Latar Belakang Dampak Penerapan Rspo Terhadap Pendapatan Di PT. Bakrie Sumatera Plantation, TBK

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selama kurang lebih 50 tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang menguntungkan secara global dan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit telah hampir mencakup seluruh daerah tropis RSPO, 2009. Kelapa sawit merupakan tanaman dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi karena merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati. Bagi Indonesia, kelapa sawit memiliki arti penting karena mampu menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat dan sebagai sumber perolehan devisa negara Fauzi dkk, 2002. Dalam 5 lima tahun terakhir ini terjadi pergeseran pasar market minyak nabati dunia, dari sebelumnya didominasi konsumsi minyak kedelai yang diproduksi di negara maju Eropa menjadi minyak sawit yang diproduksi di negara berkembang Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Nigeria, Ghana dll. Dari sisi suplai tahun 2007, pasokan produksi Indonesia menjadi yang terbesar 44 persen menggeser pasokan Malaysia 41 persen untuk konsumsi minyak sawit dunia. Harga minyak mentah crude oil yang naik di luar perkiraan juga membuat minyak sawit selalu menjadi pembicaraan sebagai substitusi dalam bentuk biofuel. Universitas Sumatera Utara Data-data tersebut mengukuhkan bagaimana strategisnya komoditi kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq dalam perekonomian Indonesia Bakrie, 2011. Luasan tanaman kelapa sawit Indonesia pada tahun 1991 hanya 1,12 juta ha, pada tahun 2007 telah mencapai 6,78 juta ha. Data ini menunjukan laju peningkatan luas kebun kelapa sawit Indonesia sekitar 12,3 per tahun. Sejalan dengan laju peningkatan luas perkebunan tersebut, produksi CPO pada dekade terakhir melaju 12,5 per tahun. Pada tahun 1991, produksi CPO Indonesia adalah 2.658 ribu ton dan meningkat cepat menjadi 17.374 ribu ton pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Perkebunan 2008. Peningkatan produksi yang demikian cepat disebabkan oleh konsumsi di pasar domestik dan internasional yang meningkat pesat, dan diperkirakan permintaan akan semakin besar dengan digunakannya sebagian minyak sawit untuk biodiesel. Hanya saja, meningkatnya konsumsi produk kelapa sawit berkorelasi dengan peningkatan luas perkebunan dan ditengarai akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang signifikan. Gambar 1. Produksi global minyak kelapa sawit Tahun 2008 Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Dunia Uraian 1993-1997 1998-2001 2003-2007 2007-2012 Prod 000 ton 90.501 104.281 118.061 132.234 Pangsa Minyak sawit dan inti 17,0 19,2 21,4 22,5 Minyak kedelai 19,7 19,3 18,9 19,0 Minyak rape seed 11,1 11,3 11,5 11,7 Minyak kelapa 9,2 9,2 9,2 9,2 Minyak lain-lain 43,0 41,0 41,0 37,7 Sumber : Oil World Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Perkebunan di Indonesia Komoditas Perkebunan Luas areal Ha 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Karet 3.424.217 3.435.270 3.445.415 3.456.127 3.484.073 3.492.042 Kelapa Sawit 7.363.847 7.873.294 8.385.394 3.456.127 9.074.621 9.149.919 Kelapa 3.783.074 3.799.124 3.739.350 3.767.704 3.787.724 3.796.149 Kopi 1.295.110 1.266.235 1.210.365 1.233.698 1.233.982 1.235.802 Kakao 1.425.216 1.587.136 1.650.621 1.732.641 1.732.954 1.736.403 Sumber : Dirjen Perkebunan Keterangan : : angka sementara : angka estimasi Tabel 3. Perkembangan Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia Komoditas Perkebunan Luas areal Ha 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Karet 2.754.356 2.440.347 2.734.854 2.990.184 3.040.376 3.180.297 Kelapa Sawit 17.539.788 19.324.293 21.958.120 23.096.541 23.521.071 24.431.640 Kelapa 3.239.672 3.257.969 3.166.666 3.174.379 3.176.223 3.177.343 Kopi 698.016 682.690 686.921 638.647 657.138 666.046 Kakao 803.594 809.583 837.918 712.231 936.266 938.843 Sumber : Dirjen Perkebunan Universitas Sumatera Utara Konversi hutan terjadi untuk kegiatan usaha pertanian dan perkebunan termasuk kelapa sawit. Sebagian hutan yang dikonversi tersebut bernilai konservasi tinggi high conservation value forests – Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi KBKT, karena mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi dan mempunyai fungsi ekologis dan lingkungan ecological and environmental functions yang penting. Hutan bernilai konservasi tinggi adalah kawasan hutan yang mengandung nilai-nilai penting secara nasional, regional dan global dan dalam keadaan kritis. Nilai-nilai di dalam kawasan tersebut adalah nilai keanekaragaman hayati, ekosistem langka dan terancam, jasa-jasa lingkungan dan sosial budaya masyarakat. KBKT Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi adalah kawasan atau areal hutan, kebun kelapa sawit, kawasan tambang yang dianggap penting dan kritis karena tingginya nilai lingkungan, sosial ekonomi, sosial budaya, keanekaragaman hayati, dan bentang alam yang melekat padanya. KBKT dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, habitat bagi spesies yang terancam punah, ataupun merupakan tempat bermukim dan tempat sakral bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Pentingnya nilai-nilai tersebut dipertahankan mendorong lahirnya konsep High Conservation Value Forest HCVF yang disusun oleh Forest Stewardship Council. Konsep ini mengintegrasikan pemanfaatan hutan dengan isu konservasi lingkungan, sosial dan kultur dalam suatu unit pengelolaan. Dengan demikian diharapkan keberlangsungan pembangunan atau produksi dari suatu unit Universitas Sumatera Utara pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya yaitu terjaganya nilai-nilai penting dari suatu kawasan RSPO, 2009. Secara regulasi pemerintah mengharuskan pembangunan perkebunan di Indonesia mengikuti Undang-undang UU Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004 pasal 2 yang menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas azas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Tujuan pembangunan perkebunan yang tercantum dalam pasal 3 antara lain juga menyatakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan menyediakan lapangan kerja. Demikian juga UU No 40 tahun 2007 tentang perseroaan terbatas pasal 74 bahwa perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pembangunan sub sektor perkebunan kelapa sawit saat ini disepakati agar pembangunan dilaksanakan dengan cara berkelanjutan sustainability development. Kesepakatan tersebut dihasilkan melalui beberapa kali pertemuan Meja Bundar Multistakeholders Menuju Kebun Sawit Berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO Pertemuan RSPO di Singapura bulan November 2005 telah disepakati bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus menerapkan Prinsip dan Kriteria RSPO yang mengandung 8 prinsip dan 39 kriteria. Pada prinsip 5 dan 7 terdapat kriteria perlindungan terhadap NKT Nilai Konservasi Tinggi. Disamping Prinsip dan Kriteria RSPO, Undang-Undang Republik Indonesia No. 18, 2004, Pasal 2 mengharuskan pembangunan perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan hal tersebut, perusahaan perlu mengikuti undang- undangperaturan terkait dan mengadopsi Prinsip dan Kriteria RSPO maka perusahaan memerlukan analisis dampak sosial dari pembangunan perkebunan. Perusahaan perkebunan sawit juga berkepentingan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial jangka panjang yang positif dan saling menguntungkan dengan berbagai pihak yang menjadi pemangku kepentingan bagi kegiatan-kegiatan operasionalnya. Untuk membangun hubungan sosial yang baik, maka diperlukan pengetahuan tentang social impact analysis yang meliputi pemetaan para pemangku kepentingan yang ada di sekitar lokasi perusahaan. Pemetaan mengenai kepentingan, persepsi dan harapan dari para pemangku kepentingan merupakan informasi penting bagi perusahaan untuk mengelola hubungan dengan para pemangku kepentingan Bakrie, 2011.

1.2 Identifikasi Masalah