11
ketidakadilan, muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi Teori transformasi konflik.
Selanjutnya Indriyatni 2010 menyatakan, ada banyak faktor penyebab konflik dalam oganisasi, tetapi yang seringkali menjadi
penyebab utama antara lain; Pertama, komunikasi yaitu segala yang berkaitan dengan
perpindahan dan pemahaman makna dari satu orang ke orang lain.
Kedua, struktur adalah segala sesuatu yang menyangkut aktivitas atau operasional kerja dari sebuah organisasi
mencapai sasaran. Hal ini ada sesuatu yang mengganggu terlaksananya aktivitas secara sistemik sehingga menimbulkan
konflik secara struktural. Ketiga, pribadi yaitu hal-hal yang menyangkut kepribadian
seseorang bisa menyangkut norma atau budaya hidup yang dianut. Hal ini akan mempengaruhi cara seseorang berinteraksi
dengan orang lain sehingga berpeluang menimbulkan konflik.
2.1.2 Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku mau pun pihak luar terhadap konflik tersebut. Manajemen konflik
termasuk suatu pendekatan dengan orientasi pada proses mengarahkan bentuk komunikasi termasuk tingkah laku dari pelaku mau pun pihak
12
luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan interest dan interpetasi. Searah dengan pernyataan di atas, Ross 1993 menyatakan
manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil
tertentu. Langkah-langkah mungkin bisa menghasilkan ketenangan, hal yang positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
Sementara itu, Wirawan 2010 menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses pihak-pihak yang terlibat konflik atau pihak
ketiga menyusun strategi dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi. Wirawan menambahkan tujuan dari
manajemen konflik dimaksud. Pertama, mencegah gangguan dari anggota organisasi untuk
memfokuskan diri pada visi, misi, dan tujuan organisasi. Kedua, memahami orang lain dan menghormati keberangaman.
Ketiga, meningkatkan kreativitas. Keempat, meningkatkan keputusan melalui pertimbangan
berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang. Kelima, mengfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran
serta, pemahaman bersama, dan kerja sama. Keenam, menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian
konflik. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan dalam diri dua pihak
yang berkonflik, dengan atau tanpa pihak ketiga atau pengambilan
13
keputusan oleh pihak ketiga. Satu pendekatan yang berorientasi terhadap proses manajemen konflik merujuk pada pola komunikasi termasuk
perilaku para pelaku, dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Minerry 1980 manajemen konflik
merupakan proses, proses merupakan bagian rasional dan bersifat interaktif. Artinya pendekatan model manajemn konflik secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model represetatif dan ideal. Dengan demikian, keseluruhan proses tersebut berlangsung
dalam suatu konteks yang melibat kan perencanaan dari aktor “mengelola
konflik, ” baik sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam pengelolaan
konflik. Afzalur 2001 menyatakan, manajemen konflik tidak selalu berarti
menghindari atau menghentikan. Manajemen konflik merupakan strategi efektif untuk meminimalkan disfungsi konflik dan meningkatkan fungsi
konstruktif konflik. Tujuannya adalah meningkatkan pembelajaran efektif bagi organisasi.
Dalam rangka merancangkan strategi manejemen konflik dengan efektif, Afzalur menambahkan bahwa konflik harus diklasifikasikan
berdasarkan jenis konflik. Dia menyatakam ada dua jenis konflik; Pertama, konflik afektif dimana konflik bisa memberikan
dampak negatif pada individu atau kelompok yang terlibat dalam konflik sehingga hal itu bisa berdampak pada kinerja
organisasi. Konflik - konflik pada umumnya disebabkan
14
adanya reakasi negatif dari anggota organisasi misalnya, serangan pribadi antara anggota kelompok atau antar sesama
kelompok, tindakan pelecehan seksual, ketidakharmonisan sosial, dan lain sebagainya. Konflik semancam itu, dapat
mengganggu pembagian kerja dan hubungan antara sesama anggota organisasi sehingga dapat menguragi loyalitas kerja
dan komitmen organisasi dan kepuasan bekerja. Kedua, konflik substantif, jenis konflik ini memiliki efek
positif pada kinerja individu dan organisasi. Konflik substantif lebih kepada perbedaan pendapat mengenai pembagian tugas
dan kebijakan - kebijakan yang ditempuh dalam organisasi. Sebuah penelitian, dilakukan oleh Jehn 1995, menunjukan
bahwa tingkat moderat dari konflik substantif dapat merangsang diskusi dan perdebatan, membantu organisasi
untuk mencapai tingkat kinerja lebih tinggi. Meski pun konflik substantif meningkatkan kinerja kelompok tetapi seperti
konflik afektif, konflik juga bisa mengurangi loyalitas, komitmen dan kinerja organiasi.
Blake dan Mouton 1964 merupakan pendahulu yang
menggunakan istilah manajemen konflik, teorinya menyatakan bahwa kerangka teori manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi yaitu
perhatian manajer terhadap orang concern for people dan perhatian manajer terhadap produksi concern for production. Berdasarkan kedua
15
dimensi tersebut, mereka kemudian mengemukakan lima gaya manajemen konflik.
Pertama, memaksa forcing yaitu perhatian manajer yang tinggi terhadap hasil produksi sementara perhatiannya terhadap
bawahan atau sebaliknya. Kedua, konfrontasi confrontation yaitu perhatian manajer
yang tinggi terhadap hasil produksi dan bawahannya. Ketiga, kompromi compromising yaitu perhatian manejer
terhadap hasil produksi sehingga bawahannya cendrung berkompromi ketika manejer memanejemen konflik.
Keempat, menarik diri withdrawal. Perhatian manejer yang rendah terhadap hasil produksi sehingga bawahan seringkali
menarik diri jika terjadi konflik. Kelima, mengakomodasi smooting perhatian manejer yang rendah terhadap konflik
namun sebaliknya terhadap bawahan sehingga cendrung memberikan akomodasi jika menghadapi konflik.
Dari beberapa uraian diatas penulis menyimpulkan; manajemen konflik adalah suatu proses dari langkah-langkah yang diambil untuk
menyelesaikan konflik dan menghasilkan hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri,
atau kerja sama dengan pihak luar dalam memecahkan masalah dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga atau pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga.
16
Widiarto 2003 menambahkan tentang beberapa akibat dari terjadinya konflik;
Pertama, bertambah solidaritas dari kelompok in-group. Apabila satu kelompok bertentangan dengan kelompok lain,
solidaritas antara warga kelompok biasanya akan bertambah erat. Mereka akan bersedia berkorban demi kepentingan
kelompoknya dalam menghadapi ancaman dari luar. Kedua, apabila terjadi konflik antar golongan dalam satu
kelompok tertentu, dapat mengakibatkan retaknya persatuan. Ketiga, perubahan kepribadian masing - masing individu.
Biasanya akan hadir pihak luar yang menaruh simpati kepada salah satu pihak yang kalah atau kedua pihak yang
berkonflik. Dalam kondisi yang demikian, ada pribadi yang dapat bertahan tetapi ada rasa tertekan sehingga menyebabkan
penyiksaan terhadap mentalnya. Keempat, hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
Salah satu bentuk konflik hebat adalah peperangan.Bentuk konflik ini berdampak besar pada kedua belah pihak baik itu
segi akomodasi, dan dominasi dan tentu saja ada salah satu pihak yang harus kalah.
Beranjak dari sebab-akibat konflik, Samiyono 2011 menyatakan, konflik dapat merugikan, tetapi juga dapat bermanfaat jika dikelola
17
dengan baik. Ada pun hal-hal positif, ditemui ketika konflik dikelola dengan baik antara lain;
Pertama, membuat organisasi tetap hidup dan humoris, masing- masing kelompok dapat melakukan adaptasi sehingga dapat terjadi
perubahan dan perbaikan. Kedua, munculnya keputusan inovatif. Konflik akan mendorong
orang untuk berpikir lebih hati-hati dalam memutuskan sesuatu atau mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, munculnya persepsi lebih kritis.Keempat, meningkatnya sikap solidaritas sosial. Adapun solidaritas itu bisa timbul karena
sesame anggota merasa memiliki nasib yang sama. Sebaliknya, jika konflik tidak dikelola, akan muncul beberapa hal
negatif antara lain; Pertama, kerugian berupa material dan spiritual.
Kedua, menggangu keharmonisan sosial. Ketiga, terjadinya perpecahan kelompok. Melihat dampak dari sebuah
konflik yang terjadi, sangat perlu untuk mengelola konflik menjadi berdaya guna.
2.2 Resolusi Konflik