BAB II TUJUAN PUSTAKA
II.1 PerspektifParadigma Kajian
Riset adalah sebuah kegiatan menggambarkan sebuah objek.Menggambarkan sebuah objek terkadang menyulitkan. Becker
mendefinisikan perspektif sebagai seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jenis-jenis
tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang, standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai Mulyana,2001:5. Sedangkan Wimmer
Domininck 2001: 102 menyebut pendekatan dengan paradigma, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti
melihat dunia. Perspektif tercipta berdasarkan komunikasi antaranggota suatu kelompok selama seseorang menjadi bagian kelompok tersebut Kriyantono,2006:
48. Jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoretisi menurut
Mulyana 2001:18 bergantung pada bagaimana teoretisi itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan peneliti
dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme menganggap
realitas merupakan konstruksi sosial, kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Selain itu
realita juga dianggap sebagai hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman,
konteks dan waktu Kriyantono,2006:51. Secara epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu
penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Didalam paradigma ini, peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan
kesatuan realitas yang tidak terpisahkan. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
merekonstruksi realitas sosial. Dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian dengan
tujuan merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering
dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Eriyanto, 2011:43.
Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan,
tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Disini diandaikan tidak ada pesan
dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang
berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh
komunikator dan bagaimana pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. Eriyanto, 2011: 46
Konstruktivisme atau constructivism mempunyai dampak yang luas sekali di bidang komunikasi. Menurut pandangan ini, para individu melakukan
interpretasi dan bertindak menurut kategori-kategori konseptual di dalam pemikirannya. Realitas tidak hadir dalam bentuk apa adanya tetapi harus disaring
melalui cara seseorang melihat sesuatu. Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori dari George Kelly 1995 mengenai konsep-konsep pribadi atau
personal constructs yang mengemukakan bahwa orang memahami
pengalamannya dengan mengelompokkan dan membedakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya menurut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya.
Perbedaan-perbedaan yang dipersepsikan tidaklah alamiah tetapi ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
sejumlah hal-hal yang berlawanan di dalam sistem kognitif individu Budyatna dan Ganiem, 2011: 221.
Kompleksitas kognitif memainkan peranan yang penting di dalam komunikasi. Konsep-konsep antarpribadi terutama penting karena konsep-konsep
tersebut mengarahkan bagaimana kita memahami orang lain. Para individu berbeda dalam kompleksitas dengan mana mereka memandang individu lainnya.
Bila seorang individu sederhana dalam arti kognitif, individu cenderung melakukan stereotip kepada orang lain, sedangkan bila individu lebih memiliki
perbedaan secara kognitif , maka individu akan melakukan perbedaan-perbedaan secara lebih halus dan lebih sensitif. Secara umum, kompleksitas kognitif
mengarah kepada pemahaman yang lebih besar mengenai pandangan-pandangan orang lain dan kemampuan yang lebih baik untuk membingkai pesan-pesan dalam
arti dapat memahami orang lain. Konstruktivisme pada dasarnya merupakan teori pilihan strategi atau
strategy-choice theory. Prosedur-prosedur penelitian para konstruktivis biasanya menanyakan para subjek untuk memilih tipe-tipe pesan yang berbeda dan
mengklasifikasikannya yang berkenaan dengan kategori-kategori strategi Budyatna dan Ganiem, 2011: 225.
Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai
konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak
menulis karya dan tesis mengenai konstruksi sosial atas realita. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan
plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru
menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyaraktnya.
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto 2011: 16-17 menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama
eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia,
baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari
Universitas Sumatera Utara
manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.
Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil
dari eksternalisasi –kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.
Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, itu adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah
dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan itu dapat menghadapi manusia sebagai penghasil
dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu
berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Itu menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali
dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang
telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
II.2 Kajian Pustaka