Fungi Selulolitik Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

bertahap dapat memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan aktivitas fungi tanah potensial pada lahan-lahan kritis, maka diperlukan usaha untuk memanipulasi ketersediaan populasi fungi potensial tersebut Anas, 1989. Selulosa merupakan salah satu biopolimer melimpah di alam dan merupakan limbah pertanian yang dominan. Namun pemanfaatan selulosa masih sangat terbatas. Shaikh dkk., 2013 menerangkan enzim selulase merupakan kompleks enzim yang merupakan sistem sinergis dan secara bertahap mampu mengubah selulosa menjadi sumber energi dan glukosa tersedia sehingga berperan penting dalam pemanfaatan biomassa. Menurut Rao 1994, selulosa adalah komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisir disebut dengan amorf selulosa. Secara alami selulosa dapat didegradasi oleh enzim-enzim selulase. Selulosa merupakan substansi dalam proses enzimatis. Selulosa dirombak oleh mikroba selulolitik dengan bantuan enzim selulase, salah satu mikroba perombak selulosa adalah jamur selulolitik. Selulosa dari sisa tumbuhan dan organisme lain diurai oleh mikroba menjadi senyawa sederhana berupa glukosa, CO 2 dan hidrogen yang sangat berguna sebagai zat hara bagi tumbuhan dan organisme tanah lainnya Oramahi dkk., 2003. Di dalam ekosistem, organisme perombak bahan organik memegang peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah N, P, K, Ca, Mg, dll dan atmosfer CH 4 maupun CO 2 sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Adanya aktivitas organisme perombak bahan organik seperti fungi saling mendukung keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Akhir-akhir ini mikroorganisme perombak bahan organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah juga dapat mengurangi bibit penyakit, larva insek, volume bahan bangunan, sehingga pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kadungan bahan organik dalam tanah Saraswati dkk, 2008. Beberapa senyawa organik seperti bentuk-bentuk gula sederhana yang larut dalam air dapat dengan mudah dirombak dan digunakan oleh mikroba sebagai sumber makanan dan sumber energi, demikian juga protein.Sedangkan bahan organik lainnya seperti hemiselulosa dan selulosa perombakannya melalui hidolisis enzimatik dengan enzim selulosa sebagai katalis Alexander, 1977. Bahan organik di lantai hutan sebagian besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pelapukan bahan organik tersebut terjadi secara fisik, kimiawi dan biologi. Degradasi selulosa oleh mikrobia secara enzimatis merupakan proses penguraian bahan organik secara biologi. Pelapukan akibat enzim kompleks selulase yang dominan terjadi pada lapisan humus lantai hutan. Bakteri, kapang, khamir, dan Actinomycetes dapat memproduksi enzim selulolitik pada lingkup masing-masing keberadaanya dalam membentuk sistem degradasi ketika mempercepat peluruhan bahan organik yang berada di lantai hutan Sudiana dan Rahmansyah, 2002. Populasi fungi selulolitik di lantai hutan bukit Bangkirai kepadatannya mencapai sekitar 4 juta dalam setiap gram serasah Widyastuti, 2001. Hasil degradasi selulosa oleh enzim selulase berbentuk senyawa karbon yang lebih sederhana, selanjutnya terlarutkan ke kompartemen tanah di bawahnya. Pada lapisan tanah ini bekerja berbagai sistem enzim lainnya sehingga berbagai bahan organik kompleks polimer akan terurai menjadi senyawa organik sederhana monomer yang siap diasimilasikan.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi

Pada umumnya, pertumbuhan fungi atau jamur dipengaruhi oleh faktor substrat, cahaya, kelembaban, suhu, derajat keasaman pH substrat Gandjar dkk, 2006.

a. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi jamur. Nutrien-nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah jamur mengeksresi enzim-enzim ekstra seluler yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, banyak jamur memiliki kemampuan mengeksresi beberapa jenis enzim ke lingkungan yang menguraikan karbohidrat kompleks, antara lain cellulase, amilase, pectinase, chitinase, dextranase, xylanase. Sebab selulosa adalah polisakarida utama didalam jaringan tumbuhan yang menjadi sumber karbon potensial bagi jamur Garraway dan Robert, 1984.

b. Cahaya

Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380-720 nm relatif berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur juga berpengaruh terhadap sporulasi Deacon, 1988. Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks. Tingkat perkembangan yang berbeda membutuhkan sinar yang berbeda. Intensitas, durasi, kualitas cahaya menentukan besarnya kualitas cahaya terhadap jamur.

c. Kelembaban

Pada umumnya jamur tingkat rendah memerlukan kelembaban nisbi 90, dan dari jenis hyphomycetes dapat hidup pada kelembaban pyang lebih rendah yaitu 80. Menurut Deacon 1988 pertumbuhan jamur dapat berlangsung dengan kelembaban minimal 70, walaupun beberapa jamur dapat tumbuh dengan sangat lambat pada kelembaban 65.

d. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, jamur dikelompokkan sebagai jamur psikofil, mesofil, dan termofil Gandjar dkk, 2006. Menurut Deacon 1988 sebagian besar jamur atau fungi bersifat mesofilik, tumbuh pada temperatur sedang pada rentang 10 – 40 ºC, optimum pada suhu 25 – 35 ºC.

e. Derajat Keasaman Lingkungan pH

Derajat keasaman substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya menyenangi pH dibawah 7,0. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 – 5,5 Gandjar dkk, 2006. Menurut Deacon 1988 dalam pengamatan di laboratorium jamur tumbuh pada rentang 4,5 – 8,0 dengan pH optimum berkisar 5,5 – 7,5. Faktor yang mempengaruhi jumlah fungi dalam tanah antara lain : kadar bahan organik, potential of hydrogen pH, pemupukan, regim kelembaban, aerasi, suhu, dan komposisi vegetasi. Fungi mapu berkembang pada kisaran pH