c. Resinifikasi polimerisasi
Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin polimer. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan ekstraksi minyak yang
mempergunakan tekanan dan suhu tinggi serta selama penyimpanan. Akibat resinifikasi, minyak atsiri menjadi padat dan berwarna gelap Guenther, 1987.
2.3 Cara Isolasi Minyak Atsiri
Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberaoa cara yaitu: 1 penyulingan distilation, 2 Pengepresan pressing, 3 ekstraksi dengan pelarut
menguap solvent extraction, 4 ekstraksi dengan lemak Yuliani dan Satuhu, 2012.
2.3.1 Metode penyulingan
a. Penyulingan dengan air Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak
langsung dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung diatas air atau terendam secara sempurna, tergantung pada berat jenis dan jumlah bahan yang disuling. Ciri
khas model ini yaitu adanya kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Penyulingan ini sering disebut dengan penyulingan langsung.
Penyulingan dengan cara langsung ini dapat menyebabkan banyaknya rendemen minyak yang hilang tidak tersuling dan terjadi pula penurunan mutu minyak
yang diperoleh Yuliani dan Satuhu, 2012. b. Penyulingan dengan uap
Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung. Pada prinsipnya, model ini sama dengan penyulingan langsung. Hanya saja, air
Universitas Sumatera Utara
penghasil uap tidak diisikan bersama-sama dalam ketel penyulingan. Uap yang digunakan berupa uap dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer Yuliani dan Satuhu,
2012. c. Penyulingan dengan air dan uap
Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan di atas rak-rak atau saringan berlubang. Ketel penyulingan diisi dengan air sampai
permukaannya tidak jauh dari bagian bawah saringan. Ciri khas model ini yaitu uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas. Bahan tanaman
yang akan disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas Yuliani dan Satuhu, 2012.
2.3.2 Metode pengepresan
Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah, atau kulit buah yang memiliki kandungan
minyak atsiri yang cukup tinggi. Akibat tekanan pengepresan, maka sel-sel yang mengandung minyak atsiri akan pecah dan minyak atsiri akan mengalir ke
permukaan bahan. Contohnya minyak atsiri dari kulit jeruk Yuliani dan Satuhu, 2012.
2.3.3 Ekstraksi dengan pelarut menguap
Prinsipnya adalah melarutkan minyak atsiri dalam pelarut organik yang mudah menguap. Ekstraksi dengan pelarut organik pada umumnya digunakan
mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, terutama untuk mengekstraksi minyak atsiri yang berasal dari bunga misalnya
bunga cempaka, melati, mawar dan kenanga. Pelarut yang umum digunakan adalah petroleum eter, karbon tetraklorida Yuliani dan Satuhu, 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Ekstraksi dengan lemak padat
Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga-bungaan, untuk mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode
ekstraksi dapat dilakukandengan dua cara yaitu enfleurasi dan maserasi Yuliani dan Satuhu, 2012.
a. Enfleurasi Enfleurage
Proses ini pada umumnya absorbsi minyak atsiri oleh lemak digunakan pada suhu rendah sehingga minyak terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh
panas. Metode ini digunakan untuk mengekstraksi beberapa jenis minyak bunga yang masih melanjutkan kegiatan fisiologisnya dan memproduksi minyak setelah
bunga dipetik. Hasilnya disebut ekstrait Yuliani dan Satuhu, 2012.
b. Maserasi Maceration
Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila dilakukan penyulingan atau enfleurasi akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendeman
yang rendah. Pada cara ini absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan panas pada suhu 80
o
C selama 1,5 jam. Setelah selesai pemanasan, campuran disaring panas-panas, jika perlu kelebihan lemak pada ampas disiram dengan air panas.
Kemudian dilakukan penyulingan untuk memperoleh minyak atsiri Yuliani dan Satuhu, 2012.
2.3.5. Ecuelle
Metode ini digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri yang terdapat pada buah-buahan seperti jeruk dengan cara menembus lapisan epidermis sampai ke
dalam jaringan yang mengandung minyak atsiri. Buah-buahan digelindingkan di atas papan yang permukaanya bergerigi runcing untuk melukai kulit buah.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian tetesan minyak yang keluar dikumpulkan dalam suatu wadah Claus, 1961.
2.4 Analisis Komponen Minyak Atsiri
Analisis dan karakterisasi komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit, dikarenakan minyak atsiri mempunyai sifat yang mudah
menguap pada suhu kamar. Kendala yang umumnya dialami saat menganalisis komponen minyak atsiri adalah hilangnya sebagian komponen selama proses
preparatif dan selama berlangsungnya proses analisis. Setelah ditemukan kromatografi gas GC, kendala dalam analisis komponen minyak atsiri dapat
diatasi. Pada penggunaan GC ini, efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan teknologi instrumentasi yang sangat pesat
melahirkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem yang saling menguntungkan, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektrofotomerti
massa Agusta, 2000.
2.4.1 Kromatografi gas
Kromatografi gas merupakan metode untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan senyawa-senyawa gas
anorganik dalam suatu campuran. Kegunaan umum dari Kromatografi gas adalah untuk melakukan pemisahan dan identifikasi senyawa-senyawa organik yang
mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran Rohman, 2007.
Ada 2 Jenis kromatografi gas: 1. Kromatografi gas-cair KGC
Universitas Sumatera Utara
Pada kromatografi ini, fase diam yang digunakan adalah cairan yang diikatkan pada suatu bahan pendukung support material sehingga solut akan
terlarut dalam fase diam sehingga mekanisme sorpsi-nya adalah partisi Rohman, 2007.
2. Kromatografi gas-padat Kromatografi gas digunakan untuk memisahkan komponen campuran
kimia dalam suatu bahanm berdasarkan perbedaan polaritas campuran. Fase gerak akan membawa campuran menuju kolom. Campuran dalam fase gerak akan
berinteraksi dengan fase diam. Setiap komponen yang terdapat dalam campuran berinteraksi dengan kecepatan yang berbeda, interaksi komponen dengan fase
diam dengan waktu yang paling cepat akan keluar pertama dari kolom dan yang paling lambat akan keluar paling akhir Gritter, dkk., 1991.
2.4.1.1 Gas pembawa
Gas pembawa harus memenuhi persyaratan antara lain harus inert, murni, dan mudah diperoleh. Pemilihan gas pembawa tergantung pada detektor yang
dipakai. Keuntungannya adalah karena semua gas ini harus tidak reaktif, dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering yang dapat dikemas dalam tangki
bertekanan tinggi. Gas pembawa yang sering dipakai adalah Helium He, Argon Ar, Nitrogen N, Hidrogen H, dan karbon dioksida CO
2
Agusta, 2000.
2.4.1.2. Sistem injeksi
Sampel yang akan dikromatografi dimasukkan kedalam ruang suntik, melalui gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum
atau pemisah karet. Ruang suntik haru dipanaskan tersendiri terpisah dari kolom
Universitas Sumatera Utara
dan biasanya 10-15°C lebih tinggi dari suhu kolom maksimum. Seluruh sampel akan menguap setelah sampel disuntikkan Rohman, 2007.
2.4.1.3 Kolom
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena didalmnya terdapat fase diam. Ada 2 jenis kolom pada kromatografi gas yaitu kolom kemas
dan kolom kapiler. Pipa yang terbuat dari logam, kaca, atau plastik yang berisi cairan
penyangga padat yang inert disebut dengan kolom kemas. Fase diam, baik berwujud padat maupun cair, diserap atau terikat secara kimia pada permukaan
penyangga. Diameter kolom biasanya 2-4mm dengan panjang 0,5-6 m Mc. Nair dan Bonelli, 1988.
Secara umum kolom kapiler berbeda dengan kolom kemas, dalam rongga pada bagian kolom yang menyerupai pipa tube. Ada empat macam jenis lapisan
pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT Wall Coated Open Tube; SCOT Support Coated Open Tube; PLOT Porous Layer Open Tube; dan FSOT Fused Silica
Open Tube. Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para ilmuan. Panjang kolom kapiler 25-30 meter Rohman, 2007.
2.4.1.4 Fase diam
Fase diam disapukan dalam permukaan medium, atau dilapiskan pada dinding kapiler. Fase diam yang umum digunakan pada kolom adalah fase diam
padat dan fase diam cair. Akan tetapi pada kolom kapiler lebih banyak digunakan fase cair yang disebut dengan istilah film thickness. Fase diam dibedakan
berdasarkan kepolarannya, yaitu nonpolar, sedikit polar, semi polar, dan sangat polar Agusta, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1.5 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor utama yang menentukan hasil analisis kromatografi gas dan spektrometri massa. Umumnya yang sangat menentukan
adalah pengaturan suhu injektor dan kolom Agusta, 2000.
Pemisahan pada Kromatografi Gas dapat dilakukan pada suhu yang tetap yang biasanya disebut dengan pemisahan isoterma dan dapat dilakukan dengan
menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan pemisahan terprogram. Pemisahan isotermal paling baik dipakai pada analisis
rutin. Ada dua hal yang harus diperhatikan terkait dengan pemisahan isotermal, yaitu: 1 jika suhu terlalu tinggi maka komponen akan terelusi tanpa terpisah,
sementara jika suhu terlalu rendah maka komponen yang bertitik didih tinggi akan keluar sangat lambat bahkan tetap dalam kolom. 2 terkait masalah diatas
pemisahan dapat dilakukan dengan suhu terprogram Mc.Nair dan Bonelli, 1988.
2.4.1.6 Detektor
Komponen utama selanjutnya dalam kromatografi gas adalah detektor. Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar
fase gerak gas pembawa yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal
gas pembawa dan komponen-komponen didalamnya menjadi sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisa kuanlitatif maupun
kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah di antara fase diam dan fase gerak Rohman, 2007.
Menurut Watson 2009 ada dua detektor yang populer yaitu detektor hantar-termal thermal conductivity detector dan detektor pengion nyala flame
Universitas Sumatera Utara
ionization detector.
a. Detektor hantar-termal Thermal Conductivity Detector ,TCD
Detektor ini menggunakan kawat pijar wolfram yang dipanaskan dengan dialiri arus listrik yang tetap.Gas pembawa mengalir terus menerus melewati
kawat pijar yang panas itu dan suhu dibuat dengan laju tetap. Perubahan tahanan ini mudah diukur dengan jembatan Wheatstone dan sinyalnya ditangkap oleh
perekam dan tampak sebagai suatu puncak. Prinsip kerjanya didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan suatu gas menghantar panas dari kawat pijar
merupakan fungsi bobot molekul gas tersebut.
b. Detektor pengion nyala Flame Ionization Detector , FID
Hidrogen dan udara digunakan untuk menghasilkan nyala. Suatu elektroda pengumpul yang bertegangan arus searah ditempatkan diatas nyala dan mengukur
hantaran nyala. Jenis detektor lain adalah Flame Photometric Detector FPD yang
digunakan untuk indikasi selektif dari fosfor dan sulfur. Nitrogen Phosphorous Detector NPD yang digunakan untuk senyawa-senyawa yang mengandung
nitrogen dan fosfor. Electron Capture Detector ECD yang digunakan untuk senyawa-senyawa organik kelompok elektrofilik elektronegatif,seperti halogen,
peroksida dan nitro. Mass Spectrometric Detector MSD yaitu merupakan sambungan langsung dari suatu spektrometer massa dengan suatu kolom dalam
kromatografigas kapiler.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Spektrometri Massa MS