2.2 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen
Setiap karya sastra mengandung unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sehubungan dengan hal itu, Redyanto Noor 2004:29 mengungkapkan bahwa unsur-unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun dari dalam cerita, misalnya dalam cerita rekaan berupa tema, amanat, alurplot, tokoh dan penokohan, latar setting dan sudut pandang point
of view.
2.2.1 Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sastra sebgaai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan Hartoko Rahmanto, dalam Nurgiyantoro 1995 :68. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya
yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran
peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita.
Tema dengan demikian, dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel ataupun cerita pendek. Gagasan umum inilah yang
sebelumnya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori yang berbeda tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Pengkategorian tema yang akan dikemukakanberikut,
dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yag bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan tema dilihat dari tingkat pengalaman jiwa
menurut Shipley, dan penggolongan tema menurut tingkat keutamaannya. Nurgiyantoro, 1995:77
a. Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti arti ia telah lama digunakan dan dapat ditemukan
5
dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi: i kebenaran dan keadilan
mengalahkan kejahatan, ii tindak kejahatn walaupun ditutup-tutupi akan terbongkar juga, iii tindak kejahatan dan kebenaran masing-masing akan memetik
hasilnya Jawa: becik ketitik ala ketara, iv cinta yang sejati menuntut pengorbanan, v kawan sejati adalah kawan di masa duka dan sebagainya. Tema
tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan Meredith Fitzgerald, 1972:66.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang bersifat nontradisional..
karena bersifat nontradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan bahkan boleh jadi
mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain. Novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H, misalnya menampilkan tema yang melawan arus
tersebut, kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.
b. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature 1962:417 mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan dalam
cerita. Shipley membedakan tema berdasarkan tingkat pengalaman jiwa yang tdisusun dari tingkat yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat
yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Fisik, manusia sebagai molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik dari pada
kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan, misalnya Around the World in Eighty Days karya Julius
Verne. 2. Tingkat Organik, manusia sebagai protoplasma. Tema karya sastra pada tingkat
ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan
kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel dengan tema tingkat ini, khususnya kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya
berupa penyelewengan dan penghianatan suami isteri, atau skandal-skandal
6
sesualitas yang lain ,contohnya dalam novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis.
3. Tingkat Sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan
lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema, Misalnya dalam novel Royan Revolusi karya
Mochtar Lubis yang menonjolkan kritik sosial. 4. Tingkat Egoik, manusia sebagai individu. Disamping sebagai makhluk sosial
manusia juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu
manusia mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah
individualitas biasanya menunjukan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang, contohnya dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.
5. Tingkat Divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami atau mencapainya. Masalah yang menonjol pada tingkat ini,
ialah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi dan
keyakinan. Karya-karya Navis seperti Robohnya Surau Kami,Datangnya dan Perginya, dan Kemarau dapat digolongkan ke dalam fiksi bertema tingkat ini.
c. Tema Utama dan Tema Tambahan