Kecernaan Pakan dan Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur dan Kelembaban

(1)

SUTAN P. NASUTION. Feed Digestibility And Behavior Of Long-tailed Macacaque (M. fascicularis) In Temperature and Humidity Acclimation Condition. Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI S. SATYANINGTIJAS.

The aim of this study was conducted to evaluate the feed digestibility and behavior of long-tailed macacaque in temperature and humidity acclimation condition. The research used ten male macacaques aged of 4 to 5 years old and were experienced into three different stages of room temperature and humidity; after seven days adaptation periode was done (without used temperature and humidity setting), acclimation was done for 14 days (at 25°C temperature and 78% rel. humidity), and post-acclimation stage for 14 days (without used temperature and humidity setting). Feed digestibility, body weight, and long-tailed macacaque behavior were evaluate at 7th day (adaptation stage); 10th day and 14th day (acclimation stage); 28th day and 35th day (post-acclimation stage). The result showed that feed digestibility and long-tailed macacaque behavior generally were increased at all condition but not significant. Condition with room temperature (25,79 ± 1,16)°C and (80,19 ± 9,05)% rel. humidity were seem more suitable condition for animal model of long-tailed macacaque.

Keywords: long-tailed macacaque, feed digestibility, behavior, temperature and humidity


(2)

PANJANG

(Macaca fascicularis) PADA KONDISI AKLIMASI

TEMPERATUR DAN KELEMBABAN

SUTAN P. NASUTION

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kecernaan Pakan dan Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur dan Kelembaban adalah benar merupakan hasil karya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua dan sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Sutan P. Nasution NIM. B04104019


(4)

SUTAN P. NASUTION. Feed Digestibility And Behavior Of Long-tailed Macacaque (M. fascicularis) In Temperature and Humidity Acclimation Condition. Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ARYANI S. SATYANINGTIJAS.

The aim of this study was conducted to evaluate the feed digestibility and behavior of long-tailed macacaque in temperature and humidity acclimation condition. The research used ten male macacaques aged of 4 to 5 years old and were experienced into three different stages of room temperature and humidity; after seven days adaptation periode was done (without used temperature and humidity setting), acclimation was done for 14 days (at 25°C temperature and 78% rel. humidity), and post-acclimation stage for 14 days (without used temperature and humidity setting). Feed digestibility, body weight, and long-tailed macacaque behavior were evaluate at 7th day (adaptation stage); 10th day and 14th day (acclimation stage); 28th day and 35th day (post-acclimation stage). The result showed that feed digestibility and long-tailed macacaque behavior generally were increased at all condition but not significant. Condition with room temperature (25,79 ± 1,16)°C and (80,19 ± 9,05)% rel. humidity were seem more suitable condition for animal model of long-tailed macacaque.

Keywords: long-tailed macacaque, feed digestibility, behavior, temperature and humidity


(5)

Sutan P Nasution. Kecernaan Pakan Dan Perilaku Monyet Ekor Panjang(Macaca fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur dan Kelembaban. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ARYANI S. SATYANINGTIJAS.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang pada kondisi dinamis dengan perbedaan pengaturan suhu dan kelembaban. Pada penelitian ini digunakan 10 monyet ekor panjang jantan berumur 4 hingga 5 tahun yang terdiri dari tiga tahapan kondisi suhu dan kelembaban ruangan yang berbeda, yaitu tahap adaptasi selama 7 hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban), tahap aklimasi selama 14 hari (suhu 25oC dan kelembaban 78% rel.), dan tahap post-aklimasi selama 14 hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban). Pengambilan sampel kecernaan pakan, bobot badan dan perilaku dilakukan pada hari ke-7 (tahap adaptasi), hari ke-10 dan ke-14 (tahap aklimasi), hari ke-28 dan ke-35 (post-aklimasi). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari pengaturan suhu dan kelembaban ruangan terhadap kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang. Kondisi suhu dan kelembaban ruangan sebesar (25,79 ± 1,16)°C dan (80,19 ± 9,05)% rel. merupakan kondisi yang nyaman bagi hewan model monyet ekor panjang.

Kata kunci: Monyet ekor panjang, kecernaan pakan, perilaku, suhu dan kelembaban


(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PANJANG

(Macaca fascicularis) PADA KONDISI AKLIMASI

TEMPERATUR DAN KELEMBABAN

SUTAN P. NASUTION

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur dan Kelembaban

Nama : Sutan P Nasution

NIM : B04104019

Disetujui

Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, MSc. AIF Dr. Drh. Aryani Sismin S, MSc. AIF

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(9)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2009 dengan judul Kecernaan Pakan Dan Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur Dan Kelembaban. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tak langsung, untuk itu penulis ucapkan terima kasih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim peneliti kerjasama FKH-IPB dengan PT. LG Electronics Indonesia Tahun 2009 yang diketuai oleh Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M. Sc dengan judul Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk Pada Hewan Model Primata Dan Rodentia, melalui kegiatan penelitian mereka sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, ayahanda Juragan Nasution dan ibunda Masneli Siregar serta kedua adik, Alfiansyah Putra Nasution dan Lira Erliana Nasution serta kekasihku tercinta yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat untuk terus menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc. AIF selaku pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc. AIF selaku pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan dan nasehat yang sangat berguna.

3. Drh. Adi Winarto Phd. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan semangat dan nasehat untuk terus belajar.

4. Staff di Laboratorium Analisa Pakan Fapet yang telah membantu untuk memperoleh data.

5. Teman-teman sepenelitian, M. Faried Hilmy, Harlendo Swedianto, dan Ridzki M. F. Binol. Teman-teman Asteroidea 41, adik-adik kelas FKH IPB serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, setiap insan di dunia ini tidak ada yang sempurna dan luput dari kesalahan, demikian pula skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pembaca dan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2012


(10)

Penulis dilahirkan di Aekkanopan pada tanggal 2 Agustus 1986 dari ayah Juragan Nasution dan ibu Masneli Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 112280 Aekkanopan dan lulus tahun 1998. Pendidikan penulis dilanjutkan ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Negeri 1 Kualuh Hulu (1998-2001). Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kualuh Hulu dan lulus pada tahun 2004 serta lulus seleksi masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran hewan sebagai jurusan yang akan ditempuh untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulis aktif dalam pembinaan keolahragaan yang ada di Institut Pertanian Bogor dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB dalam cabang sepakbola dan futsal. Prestasi yang diraih adalah juara 2 futsal TPB – IPB pada tahun 2004 dan juara 1 futsal antar angkatan di FKH – IPB pada tahun 2004 – 2008 serta juara 2 sepakbola olimpiade IPB pada tahun 2006.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………... xi

I. PENDAHULUAN ……….. 1

I.1 Latar Belakang ……….………. 1

I.2 Tujuan Penelitian ………..……….... 2

I.3 Manfaat Penelitian ……… 2

I.4 Hipotesis Penelitian ……….. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 4

II.1 Ciri-ciri MorfologiMacaca fascicularis……….. 4

II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ……….. 4

II.1.2 Pemanfaatan dan HabitatM. fascicularis ………. 5

II.2 Parameter Fisiologis Monyet Ekor Panjang ………. 7

II.2.1 Tingkah LakuM. fascicularis……… 7

II.2.2 Pakan ……….. 10

II.2.3 Kecernaan Pakan ……… 16

II.3 Fisiologis Adaptasi Primata ………. 19

II.3.1 Mikroklimat Suhu dan Kelembaban ……….. 19

II.3.2 Pengaruh Mikroklimat Lingkungan terhadap Kondisi Fisiologis ……….. 20

II.3.3 Termoregulasi Suhu Tubuh ……… 21

II.3.4 Stress ……….. 23

III. BAHAN DAN METODE ……… 25

III.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……….... 25

III.2 Alat dan Bahan Penelitian ……….. 25

III.3 Persiapan Penelitian ………... 25

III.4 Protokol Penelitian ………..………... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 30

IV.1 Kecernaan Pakan dan Pertumbuhan Bobot Badan Macaca fascicularis ……… 30

IV.2 PerilakuM. fascicularis ………...……….. 32

IV.3 Diskusi Umum ………... 35

V. SIMPULAN DAN SARAN………... 37

V.1 Simpulan ……….. 37

V.2 Saran ………. 37

VI. DAFTAR PUSTAKA ……… 38


(12)

Halaman

1. Kebutuhan nutrisi monyet ekor Panjang (MEP) dewasa ..………. 15

2. Rataan kecernaan pakan monyet ekor panjang (Suprayogiet al. 2009) ……….. 18

3. Prosedur pemberian perlakuan terhadap hewan coba ………….... 28

4. Borang penilaian perilaku monyet ekor panjang (Suprayogiet al. 2009) ……….. 29

5. Rataan kecernaan pakanMacaca fascicularis ………... 30

6. Pertumbuhan bobot badanMacaca fascicularis ……….... 32


(13)

I.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang merupakan salah satu satwa primata yang berhasil beradaptasi terhadap lingkungan. Monyet ini tersebar di Asia Tenggara diantara 20 °LU – 10 °LS dan antara 92 – 128 °BT (Wheatley 1980). Monyet ekor panajang atau Macaca fascicularis (Long-tailed Macaque) famili Cercopithecidae termasuk satwa yang dilindungi menurut Akta 76/72 dan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendiks II. Kehidupan monyet ini ternyata memiliki nilai yang cukup tinggi bagi manusia, yaitu memiliki nilai ekologi, estetika, rekreasi dan komersial. Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor monyet terbesar di dunia. Berbagai manfaat sumber daya biologi ini, diantaranya untuk penelitian bidang farmasi dan kedokteran (Suprijatna dan Wahyono 2000).

Habitat monyet ekor panjang diketahui berada di sepanjang lembah yang berbatasan dengan air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai atau hutan. Perubahan lingkungan habitat ini dapat mengakibatkan kondisi monyet ekor panjang menjadi tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini dapat mempengaruhi perilaku maupun nilai fisiologis diantaranya kecernaan pakan. Nilai fisiologis maupun perilaku primata ini harus diketahui secara pasti untuk dapat menggunakan Macaca fascicularis ini sebagai hewan model. Saat ini referensi yang digunakan untuk merujuk nilai fisiologis monyet ekor panjang berasal dari literature asing (luar Indonesia). Nilai-nilai tersebut kemungkinan akan mengalami perbedaan bila pengukurannya dilakukan pada kondisi iklim di daerah tropis, khususnya Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki perairan (laut) cukup luas sehingga berpengaruh terhadap kondisi iklim. Kondisi iklim tropis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologis hewan.

Kondisi mikroklimat (temperatur dan kelembaban) di ruangan kandang juga memperngaruhi nilai fisiologis maupun perilaku hewan, sehingga dalam pelaksanaan penelitian biomedis yang menggunakan hewan model harus


(14)

memperhatikan mikroklimat ruangan kandang pada zona nyaman. Proses aklimasi temperatur dan kelembaban pada monyet merupakan salah satu upaya untuk memperoleh zona nyaman. Menurut Kendeigh (1980) aklimasi adalah suatu perubahan kondisi fisiologis organisme untuk mengurangi tekanan akibat pemberian cekaman secara eksperimental. Proses aklimasi pada pelaksanaan penelitian penting dilakukan agar menghasilkan data penelitian dengan ketepatan tinggi dan tidak bias karena pengaruh lingkungan. Pengaruh kondisi yang tidak nyaman ini mengarah pada kondisi stress terhadap hewan model. Kondisi stress dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, metabolisme tubuh, perilaku menjadi lebih tidak terkendali, penurunan kecernaan pakan, peningkatan asupan air, dan menyebabkan penurunan bobot badan (Guyton and Hall 2008).

Sampai saat ini belum banyak informasi kajian lapang maupun laboratorium mengenai nilai fisiologis hewan model sebagai referensi di wilayah tropis, terutama kecernaan pakan dan perilaku. Kedua nilai tersebut juga belum diketahui bila hewan model dalam kondisi adaptasi lingkungan dan aklimasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh aklimasi di ruang kandang terhadap kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang sebagai hewan model.

I.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kecernaan pakan dan tingkah laku monyet ekor panjang(Macaca fascicularis) pada kondisi aklimasi temperatur dan kelembaban di ruang kandang hewan model.

I.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang nilai kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang pada kondisi adaptasi, aklimasi temperatur dan kelembaban, serta post-aklimasi.

I.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa penelitian ini adalah bahwa perubahan mikroklimat berupa temperatur dan kelembaban tidak akan mempengaruhi parameter fisiologis hewan


(15)

model, yaitu terhadap nilai kecernaan pakan dan perilaku M. fascicularis. Hipotesis tersebut akan dinilai dengan bentuk penilaian berikut:

H0 : Perubahan mikroklimat berupa temperatur dan kelembaban secara signifikan akan mempengaruhi nilai kecernaan pakan dan perilaku normalM. fascicularis

H1 : Perubahan mikroklimat berupa temperatur dan kelembaban secara signifikan tidak akan mempengaruhi nilai kecernaan pakan dan perilaku normalM. Fascicularis


(16)

II.1 Ciri- ciri dan MorfologiMacaca fascicularis II.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Monyet ekor panjang (MEP) sering disebut juga long-tailed macaque, crab eating monkey, dan cinomolgus monkey. Nama lokal monyet ekor panjang di berbagai daerah di Indonesia adalah Cigaq (Minangkabau), Karau (Sumatera), Warik (Kalimantan), Warek (Dusun), Bedes (Tengger), Ketek (Jawa), Kunyuk (Sunda), Motak (Madura) dan Belo (Timor) (Suprijatna dan Wahyono 2000). Menurut Lang (2006), taksonomi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai berikut:

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Anthropoidea Infra Ordo : Catarrhini Super Famli : Cercopithecoidea

Famili : Cercopithecidae

Genus : Macaca

Spesies :Macaca fascicularis

Sub Spesies :M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M. f.

fascicularis, M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f. philipines, M. f. tua, M. f. umbosa.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah satwa primata yang menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari(quandrapedalisme), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala dan badan. Primata ini memiliki bantalan duduk(ischial sallosity) yang melekat pada tulang duduk (ischial) dan memiliki kantong makanan di pipi (cheek pouches). Warna bulu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) agak kecoklatan sampai abu-abu, pada bagian punggung lebih gelap dibanding dengan bagian perut dan dada, rambut kepalanya pendek tertarik ke belakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat, ekornya tertutup bulu halus (Napier dan Napier 1985).


(17)

Menurut Lekagul dan McNeely (1988), menyatakan bahwa Macaca fascicularisdinamakan monyet ekor panjang karena memiliki ekor panjang, yang berkisar antara 80% hingga 110% dari total panjang kepala dan tubuh. Ukuran tubuh jantan adalah 412 mm hingga 648 mm dengan bobot badan 4,7 kg hingga 8,3 kg. Betina mempunyai panjang 385 mm hingga 503 mm dan bobot badan 2,5 kg hingga 5,7 kg. Ekor berbentuk silindris dan muskular serta ditutupi oleh rambut. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mempunyai dua warna utama yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan serta memiliki alis dan rambut mahkota yang cukup tinggi. Menurut Suprijatna dan Wahyono (2000), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) memiliki panjang tubuh berkisar antara 385 mm hingga 668 mm. Bobot tubuh jantan dewasa berkisar antara 3,5 kg hingga 8,0 kg, sedangkan bobot tubuh rata-rata betina 3 kg. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa monyet jantan dewasa mempunyai bobot badan berkisar antara 5,5 kg hingga 10,9 kg dan betina antara 4,3 kg hingga 10,6 kg.

II.1.2 Pemanfaatan dan HabitatM. fascicularis

Satwa primata adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena secara anatomis dan fisiologis satwa primata memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi 1984). Non-Human Primata (monyet, Macaca fascicularis) secara filogenik dan fisiologis memiliki kemiripan dengan manusia dan sangat cocok digunakan dalam penelitian biomedis (Sibal dan Samson 2001). Monyet ekor panjang memiliki ukuran yang besar dan jangka waktu hidupnya lebih lama dibandingkan hewan model lainnya memungkinkan pengambilan sampel untuk waktu yang lama (Wagneret al. 1996).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), jenis satwa primata yang sangat sering digunakan dalam penelitian adalah monyet asia, terutama monyet rhesus(Macaca mulata) dan monyet ekor panjang(Macaca fascicularis). Bennett et al. (1995), menyatakan bahwa nilai ilmiah satwa primata untuk penelitian biomedis diperoleh dari persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek. Menurut Sulaksono (2002), menyatakan bahwa variasi nilai rujukan parameter faal Macaca


(18)

fascicularis menurut sentra hewan dan jenis kelamin, masih dalam batas yang dapat ditolerir untuk hewan percobaan yang dipelihara dengan kondisi pemeliharaan konvensional, sehingga dengan demikian para peneliti Indonesia yang menggunakan kera sebagai model penelitiannya dapat menggunakan nilai rujukan tersebut sebagai salah satu referensinya

Pemeliharaan monyet sebagai hewan penelitian harus memenuhi persyaratan yang telah diatur oleh sebuah komisi kesejahteraan hewan. Menurut Moss (1992), kesejahteraan dalam arti luas yaitu menyangkut masalah fisik atau mental dari hewan dan dapat bertingkah laku sesuai dengan kebiasaannya di alam bebas. Komisi kesejahteraan memperhitungkan keselamatan hewan, orang disekitarnya dan kemungkinan terjadi kecelakaan kerja. Komisi tersebut memutuskan yang terbaik bagi hewan yaitu mendapat cukup kebebasan dalam bergerak tanpa kesulitan berputar, merawat diri, berdiri, berbaring dan merengangkan badan. Komisi ini juga mempertimbangkan keadaan pakan yang diberikan. Hewan harus terbebas dari rasa lapar dan haus.

Kandang monyet harus dipertimbangkan sesuai keperluan tingkah laku, emosi, dan sosial. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tidak boleh dikandangkan sendirian dan terpencil, karena akan menimbulkan suatu bentuk cekaman yang mengganggu proses tingkah laku dan fisiologi normal. Satwa primata harus dikandangkan di ruang atau daerah sejauh mungkin dari kandang hewan lain. Syarat ini untuk mengurangi resiko penularan penyakit dan keamanan dalam memelihara (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Menurut Sajuthi (1984), kandang monyet harus dibuat dengan konstruksi yang kuat, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan dari monyet itu sendiri. Jenis kandang kelompok yang terbuat dari ram kawat perlu dilengkapi tempat peristirahatan yang agak tinggi dan bentuknya harus memadai. Kandang individu harus dilengkapi dinding belakang geser (kandang jepit), sehingga monyet dapat didorong ke bagian depan kandang.

Pada umumnya, habitat asliMacaca fascicularis selalu berada disepanjang lembah yang berbatasan dengan air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai ataupun hutan, sehingga monyet ekor panjang ini dapat menyesuaikan diri pada semua peringkat ekologi (Ecologically diverse). Monyet ekor panjang aktif


(19)

secara teratur dari matahari terbit hingga tenggelam lagi, hidupnya berkelompok dengan jumlah kelompok sekitar 20 – 50 ekor dan selalu berpindah-pindah mengikuti ketersediaan pakan. Sesuai habitat aslinya diatas tadi, kemungkinan suhu yang cukup baik bagi kehidupanMacaca fascicularisberkisar diantara 25 -27°C.

Habitat monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim sampai hutan rawa-mangrove, dan juga di hutan iklim sedang (Cina dan Jepang). Habitat dan penyebarannya ditentukan oleh beberapa hal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup yaitu sumber makanan, sungai atau mata air, dan pohon untuk tidur dan beristirahat. Keterbatasan sumber makanan dan minuman menyebabkan kemungkinan adanya daerah tertentu yang merupakan daerah jelajah dari dua kelompok atau lebih. Perkelahian kelompok sering terjadi untuk memperebutkan wilayah jelajah tersebut (Napier dan Napier 1985). Menurut Suprijatna dan Wahyono (2000), menyatakan bahwa monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hidup pada habitat hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1.000 m di atas permukaan laut.

II. 2. Parameter Fisiologis Monyet Ekor Panjang

II.2.1 Tingkah LakuMacaca fascicularis

Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun dari luar tubuh. Tingkah laku sebagai ekspresi suatu hewan dapat disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus, endogenus, pengalaman dan fisiologis (Suratmo 1979 diacu dalam Sari 2004). Tingkah laku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui reaksi hewan atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennetet al. 1995).

Aktivitas tingkah laku hewan di alam dan di kandang akan berbeda. Di kandang pola tersebut akan memunculkan tingkah laku abnormal dari hewan seperti melukai diri sendiri maupun hiperagresif dan pola ini sangat berkaitan erat dengan ukuran dari kandang yang digunakan, dalam ukuran kandang yang lebih kecil, dan lebih tinggi akan ditemukan tingkah laku abnormal dibandingkan


(20)

dengan kandang yang memiliki ukuran yang lebih kompleks (Kitchen dan Martin 1996). Röder dan Timmermans (2002) menyatakan bahwa untuk mereduksi tingkah laku abnormal maka perlu pengkayaan laboratorium meliputi kondisi sosial, ketentuan kandang, dan tehnik penyajian makanan. Pijoh (2006) menyatakan bahwa mengklasifikan aktivitas harian monyet di alam sebagai berikut:

1. Makan: aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama.

2. Mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon.

3. Istirahat: tidak melakukan aktivitas apapun hanya diam atau tiduran. 4. Berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau

gerakan badan, menyerang, memburu dan baku hantam.

5. Merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis.

6. Kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi.

7. Bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak monyet.

Orang yang memberi perlakuan menatap lama terhadap seekor monyet akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan menyerangnya sehingga monyet akan memberikan respon dengan cara balas menatap dengan mulut terbuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan (Pijoh 2006).

Fuentes dan Gamerl (2005) menyatakan bahwa perilaku agresif dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) dalam bentuk mengancam ringan/menyeringai; 2) mendekati/mengejar tanpa kontak fisik; 3) bentuk ancaman yang meyebabkan posisi individu lain berpindah karena takut; dan 4) kontak fisik termasuk menggigit. Monyet ekor panjang pada penelitian ini dapat dikatakan dalam keadaan nyaman atau pun tidak merasa terancam akan kehadiran responden atau pun MEP sudah beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya.


(21)

Honesset al. (2004) yang melakukan studi mengenai respon tingkah laku Macaca fascicularis pada transportasi melalui udara dan rehoushing. Hasil penelitian dari tiga fase pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku yang paling dominan ditunjukkan yakni tingkah laku eksplorasi dan affiliatif (meliputi: presenting, allogroming, bermain dengan air dan di tempat duduk, bermain dengan mainan, manipulasi kandang/lingkungan), perawatan diri sendiri (meliputi: self groming, minum dan makan), dan tingkah laku lainnya (meliputi: memperhatikan hewan lainnya, urinasi, defekasi, bersin, memperhatikan sekitarnya, vokalisasi, dan bersembunyi.

Habib et al. (2000) bahwa poros kelenjar hipotalamus-adrenal dan sistem saraf simpatis memegang peranan dalam mengaktifkan pengaturan metabolisme dan kardiovaskular. Kelenjar ini pada waktu yang sama berperan mengatur fungsi neurovegetatif saat terjadi penurunan kemampuan bertahan hidup pada situasi yang terancam, mekanisme endokrin untuk pertumbuhan dan reproduksi termasuk penggunaan energi untuk menghindari keadaan yang membahayakan. Beberapa substrat neuroanatomik dan sistem hormonal memberikan kontribusi yang lebih besar pada tingkah laku, neuroendokrin, autonomik, dan respon stress.

Habibet al. (2000) melihat peranan sistem hormonal dalam hubungannya dengan tingkah laku stres khususnya efek dari pemberian antalarmin untuk menghambatCorticotropin Releasing Hormon (CRH) tipe 1 dalam hubungannya dengan tingkah laku, neuroendokrin dan komponen autonomi pada respon stres dari monyet rhesus (Macaca mulatta). Hasil yang diperoleh bahwa dengan pemberian antalarmin secara nyata menghambat tingkah laku yang berhubungan dengan kecemasan dan rasa takut seperti menggigil, menyeringai, gigi berdecak, urinasi, dan defekasi terutama pada situasi dengan tingkat stres yang tinggi, meningkatkan eksplorasi dan tingkah laku seksual dibandingkan tekanan stres secara normal. Habib et al (2000) menyimpulkan bahwa CRH memiliki peranan yang besar pada respon fisiologis terutama cekaman psikologis pada primate serta menghambat peran reseptor CRH tipe-1 yang memiliki nilai terupatik pada psikologi, reproduksi dan kardiovaskuler pada manusia yang berhubungan dengan sistem hiperaktivitas dari CRH yang tidak teratur.


(22)

Tingkah laku dari hewan juga sangat dipengaruhi oleh makanan, sebagaimana Kaplan et al. (1994) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara makanan berkolesterol, aktivitas pusat serotogenik, dan tingkah laku sosial pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) remaja. Hasil yang diperoleh bahwa hewan yang mengkonsumsi makanan rendah kolesterol lebih aggresif, kurang affiliatif dan mempunyai konsentrasi cairan cerebrospinal yang rendah dibandingkan dengan yang mengkonsumsi makanan kolesterol tinggi dengan perbedaan nyata. Penelitian yang serupa dengan menggunakan spesies yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda pula.

Pada penelitian Zakariah (2010) bahwa intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menyebabkan monyet ekor panjang lebih aktif. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan frekuensi (jumlah dan persentase) makan, minum, grooming, agonistik, lokomosi, kontak, serta peningkatan waktu tingkah laku menatap. Bobot badan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan frekuensi tingkah laku minum, akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat negatif dengan limfosit. Frekuensi tingkah laku makan mempunyai hubungan erat positif dengan frekuensi tingkah laku minum dan hubungan erat negatif dengan frekuensi urinasi. Tingkah laku grooming monyet ekor panjang juga menunjukkan adanya hubungan dengan konsumsi bahan kering dan energi.

II.2.2 Pakan

Pada umumnya pengertian pakan (feed) digunakan untuk hewan, sedangkan pengertian pangan (food) digunakan untuk manusia. Bahan pakan adalah segala bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, bermanfaat serta tidak berbahaya atau mengganggu kesehatan ternak (Tillman et al. 1998). Bahan makanan sekurang-kurangnya mempunyai tiga fungsi/peran, yaitu peran sosial, peran psikologis, dan peran fisiologis. Zat makanan atau zat nutrisi adalah zat-zat gizi di dalam bahan pakan yang sangat diperlukan untuk hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air (Tillman et al. 1998). Zat-zat pakan dalam ransum hendaknya tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang sebab keseimbangan zat-zat pakan ini sangat berpengaruh terhadap daya cerna (Tillmanet al.1998).


(23)

Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan zat gizi ternak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tingkat Produksi 2. Umur ternak

3. Ukuran tubuh serta kondisinya 4. Kemampuan menghasilkan susu 5. Kondisi iklim

6. Lama masa kebuntingan

Sesuai dengan komposisi kimia utama tubuh, maka suatu bahan yang akan digunakan sebagai bahan pakan memiliki salah satu atau seluruh fraksi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air (Tillmanet al. 1998).

a. Karbohidrat

Karbohidrat atau sakarida adalah segolongan besar senyawa organik yang tersusun hanya dari atom karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Bentuk molekul karbohdrat paling sederhana terdiri dari satu molekul gula sederhana. Banyak karbohidrat yang merupakan polimer yang tersusun dari molekul gula yang terangkai menjadi rantai yang panjang serta bercabang-cabang (Tillman et al. 1998). Karbohidrat menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan tubuh. Glukosa, karbohidrat yang paling sederhana mengalir dalam aliran darah sehingga tersedia bagi seluruh sel tubuh. Sel-sel tubuh tersebut menyerap glukosa dan mengubahnya menjadi tenaga untuk menjalankan sel-sel tubuh (Tillman et al. 1998).

Karbohidrat merupakan unsur nutrisi yang sebagian besar (50 - 80%) mengisi konsentrasi bahan kering tanaman makanan ternak. Strukturnya terdiri dari selulose, hemiselulose, dan lignin. Di dalam tubuh ternak ruminansia, karbohidrat dicerna dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh bakteri (Tillman et al. 1998). Fungsi utama karbohidrat sebagai bahan bakar utama untuk oksidasi dan menyediakan energi untuk proses metabolisme. Karbohidrat yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak daripada yang digunakan untuk menyediakan energi, maka kelebihannya dengan segera akan disimpan dalam bentuk glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Namun, apabila masih terdapat kelebihan


(24)

karbohidrat, maka akan diubah menjadi trigliserida dan kemudian disimpan di dalam jaringan adipose (Guyton and Hall 1993).

b. Lemak

Lemak dalam tubuh ternak berfungsi sebagai penghasil asam-asam lemak dan energi. Unsur nutrisi ini dicerna menjadi asam-asam lemak dan gliserol yang kemudian sebagian akan dirubah menjadi energi (Tillmanet al. 1998). Di dalam tubuh, lemak berfungsi sebagai sumber energi yang efisien ketika disimpan dalam jaringan adipose. Sejumlah kecil lemak dapat dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh lipase lambung. Sebagian besar lemak dicerna di dalam usus halus yang dipengaruhi oleh lipase pancreas. Tahap awal pencernaan lemak adalah emulsifikasi lemak oleh asam empedu. Lemak yang teremulsi tersebut akan dipecah menjadi asam lemak (trigliserida dan fosfolipid), gliserol, dan gliserida (Guyton and Hall 1993).

c. Protein

Protein merupakan unsur nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh ternak dalam jumlah relatif lebih besar, terutama ternak yang sedang dalam masa pertumbuhan, bunting dan menyusui. Kekurangan unsur nutrisi protein pada ternak cenderung mengalami hal-hal sebagai berikut : pertumbuhan terhambat, konversi pakan tinggi, pengurasan nitrogen tubuh, berat lahir rendah, produktivitas turun, dan fertilitas rendah (Tillman et al. 1998). Tubuh memerlukan protein untuk memperbaiki atau mengganti sel tubuh yang rusak serta untuk produksi. Protein dapat diubah menjadi energi jika dibutuhkan oleh tubuh. Protein dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan biji-bijian (Sugeng 1998).

d. Vitamin dan Mineral

Vitamin ialah senyawa organik yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit. Berbeda dengan mineral, vitamin terdapat dalam tubuh bukan sebagai struktur dari senyawa lain serta sebagian besar vitamin mempunyai fungsi sebagai Ko-enzim (Tillman et al. 1998). Mineral berfungsi sebagai bahan pembentuk tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan yang keras dan kuat, memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh, sebagai aktivator sistem enzim tertentu, dan sebagai komponen dari suatu sistem enzim (Tillman et al. 1998).


(25)

Mineral harus disediakan dalam perbandingan yang tepat dan dalam jumlah yang cukup, karena apabila terlalu banyak mineral akan membahayakan tubuh (Anggorodi 1994).

e. Air

Air merupakan unsur nutrisi terpenting dan mutlak dibutuhkan oleh makhluk hidup. Unsur air mengisi sel-sel tubuh dengan konsentrasi antara 70% hingga 80%. Peran penting unsur nutrisi air adalah : sebagai bahan pelarut, sebagai media transportasi masuknya unsur-unsur lain kedalam tubuh dan pengeluarannya dari sel-sel tubuh, sebagai media transportasi sisa-sisa metabolisme, sebagai pengatur temperatur (Tillmanet al. 1998).

Zat nutrisi yang perlu diperhatikan adalah bahan kering (BK), serat kasar, dan energi. Unsur-unsur ini dapat diketahui melalui proses analisa terhadap bahan pakan yang dilakukan di laboratorium.

a. Bahan Kering (BK)

Bahan kering adalah berat konstan bahan makanan setelah dihilangkan kandungan airnya dengan pemanasan 105°C. Konsumsi bahan kering menurut Lubis (1992), dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya: 1) faktor pakan, meliputi daya cerna dan palatabilitas, dan 2) faktor yang meliputi bangsa, jenis kelamin, umur, dan kondisi kesehatan ternak. Fungsi bahan kering pakan antara lain sebagai pengisi lambung, perangsang dinding saluran pencernaan, dan menguatkan pembentukan enzim. Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi 1999).

b. Serat Kasar

Serat kasar merupakan bahan makanan yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Fungsi utama serat kasar ada tiga yaitu, sebagai pengisi lambung, menjaga fungsi peristaltik usus dan merangsang salivasi. Hasil fermentasi komponen serat kasar adalah berupa VFA (Volatyl Fatty Acids) rantai pendek yaitu asam asetat yang berfungsi sebagai bakalan lemak susu. Oleh karena itu imbangan antara hijauan dan konsentrat dalam pakan akan berpengaruh juga terhadap kadar lemak susu (Tillmanet al. 1998).


(26)

c. Energi

Energi merupakan sumber tenaga bagi semua proses hidup dan produksi. Energi diperoleh dari proses oksidasi karbohidrat, lemak, protein. Untuk penggemukan lebih disukai ransum dengan kandungan konsentrat yang lebih tinggi karena akan lebih mengarah pada pembentukan asam propionat sehingga lebih mengarah dalam pembentukan daging (Tillman et al. 1998). Kekurangan energi dapat mengakibatkan terhambatnya pertambahan bobot badan, penurunan bobot badan, dan berkurangnya semua fungsi produksi dan terjadi kematian bila berlangsung lama (Tillmanet al. 1998).

Menurut McDonald et al. (2002), pakan sumber energi adalah semua bahan pakan ternak yang kandungan protein kasarnya kurang dari 20%, dengan konsentrasi serat kasar di bawah 18%. Berdasarkan jenisnya, bahan pakan sumber energi dibedakan menjadi empat kelompok yaitu kelompok serealia atau biji-bijian (jagung, gandum, sorgum), kelompok hasil sampingan serealia (limbah penggilingan), kelompok umbi (ketela rambat, ketela pohon dan hasil sampingannya) dan kelompok hijauan yang terdiri dari beberapa macam rumput (rumput gajah, rumput benggala dan rumput setaria).

Ransum berupa campuran beberapa jenis bahan pakan yang diberikan kepada hewan untuk sehari semalam untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Hewan mengkonsumsi pakan bertujuan untuk mendapatkan zat-zat makanan yang berguna dalam berbagai proses dan fungsi dalam tubuhnya, seperti kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan reproduksi. Monyet akan menghentikan konsumsinya apabila kebutuhan energinya sudah terpenuhi (Ensmingeret al. 1990).

Menurut Napier dan Napier (1985), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk hewan omnivora atau pemakan segala macam makanan. Jenis makanan yang dimakan oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) antara lain buah-buahan, akar-akaran, daun-daunan, serangga, hasil pertanian dan molusca. Wheatley et al. (1996) menyatakan adanya perluasan lahan pertanian dan populasi manusia yang terus meningkat juga menyebabkan penurunan luas daerah yang dikuasai oleh monyet. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa dalam keadaan liar yang disebabkan karena terjadinya


(27)

kerusakan habitat asli dari tempat persediaan makanannya, monyet akan mencari berbagai makanan seperti buah-buahan, akar, daun muda, serangga, tempayah, biji-bijian, keong, bangsa udang, telur burung dan juga menyerang ladang/kebun petani.

Inglis (1980) menyatakan, bahwa kandungan zat makanan monyet terdiri 45-55% karbohidrat, 15-20% protein kasar, 3-5% lemak kasar, 2,5-5,5% serat kasar, 0,86% kalsium dan 0,47 fosfor. Makanan yang diberikan setiap hari sejumlah 4% dari bobot badan satwa (Sajuthi 1984). Kebutuhan nutrisi bagi monyet ekor panjang dewasa dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan nutrisi monyet ekor panjang (MEP) dewasa

Zat makanan Kadar

Protein kasar (%) 8,00

Serat Kasar (%) 2,00-8,00

Lemak (%) 5,00-9,00

Essential n-3 fatty acids (%) 0,50

Essential n-6 fatty acids (%) 2,00

Ca (%) 0,55

P (%) 0,33

Mg (%) 0,04

Fe (mg·kg-1) 100,00

Mn (mg·kg-1) 44,00

Cu (mg·kg-1) 15,00

Vitamin A (IU·kg-1) 10.000,00-15.000,00

Vitamin D (IU·kg-1) 2.000,00-9.000,00

Vitamin K (IU·kg-1) 68,00

Thiamin (mg·kg-1) 15,00-30,00

Riboflavin (mg·kg-1) 25,00-30,00

Asam pantotenik (mg·kg-1) 20,00

Niasin (mg·kg-1) 50,00-110,00

Vitamin B6 (mg·kg-1) 4,40

Biotin (mg·kg-1) 100,00

Folasin (mg·kg-1) 1,50

Vitamin B12 (mg·kg 1) 0,01

Vitamin C (mg·kg-1) 1,00-25,00

Energi (Kal/kg/hari) 0,72-1,20

Sumber : National Research Council, 2003

Iwamoto (1980) menyatakan bahwa komposisi nutrisi pakan alami monyet pada umumnya terdiri atas daun-daunan yang banyak mengandung selulosa


(28)

struktural dan buah-buahan serta biji-bijian yang banyak mengandung lipida. Pakan yang dibuat pada umumnya memiliki kandungan sedikit serat kasar, karbohidrat yang mudah tersedia (seperti ubi jalar, apel, gandum dan padi), protein kasar (seperti kacang kedelai) atau lipid (seperti kacang tanah). Ketiga zat makanan tersebut proporsinya dalam ransum cukup tinggi dan mudah untuk dicerna di dalam tubuh.

North (1984) menyatakan bahwa jumlah ransum yang dikonsumsi tergantung pada bobot badan, galur, tingkat produksi, tingkat cekaman, aktivitas, mortalitas, kandungan energi dalam ransum dan suhu lingkungan. Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa (flavour), suhu, ukuran, tekstur dan konsistensi pakan. Mustaqimatin (1998) menyatakan ransum dengan bahan baku lokal kurang disukai oleh monyet dibanding dengan ransum impor karena ada kecenderungan untuk mengkonsumsi pakan yang sudah terbiasa diberikan kepada monyet. Astuti et al. (2007) menyatakan dengan pembiasaan pakan terlebih dahulu, konsumsi pakan lokal akan lebih tinggi daripada pakan impor (monkey chow). Monyet-monyet yang diberi ransum buatan tingkat konsumsi pakannya lebih rendah daripada yang diberi ransum alami. Hal ini diduga karena adanya serat kasar yang rendah atau kandungan energi yang tinggi pada ransum buatan (Iwamoto 1988). Mustaqimatin (1998) juga menyatakan bahwa ransum yang mempunyai kandungan protein dan energi tinggi mempunyai tingkat konsumsi yang rendah.

II.2.3 Kecernaan Pakan

Kecernaan merupakan banyaknya zat-zat makanan yang terdapat dalam makanan yang dapat dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh melalui proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil (Linder 2006). Wahyu (1992) menyatakan bahwa kecernaan adalah banyaknya zat pakan yang dapat dicerna di dalam alat pencernaan makanan. Bayutriana (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya pengukuran daya cerna adalah suatu usaha


(29)

untuk menentukan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap dalam saluran pencernaan (tractus gastrointestinalis). Peningkatan konsumsi pakan biasanya menaikkan kecepatan aliran pakan di saluran pencernaan. Selain itu kondisi biologis hewan yang berbeda-beda juga akan mempengaruhi kecernaan pakan dan zat makanan (Arora 1989).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu faktor mikroba, faktor ternak dan faktor pakan (Wahyu 1992). Menurut Anggorodi (1995) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan dan komposisi zat-zat yang terkandung dalam bahan makanan. Kecernaan zat-zat makanan juga dipengaruhi oleh komposisi makanan, kondisi hewan, dan faktor pemberian makanan (McDonal et al. 2002). Komposisi kimia pakan terutama kadar protein kasar dan serat kasar dapat mempengaruhi daya cerna. Serat kasar yang tinggi dalam pakan akan berpengaruh pada zat makanan lain sebab bagian serat kasar yang tidak dapat tercerna akan menghalangi enzim dalam mencerna makanan (McDonalet al. 2002).

Kecernaan bahan kering merupakan indikator kualitas bahan makanan. Kecernaan bahan makanan yang tinggi menunjukkan sebagian besar dari zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh hewan. Kecernaan bahan organik juga dipengaruhi oleh perlakuan terhadap bahan pakan, semakin kecil bentuk bahan pakan maka laju dalam proses pencernaan samakin cepat akibatnya kecernaan rendah (Sobri 2006).

Konsumsi yang rendah akan mengurangi tingkat kecernaan, semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan atau semakin tebal dan semakin tahan dinding selnya mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut (Parakkasi 1999). Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam bahan makanan akan mempengaruhi banyaknya makanan yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum yang dipengaruhi oleh faktor hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan lingkungan sekitarnya (Parakkasi 1999).


(30)

Kecernaan suatu pakan dapat diketahui dengan mengetahui jumlah nutrien yang terdapat di dalam pakan dan jumlah nutrien yang dicerna. Jumlah nutrien yang di dalam pakan dapat diketahui dengan analisa kimia, sedangkan jumlah nutrien yang dicerna dapat diketahui apabila pakan telah mengalami proses pencernaan. Analisa secara biologis yang kemudian diikuti dengan analisa kimia untuk mengetahui nutrien yang terdapat di dalam feses. Setelah diketahuinya jumlah nutrien di dalam pakan dan feses maka dapat diketahui jumlah nutrien tercerna dari pakan tersebut (Kamal 1994). Dengan demikian syarat mutlak pengukuran kecernaan adalah feses harus terpisah dengan urin dan bahan-bahan tidak terkontaminasi dengan bahan lain yang akan menyebabkan tejadinya kesalahan dalam pengukuran.

Tabel 2. Rataan kecernaan pakan monyet ekor panjang (Suprayogiet al. 2009)

Kecernaan Pakan 25oC dan 80% rel.

Asupan pakan (gram) 187,31 ± 23,87

Bahan kering (%) 78,79 ± 0,92

Serat kasar (%) 5,82 ± 0,56

Protein (%) 11,65 ± 0,59

Lemak (%) 1,96 ± 0,05

Abu (%) 1,31 ± 0,56

Energi (kkal/gram) 484,78 ± 45,39

Selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam bahan pakan yang dimakan dan zat-zat makanan dalam feses adalah jumlah yang tertinggal dalam tubuh hewan atau jumlah dari zat-zat makanan yang dicerna dapat pula disebut koefisien cerna (Tillman et al. 1991). Untuk menghitung kecernaan/koefisien cerna diperlukan data jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah feses yang dikeluarkan, kandungan zat nutrisi pakan dan kandungan zat nutrisi feses (metode koleksi total), jumlah dan kadar indikator yang digunakan sebagai perunut (metode indikator). Kecernaan pakan diketahui dari hasil analisa proksimat yang diperoleh dari Lab. Analisa Pakan.

Konsumsi ransum/pakan harian (g/hr) merupakan jumlah konsumsi ransum dalam sehari yang diperoleh dengan cara:


(31)

Kecernaan bahan kering dan bahan kering organik (proten kasar, lemak kasar, serat kasar, abu, dan energi), kecernaannya dihitung dengan rumus:

      

  x100

(g) dikonsumsi yang pakan zat Σ (g) feses dalam pakan zat Σ (g) dikonsumsi yang pakan zat Σ Kecernaan

II.3 Fisiologi Adaptasi Primata

II.3.1 Mikroklimat Suhu dan Kelembaban

Suhu merupakan derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan berbagai tipe Thermometer (Syarif 1990). Suhu udara berbeda-beda dari tempat ke tempat dari waktu ke waktu. Perbedaan suhu ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah radiasi yang diterima per hari, per musim, dan per tahun, pengaruh daratan dan lautan, pengaruh aspek kemiringan, pengaruh altitude (letak daerah), pengaruh panas laten, dan pengaruh angin. Suhu tubuh makhluk hidup merupakan suhu dalam atau suhu inti di bagian dalam makhluk hidup tersebut. Suhu tubuh normal Macaca fascicularis berada pada kisaran 37°C sampau dengan 40°C (Chantalakhana and Skunmun 2002). Nilai ini cukup serupa jika dibandingkan dengan suhu tubuh normal manusia yang berkisar antara 36°C sampai dengan 37,5°C. Sementara itu, kelembaban merupakan angka perbandingan uap air yang ada di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung pada suhu dan tekanan tertentu (Syarif 1990). Kelembaban dapat berubah sesuai tempat dan waktu. Saat siang hari kelembaban berangsur-angsur turun kemudian meningkat pada sore hari hingga menjelang pagi hari. Kelembaban berkaitan dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya meningkatkan nilai kelembaban. Kelembaban dapat mempengaruhi kecepatan hilangnya panas dari tubuh hewan melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana and Skunmun 2002).

Suhu tubuh merupakan suhu yang berada di bagian dalam tubuh yang disebut juga suhu inti. Kondisi suhu jenis ini relatif bersifat stabil, kecuali jika terjadi gangguan seperti demam. Suhu tubuh bukan suhu permukaan yang mengacu pada suhu kulit atau jaringan bawah kulit, sehingga suhu permukaan ini sering mengalami kenaikan dan penurunan sesuai dengan suhu lingkungan (Guyton and Hall 2008). Lebih lanjut Guyton and Hall (2008), kulit merupakan


(32)

sistem pengatur radiator panas yang efektif dan aliran darah ke kulit merupakan mekanisme penyebaran panas yang paling efektif dari inti tubuh ke kulit. Suhu tubuh dapat menjadi sedikit bervariasi pada kerja fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim.

II.3.2 Pengaruh Mikroklimat Lingkungan Terhadap Kondisi Fisiologis

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi fisiologis diantaranya adalah kecepatan metabolisme basal, rangsangan saraf simpatis, hormon pertumbuhan, hormon tiroid, hormon kelamin, demam (peradangan), status gizi, aktivitas, gangguan organ, dan lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perubahan kondisi fisiologis terutama suhu tubuh. Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan, artinya suhu tubuh dapat berkurang atau hilang akibat lingkungan yang lebih dingin dan begitu juga sebaliknya (Guyton and Hall 2008). Perpindahan suhu tubuh dengan lingkungan terjadi sebagian besar melalui kulit sehingga dapat dikatakan sebagai radiator panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh. Proses kehilangan panas melalui kulit dikarenakan panas yang diedarkan melalui pembuluh darah dan dialirkan langsung ke plexus arteri kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang mengandung banyak otot. Kecepatan aliran pada plexus arteriovenosa yang cukup tinggi (sekitar 30% total curah jantung) dapat menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke kulit menjadi sangat efisien (Frandson 1986).

Mekanisme pengaturan suhu tubuh pada kondisi panas berlangsung dengan cara kelenjar keringat yang berada di bawah kulit mengeluarkan keringat yang dikirimkan ke saluran keringat melalui pori keringat menuju permukaan kulit. Hal ini mengakibatkan kehilangan panas tubuh secara evaporatif dan kehilangan banyak kandungan air yang bersifat penting (Guyton and Hall 2008). Kondisi rambut-rambut yang berbaring pada permukaan kulit merupakan suatu upaya untuk mencegah panas lingkungan terperangkap di antara rambut. Posisi rambut yang datar dapat menghambat masuknya panas lingkungan pada saat yang sama dengan terjadinya peningkatan kehilangan panas kulit melalui mekanisme konveksi. Selain itu, terjadi juga mekanisme vasodilatasi arteriol yaitu terjadi relaksasi otot polos dalam dinding arteriola yang memungkinkan peningkatan


(33)

aliran darah melalui arteri yang kemudian dialihkan ke dalam kapiler yang dangkal di kulit untuk meningkatkan kehilangan kehilangan panas melalui mekanisme konveksi dan konduksi (Guyton and Hall 2008).

Pengaturan suhu tubuh berkurang kemampuannya pada kondisi lingkungan yang panas dan lembab. Pada kondisi lingkungan yang panas dan lembab, akan menyebabkan terjadinya penguapan bahkan dapat menyebabkan stres karena panas. Mekanisme pengaturan suhu tubuh pada kondisi dingin berlangsung dengan cara produksi keringat diturunkan atau bahkan dihentikan. Mekanisme ini biasanya terjadi pada saat tubuh merinding atau gemetaran yang bertujuan untuk menghangatkan tubuh (Guyton and Hall 2008). Kondisi ini juga bertujuan untuk mencegah mekanisme kehilangan panas tubuh ke lingkungan walaupun tidak seutuhnya dan untuk mencegah suhu tubuh menurun lebih lanjut, sehingga tubuh menjadi lebih hangat.

Kondisi yang sangat dingin, mekanisme vasokontriksi (menyusut atau mengkerut) yang berlebihan dapat menyebabkan mati rasa dan kulit pucat. Selain itu, otot juga dapat menerima pesan dari pusat pengatur suhu tubuh di otak, yaitu hipotalamus, untuk menyebabkan tubuh menggigil yang cukup efektif untuk menghangatkan tubuh dibandingkan dengan melakukan latihan karena lebih sedikit panas yang hilang ke lingkungan melalui konveksi. Ada dua jenis menggigil, yaitu menggigil dengan intensitas rendah yang terjadi secara terus menerus pada kondisi lingkungan yang dingin dan menggigigl dengan intensitas tinggi terjadi untuk waktu yang relatif singkat. Kedua proses menggigil ini membutuhkan energi walaupun pada intensitas rendah menggunakan lemak sedangkan intensitas tinggi menggunakan glukosa sebagai sumber bahan bakar. Hal inilah yang merupakan alasan utama hewan menyimpan makanan pada musim dingin (Guyton and Hall 2008).

III.3.3 Termoregulasi Suhu Tubuh

Termoregulasi merupakan suatu mekanisme fisiologis yang dilakukan oleh tubuh untuk mengatur suhu internal tubuh agar selalu berada pada kisaran suhu tubuh normal. Termoregulasi pada manusia diatur pada hipotalamus anterior. Ada tiga komponen pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu


(34)

termoreseptor, hipotalamus, dan syaraf eferen (Swenson 1997). Pengaruh suhu tubuh hewan terhadap lingkungan dapat digolongkan menjadi hewan berdarah panas (homoiterm) dan hewan berdarah dingin (poikiloterm) (Duke 1995). Hewan berdarah panas (homoiterm) memiliki suhu stabil, karena adanya reseptor dalam otak yang dapat mengatur suhu tubuh. Hewan ini juga dapat menjaga suhu tubuh pada suhu yang konstan yang umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan, misalnya bangsa burung dan mamalia (termasuk Macaca fascicularis). Hewan berdarah dingin (poikiloterm) merupakan hewan yang suhu tubuhnya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan sekitarnya (Guyton and Hall 1993).

Kulit berperan dalam proses homeostasis, yaitu suatu bentuk mekanisme tubuh untuk menjaga aspek yang berbeda dari kondisi normal tubuh, misalnya adalah pada saat menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Ada empat mekanisme kehilangan panas yang dapat terjadi terutama melalui kulit, yaitu konveksi, konduksi, radiasi, dan evaporasi. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan langsung tanpa ada transfer panas molekul. Konveksi merupakan suatu perambatan panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi adalah konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi (Martini 1998). Jika suhu tubuh lebih tinggi daripada lingkungan makan tubuh akan kehilangan panas melalui mekanisme radiasi dan konduksi dan mekanisme untuk mengurangi panas tubuh adalah melalui evaporasi. Jadi, pada saat suhu lingkungan lebih tinggi terhadap suhu tubuh, apapun yang mencegah penguapan yang memadai dapat menyebabkan suhu tubuh internal meningkat. Pada saat berolahraga, penguapan menjadi jalan utama kehilangan panas (Guyton and Hall 2008).

Suhu tubuh tergantung pada keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Kejadian terengah-engah diatur oleh pusat pengatur suhu di otak. Apabila darah menjadi terlalu panas, maka hipotalamus akan memberikan sinyal neurogenik untuk menurunkan suhu tubuh.


(35)

Pada kondisi ini, hewan memasukkan dan mengeluarkan udara dengan cepat sehingga sejumlah besar udara yang diterima dari luar tubuh melakukan kontak dengan bagian atas susunan sistem pernafasan. Proses ini akan mendinginkan darah di dalam mukosa akibat evaporasi air dari permukaan mukosa terutama evaporasi saliva dari lidah (Guyton and Hall 2008). Otak mendeteksi panas melalui reaksi yang terjadi tak terhitung jumlahnya, bahkan proses untuk berpikir pun menciptakan panas. Kepala memiliki sistem pembuluh darah yang kompleks, membuat otak menjadi terlalu panas dengan membawa darah ke kulit tipis di kepala. Efektivitas mekanisme ini dipengaruhi oleh iklim dan adaptasi individu terhadap lingkungannya. proses adapatasi yang dilakukan kulit untuk mengatur suhu tubuh merupakan bagian dari termoregulasi. Hal ini merupakan salah satu aspek proses homeostasis tubuh untuk mengatur dirinya sendiri demi menjaga kondisi fisiologis internal yang konstan (Guyton and Hall 2008).

III.3.4 Stres

Stress merupakan suatu gejala yang menunjukkan keadaan tidak baik berdasarkan status klinis dan fisiologis. Stress juga merupakan suatu perasaan terhadap reaksi atas suatu kejadian tertentu. Respon tubuh terhadap stres terjadi akibat adanya aktivasi sistem pembuluh syaraf dan hormon-hormon tertentu. Salah satu faktor penyebab terjadinya stress adalah suhu lingkungan, baik suhu panas maupun suhu dingin. Pada saat stress, akan terjadi stimulasi rangsangan terhadap hipotalamus yang akan memberikan sinyal kepada kelenjar adrenal untuk memproduksi lebih banyak hormon adrenalin dan kortisol yang dilepaskan ke dalam aliran darah. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan metabolisme tubuh. Kondisi stress dapat mempengaruhi perilaku, penurunan kecernaan pakan, peningkatan asupan air, dan menyebabkan penurunan bobot badan (Guyton and Hall 2008).

Berdasarkan penelitian Kim et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat suatu hubungan yang berbanding lurus antara peningkatan kadar hormon kortisol dengan peningkatan rasio netrofil:limfosit pada monyet ekor panjang yang mengalami stress ketika diberikan perlakuan transportasi, sehingga dapat dijadikan suatu indikator terhadap terjadinya peningkatan gejala stress. Bahkan


(36)

ditemukan perlakuan gejala stress transportasi dapat mempengaruhi kondisi gambaran hematologi dan penurunan bobot badan monyet.

Suprayogi et al. (2006) menyatakan bahwa mikroklimat yang baik untuk ternak di daerah tropis pada temperatur 18– 21°C dengan kelambaban relatif 50– 60% rel. Status fisiologis ternak yang berada pada kandang di daerah tropis menunjukkan adanya penderitaan yang disebabkan oleh stress. Kelembaban yang tinggi di wilayah tropis mengakibatkan peningkatan respirasi ternak meskipun denyut jantung dan temperatur tubuh masih dalam kisaran normal. Permasalahan kesehatan dan produksi di daerah tropis pada ternak dapat dipengaruhi oleh panas dan stress (Singh and Shukla 2003).


(37)

III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama bulan Mei sampai dengan Juni 2009 di Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Sepuluh monyet ekor panjang jantan yang berasal dari PT. Wanara Satwaloka, Bogor-Indonesia, dengan kisaran bobot badan 4-5 kg/ekor, dan berumur sekitar 4-5 tahun digunakan dalam penelitian ini. Prosedur dan tindakan medis dalam penelitian ini dilakukan oleh dokter hewan. Analisa proksimat pada kecernaan pakan dilakukan di Laboratorium Analisa Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB).

III.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini antara lain adalah ruangan/kamar uji coba, mesin air conditioner, kandang monyet dengan tempat airnya, pengukur suhu dan kelembaban ruangan, ember, gelas ukur, kantung plastik bening, kertas label, spidol, sendok lentur, timbangan, wadah pengering feses (refrigerator) dan mixer blender. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan impor untuk monyet (monkey chow), pisang, dan air.

III.3 Persiapan Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasi seperti yang telah dilaporkan oleh Suprayogi et al. (2009), yaitu dengan melakukan penghitungan kecernaan dari pakan dan feses monyet ekor panjang (MEP). Sedangkan pada perilaku MEP, metode yang digunakan adalah dengan cara membuat suatu paket tingkatan perilaku individu, yaitu agresifitas, ketakutan, curiga, kooperatif, dan depresif menurut Suprayogi et al. (2009). Penilaian dilakukan dengan menggolongkan setiap perilaku individu MEP pada tingkatan skala kurang (1), cukup (2), dan sangat (3), secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Sepuluh monyet ekor panjang dimasukkan pada dua ruangan yang berbeda, masing-masing ruangan berisi lima ekor monyet. Hal ini dilakukan agar


(38)

kondisi ruangan tidak terlalu padat dan agar sesuai dengan kapasitas alat pendingin ruangan sebesar 1 pk sehingga terjadi distribusi suhu ruangan yang merata dan optimal. Setiap ruangan berukuran 2,5 x 4 x 2,75 m yang di dalamnya terdapat kandang individual yang terbuat dari besi dengan ukuran 60 x 80 x 80 cm. Menurut Council of Europe (1986) ukuran kandang adalah luas lantai 0,70 m2 dan tinggi kandang 85 cm untuk 1-2 ekor monyet sedangkan menurut Pooleet al. (1994) ukuran kandang yang sesuai adalah luas lantai 2 m2 dan tinggi kandang 1,5 m untuk 1-2 ekor monyet. Masing-masing ruangan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dipasangkan alat pendingin ruangan dengan pengaturan suhu 25°C.

Pemberian pakan dan air minum dilakukan pada setiap monyet. Monkey Chow (HARLAN®2050) merupakan pakan komersial yang memiliki kandungan nutrisi berupa protein kasar 18-21%, serat kasar 11-13%, lemak kasar 4-6%, kadar air 8-10%, dan energi 3.858 kal/ gram, sementara itu, kandungan nutrisi yang dimiliki pisang adalah protein 2,3%, serat 23%, lemak 0,13%, kadar air 66%, dan energi 136 kal/gram. Setiap MEP mendapat pakan sebanyak 200 gram monkey chow dan 100 gram pisang dengan pemberian sebanyak dua kali per hari sedangkan pemberian air minum dilakukanad libitum.

III.4 Protokol Penelitian

Kondisi adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan barunya. kondisi ini dilakukan selama tujuh hari setelah monyet dimasukkan ke dalam kandang penelitian dengan alat pendingin ruangan dimatikan. Hal ini bertujuan untuk membiasakan hewan coba agar dapat bertingkah laku dan makan sesuai dengan lingkungan barunya. Pengukuran parameter kecernaan pakan dan perilaku serta penimbangan bobot badan.monyet ekor panjang dilakukan pada hari ke-7.

Pengkondisian selanjutnya adalah kondisi aklimasi berupa pengaturan suhu alat pendingin ruangan sebesar 25°C selama 14 hari. Pengukuran parameter kecernaan pakan dilakukan pada hari ke-14, sedangkan pengambilan data perilaku dan bobot badan dilakukan pada hari ke-10 dan 14 tahap aklimasi.

Pengkondisian terakhir adalah kondisi post-aklimasi atau tanpa pengaturan alat pendingin ruangan (alat pendingin ruangan dimatikan) selama 14 hari.


(39)

Pengukuran parameter kecernaan pakan dilakukan pada hari ke-35 sedangkan pengambilan data perilaku dan penimbangan bobot badan dilakukan pada hari ke-28 dan 35. Kondisi ini merupakan kondisi dengan suhu lingkungan yang kurang nyaman.

Pengamatan parameter kecernaan pakan dilakukan dengan mengumpulkan sampling harian feses pada setiap ekor MEP yang dikeringkan di dalam refrigerator. Setiap kantong plastik yang berisi sampling ini dimasukkan ke alat mixer blender sehingga diperoleh bubuk feses. Kemudian bubuk feses ini diambil 15 gram untuk dianalisa proksimatnya terhadap asupan pakan, bahan kering, serat kasar, protein, lemak, abu, dan energi. Analisa proksimat tersebut juga dilakukan terhadap pakan MEP, yaitumonkey chow dan pisang.

Pengamatan parameter perilaku MEP dilakukan dengan pengisian borang yang telah disediakan berdasarkan metode penilaian perilaku oleh Suprayogiet al. (2009) dan penilaian ini ditujukan kepada responden yang jarang memasuki kandang atau yang berhubungan langsung dengan hewan coba. Hal ini dilakukan agar MEP tidak mengenali responden sehingga perilaku yang diperlihatkan oleh MEP itu terjadi secara spontan. Setiap dilakukan penilaian, responden berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari lima orang responden berada pada kandang besar MEP I dan lima orang responden lainnya berada pada kandang besar MEP II. Pergantian penilaian yang dilakukan oleh responden berasal dari kandang besar MEP I ke kandang besar MEP II atau sebaliknya diberikan jeda waktu. Hal ini dimaksudkan agar MEP kembali dalam posisi nyaman atau tidak merasa terganggu dengan lingkungan sekitarnya.


(40)

Tabel 3. Prosedur pemberian perlakuan terhadap hewan coba

Perlakuan Adaptasi Aklimasi

(Pengaruh alat pendingin ruangan

pada suhu 250C)

Post-Aklimasi (Alat pendingin ruangan dimatikan) Suhu dan Kelembaban yang diperoleh Suhu (29,00±1,95)°C Kelembaban (79,52±1,57)% rel Suhu (25,79±1,16)°C Kelembaban (80,19±9,05)% rel Suhu (29,00±2,05)°C Kelembaban (79,92±1,167)% rel

Waktu 7 Hari 14 Hari 14 Hari

Capaian Adaptasi lingkungan, kandang, dan Pakan Suhu lingkungan yang nyaman

Suhu lingkungan yang Kurang nyaman

Pengamatan parameter

Bobot badan hari ke-7

Kecernaan pakan

Observasi perilaku hari ke-7

Bobot badan hari ke-10 dan 14

Kecernaan pakan

Observasi perilaku hari ke-10 dan 14

Bobot badan hari ke-28 dan 35

Kecernaan pakan

Observasi perilaku hari ke-28 dan 35


(41)

Tabel 4. Borang penilaian perilaku monyet ekor panjang (Suprayogiet al. 2009)

No. Perilaku 1 2 3

1 Agresivitas

 Respon (berkeinginan) menyerang responden  Menggoyang-goyang kandang

 Melompat-lompat

 Berteriak-teriak (bersuara keras)

2 Ketakutan

 Respon menjahui dari responden  Memegang jeruji kandang erat-erat

 Kegelisahan ditandahi gerakan tidak menentu  Bersuara disertai nafas tersengal-sengal

3 Menatap curiga

 Respon siaga (tidak menjahui maupun menyerang)  Gerakan kepala dan mata mengikuti gerakan responden  Terkadang bersuara lirih

 Bila responden gerak refleks, menunjukkan tanda-tanda agresivitas atau ketakutan

4 Kooperatif

 Tidak menghiraukan responden

 Gerakan kepala dan mata tergantung kebutuhan monyet  Bersuara lirih dan bisa tidak bersuara

 Bisa berjalan santai atau diam

 Terkadang melakukan kegiatan makan atau garuk-garuk badan

5 Depresif (tertekan)

 Tidak menghiraukan responden

 Gerakan lamban mungkin diam termenung (malas)  Sorot mata sayu (tidak responsif)

 Duduk membungkuk

 Mungkin ada juga gerakan menggaruk badan

Keterangan: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Sangat

Syarat responden adalah:

1. Bukan orang yang sering masuk kandang monyet

2. Memahami arti kriteria diatas (ditabel borang) setelah penjelasan

3. Setiap pengamatan perilaku ini minimal 5 responden untuk kelompok MEP I dan MEP II minimal mahasiswa semester 6

4. Perbedaan waktu pengamatan harus berbeda responden, agar monyet tidak mengenalnya


(42)

IV.1 Kecernaan Pakan dan Pertumbuhan Bobot badan Macaca fascicularis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kecernaan pakan monyet ekor panjang pada setiap tahap perlakuan atau pengaturan suhu dan kelembaban ruangan, yaitu pada adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi ditunjukkan pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Rataan kecernaan pakanMacaca fascicularis

Kecernaan Pakan

Adaptasi Aklimasi Post-Aklimasi

Asupan Pakan (gr) 172,25 ± 37,85 189,61 ± 18,78 218,33 ± 22.14 Bahan Kering (%) 76,60 ± 3,19 78,38 ± 1,59 80,47 ± 1,06 Serat Kasar (%) 5,40 ± 2,07 5,82 ± 0,80 6.32 ± 1,01 Protein (%) 10,16 ± 2,01 11,56 ± 1,13 13,07 ± 1,40

Lemak (%) 1,68 ± 0,29 1,92 ± 0,08 1,96 ± 0,09

Abu (%) 2,59 ± 1,17 1,50 ± 0,36 1,49 ± 0,60

Energi (kal/gr) 406,44 ± 141,11 474,76 ± 64,16 583,21 ± 91,41

Asupan pakan merupakan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berdasarkan data Tabel 5, menunjukkan bahwa pada kondisi aklimasi, asupan pakan masih kisaran normal karena dianggap kondisi ini sebagai kondisi yang nyaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprayogi et al. 2009 bahwa nilai asupan pakan pada suhu 25°C dan kelembaban 80% rel. untuk monyet ekor panjang berada pada kisaran (187,31 ± 23,87) gr. Sedangkan asupan pakan pada MEP cenderung meningkat pada adaptasi dan post-aklimasi. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan umur, status gizi, dan masa pertumbuhan. Pada masa pertumbuhan, bunting, dan menyusui hewan akan membutuhkan asupan pakan dalam jumlah relatif lebih besar (Tillmanet al. 1998). Namun, apabila MEP terindikasi dalam keadaan stress menurut Collier (1985) maka hewan akan


(43)

menurunkan asupan pakan yang kemudian juga diikuti dengan penurunan bobot badan.

Kecernaan pakan lainnya seperti bahan kering, serat kasar, protein, lemak, abu, dan energi ini pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi cenderung mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. Hal ini juga disebabkan oleh monyet ekor panjang (MEP) masih dalam pertumbuhan dan memiliki status gizi yang baik sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya setiap harinya. Peningkatan bahan pakan juga didukung dengan adanya peningkatan asupan pakan pada setiap kondisi lingkungan yang diberikan terhadap monyet ekor panjang (MEP). Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Suprayogi et al. (2009) yang menyatakan bahwa pada kondisi nyaman bahan kering, serat kasar, protein, lemak, abu, dan energi untuk monyet ekor panjang tidak menunjukkan perubahan nilai kecernaan pakan dan relatif stabil.

Kecenderungan peningkatan kecernaan pakan yang terjadi merupakan upaya fisiologis tubuh untuk melakukan proses homeostasis. Homeostasis merupakan suatu bentuk mekanisme tubuh untuk menjaga kondisi fisiologis internal yang konstan dalam waktu yang relatif singkat (Guyton and Hall 2008). Homeostasis ini terjadi akibat perubahan dari kondisi aklimasi yang diatur sesuai zona nyaman bagi kehidupan MEP menuju post-aklimasi yang kondisinya hampir serupa dengan adaptasi. Pada penelitian dengan pengaturan suhu dan kelembaban yang sama, pengaturan suhu dan kelembaban tidak menunjukkan perubahan yang nyata terhadap kondisi hematologi dan rasio netrofil:limfosit baik pada tahap adaptasi, aklimasi, maupun post-aklimasi (Binol 2010). Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa pemberian perlakuan suhu dan kelembaban ruangan pada setiap kondisi tidak cukup memberikan pengaruh yang nyata walaupun adanya fluktuasi nilai pada setiap parameter kecernaan pakan namun masih dalam kisaran normal.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot badan monyet ekor panjang (MEP) yang diperoleh pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi yaitu pada hari ke-3, 10, 14, 28, dan 35 ditunjukkan pada Tabel 6.


(44)

Tabel 6. Pertumbuhan bobot badanMacaca fascicularis

Adaptasi Aklimasi Post-aklimasi

Hari ke-3 Hari ke-10 Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-35 5,19 ± 0,47 5,33 ± 0,55 5,36 ± 0,44 5,43 ± 0,61 5,5 ± 0,64

Berdasarkan data Tabel 6, menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot badan monyet ekor panjang (MEP) cenderung mengalami peningkatan pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi. Pada kondisi aklimasi data yang diperoleh cenderung relatif stabil pertumbuhan bobot badan dibandingkan pada kondisi adaptasi dan post-aklimasi. Hal ini disebabkan bahwa kondisi aklimasi pada suhu 25oC dan kelembaban 80% rel. merupakan zona nyaman bagi MEP. Sedangkan perubahan yang signifikan terjadi pada kondisi adaptasi dan post-aklimasi yang keduanya pada kondisi yang hampir serupa. Kondisi ini dipengaruhi asupan pakan yang meningkat pada Tabel 5 dan belum terlihat adanya indikasi stress yang dapat menurunkan bobot badan sesuai dengan pernyataan Collier (1985).

Peningkatan pertumbuhan bobot badan monyet ekor panjang ini berbanding lurus dengan peningkatan asupan pakan, bahan pakan lainnya dan proses homeostasis dalam memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh pada hewan yang masih dalam masa pertumbuhan. Menurut Lekagul dan McNeely (1998), pertumbuhan bobot badan MEP akan terus bertambah berkisar pada 4,7 – 8,3 kg. Nilai bobot badan pada Tabel 6 masih dalam kisaran normal sesuai dengan penelitian sebelumnya telah dilaporkan oleh Suprayogi et al. (2009) bahwa pengaturan suhu dan kelembaban yang sama terhadap monyet ekor panjang tidak memberikan pengaruh yang nyata pada penyerapan asupan pakan, bahan pakan, dan pertumbuhan bobot badan.

IV.2 PerilakuMacaca fascicularis

Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase perilaku aggresif, ketakutan, curiga, kooperatif, dan depresif yang diperoleh pada setiap kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi, yaitu hari ke-7, 10, 14, 28, dan 35 ditunjukkan pada Tabel 7 berikut ini.


(45)

Tabel 7. PerilakuMacaca fascicularis

Perilaku Kondisi Hari ke Kurang (%) Cukup (%) Sangat (%) Adaptasi 7 54 ± 16,97 25 ± 16,52 21 ± 17,51

10 40 ± 19,80 32 ± 25,03 28 ± 23,94 Aklimasi

14 52 ± 22,63 26 ± 16,97 22 ± 16,33 28 38 ± 19,80 34 ± 19,44 28 ± 14,76 Aggresif

Post-Aklimasi

35 45 ± 20,63 33 ± 14,14 22 ± 19,89 Adaptasi 7 50 ± 26,75 25 ± 21,19 25 ± 22,71 10 35 ± 21,19 28 ± 19,32 37 ± 24,59 Aklimasi

14 37 ± 26,33 29 ± 21,50 34 ± 29,89 28 38 ± 39,78 42 ± 19,89 20 ± 26,67 Ketakutan

Post-Aklimasi

35 32 ± 28,67 43 ± 21,50 25 ± 21,19 Adaptasi 7 24 ± 22,71 32 ± 21,60 44 ± 23,19

10 18 ± 16,38 30 ± 23,09 52 ± 20,66

Aklimasi

14 23 ± 22,71 39 ± 23,94 38 ± 23,94

28 16 ± 18,38 32 ± 23,57 52 ± 25,39

Curiga

Post-Aklimasi

35 18 ± 20,66 31 ± 21,60 51 ± 27,08

Adaptasi 7 72 ± 30,98 19 ± 18,86 9 ± 18,38 10 63 ± 22,71 25 ± 21,19 12 ± 15,78 Aklimasi

14 62 ± 33,67 24 ± 26,33 14 ± 25,04 28 61 ± 33,99 31 ± 23,57 8 ± 10,33 Kooperatif

Post-Aklimasi

35 52 ± 21,19 32 ± 25,03 16 ± 19,44 Adaptasi 7 96 ± 13,50 3 ± 6,32 1 ± 3,43

10 73 ± 29,89 4 ± 8,43 13 ± 16,87 Aklimasi

14 72 ± 17,00 19 ± 23,09 9 ± 14,14 28 67 ± 18,38 31 ± 23,57 2 ± 4,32 Depresif

Post-Aklimasi

35 52 ± 21,60 32 ± 18,97 16 ± 15,78

Berdasarkan data Tabel 7, perilaku aggresif dapat dikatakan bahwa responden memilih skala kurang aggresif pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi. Namun, pada post-aklimasi terjadi peningkatan ke arah skala cukup aggresif dibandingkan dengan kondisi adaptasi yang memiliki kondisi yang relatif sama. Pada waktu pengamatan yang sama MEP dinilai oleh responden skala


(46)

kurang kooperatif dengan nilai yang tidak berbeda nyata pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi. Responden juga menilai skala kurang depresif namun pada kondisi post-aklimasi terjadi pergeseran ke arah skala cukup depresif dibandingkan kondisi adaptasi yang memiliki kondisi yang hampir serupa sedangkan pada kondisi aklimasi terlihat stabil. Pada penelitian yang telah dilaporkan oleh Suprayogiet al. (2009) menyatakan bahwa monyet ekor panjang pada suhu 25°C memiliki perilaku yang kurang aggresif, kooperatif, dan depresif dengan nilai kisaran berturut-turut adalah (42 ± 34.58)%, (62 ± 33.67)%, dan (74 ± 29.89)%.

Sebaliknya MEP ini menunjukkan adanya perilaku sangat curiga pada penilaian responden baik pada kondisi adaptasi, aklimasi, dan post-aklimasi. Pada kondisi adaptasi dan post-aklimasi dengan kondisi yang hampir serupa tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun ada peningkatan, yaitu (44 ± 23,19)% dan (52 ± 25,39)% dan (51 ± 27,08)%. Skala sangat curiga juga dilaporkan oleh Suprayogi et al. (2009) pada penelitian dengan suhu dan kelambaban yang sama terhadap kondisi aklimasi, yaitu (50 ± 25.39)%. Disamping itu pula, pada saat yang bersamaan responden menilai skala kurang ketakutan pada kondisi adaptasi dan aklimasi. Namun, pada kondisi post-aklimasi terlihat adanya perubahan atau peningkatan ke arah skala cukup ketakutan. Peningkatan ini tidak berbeda nyata terhadap skala kurang ketakutan pada kondisi post-aklimasi dan aklimasi. Perubahan ini juga terlihat dari persentase skala kurang ketakutan di kondisi adaptasi yang menurun terhadap skala kurang ketakutan di kondisi post-aklimasi yang menyebabkan adanya peningkatan persentase pada skala cukup ketakutan yang terlihat pada Tabel 7. Suprayogiet al. (2009) telah melaporkan bahwa pada kondisi aklimasi atau suhu 25°C dan kelembaban 80% monyet ekor panjang menunjukkan kurang ketakutan dengan nilai adalah (36 ± 26.33)% sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku ketakutan ini masih dalam kisaran normal.

Dari hasil diatas, menunjukkan bahwa perlakuan dengan pengaturan suhu dan kelembaban yang diberikan tidak cukup mengakibatkan terjadinya perubahan yang nyata terhadap perilaku monyet ekor panjang. Hasilnya adalah monyet ekor panjang memiliki perilaku yang kurang aggresif, kooperatif dan depresif serta ketakutan namun pada kondisi post-aklimasi skala kurang ketakutan sedikit


(47)

mengalami perubahan menjadi skala lebih cukup ketakutan sedangkan perilaku curiga dinilai pada skala sangat curiga oleh responden. Perubahan nilai dari kelima kategori perilaku diatas yang terjadi menunjukkan adanya indikasi perubahan perilaku walaupun tidak berbeda nyata. Fluktuasi atau perubahan nilai-nilai perilaku yang masih dalam kisaran normal juga merupakan suatu upaya fisiologis tubuh untuk melakukan proses homeostasis dalam menjaga perilaku yang sama pada kondisi yang nyaman (Guyton and Hall 2008).

IV.3 Diskusi Umum

Berdasarkan literatur yang ada, seluruh penelitian ini masih berada pada kisaran normal, artinya monyet ekor panjang yang digunakan tidak mengalami gangguan fisiologis yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa monyet ekor panjang yang digunakan masih mampu beradaptasi dengan cukup baik terhadap perlakuan pengaturan suhu dan kelembaban yang merupakan kondisi kurang nyaman baik pada kondisi adaptasi dan post-aklimasi. Tentunya kondisi aklimasi adalah kondisi yang nyaman karena adaptasi fisiologis dan perilaku hewan dapat berjalan lebih baik lagi atau stabil.

Nilai bahan pakan, asupan pakan, dan pertumbuhan bobot badan yang diperoleh dari penelitian ini masih berada dalam kisaran normal sedangkan pada nilai perilaku monyet ekor panjang juga masih dalam kisaran normal kondisi aklimasi. Kondisi kecernaan pakan dan bobot badan monyet yang terus meningkat pada setiap cekaman lingkungan (temperatur dan kelembaban) yang diberikan memperlihatkan bahwa status fisiologis monyet cukup baik sehingga penyerapan nutrisi-nutrisi dari pakan yang diberikan dapat diabsorbsi dan dipergunakan oleh tubuh dengan baik. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Suprayogi et al. (2009) dan Binol (2010). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa seluruh monyet yang digunakan berada dalam kondisi fisiologis dan perilaku normal pada seluruh kondisi perlakuan atau dapat beradaptasi terhadap cekaman temperatur dan kelembaban yang diberikan kepada monyet. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan mikroklimat ruangan tidak banyak mempengaruhi kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang.


(48)

Berdasarkan uji statistik hasil penelitian, seluruh parameter yang diamati selama penelitian juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.

Namun, kondisi post-aklimasi terlihat adanya indikasi stress dengan adanya perubahan terhadap perilaku monyet yang ditandai bergesernya penilaian responden pada perilaku ketakutan yaitu dari hewan yang berperilaku kurang ketakutan menjadi cukup ketakutan. Parameter perilaku yang lain juga terjadi fluktuasi nilai walaupun berdasarkan uji statistik yang dilakukan nilainya selama penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Perubahan ini didukung oleh penelitian sebelumnya Binol (2010) menyatakan adanya penurunan nilai parameter rasio netrofil:limfosit yang terjadi pada kondisi post-aklimasi karena monyet masih perlu melakukan proses adaptasi tubuh untuk mengenal kondisi lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Kondisi stress dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, metabolisme tubuh, perilaku menjadi lebih tidak terkendali, penurunan kecernaan pakan, peningkatan asupan air, dan menyebabkan penurunan bobot badan (Guyton and Hall 2008). Dari pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pada parameter perilaku di kondisi post-aklimasi monyet sudah terindikasi dalam kondisi stress walaupun belum menunjukkan perubahan yang nyata.


(1)

41 Lembaga Penelitian-IPB). [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Sibal L. R. and Samson, K. J. 2001. Nonhuman Primates: a critical role in current diseases research.ILAR J; 42:74-84.

Singh, G. and Shukla, D. C. 2003. Biometeorology For Livestock Health And Production, Agrometeorology In New Mellenium-prospective And Challenges Seminar. http://www.agrometassociation.com/seminar2. [16

November 2011].

Smith J. B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan Dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Sobri, M. 2006. Uji Kecernaan Jagung Tiruan (Subtituen) Pada Itik Mojosari Jantan Melalui Metode Fistulasi Dan Kanulasi. Malang: Univ. Muhammadiyah Malang.

Sulaksono, M. E. 2002. Penentuan Nilai Rujukan Parameter Faal Hewan Percobaan Sebagai Model Penyakit Manusia Dan Hewan.

http://digilib.litbang.depkes.go.id. [10 September 2011]. Sugeng, Y. B. 1998.Beternak Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suprayogi, A., Astuti, D. A., Satrija, F., Suprianto. 2006. Physiological Status Of Sheep Reared Indoor System Under The Tropical Rain Forest Climatic Zone. Proceeding Of The 4th. Animal Production And Sustainable Agriculture In The Tropic. 66-70. Universitas Gadjah Mada.

Suprayogi, A., Aryani, A., Bambang, K., Nastiti, K., Sri Murtini, Huda, S. D. 2009. Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk Pada Hewan Model Primata & Rodentia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Supriatna, J. dan Wahyono, E. H. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Swenson, G. M. 1997.Dules Physiology Or Domestic Animals. USA: Publishing Co. Inc.

Syarif, Z. 1990.Klimatologi Dasar Vol. 1. Padang: Universitas Andalas.

Tillman, Hartadi. H, Reksohadiprojo. S., Prawirokusumo, Lebdosoekodjo, S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM. Gadjah Mada University Press.

Wagner, J. D., Carlson, C. S., O’Brien, T. D. 1996. Diabetes mellitus in nonhuman primates: Recent research advances on current husbandry practices.J Med Primatol;19:609-625.

Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wiseman, J. and Cole, P. J. A. 1990.Feedstuff Evaluation. Cambridge: University Press.


(2)

42 Wheatley, B. P. 1980. Feeding And Ranging Of East Bornean Macaca

fascicularis. Dalam: Linburg D (ed) The Macaque: Studies In Ecology, Behavior And Evolution. Litton Educational Publishing, Inc. London: Pp 215– 246.

Wheatley, B. P., Harya Putra, D. K., and Gonder, M. K. 1996. A comparison of wild and food-enhanced long-tailed macaques (Macaca fascicularis). In Evolution and Ecology of Macaque Societies. Fa, J.E. and D.G. Lindberg (Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.

Zakariah, L. O. M. S. 2010. Analisa Hematologi, Nilai Kecernaan Dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes Yang Diintervensi Nikotin. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(3)

KECERNAAN PAKAN DAN PERILAKU MONYET EKOR

PANJANG

(Macaca fascicularis)

PADA KONDISI AKLIMASI

TEMPERATUR DAN KELEMBABAN

SUTAN P. NASUTION

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

VII. LAMPIRAN

Lampiran 1. Konstruksi Luar Kandang (Suprayogiet al.2009)

Kandang Monyet MEP I dan MEP II

Lampiran 2. Konstruksi Kandang Individu Monyet (Suprayogiet al. 2009)

Kandang Individu

Monyet Berada Dalam Kandang Individu


(5)

44 Lampiran 3. Kebersihan Kandang dan Pakan Monyet (Suprayogiet al. 2009)

Kebersihan Kandang


(6)

RINGKASAN

Sutan P Nasution. Kecernaan Pakan Dan Perilaku Monyet Ekor Panjang(Macaca fascicularis) Pada Kondisi Aklimasi Temperatur dan Kelembaban. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ARYANI S. SATYANINGTIJAS.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang pada kondisi dinamis dengan perbedaan pengaturan suhu dan kelembaban. Pada penelitian ini digunakan 10 monyet ekor panjang jantan berumur 4 hingga 5 tahun yang terdiri dari tiga tahapan kondisi suhu dan kelembaban ruangan yang berbeda, yaitu tahap adaptasi selama 7 hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban), tahap aklimasi selama 14 hari (suhu 25oC dan kelembaban 78% rel.), dan tahap post-aklimasi selama 14 hari (tanpa pengaturan suhu dan kelembaban). Pengambilan sampel kecernaan pakan, bobot badan dan perilaku dilakukan pada hari ke-7 (tahap adaptasi), hari ke-10 dan ke-14 (tahap aklimasi), hari ke-28 dan ke-35 (post-aklimasi). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari pengaturan suhu dan kelembaban ruangan terhadap kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang. Kondisi suhu dan kelembaban ruangan sebesar (25,79 ± 1,16)°C dan (80,19 ± 9,05)% rel. merupakan kondisi yang nyaman bagi hewan model monyet ekor panjang.

Kata kunci: Monyet ekor panjang, kecernaan pakan, perilaku, suhu dan kelembaban