faktor masyarakat sangat mempengaruhi dalam proses penegakan hukum politik uang karena masyarakat dapat menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang telah terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka, selama ini kebanyakan masyarakat menganggap bahwa politik uang menguntungkan bagi mereka, sehingga masyarakat yang sebenarnya adalah korban enggan melaporkan tindakan politik uang. Penegakan hukum sebagai proses sosial bukan merupakan proses yang tertutup, melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu penegakan hukum akan berinteraksi dengan lingkungannya dengan unsur-unsur yaitu manusia, sosial, budaya, politik, dan lainnya.
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan memberikan kesimpulan dalam skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Dalam penerapan sanksi pidana kasus politik uang (money politic) ini seharusnya terdakwa dikenai sanksi hukum yang lebih berat dan benar-benar sesuai dengan isi Pasal 301 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku politik uang (money poltic). 2. Perlu adanya kasadaran dari seluruh lapisan masyarakat, jika ada kasus kasus
money poltic sebaiknya masyarakat melaporkan kepada pihak kepolisian,
karena faktanya dalam kasus ini masyarakatlah yang nantinya menjadi korban. 6 64
(5)
Arikunto, S.1998. Prosedur penelitia, suatu pendekatan prakt., Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Agustino, L. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Alexander and Herbert, E.2003. Financing Politics. Politik uang dalam Pemilu Presiden Secara Langsung. Pengalaman Amerika Serikat. (Terj). Yogyakarta: Narasi.
Burhan, A.S, Waidl dan Bandi Ismail. 2004. Korupsi di Negeri Kaum Beragama. Jakarta:P3M.
Duncan, H.D. 1997. Sosiologi Uang. Terj.
Dwidja, Priyatno. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia Bandung: PT. Relika Aditomo.
Fuad, F. 2006. Agama Dan Pendidikan Demokrasi. Jakarta: Pustaka Alvabet. Garna, J.2001. Ilmu-Ilmu Sosial. Dasar Konsep dan Posisi. Bandung : Primako
Akademika.
Hamzah, Andi. 1993. Delik-Delik Tertentu Didalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika
Hermien, Hadiati Koeswati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Jakarta : PT. Citra Adtya.
Herbert and Alexander. Financing politic. Yogyakarta
Hermawan, 2000. Korupsi dan Demokrasi. Yogyakarta: Narasi. Sulistiyo.
Ismawan, I. 1999. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta: Media Pressindo.
(6)
Mahfud, MD. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
Mas’udi, M.F. 2000. Problematika dan Kebutuhan Membangun Fiqih Anti
Korupsi.
Nugroho, H. 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penintesier indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Piliang, I.J.2011. Korupsi dan Demokrasi. Kompas. 5 November 2001.
Prakos, 1988. Hukum pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika
Msri, Singarimbun dan Effendi. 1995. Metode penelitian survey. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.
Soekanto, Soerjono. Metode penelitian sosial. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Soekanto, Soejono.1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana. Rajawali.
Umam, A.K.2006. Kiai dan Budaya Korupsi di Indonesia. Semarang: Rasail. Utrecht, E. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Pustaka Tinta Masyarakat.
Undang-Undang:
1. Undang-Undang Pemilu No.10 Tahun 2008
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu 3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2014 Tentang Pemilu