2. Kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense
Data kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense berdasarkan analisis sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense
Perlakuan Tingkat kejadian penyakit
15 hsi 30 hsi
45 hsi 60 hsi
M0R0F0 0,000,71c
0,000,71c 0,000,71c
0,000,71d M1R0F0
0,000,71c 0,000,71c
0,000,71c 0,000,71d
M0R1F0 0,000,71c
0,000,71c 0,000,71c
0,000,71d M0R0F1
33,335,82a 55,567,40a
55,567,40a 88,899,42a
M1R1F1 0,000,71c
33,335,82a 33,335,82a
55,567,40b M2R1F2
11,112,41b 12,222,83b
22,224,11b 66,678,20a
M2R2F1 22,224,11b
22,224,11b 22,224,11b
55,567,40b M1R3F2
0,000,71c 11,112,41b
11,112,41b 33,335,82b
M1R2F3 0,000,71c
0,000,71c 11,112,41b
22,224,11c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 berdasarkan uji jarak Duncan. Angka di dalam kurung adalah
hasil Transformasi �� + 0,5.
Data analisa sidik ragam Tabel 2 dapat dilihat pada 15 hsi sudah ditemukan gejala layu Fusarium pada perlakuan M0R0F1 hanya diinokulasikan
F. oxysporum f.sp cubense, M2R1F2 inokulasi R. similis pada minggu pertama dan 1 minggu kemudian diinokulasikan CMA dan F. oxysporum f.sp cubense dan
M2R2F1 inokulasi F. oxysporum f.sp cubense pada minggu pertama dan 1 minggu kemudian diinokulasikan CMA dan R. similis masing-masing sebesar
33,33, 11,11 dan 22,22. Sedangkan perlakuan M1R3F2 inokulasi CMA pada minggu pertama, 1 minggu kemudian diinokulasikan F. oxysporum f.sp
cubense dan 1 minggu kemudian diaplikasikan R. similis gejala baru terlihat pada 30 hsi dan M1R2F3 inokulasi CMA pada minggu pertama, 1 minggu kemudian
diinokulasikan R. similis dan 1 minggu kemudian diaplikasikan F. oxysporum f.sp cubense gejala terlihat pada 45 hsi. Pengamatan pada 60 hsi pada semua
perlakuan yang diinokulasikan F. oxysporum f.sp cubense sudah terlihat gejala layu fusarium. Pada perlakuan M0R0F1 persentase kejadian penyakit pada 15 hsi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebesar 33,33, kemudian meningkat menjadi 55,56 pada 30 hsi dan 45 hsi, sedangkan pada 60 hsi kejadian penyakit meningkat menjadi 88,89. Hal ini
terjadi karena M0R0F1 tidak diberikan CMA sebagai agens pengendali hayati yang dapat melindungi tanaman dari serangan patogen F. oxysporum f.sp cubense.
Suswati 2005 menyatakan bahwa pemanfaatan fungi CMA arbuskular FMA indigenus dari rizosfir pisang merupakan solusi potensial untuk mengendalikan
patogen tular tanah dan mampu meningkatkan ketahanan pisang terhadap berbagai jenis patogen.
Dari Tabel 2 dapat dilihat pada perlakuan yang diberi CMA masih terdapat tanaman pisang yang menunjukkan gejala layu, walaupun persentase kejadian
penyakit lebih rendah dibanding tanaman yang tidak diberi mikoriza. Persentase kejadian penyakit pada perlakuan pemberian F. oxysporum f.sp. cubense saja
sebesar 88,89, pada perlakuan pemberian F. oxysporum f.sp. cubense, R. similis dan CMA secara bersamaan sebesar 55,56, pada perlakuan F. oxysporum f.sp.
cubense pada minggu pertama 55,56, pada perlakuan R. similis pada minggu pertama 66,67, pada perlakuan CMA pada minggu pertama 33,33. Dari hasil
di atas dapat diketahui bahwa mikoriza yang diberikan pada minggu pertama mempunyai persentase kejadian penyakit yang rendah.
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa waktu inokulasi CMA mempengaruhi lamanya kejadian penyakit. Keberhasilan introduksi CMA dalam penekanan
penyakit akan ditentukan berbagai faktor diantaranya oleh jenis CMA, tingkat kolonisasi CMA, urutan introduksi, fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman
inang. Pada perlakuan M2R1F2 dan M2R2F1 kejadian penyakit sudah muncul pada 15 hsi, dimana CMA diaplikasikan pada minggu ke dua. Sedangakan CMA
yang diaplikasikan pada minggu pertama yaitu pada perlakuan M1R3F2 dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M1R2F2 baru muncul pada 30 hsi dan 45 hsi. Menurut Dell 2006 hal ini terjadi karena CMA mampu memberikan perlindungan terhadap patogen primer seperti
F. oxysporum f.sp. cubense dan R. similis yang menyerang akar tanaman. Abbot dan Robson 1984 menyatakan bahwa CMA menggunakan semua kelebihan
karbohidrat dan eksudat akar lainnya yang menyebabkan terciptanya lingkungan
yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan patogen. Sharda dan Rodrigues
2009 mengemukakan bahwa tanaman yang bermikoriza, mengandung
isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tahan terhadap serangan patogen karena senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan patogen tanah.
3. Keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense