Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum

BAB II PENGATURAN PKWT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN Sebelum memasuki ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang PKWT, terlebih dahulu akan diuraikan tentang perjanjian secara umum dan tentang perjanjian kerja.

A. Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.” 49 Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian 49 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 6. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan keududukan perjanjian kerja. 50 Pengertian perjanjian kerja mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat, hal ini terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada lain dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat. Menurut Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu: 51 a. Adanya pihak-pihak b.Adanya persetujuan antara para pihak c. Ada tujuan yang akan dicapai d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian Untuk sahnya perjanjian, harus memenuhi beberapa syarat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 1. Sepakat Mereka Mengikatkan Dirinya 50 Djumadi, Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 13. Di dalam pengertian perjanjian kerja tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang karena pihak yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dari bekerja di bawah perintah orang lain dalam hal ini adalah pengusaha. 51 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 78. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 Yang dimaksud dengan sepakat ialah kedua belah pihak mengadakan perjanjian telah mencapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan Pasal 1321, 1322, 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu, tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, kekerasan jasmani, maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia, sehingga orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu Pasal 1324 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Tidak ada kekhilafan atau kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal yang pokok yang diperjanikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian atau dengan siapa diadakan perjanjian itu. Tidak ada penipuan, dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu. Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipuan muslihat dengan memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Misalnya dalam jual beli seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli bahwa barang itu masih baru padahal sebelumnya ia telah mengecat barang itu, ia memberikan kesan yang memeperdayakan seolah-olah keadaannya baru sehingga pembeli tadi terjerumus olehnya. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Pada umumnya seorang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai 21 tahun ataupun telah kawin walaupun benar belum berumur 21 tahun. Di dalam Pasal 1330 Kitab Undang- Undang Hukum perdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka dan bagi istri ada izin dari suaminya. Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, istri sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya dan Pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya membuat perjanjian. Tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat kuasa untuk itu. Jadi untuk dapat membuat suatu perjanjian, seorang itu harus dewasa, sehat pikirannya dan tidak dibatasi atau dikurangi wewenangnya di dalam melakukan perbuatan hukum. Badan hukum yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain sebagai berikut: Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 a. Adanya harta kekayaaan terpisah b. Mempunyai tujuan tertentu c. Mempunyai kepentingan sendiri d. Ada organisasi Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, barulah badan hukum tersebut bisa disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum dan setelah suatu badan hukum memenuhi syarat sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka badan hukum tersebut telah bisa melakukan hubungan hukum. 3. Suatu hal tertentu Suatu perjanjian disyaratkan harus mengenai hal tertentu. Hal ini penting untuk menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Barang yang menjadi objek perjanjian sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Misalnya jual beli cabai, harus ditentukan jenis apa, cabai rawit atau cabai kering. 4. Suatu sebab yang halal Yang dimaksud sebab atau causa yaitu mengenai isi perjanjian yang menggambarkan perjanjian yang menunjukkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak- pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian adalah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang dan pihak lainnya menghendaki sejumlah uang diserahkan, selanjutnya sebab atau causa itu halal menurut undang-undang, apabila tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 Suatu sebab atau causa yang dikatakan tidak halal dilarang undang-undang misalnya jual beli candu, membunuh orang. Perjanjian yang bercausa tidak halal bertentangan dengan ketertiban umum misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang bercausa tidak halal bertentangan dengan kesusilaan membocorkan rahasia perusahaan, berbuat cabul. Sebenarnya keempat syarat tersebut di atas, dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: 52 a. Syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian dimana hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian. b. Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, ini meliputi hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya perizinannya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan oleh hakim, atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya. 52 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 94. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 Lain halnya dengan suatu syarat obyektif, jika suatu syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu perjanjian dalam suatu perjanjian pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan individual dan kebebasan individu baik kebebasan berkontrak berpangkal pada kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memiliki sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian serta setiap orang harus dipandang sama dan diperlukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama. Kebebasan liberal yang mengagungkan individualisme mempunyai pandangan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama akan dapat menimbulkan ketidakadilan yang besar bagi seseorang, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus ikut campur tangan dalam hal pembuatan suatu perjanjian yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 kelompok-kelompok tertentu, yang pada umumnya mempunyai kedudukan sosial dan ekonomi yang relatif lemah. 53 Campur tangan pemerintah diperlukan, ditinjau dari pihak pengusaha dipandang layak karena bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini buruh, agar tercapai keseimbangan yang mendekatkan masyarakat pada tujuan negara yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. Di dalam penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Buruh antara lain disebutkan bahwa pada pokoknya mengakui adanya serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, untuk mendapatkan persetujuan tentang apa yang dikehendaki. Tetapi walaupun demikian kekuasaan itu harus dibatasi, yakni di dalam lingkungan apa yang oleh pemerintah yang dianggap layak. Dalam perjanjian pada umumnya dan perjanjian kerja pada khususnya asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas yang utama, namun dalam ketentuan yang mengatur tentang itu terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri, hal ini dikarenakan antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu, baik mengenai kondisi, kedudukan hukum dan berbagai hal antara mereka yang membuat perjanjian kerja. Pihak yang satu, dalam hal ini pekerja mempunyai 53 J. M. Van Duane dkk, sewaktu memberikan penataran Hukum Perjanjian terhadap dosen- dosen hukum perdata seluruh Indonesia pada bulan Januari 1997 di Fakultas Hukum UGM dalam Djumadi, Op.Cit., hlm. 26. Muhammad Fajrin Pane : Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaBuruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu…, 2008 USU e-Repository © 2008 kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak lainnya yaitu pihak pengusaha atau majikan. Dengan adanya kenyataan bahwa antar para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut ada perbedaan, yaitu kondisi dan kedudukan yang berbeda dan tidak seimbang sehingga diperlukan adanya intervensi dari pihak ketiga yaitu pemerintah guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.

B. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja

Dokumen yang terkait

Perbandingan Pengaturan Upah Dan Pekerja Perempuan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 45 81

Analisis Terhadap Status Hukum Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

11 248 141

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)

3 59 141

Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu)

0 41 176

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

4 75 129

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

Perlindungan Hukum Terhadap Artis Cilik Dalam Perjanjian Kerja Dengan Rumah Produksi Sinetron Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak JUNCTO Undang-Undang Nomor 13 Tahuan 2003 Tentang Ketenagakerjaan

8 39 80

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 6 1

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Penyelia Jasa (Outsourcing) Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik I

0 2 1

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dalam Hal Teradi Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 4 26