perilaku merokok anak anaknya dibandingkan keluarga non perokok. Dalam hal ini menurut pandangan Social Cognitive Learning Theory merokok bukan
semata mata proses belajar pengamatan anak terhadap orang tua atau saudaranya, tetapi adanya pengukuhan positif dari orang tua dan konsekuensi-
konsekuensi yang dirasakan menguntungkan. Artinya jika tidak ada pengukuhan dari orang tua atau cenderung mendapatkan sikap yang
menyangkal dari orang tua sehingga individu hanya akan merasa memperoleh konsekuensi yang merugikan maka individu tersebut akan memilih untuk
tidak melakukan tindakan tersebut, dalam hal ini tidak merokok.
5.4. Informasi Mengenai Rokok
Jika sumber informasi diperoleh dari sumber yang benar maka perilaku merokok dapat dihindari. Namun jika sumber informasi menyampaikan hal
yang tidak benar maka perilaku merokok cenderung meningkat. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Shenandu B. Kar dalam Notoatmodjo
2010 bahwa salah satu determinan perilaku adalah terjangkaunya informasi accessibility of information yaitu tersedianya informasi- informasi terkait
dengan tindakan yang akan di ambil oleh seseorang Dari tabel 4.18 diketahui bahwa sebanyak 68 responden 97,1
mendapatkan informasi mengenai bahaya rokok dari orang tua mereka. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini sejalan dengan larangan orang tua responden dalam hal merokok. Peneliti berasumsi hal ini disampaikan oleh sebagian besar orang tua responden ketika
responden sudah mulai merokok. Jika hal ini disampaikan sebelum responden merokok, maka responden dapat menolak perilaku merokok tersebut. Hal ini
dapat diketahui dari tabel 4.19 diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 56 responden 80 mengatakan bahwa mereka mengenal
rokok dari temannya. Sumber informasi akan memengaruhi persepsi remaja mengenai rokok tersebut. Peneliti berasumsi bahwa kemungkinan kecil jika
teman akan menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok. Hal ini sesuai dengan penelitian Santoso 2008 faktor teman sebaya dan faktor iklan
mempunyai pengaruh terhadap perilaku merokok. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi yang diiklankan oleh iklan rokok dan nilai nilai yang di
sampaikan oleh teman diterima oleh remaja tersebut. Jika orang tua menyampaikan nilai nilai mengenai bahaya merokok lebih awal hal ini dapat
mencegah perilaku merokok pada remaja.
5.5. Self Concept
Dari tabel 4.21 daat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki self concept yang baik yaitu 43 responden 61,4. Artinya responden
beranggapan bahwa tanpa merokok dirinya terlihat baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hadiwibowo 2003, gambaran diri
berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang
Universitas Sumatera Utara
baik mengenai suatu hal akan memengaruhi seseorang bertindak atau tidak. Sehingga jika siswa meiliki self concept yang baik mengenai dirinya jika tidak
merokok, hal ini akan berpengaruh terhadap keputusannya untuk tidak merokok pula.
Dari hasil uji Chi Square dapat dilihat bahwa ada hubungan antara Self concept siswa dengan tindakan merokok siswa tersebut. Artinya persepsi diri
akan memengaruhi seseorang untuk merokok atau tidak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laili Nur Sa’diah 2007 di SMAN 5
Malang yang menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku merokok dengan kepercayaan diri pada siswa, artinya, perilaku merokok
dapat menimbulkan kepercayaan diri pada siswa khususnya laki laki. Jika remaja memiliki konsep diri bahwa merokok dapat meningkatkan nilai diri
mereka dalam lingkungannya, maka perilaku tersebut akan diadopsi oleh remaja tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulfa 2011 mengenai self esteem yaitu persepsi penilaian subyektif yang
dibuat individu sebagai hasil evaluasi mengenai dirinya yang tercermin dalam sikap positif atau negative. Zulfa memperoleh bahwa ada hubungan antara self
esteem dengan perilaku merokok. Artinya persepsi mengenai diri sendiri akan mempengaruhi perilaku merokok remaja.
Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson dalam Komalasari 2000 berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada
Universitas Sumatera Utara
masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan
karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Didukung juga oleh Brigham dalam Komalasari, 2000 bahwa perilaku merokok bagi remaja
merupakan perilaku simbolisasi yaitu simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis. Perilaku merokok
merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif, karena sifat nikotin adalah adiktif ketergantungan.
Dapat kita lihat pada tabel 4.20 hasil penelitian bahwa sebagian besar responden tidak setuju bahwa dengan merokok dirinya akan terlihat baik di
lingkungannya terutama lingkungan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada tabel terdapat sebanyak 85,7 remaja tidak merasa bangga jika merokok, sebanyak
81,4 tidak setuju bahwa dengan merokok penampilan mereka akan terlihat lebih baik, sebanyak 65,7 responden menyatakan bahwa merokok tidak
membuat mereka terlihat lebih dewasa. Sementara 34,3 menyatakan bahwa merokok membuat mereka terlihat dewasa.
Sebanyak 68,6 responden menyatakan bahwa jika keluarga membiarkan mereka merokok hal tersebut bukan berarti keluarga telah
menganggap mereka dewasa. Sementara sebanyak 31,4 menyatakan jika keluarga membiarkan responden merokok berarti keluarga telah menganggap
responden dewasa. Menurut asumsi peneliti hal ini disebabkan karena adanya
Universitas Sumatera Utara
larangan merokok di keluarga responden, sehingga merokok tidak menjadi sebuah indicator kedewasaan.
Sebanyak 64,3 responden menyatakan bahwa merokok tidak membuat mereka merasa tenang. Sementara sebanyak 35,7 menyatakkan
bahwa merokok dapat membuat diri mereka merasa tenang. Selain itu terdapat 70 responden berpendapat bahwa tidak dapat meningkatkan rasa percaya
diri. Namun sebanyak 30 responden menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan rasa percaya diri. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Komalasari 2000 yang menyatakan bahwa kepuasan psikologis memberikan sumbangan yang sangat
tinggi bagi perilaku merokok remaja yaitu 40,9. Namun demikian peneliti berasumsi bahwa sebagian responden merasakan kepuasan psikologis dari
merokok. Sebanyak 87,1 responden menyatakan jika keluarga melarang
merokok, mereka tidak akan merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komalasari 2000 yang menyatakan bahwa sikap permisif
orang tua merupakan predictor perilaku merokok remaja. Menurut asumsi peneliti, larangan merokok yang tegas dari orang tua dan disertai informasi
akan memiliki dampak yang positif pada konsep diri dan perilau merokok remaja. Namun gambaran diri pada poin ini tidak berlaku ketika responden
berada bersama dengan teman temannya. Hal tersebut dapat di lihat bahwa
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar responden tidak merokok di rumah namun tetap merokok di sekolah.
Sebanyak 57,1 menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak setuju dengan perilaku merokok namun mereka tetap merokok. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Purba 2009 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sikap responden tentang rokok dengan kebiasaan
merokok siswa SMA Parulian 1 Medan. Hal ini menurut peneliti di sebabkan karena meskipun responden tidak setuju dengan perilaku merokok, namun hal
tersebut sudah menjadi salah satu kewajiban ketika berkumpul dengan teman temannya. Selain itu, peneliti berasumsi kenikmatan yang diperoleh oleh
responden ketika merokok menjadi pertimbangan yang lebih dominan. Hal lain yang memegaruhi responden untuk tetap merokok meskipun memiliki
self concept yang baik adalah lingkungan remaja yang memiliki cirri khas ingin terlihat lebih hebat dari teman temannya dan lebih menyukai tantangan
untuk mencoba hal-hal baru.
5.6. Image Kelompok