Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Konflik di Dalam Gereja (Tinjauan Terhadap Suatu Resolusi Konflik Dari Perspektif Teori Mediasi) T2 912012013 BAB II

(1)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

2.1 Manajemen Konfik 2.1.1 Defenisi Konflik

Konflik merupakan sebuah hal lumrah yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat dan organisasi termasuk gereja. Secara etimologis konflik berasal dari bahasa latin“con” berarti bersama dan “fligere” benturan atau tabrakan. Benturan, maksudnya bisa berupa kepentingan, keinginan, pendapat dan lain sebagainya antara dua belah pihak atau lebih (Chandra, 1992). Mushadi dan kawan-kawan (2007) menyatakan bahwa, masyarakat secara umum seringkali memandang konflik selalu mengakibatkan kerugian, baik secara materil dan non-materil. Banyak pemahaman yang timbul bahwa konflik selalu identik dengan kekerasan, kekacauan, bahkan mengorbankan banyak orang.

Rafl Dahrendort (1959) menyatakan bahwa konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omnipresence) dalam suatu komunitas. Ketika dua atau lebih entitas sosial yaitu individu, kelompok, organisasi dan bangsa-bangsa bertemu dan membangun komunikasi untuk mencapai tujuan mereka, hubungan mereka mungkin menjadi tidak kompatibel atau tidak konsisten. Penyebabnya karena mereka menginginkan sumber daya yang sama tetapi mereka memiliki sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan ketrampilan yang berbeda atau dalam porsi tidak sama. Afzalur (2001). Selanjutnya Thompson (1998), menyatakan konflik adalah perbedaan persepsi dari kepentingan setiap orang.


(2)

Sekilas bisa dilihat konflik mempunyai arti pertentangan atau bentrok. Menurut Webster, 1966 (dalam Pruitt dan Rubin, 2009), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Rubin kemudian mengambil suatu makna dari defenisi Webster, konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest).

Konflik biasanya ditandai dengan;

 pertama, keterlibatan dua pihak dalam sebuah interaksi yang saling bertentangan.

 Kedua, interaksi tersebut seringkali diikuti gejala - gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi dan menekan salah satu pihak.

 Ketiga, muncul perebutan sumber saya langka seperti kekuasaan, harga diri, pangkat dan lain sebagainya (Pruitt dan Rubin 2009). Flippo dalam Sudarmo dkk (2000) konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih banyak anggota organisasi karena harus membagi sumberdaya organisasi yang langka atau aktivitas kerja. Hal ini disebabkan mereka memiliki status, tujuan dan pandangan yang berbeda. Robbins (2006) beberapa pandangan mengenai konflik;

 Pertama, pandangan tradisional yaitu pendekatan konservatif menganggap semua konflik itu buruk dan selalu membawa dampak negatif.


(3)

 Kedua, pandangan hubungan manusia dimana konflik merupakan hal yang wajar dalam masyarakat dan organisasi.

 Ketiga, pandangan interaksionis yaitu keyakinan bahwa konflik bisa menjadi kekuatan positif bagi organisasi.

Dari gambaran di atas tentang esensi konflik maka, kita dapat melihat konflik bisa terjadi pada organisasi maupun non organisasi. Konflik tidak selamanya berkaitan dengan kekerasan dan kekacauan bahkan mengorbankan manusia. Konflik bisa terjadi karena perbedaan pandangan dan kepentingan baik itu individu maupun kelompok. Tetapi konflik mampu menjadi penyeimbangan hidup manusia dalam mencapai tujuan yang lebih baik.

Adapun jenis konflik yang sering terjadi dalam organisasi;

 Pertama, konflik fungsional; Konflik ini, bersifat konstruktif sehingga memberikan dampak positif kepada organisasi. Jenis konflik ini menyangkut bagaimana organisasi mencapai satu taraf kemajuan yang diinginkan oleh seluruh anggota organisasi bukan hanya golongan tertentu.

 Kedua, konflik disfungsional; konflik ini, tidak berkaitan sama sekali dengan prospek kemajuan organisasi. Jenis konflik menyangkut human interest atau bisa juga menyangkut sentimen pribadi sesama anggota organisasi. Akibat dari konflik ini adalah ketidakpuasan dan mengurangi efektivitas oerganisasi yang berujung pada hilangnya kebersamaan anggota organisasi.


(4)

Jika dilihat dari pelaku organisasi, maka konflik dapat dibagi menjadi konflik internal individu, konflik antar individu dalam organisasi, konflik antar individu dan kelompok dalam organisasi, konflik antar kelompok dalam organisasi dan konflik antar organisasi (Sentanu K 1985). Ada banyak teori yang menjelaskan tentang penyebab terjadinya konflik. Adam Kuper (2008), menyatakan sumber konflik adalah hubungan-hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sifat dasar biologis manusia. Paparan Kuper tersebut melihat semua aspek dari kehidupan manusia. Fisher dkk (2001) menjabarkan konflik disebabkan oleh;

 pertama, polarisasi kelangsungan, terjadi karena ketidakpercayaan dan permusuhan diantara perbedaan kelompok dalam masyarakat (Teori Hubungan Masyarakat).  Kedua, posisi tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang

penyebab konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik (Teori negosiasi prinsip).

 Ketiga, kebutuhan dasar manusia yaitu; fisik, mental, dan sosial, tidak terpenuhi atau dihalangi (Teori kebutuhan manusia).

 Keempat, identitas yang terancam karena kehilangan sesuatu hal atau masalah masa lalu yang belum terselesaikan (Teori identitas).

 Kelima, kesalahpahaman atau ketidakcocokan karena budaya yang dianut. Keenam, masalah-masalah ketidaksetaraan dan


(5)

ketidakadilan, muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi (Teori transformasi konflik).

Selanjutnya Indriyatni (2010) menyatakan, ada banyak faktor penyebab konflik dalam oganisasi, tetapi yang seringkali menjadi penyebab utama antara lain;

 Pertama, komunikasi yaitu segala yang berkaitan dengan perpindahan dan pemahaman makna dari satu orang ke orang lain.

 Kedua, struktur adalah segala sesuatu yang menyangkut aktivitas atau operasional kerja dari sebuah organisasi mencapai sasaran. Hal ini ada sesuatu yang mengganggu terlaksananya aktivitas secara sistemik sehingga menimbulkan konflik secara struktural.

 Ketiga, pribadi yaitu hal-hal yang menyangkut kepribadian seseorang bisa menyangkut norma atau budaya hidup yang dianut. Hal ini akan mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan orang lain sehingga berpeluang menimbulkan konflik.

2.1.2 Manajemen Konflik

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku mau pun pihak luar terhadap konflik tersebut. Manajemen konflik termasuk suatu pendekatan dengan orientasi pada proses mengarahkan bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku mau pun pihak


(6)

luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpetasi. Searah dengan pernyataan di atas, Ross (1993) menyatakan manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil tertentu. Langkah-langkah mungkin bisa menghasilkan ketenangan, hal yang positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

Sementara itu, Wirawan (2010) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses pihak-pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi. Wirawan menambahkan tujuan dari manajemen konflik dimaksud.

 Pertama, mencegah gangguan dari anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi, dan tujuan organisasi.  Kedua, memahami orang lain dan menghormati keberangaman.

Ketiga, meningkatkan kreativitas.

 Keempat, meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang.  Kelima, mengfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran

serta, pemahaman bersama, dan kerja sama.

 Keenam, menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik.

Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan dalam diri dua pihak yang berkonflik, (dengan atau tanpa pihak ketiga) atau pengambilan


(7)

keputusan oleh pihak ketiga. Satu pendekatan yang berorientasi terhadap proses manajemen konflik merujuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku, dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik. Minerry (1980) manajemen konflik merupakan proses, proses merupakan bagian rasional dan bersifat interaktif. Artinya pendekatan model manajemn konflik secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model represetatif dan ideal. Dengan demikian, keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam suatu konteks yang melibatkan perencanaan dari aktor “mengelola konflik,” baik sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam pengelolaan konflik.

Afzalur (2001) menyatakan, manajemen konflik tidak selalu berarti menghindari atau menghentikan. Manajemen konflik merupakan strategi efektif untuk meminimalkan disfungsi konflik dan meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Tujuannya adalah meningkatkan pembelajaran efektif bagi organisasi.

Dalam rangka merancangkan strategi manejemen konflik dengan efektif, Afzalur menambahkan bahwa konflik harus diklasifikasikan berdasarkan jenis konflik. Dia menyatakam ada dua jenis konflik;

 Pertama, konflik afektif dimana konflik bisa memberikan dampak negatif pada individu atau kelompok yang terlibat dalam konflik sehingga hal itu bisa berdampak pada kinerja organisasi. Konflik - konflik pada umumnya disebabkan


(8)

adanya reakasi negatif dari anggota organisasi (misalnya, serangan pribadi antara anggota kelompok atau antar sesama kelompok, tindakan pelecehan seksual, ketidakharmonisan sosial, dan lain sebagainya). Konflik semancam itu, dapat mengganggu pembagian kerja dan hubungan antara sesama anggota organisasi sehingga dapat menguragi loyalitas kerja dan komitmen organisasi dan kepuasan bekerja.

 Kedua, konflik substantif, jenis konflik ini memiliki efek positif pada kinerja individu dan organisasi. Konflik substantif lebih kepada perbedaan pendapat mengenai pembagian tugas dan kebijakan - kebijakan yang ditempuh dalam organisasi. Sebuah penelitian, dilakukan oleh Jehn (1995), menunjukan bahwa tingkat moderat dari konflik substantif dapat merangsang diskusi dan perdebatan, membantu organisasi untuk mencapai tingkat kinerja lebih tinggi. Meski pun konflik substantif meningkatkan kinerja kelompok tetapi seperti konflik afektif, konflik juga bisa mengurangi loyalitas, komitmen dan kinerja organiasi.

Blake dan Mouton (1964) merupakan pendahulu yang menggunakan istilah manajemen konflik, teorinya menyatakan bahwa kerangka teori manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi yaitu perhatian manajer terhadap orang (concern for people) dan perhatian manajer terhadap produksi (concern for production). Berdasarkan kedua


(9)

dimensi tersebut, mereka kemudian mengemukakan lima gaya manajemen konflik.

 Pertama, memaksa (forcing) yaitu perhatian manajer yang tinggi terhadap hasil produksi sementara perhatiannya terhadap bawahan atau sebaliknya.

 Kedua, konfrontasi (confrontation) yaitu perhatian manajer yang tinggi terhadap hasil produksi dan bawahannya.

 Ketiga, kompromi (compromising) yaitu perhatian manejer terhadap hasil produksi sehingga bawahannya cendrung berkompromi ketika manejer memanejemen konflik.

 Keempat, menarik diri (withdrawal). Perhatian manejer yang rendah terhadap hasil produksi sehingga bawahan seringkali menarik diri jika terjadi konflik. Kelima, mengakomodasi (smooting) perhatian manejer yang rendah terhadap konflik namun sebaliknya terhadap bawahan sehingga cendrung memberikan akomodasi jika menghadapi konflik.

Dari beberapa uraian diatas penulis menyimpulkan; manajemen konflik adalah suatu proses dari langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan konflik dan menghasilkan hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, atau kerja sama dengan pihak luar dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.


(10)

Widiarto (2003) menambahkan tentang beberapa akibat dari terjadinya konflik;

 Pertama, bertambah solidaritas dari kelompok (in-group). Apabila satu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, solidaritas antara warga kelompok biasanya akan bertambah erat. Mereka akan bersedia berkorban demi kepentingan kelompoknya dalam menghadapi ancaman dari luar.

 Kedua, apabila terjadi konflik antar golongan dalam satu kelompok tertentu, dapat mengakibatkan retaknya persatuan.  Ketiga, perubahan kepribadian masing - masing individu.

Biasanya akan hadir pihak luar yang menaruh simpati kepada salah satu pihak (yang kalah) atau kedua pihak yang berkonflik. Dalam kondisi yang demikian, ada pribadi yang dapat bertahan tetapi ada rasa tertekan sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap mentalnya.

 Keempat, hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu bentuk konflik hebat adalah peperangan.Bentuk konflik ini berdampak besar pada kedua belah pihak baik itu segi akomodasi, dan dominasi dan tentu saja ada salah satu pihak yang harus kalah.

Beranjak dari sebab-akibat konflik, Samiyono (2011) menyatakan, konflik dapat merugikan, tetapi juga dapat bermanfaat jika dikelola


(11)

dengan baik. Ada pun hal-hal positif, ditemui ketika konflik dikelola dengan baik antara lain;

 Pertama, membuat organisasi tetap hidup dan humoris, masing-masing kelompok dapat melakukan adaptasi sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan.

 Kedua, munculnya keputusan inovatif. Konflik akan mendorong orang untuk berpikir lebih hati-hati dalam memutuskan sesuatu atau mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya.

 Ketiga, munculnya persepsi lebih kritis.Keempat, meningkatnya sikap solidaritas sosial. Adapun solidaritas itu bisa timbul karena sesame anggota merasa memiliki nasib yang sama.

Sebaliknya, jika konflik tidak dikelola, akan muncul beberapa hal negatif antara lain;

 Pertama, kerugian berupa material dan spiritual.  Kedua, menggangu keharmonisan sosial.

 Ketiga, terjadinya perpecahan kelompok. Melihat dampak dari sebuah konflik yang terjadi, sangat perlu untuk mengelola konflik menjadi berdaya guna.

2.2 Resolusi Konflik

Salah satu bentuk manajemen konflik yang sering digunakan adalah resolusi konflik. Resolusi konflik (conflict resolution) yaitu upaya menangani sebab - sebab konflik dan berusaha membangun hubungan


(12)

baru yang lebih baik di antara pihak - pihak yang berkonflik. Resolusi ini mengacu pada strategi - strategi menangani konfik dengan harapan tidak hanya mencapai kesepakatan untuk mengakhiri konflik tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebab. Resolusi konflik sendiri bisa dibagi menjadi pengaturan diri sendiri (self regulation) atau melalui kehadiran pihak ketiga (third party intervention) (Hugh Miall dkk 2002).

Resolusi konflik terbagi atas dua jenis;

 Pertama, tanpa kekerasan (non violent) adalah resolusi oleh pihak berkonflik dengan tidak menggunakan kekerasan fisik, verbal dan non verbal untuk mencapai resolusi konflik. Terknik tesebut tidak menimbulkan luka fisik karena tidak menggunakan kekerasan tetapi bisa meningggalkan luka psikologis walau pun dalam jumlah minimal.

 Kedua, resolusi konflik dengan kekerasan (violent) biasanya terjadi dalam lingkungan internal organisasi di negara-negara maju dan juga di Indonesia. Resolusi konflik dengan kekerasan bisa dikatakan sebagai perilaku pihak dalam konflik dengan menggunakan kekerasan untuk memenangkan konflik.

Johan Galtung dalam Suprapto (2013) menawarkan tiga model resolusi yang saling terkait. peace keeping adalah cara yang ditempuh jika konflik tidak bisa diselesaikan secara halus. Tahap ini biasanya ditempuh untuk konflik yang menggunakan kekerasan. Peace building mencoba mengembalikan keadaan


(13)

destruktif dengan jalan membangun jembatan komunikasi antara pihak yang terlibat. Peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan.

Syafuan Rozy (2006) menyatakan, resolusi konflik merupakan sebuah terminologi ilmiah yang menekan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai proses terbuka dan membagi penyelesaian melalui beberapa tahap tergantung jenis konflik.

 Pertama, tahap de-eskalasi konflik yang menekan pada pemberhentian kekerasan, biasanya dilakukan oleh milter atau pihak keamanan.  Kedua, tahap negosiasi merupakan tahap melibatkan pihak yang

berkonflik dan memaksa memasuki meja perundingan.

 Ketiga, tahap problem solving approach yang bernuansa sosial.

 Keempat, peace building tahap ini bersifat kultural dan struktural.Membutuhkan waktu yang panjang dan konsistensi untuk menghasilkan perdamaian yang parmanen.

Dalam tahap solving approach Rothman (1992) menjabarkan empat komponen penting;

 pertama, masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak ketiga untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.

 Kedua, masing-masing pihak memberi informasi mengenai penyebab konflik, trauma yang ditimbulkan, dan hambatan struktural yang mungkin dihadapi dalam proses resolusi.


(14)

 Ketiga, kedua pihak mulai mencari alternatif solusi kea rah perdamaian. Keempat, problem solving resolution, kesedian pihak yang berkonflik untuk menyediakan suasana yang kondusif bagi proses resolusi.

Salah satu bentuk resolusi konflik, biasanya dipakai yakni intervensi pihak ketiga. Seringkali pihak-pihak yang berkonflik tidak mampu untuk menyelesaikan konflik. Hal ini bisa terjadi karena salah satu bahkan bisa kedua-duanya tidak bisa saling menerima kesalahan masing-masing. Dalam kondisi tersebut, intervensi pihak ketiga sangat diperlukan. Pihak ketiga yang disebut intervener, melakukan intevensi kedalam konflik. Resolusi konflik ditempuh melalui pihak ketiga merupakan kontinum dengan keputusannya tidak mengikat. Keputusannya hanya mengikat para pihak berkonflik sampai pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan mengenai konflik. Pihak ketiga bisa berupa lembaga pemerintah, lembaga arbitrase dibentuk berdasarkan undang-undang. Lembaga mediasi hingga pihak ketiga, dibentuk berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik.

2.2.1 Cara-Cara Resolusi Konflik

Ada banyak cara yang ditempuh dalam proses resolusi terhadap konflik. Resolusi ditempuh melalui kekerasan, cara yang menghasilkan menang kalah atau cara damai sehingga tidak ada yang merasa dikalahkan. Dari berbagai macam resolusi yang ada maka Kovach (2004) menggolongkan resolusi menjadi


(15)

beberapa macam yaitu dengan cara tradisional, jalur hukum dan ADR ( Alternative Despute Resolution).

2.2.2 Penyelesaian Konflik Secara Tradisional

Secara tradisional konflik biasanya dipandang sebagai pergulatan peperangan atau pertarungan antara dua belah pihak yang terlibat dalam masalah. Penyelesaian konflik dengan cara tradisional biasanya menggunakan kekerasan, kekuasaan, dan paksaan dimana kedua belah pihak mempertahankan kedudukan masing-masing. Penyelesaian konflik secara tradisional juga dilakukan dalam bentuk peperangan yang mengandalkan kemampuan masing-masing pihak. Oleh karena itu, cara seperti ini seringkali menghasilkan penyelesaian konflik dengan menang - kalah atau benar - salah. Pihak yang kalah akan dianggap bersalah dan yang menang adalah pihak yang benar. Dari penyelesaian tersebut, paling tidak ada salah satu pihak yang tidak memiliki kuasa sehingga merasa kecewa dan dirugikan. Sementara pihak yang memiliki kuasa mungkin bisa menang dan dianggap benar, terlepas dari realita siapa yang benar dan siapa salah.

Konseling, juga merupakan salah satu cara penyelesaian konflik secara tradisional. Cara tersebut dilakukan dengan memberi pendampingan bagi pihak - pihak yang berkonflik. Dalam prosesnya, pihak yang bertugas sebagai konselor (yang melakukan konseling) cendrung mendekati pihak yang dianggap bersalah dan secara tidak langsung pihak yang dianggap bersalah akan didorong untuk mengakui kesalahannya. Cara seperti itu akan berakhir dengan penyelesaian menang - kalah atau benar - salah, meski pun tidak menggunakan kekerasan fisik.


(16)

Paradigma penyelesaian konflik secara tradisional ternyata memiliki konsekuensi menentukan siapa yang benar dan yang salah. Pada akhirnya penyelesaian konflik akan berakhir pada kekecewaan salah satu pihak. Mungkin juga konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan karena kedua pihak memiliki kekuatan yang sama dan tidak ada yang merasa diri bersalah. Model penyelesaian konflik seperti itu, dianggap kurang relevan karena belum tentu dapat menjanjikan penyelesaian masalah.

2.2.3 Penyelesaian Konflik Melalui Ranah Hukum

Penyelesaian konflik dengan cara hukum membutuhkan biaya yang besar. Biasanya penyelesaian dipilih ketika konflik yang terjadi tergolong konflik besar dan rumit terutama menyangkut nilai ekonomis yang besar dan tidak dapar diselesaikan secara kekeluargaan. Cara tersebut biasanya juga ditempuh ketika dalam konflik yang terjadi ada unsur-unsur pelanggaran hukum. Pada akhirnya penyelesaian dengan jalur hukum akan menghasilkan konsekuensi menang kalah atau benar salah. Pihak yang dinyatakan kalah akan merasa dirugikan.

Penyelesaian konflik dengan cara hokum juga menimbulkan pelabelan atau tuduhan negatif kepada pelaku atau pihak yang berkonflik. Proses peradilan pidana yang panjang dimulai dari kepolisian, jaksa, hakim dan lembaga pemasyarakatan membuat penyelesaian masalah, dengan cara yang kurang efisiensi. (Teguh Prasetyo 2011) penyelesaian dengan cara hukum, akan sulit untuk menentukan menang - menang karena saah satu pihak yang bersalah akan ditindak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.


(17)

Cara penyelesain itu dianggap kurang relevan karena tidak semua konflik yang terjadi bisa dibawa ke ranah hukum. Selain itu, kemampuan finansial juga menjadi bahan pertimbangan apakah sebuah masalah akan dibawa ke ranah hukum. Oleh karena itu, muncullah cara penyelesaian alternative yang tentu tidak menggunakan jalur hukum dan berbeda dengan penyelesaian konflik secara tradisional.

2.2.4 ADR (Alternative Dispute Resolution)

Penyelesaian konflik alternative atau yang dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR)merupakan salah satu cara penyelesaian konflik yang memungkinkan pihak - pihak yang berkonflik memperoleh solusi menang - menang dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Awalnya ADR muncul di wilayah Amerika Serikat dengan suatu realita bahwa terlalu banya konflik yang dialami oleh berbagai pihak yang kemudian diselesaikan menggunakan jalur hukum. Namun penyelesaian konflik dengan cara tersebut menghabiskan banyak waktu dan biaya. Realitas inilah yang mendorong munculnya ADR sebagai cara penyelesaian konflik yang dirasa lebih aman dan efisien.

Strategi yang biasanya diterapkan ADR menurut Amriani (2011) adalah;  Pertama, abitrase merupakan proses untuk mengatasi konflik di mana

kelompok netral diminta untuk menangani dan mengembangkan ikatan antara konflik kelompok. Dalam pasal 1 UU no. 30 tahun 1999, abitrase (wasit) adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan


(18)

umum yang didasarkan pada perjanjian abitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

 Kedua, negosiasi menurut Ficher dan Ury (1991), merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah tanpa campur tangan pihak ketiga. Secara umum, teknik negosiasi dapat dibagi menjadi teknik negosiasi kompetitif, teknik kooperatif, teknik lunak, teknik keras dan teknik negosiasi yang bertumpu pada kepentingan.

Teknik kompetitif sering kali diistilahkan dengan teknik yang bersifat alot (tough). Teknik kompetitif bercirikan; menjaga agar tuntutan tetap tinggi sepanjang proses negosiasi, menganggap perundingan lain sebagai musuh sehingga jarang memberikan konsensi dan sering kali menggunakan cara yang berlebihan. Teknik komperatif bercirikan komunikasi yang baik antara dua pihak yang berkonflik demi menjejaki kepentingan bersama. Hal yang menjadi tujuan utama dari teknik komperatif adalah penyelesaian yang adil berdasarkan analisis yang objektif (fakta di lapangan). Teknik negosiasi lunak dan keras adalah saling melengkapi di mana teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik untuk mencapai kesepakatan damai. Sedangkan teknik negosiasi keras menempatkan perundingan sangat dominan terhadap perundingan lunak dan menganggap pihak lawan adalah musuh sehingga tujuannya adalah memperoleh kemenangan.


(19)

Untuk menghasilkan suatu negosiasi yang efektif, maka perlu diperhatikan tahapan-tahapan dalam proses negosiasi yang berlangsung. Howard Raiffa (dalam Sarwoko Joko 1996) membaginya dalam beberapa tahap; Tahap persiapan, tahap tawaran awal (opening gambit), tahap pemberian konsesi, dan tahap akhir adalah permainan (end play). Selain mempersiapkan tahapan negosiasi, hal lain yang perlu diperhatikan adalah factor-faktor yang mempengaruhi efktivitas proses penyelesaian melalui negosiasi;

 Pertama, kedua pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh (willingness to negotiate).

 Kedua, mempunyai wewenang mengambil keputusan. Ketiga, memiliki kekuatan yang relative seimbang sehingga menciptakan saling ketergantungan.

 Ketiga, mempunyai kemauan menyelesaikan masalah (willingness to sattle). Adapun kelebihan dari negosiasi adalah pihak yang berkonflik sendirilah yang akan menyelesaikan konflik dimaksud.

Ketiga, mediasi merupakan proses untuk mengatasi konflik dengan meminta bantuan orang lain atau pihak ketiga untuk menjadi mediator kepada kedua kelompok yang berkonflik. Kovach (2002) mengatakan bahwa mediasi adalah suatu istilah umum, menggambarkan intervensi dari pihak ke tiga dalam proses penyelesaian pertikaian. Mediasi merupakan upaya menyelesaikan konflik secara damai, yaitu bersifat tidak memaksa (noncoerceive) dan tidak memakai kekerasan (nonviolence). (Henny Lusia 2010 dalam jurnal Mediation as negation instrument).


(20)

Keempat adalah konsiliasi, merupakan kelanjutan dari mediasi. Konsiliasi adalah usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat mencapai persetujuan bersama. Dalam konsiliasi, mediator akan berfungsi sebagai konsiliator. Konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk ditawarkan kepada pihak yang berkonflik tetapi tidak berhak membuat putusan mengatasnamakan salah satu pihak. Makarim (2004) menyatakan bahwa kesepakatan yang dihasilkan dalam konsiliasi bersifat final dan mengikat pihak yang berkonflik.

Salah satu perbedaan mediasi dengan konsiliasi adalah berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa. Hanya dalam konsiliasi terdapat terdapat rekomendasi kepada pihak yang berkonflik. Sementara mediasi hanya berusaha membimbing para pihak yang berkonflik untuk menghasilkan sebuah kesepakatan, Amriani (2011).

Kelima, litigasi merupakan proses penyelesaian konflik di mana semua pihak yang berkonflik saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya. Hasil akhir dari penyelesaian konflik melalui litigasi adalah keputusan yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah. Dalam proses litigasi, pihak-pihak yang berkonflik akan memberikan wewenangan kepada pihak yang dianggap terpercaya untuk mengambil keputusan akhir. Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal oleh para lawyer dengan adanya karakteristik pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan (to impose) solusi di antara pihak yang bersengketa. Proses tersebut memiliki banyak kekurangan karena litigasi memaksa pihak-pihak yang berkonflik untuk


(21)

menerima apapun yang menjadi keputusan pihak ketiga. Litigasi mengangkat seluruh prosedur untuk persamaan kepentingan.

Bambang Sugeng (2012), karakteristik dari litigasi adalah besifat formal, keputusan dibuat oleh pihak ketiga, pihak yang berkonflik tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sifat keputusan adalah memaksa dan mengikat, berorientasi pada fakta hukum dan persidangan yang dilakukan bersifat terbuka.

2.3 Mediasi Sebagai Cara Penyelesaian Konflik

Dalam proses mediasi, mediator atau fasilitator adalah pihak terpercaya dari kedua belah pihak yang berkonflik. Kovach (2002) menjelaskan, mediator berasal dari bahasa Latin “mediare” berarti berada di tengah-tengah. Dengan demikian seorang mediator menempatkan dirinya ditengah-tengah suatu perselisihan. Pihak ketiga dimaksudkan dalam konflik adalah pihak netral dan imparsial, tidak memihak dan tidak biasa. Artinya pihak ketiga tersebut tidak terlibat dan terikat dengan masalah. Peran pihak ketiga sangat tepat dilaksanakan pada konflik yang sudah berlangsung lama terutama apabila terjadi kebuntuan dalam mencapai penyelesaian.

Amriani (2011) membagi mediasi dalam empat model;

 Pertama, model penyelesaian, biasanya mediator adalah orang yang ahli dalam bidang yang didiskusikan atau dipersengketakan tetapi tidak memiliki keahlian teknik mediasi atau mediation skills. Fokus mediasi adalah penyelesaian bukan kepentingan sehingga penyelesaian


(22)

cenderung lebih cepat. Namun kelemahannya yaitu para pihak yang berkonflik merasa tidak memiliki hasil keputusan tersebut.

 Kedua, model fasilitasi, biasanya yang diutamakan adalah teknik mediasi tanpa harus ahli pada bidang tersebut. Kelebihannya pihak yang berkonflik cendrung puas karena yang diangkat adalah kepentingannya. Tetapi model ini memakan waktu yang lama.

 Ketiga, model therapeutic, yang diharapkan dalam model mediasi ini adalah penyelesaian konflik secara kekeluargaan sehingga kedua pihak bisa tetap menjaga hubungan baik.

 Keempat, evaluatif, model ini lebih fokus kepada hak dan kewajiban sehingga mediator bisanya ahli pada bidang hukum.

Mediator dalam mediasi berbeda dengan arbiter atau hakim. Mediator tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa suatu penyelesaian pada pihak yang berkonflik. Mediator membimbing para pihak yang berkonflik melakukan negosiasi untuk menemukan kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian. Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah. Masing-masing pihak sama-sama menang karena kesepakatan akhir adalah kesepakatan bersama.

Leonard L. Riskin dalam Suyud (2000) menyatakan fungsi mediator adalah;

 Pertama, memperbaiki komunikasi diantara pihak-pihak yang berkonflik.


(23)

 Ketiga, memberikan wawasan kepada pihak yang berkonflik tentang proses perundingan.

 Keempat, menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi dan kedudukannya tidak menguntungkan.Kelima, mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasi oleh pihak yang berkonflik. Kemampuan seorang mediator sangat menentukan keberhasilan mediasi. Mediasi dapat berhasil jika para pihak mempunyai posisi tawar-menawar yang setara, dan masih menghargai hubungan baik di masa depan.

Kovach (2002) menyatakan keunggulan mediasi adalah;

 Pertama, voluntary di mana keputusan untuk mediasi diserahkan diserahkan kepada kesepakatan pihak yang berkonflik, sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak dari kedua belah pihak.Kedua, informal/fleksibel.

 kedua pihak dengan bantuan mediator dapat mendesain sendiri prosedur mediasi.

 Ketiga, interest based mediasi tidak mencari pihak yang salah dan benar tetapi lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak.

 Keempat, future looking dimana mediasi berorientasi ke masa depan.  Kelima, parties oriented, dimana dengan prosesdur yang informal,

maka pihak yang berkonflik dapat mengontrol proses mediasi. Keenam, parties control yaitu mediator tidak memaksa untuk mencapai kesepakatan.


(24)

Ronald S. dkk (2002) menambahkan bahwa proses mediasi dapat membantu pihak-pihak berkonflik untuk;

 Pertama, saling memahami aneka kebutuhan, kepentingan, dan nilai-nilai hidup masing-masing pihak.

 Kedua, mediasi menolong mereka bertanggung jawab atas aneka keputusan yang mereka ambil.

 Ketiga, mediasi dapat memberikan landasan untuk mengubah hubungan mereka serta mulai bekerja sama untuk berbagi sumber daya, saling mengklarifikasi informasi, bahkan bersama-sama mengubah struktur.

Ada pun kendala-kendala yang dihadapi dalam proses mediasi menurut Henny Lusia (2010) menyatakan, penolakan awal dari pihak-pihak berkonflik terhadap kehadiran mediator; usaha diplomasi awal haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum proses mediasi dimulai. Dengan demikian diharapkan mediator dapat menggunakan tiga model untuk mengatur kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik, yakni: komunikasi, formulasi dan manipulasi.

Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak. Perselisihan antara pihak yang mengikuti mediasi mengharapkan mediator dapat mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari kemungkinan


(25)

berkonflik. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam taraf ekstrim.

2.4 Konflik Dalam Gereja

Gereja merupakan suatu lembaga atau institusi sebagai kendaraan bagi manusia mengenal dan memahami keselamatan Allah atas umatnya melalui Yesus Kristus. Orang-orang percaya menjadi anggota gereja untuk mendapatkan keselamatan Allah melalui pemberitaan “firman”. Khususnya pada sakramen-sakramen yang dilayankan gereja sebagai pernyataan iman dan kebersamaan atau pesekutan orang-orang percaya dengan manusia dan Allah.

Gereja tidak hanya merupakan kendaraan atau jembatan antara Allah dan manusia, tetapi jembatan antara Allah dan segala ciptaan. Sebab sejauh gereja berkembang, gereja juga menjadi persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar keselamatan Allah kepada seluruh dunia (Aritonang 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis memahami gereja telah menjadi jawaban manusia terhadap pekerjaan penyelamatan Allah dengan wujud jasmani dan rohani sebagai kesimbangan manusia dan ciptaan Allah yaitu: sistem kebersamaan (persekutuan), sistem pengakuan (Kredo), sistem ibadah (Liturgis), dan sistem hukum (ajaran).

Gereja merupakan sistem kebersamaan (persekutuan) umat manusia. Sehingga kehidupan bergereja tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan dan kelemahan keterbatasan manusiawi. Agus Lay (2006) dalam bukunya tentang Manajemen Pelayanan menyatakan bahwa, walau pun gereja adalah sebuah


(26)

organisasi yang terdiri dan dikelolah manusia, akan tetapi gereja mempunyai dasar nilai-nilai alkitabiah dengan mengacu pada kelaziman manajemen. Ada pun pengelolaan organisasi, dimaksudkan Lay di dalamnya termasuk bagaimana mengelola konflik dalam organisasi gereja.

Lay menambahkan menurut alkitab, esensi manajemen adalah karakter dan kemudian disusul oleh struktur seperti dikatakan dalam Efesus 4:1-16 “paulus membahas tentang masalah karakter umat Tuhan.” Karakter itu dibangun di atas kenyataan “trirangkai” yaitu;

 Pertama, umat Tuhan memiliki satu Allah dan Bapa, karena itu mereka adalah satu keluarga.

 Kedua, mereka mempunyai satu Tuhan (Yesus Kristus) karena itu mereka memiliki satu panggilan.

 Ketiga, mereka mempunyai satu Roh, karena itu mereka adalah satu tubuh. Selain itu, Paulus juga menambahkan tentang struktur kepemimpinan. Di mana ada pemimpin dalam persekutuan umat Tuhan dan juga umat harus dilayani dan didewasakan dalam satu persekutuan sehingga dapat memberikan sumbangsi bagi pembangunan tubuh Kristus yaitu Kristus bersama jemaat.

Walau pun sebagai sebuah keluarga Allah seperti yang dikatakan oleh Lay, bukan berarti dalam pelayanan tidak memiliki kendala. Hugh (2007) menegaskan. Sejak permulaan pelayanannya, Yesus telah mengamati realitas kehidupan manusia. Itu sebabnya Ia berkata “ Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa (Markus 2:17b)”. Hugh, sendiri


(27)

lebih suka menggunakan kata pergumulan sebagai ganti kata konflik dalam gereja. Konflik adalah pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan; informasi atau keyakinan berbeda dalam hal kepentingan keinginan atau nilai-nilai yang berbeda. Begitulah konflik di lebih ditekankan pada keadaan-keadaan berbeda, baik emosional mau pun subtantif.

Konflik dalam gereja tidak berakhir sebelum berbagai persoalan mengenai konflik itu sendiri diselesaikan. Masalah-masalah tersebut dapat dipecahkan dengan cara menang atau kalah, kalah atau kalah, dan menang atau menang. Dengan demikian etika Kristen yang sangat diperlukan dalam mengelola konflik gereja dan mencegah berbagai bentuk perpecahan selain ingin mendapat sebutan kalah atau menang. Ketika penilaian dan faktor-faktor kontekstual muncul, para pelaku menunjukan dua strategi penyelesaian terbaik, ditawarkan oleh Hugh; pertama, strategi merundingkan masalah dan kedua, memperantai hubungan untuk mendamaikan hubungan sulit atau terganggu di antara para pelaku.

Strategi merundingkan masalah berakar dari doktrin gereja dan makna gereja dipahami sebagai janji tugas untuk menciptakan kembali kemanusiaan yang saling bergantung (interdependent humanity). Proses perundingan adalah sarana praktis untuk orang Kristen, mengatakan kebenaran adalah kasih di dalam dan diluar lembaga-lembaga gerejawi. Tujuannya, demi mewujudkan visi alkitab yaitu mewujudkan syalom Allah. Makna lain dari iman yang mendasari proses perundingan adalah keyakninan akan Roh Allah yang kreatif. Proses perundingan mengasumsikan kepercayaan kepada cara Allah yang penuh misteri untuk tinggal dalam proses - proses sosial.


(28)

Berbeda dengan strategi merundingkan masalah, strategi merantai dan memediasi hubungan bersifat menyembuhkan tetapi strategi ini, bukanlah satu terapi. Berbagai distorsi para pelaku yang teridentifikasi tidak diselesaikan dalam proses itu sendiri. Strategi memperantai dan memediasi hubungan dialaskan pada pelaku konstruktif. Di katakan oleh Brown dan Fisher, bukan untuk mengidentifikasi apa yang salah dan kekurangan terhadap para pelaku, akan tetapi strategi memusatkan perhatian pada hal benar dan berharga pada para pelaku.

Makna iman mendasari strategi, mencerminkan pemahaman Kristen tentang penebusan. Tanggungjawab manusia dan pilihan untuk bertobat dilakukan sebagai pelaksanaan anugrah Allah dengan membebaskan para pihak yang mangalami konflik. Asumsikan kepada para pelaku konflik bahwa konflik terjadi diselesaikan dengan mengubah sifat - sifat hubungan yang kacau atatu betentangan, bukan dengan menghukum para pelaku konflik. Akhirnya kedua strategi dari paparan sebelumnya memadukan pengakuan etis terhadap kepedulian komunitas dan kesejahteraan anggota- anggotanya.

Dengan begitu para pejabat dengan keyakinan-keyakinan berbeda mengendalikan emosi mereka dan mulai saling mendengarkan dengan penuh hormat satu dengan lain. Mereka memperoleh perspektif-perspektif berbeda dan utuh untuk mengembangkannya dalam win- win solution. Pada dasarnya, menjadikan konflik gereja bersifat kristiani adalah proses konstruktif yang merupakan hal vital untuk manuruh orang kristen pada suatu alur pembebasan dari konflik dengan cara berinteraksi, membangkitkan dan memanfaatkan ciri - ciri cinta kasih sebagai karunia- karunia Allah.


(1)

 Ketiga, memberikan wawasan kepada pihak yang berkonflik tentang proses perundingan.

 Keempat, menanamkan sikap realistis kepada pihak yang merasa situasi dan kedudukannya tidak menguntungkan.Kelima, mengajukan usulan-usulan yang belum diidentifikasi oleh pihak yang berkonflik. Kemampuan seorang mediator sangat menentukan keberhasilan mediasi. Mediasi dapat berhasil jika para pihak mempunyai posisi tawar-menawar yang setara, dan masih menghargai hubungan baik di masa depan.

Kovach (2002) menyatakan keunggulan mediasi adalah;

 Pertama, voluntary di mana keputusan untuk mediasi diserahkan diserahkan kepada kesepakatan pihak yang berkonflik, sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak dari kedua belah pihak.Kedua, informal/fleksibel.

 kedua pihak dengan bantuan mediator dapat mendesain sendiri prosedur mediasi.

 Ketiga, interest based mediasi tidak mencari pihak yang salah dan benar tetapi lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak.

 Keempat, future looking dimana mediasi berorientasi ke masa depan.  Kelima, parties oriented, dimana dengan prosesdur yang informal,

maka pihak yang berkonflik dapat mengontrol proses mediasi. Keenam, parties control yaitu mediator tidak memaksa untuk mencapai kesepakatan.


(2)

Ronald S. dkk (2002) menambahkan bahwa proses mediasi dapat membantu pihak-pihak berkonflik untuk;

 Pertama, saling memahami aneka kebutuhan, kepentingan, dan nilai-nilai hidup masing-masing pihak.

 Kedua, mediasi menolong mereka bertanggung jawab atas aneka keputusan yang mereka ambil.

 Ketiga, mediasi dapat memberikan landasan untuk mengubah hubungan mereka serta mulai bekerja sama untuk berbagi sumber daya, saling mengklarifikasi informasi, bahkan bersama-sama mengubah struktur.

Ada pun kendala-kendala yang dihadapi dalam proses mediasi menurut Henny Lusia (2010) menyatakan, penolakan awal dari pihak-pihak berkonflik terhadap kehadiran mediator; usaha diplomasi awal haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum proses mediasi dimulai. Dengan demikian diharapkan mediator dapat menggunakan tiga model untuk mengatur kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik, yakni: komunikasi, formulasi dan manipulasi.

Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak. Perselisihan antara pihak yang mengikuti mediasi mengharapkan mediator dapat mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari kemungkinan


(3)

berkonflik. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam taraf ekstrim.

2.4 Konflik Dalam Gereja

Gereja merupakan suatu lembaga atau institusi sebagai kendaraan bagi manusia mengenal dan memahami keselamatan Allah atas umatnya melalui Yesus Kristus. Orang-orang percaya menjadi anggota gereja untuk mendapatkan keselamatan Allah melalui pemberitaan “firman”. Khususnya pada sakramen-sakramen yang dilayankan gereja sebagai pernyataan iman dan kebersamaan atau pesekutan orang-orang percaya dengan manusia dan Allah.

Gereja tidak hanya merupakan kendaraan atau jembatan antara Allah dan manusia, tetapi jembatan antara Allah dan segala ciptaan. Sebab sejauh gereja berkembang, gereja juga menjadi persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar keselamatan Allah kepada seluruh dunia (Aritonang 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis memahami gereja telah menjadi jawaban manusia terhadap pekerjaan penyelamatan Allah dengan wujud jasmani dan rohani sebagai kesimbangan manusia dan ciptaan Allah yaitu: sistem kebersamaan (persekutuan), sistem pengakuan (Kredo), sistem ibadah (Liturgis), dan sistem hukum (ajaran).

Gereja merupakan sistem kebersamaan (persekutuan) umat manusia. Sehingga kehidupan bergereja tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan dan kelemahan keterbatasan manusiawi. Agus Lay (2006) dalam bukunya tentang Manajemen Pelayanan menyatakan bahwa, walau pun gereja adalah sebuah


(4)

organisasi yang terdiri dan dikelolah manusia, akan tetapi gereja mempunyai dasar nilai-nilai alkitabiah dengan mengacu pada kelaziman manajemen. Ada pun pengelolaan organisasi, dimaksudkan Lay di dalamnya termasuk bagaimana mengelola konflik dalam organisasi gereja.

Lay menambahkan menurut alkitab, esensi manajemen adalah karakter dan kemudian disusul oleh struktur seperti dikatakan dalam Efesus 4:1-16 “paulus membahas tentang masalah karakter umat Tuhan.” Karakter itu dibangun di atas kenyataan “trirangkai” yaitu;

 Pertama, umat Tuhan memiliki satu Allah dan Bapa, karena itu mereka adalah satu keluarga.

 Kedua, mereka mempunyai satu Tuhan (Yesus Kristus) karena itu mereka memiliki satu panggilan.

 Ketiga, mereka mempunyai satu Roh, karena itu mereka adalah satu tubuh. Selain itu, Paulus juga menambahkan tentang struktur kepemimpinan. Di mana ada pemimpin dalam persekutuan umat Tuhan dan juga umat harus dilayani dan didewasakan dalam satu persekutuan sehingga dapat memberikan sumbangsi bagi pembangunan tubuh Kristus yaitu Kristus bersama jemaat.

Walau pun sebagai sebuah keluarga Allah seperti yang dikatakan oleh Lay, bukan berarti dalam pelayanan tidak memiliki kendala. Hugh (2007) menegaskan. Sejak permulaan pelayanannya, Yesus telah mengamati realitas kehidupan manusia. Itu sebabnya Ia berkata “ Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa (Markus 2:17b)”. Hugh, sendiri


(5)

lebih suka menggunakan kata pergumulan sebagai ganti kata konflik dalam gereja. Konflik adalah pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan; informasi atau keyakinan berbeda dalam hal kepentingan keinginan atau nilai-nilai yang berbeda. Begitulah konflik di lebih ditekankan pada keadaan-keadaan berbeda, baik emosional mau pun subtantif.

Konflik dalam gereja tidak berakhir sebelum berbagai persoalan mengenai konflik itu sendiri diselesaikan. Masalah-masalah tersebut dapat dipecahkan dengan cara menang atau kalah, kalah atau kalah, dan menang atau menang. Dengan demikian etika Kristen yang sangat diperlukan dalam mengelola konflik gereja dan mencegah berbagai bentuk perpecahan selain ingin mendapat sebutan kalah atau menang. Ketika penilaian dan faktor-faktor kontekstual muncul, para pelaku menunjukan dua strategi penyelesaian terbaik, ditawarkan oleh Hugh; pertama, strategi merundingkan masalah dan kedua, memperantai hubungan untuk mendamaikan hubungan sulit atau terganggu di antara para pelaku.

Strategi merundingkan masalah berakar dari doktrin gereja dan makna gereja dipahami sebagai janji tugas untuk menciptakan kembali kemanusiaan yang saling bergantung (interdependent humanity). Proses perundingan adalah sarana praktis untuk orang Kristen, mengatakan kebenaran adalah kasih di dalam dan diluar lembaga-lembaga gerejawi. Tujuannya, demi mewujudkan visi alkitab yaitu mewujudkan syalom Allah. Makna lain dari iman yang mendasari proses perundingan adalah keyakninan akan Roh Allah yang kreatif. Proses perundingan mengasumsikan kepercayaan kepada cara Allah yang penuh misteri untuk tinggal dalam proses - proses sosial.


(6)

Berbeda dengan strategi merundingkan masalah, strategi merantai dan memediasi hubungan bersifat menyembuhkan tetapi strategi ini, bukanlah satu terapi. Berbagai distorsi para pelaku yang teridentifikasi tidak diselesaikan dalam proses itu sendiri. Strategi memperantai dan memediasi hubungan dialaskan pada pelaku konstruktif. Di katakan oleh Brown dan Fisher, bukan untuk mengidentifikasi apa yang salah dan kekurangan terhadap para pelaku, akan tetapi strategi memusatkan perhatian pada hal benar dan berharga pada para pelaku.

Makna iman mendasari strategi, mencerminkan pemahaman Kristen tentang penebusan. Tanggungjawab manusia dan pilihan untuk bertobat dilakukan sebagai pelaksanaan anugrah Allah dengan membebaskan para pihak yang mangalami konflik. Asumsikan kepada para pelaku konflik bahwa konflik terjadi diselesaikan dengan mengubah sifat - sifat hubungan yang kacau atatu betentangan, bukan dengan menghukum para pelaku konflik. Akhirnya kedua strategi dari paparan sebelumnya memadukan pengakuan etis terhadap kepedulian komunitas dan kesejahteraan anggota- anggotanya.

Dengan begitu para pejabat dengan keyakinan-keyakinan berbeda mengendalikan emosi mereka dan mulai saling mendengarkan dengan penuh hormat satu dengan lain. Mereka memperoleh perspektif-perspektif berbeda dan utuh untuk mengembangkannya dalam win- win solution. Pada dasarnya, menjadikan konflik gereja bersifat kristiani adalah proses konstruktif yang merupakan hal vital untuk manuruh orang kristen pada suatu alur pembebasan dari konflik dengan cara berinteraksi, membangkitkan dan memanfaatkan ciri - ciri cinta kasih sebagai karunia- karunia Allah.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Konflik di Dalam Gereja (Tinjauan Terhadap Suatu Resolusi Konflik Dari Perspektif Teori Mediasi) T2 912012013 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Konflik di Dalam Gereja (Tinjauan Terhadap Suatu Resolusi Konflik Dari Perspektif Teori Mediasi) T2 912012013 BAB IV

0 1 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Konflik di Dalam Gereja (Tinjauan Terhadap Suatu Resolusi Konflik Dari Perspektif Teori Mediasi) T2 912012013 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Konflik di Dalam Gereja (Tinjauan Terhadap Suatu Resolusi Konflik Dari Perspektif Teori Mediasi)

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

0 1 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial

0 0 14