lemah, miskin, dan tidak berdaya. Sebaliknya seseorang yang menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk yang tidak berdaya, dan yang tidak mungkin menciptakan dirinya
sendiri, pastilah akan sadar bahwa di balik wujudnya, wujud Pencipta Yang Maha Agung lagi Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nya tertuju segala harapan. Dari sini kemudian
dia akan selalu mengingat-Nya dengan hati dan pikiran serta dengan lisan dan amal-amal perbuatan. Dari sini pula dapat dikatakan bahwa ayat di atas merupakan perintah untuk
berzikir kepada Allah dalam pengertiannya yang luas. Itu sebabnya sehingga sarana untuk berzikir sangat luas, bahkan mencakup seluruh alam raya dan fenomenanya.
Dari statemen di atas dapat disimpulkan dan diperkuat, antara lain, dengan memperhatikan penggunaan kata zikir dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur’an.
F. Media dan Waktu Berzikir
a. Media Zikir
Seluruh jagat raya dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar dijadikan Allah Sw. sebagai sarana untuk berzikir mengingat kepada-Nya. Alam raya dinamai-Nya ayat,
yakni tanda yang menunjuk kehadiran-Nya. Alam raya juga dinamai ‘alam seakar dengan kata alamat karena ia berfungsi menjadi alamat yang jelas menunjuk wujud dan kuasa-
Nya dan karena itu maka memandang kepada alam raya seharusnya dapat menjadi jangkar bagi kalbu dan nalar untuk mengingat dan “sampai” kepada-Nya.
Dalam konteks ini terbaca dari ayat-ayat al-Qur’an. Bahwa sekian banyak hal yang dapat menjadi sarana atau media yang mengantar manusia mengingat dan berzikir,
antara lain:
1. Fenomena Alam
Ayat-ayat yang berbicara tentang penyembelihan binatang yang dilakukan demi karena Allah dan dalam konteks ibadah dijadikan-Nya juga sebagai salah satu sarana
zikir, sesuai firman-Nya:
cksQ` J , { “6
V_A- -G
1=uV 04 4 ;J
K. n
W9 † -P T
L M -O4† 2
•o - qpy
1 75
“Dan bagi tiap-tiap umat Telah kami syariatkan penyembelihan kurban, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang Telah direzkikan Allah
kepada mereka …” QS. al-Hajj: 34 Melalui binatang, manusia dapat merenung dan mengingat Allah bukan saja
karena potensi yang dianugrahkan Allah untuk menundukannya, seperti menunggangi dan memakan dagingnya, tetapi juga merenungkan tentang keistimewaan binatang baik
bentuk fisik, kecerdasan, atau susunya; bukan saja pada manfa’at yang dapat diraih manusia tetapi juga di mana susu itu ditempatkan Allah. Dalam QS. an-Nahl [16]: 66,
Allah berfirman:
{XS ?2 1J
9 •o -
qpy ?J
J 2 14•Su”‹
•d–k 9
} + q z2
L c [ 2
,˜?_ ™š-\
V , J J y
› -.
[2: Œ€A ;J 859
--
“Dan sesungguhnya bagi kamu pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami menyuguhi kamu minum sebagian dari apa yang berada
dalam perutnya antara sisa-sisa makanan dan darah, yaitu susu murni. yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” QS. an-Nahl: 66
Maksudnya: “Dan sesungguhnya bagi kamu pada binatang ternak itu yakni unta, sapi, kambing, dan domba benar-benar terdapat pelajaran yang sangat berharga yang
dapat mengantar kamu menyadari kebesaran dan kekuasaan Allah. Kami menyuguhi kamu minum sebagian dari apa yang berada dalam perutnya
yakni perut betina-betina binatang itu Kami tempatkan di antara sisa-sisa makanan dan darah, yaitu susu murni.
Ia tidak bercampur dengan darah walau hanya warnanya, tidak juga dengan sisa makanan walau hanya baunya mudah ditelan bagi yang meminumnya.”
14
Guntur yang tedengar pun seharusnya dijadikan media atau sarana untuk mengingat Allah. Al-Qur’an menyatakan bahwa:
+,=uœ a ‚J
} aO
•Z 1F
A-O J aL
} + Dd4jK .
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, dan demikian pula para malaikat Karena takut kepada-Nya …” QS. ar-Ra’du: 13
Ayat ini, antara lain, bertujuan mengajar manusia agar bertasbih mengingat Allah sebagaimana guruh dan para malaikat itu.
Jadi, dari beberapa ayat di atas, dapat diasumsikan bahwasannya fenomena alam yang terkecil sekalipun seperti rumput yang subur menghijau atau yang telah layu dan
mengering, demikian juga sehelai daun yang jatuh dari pohon, kesemuanya dijadikan Allah sebagai sarana berzikir dan mengingat kepada-Nya.
2. Shalat
Al-Qur’an menyebut shalat sebagai media atau sarana dan cara berzikir kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
14
Ibid., vol. VII, h. 105
žG qS q 6
Ÿ b
+ JS ¡bS
o q 6
9a `a _
•o 6
W A¢J [8:£Z
:
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk berzikir mengingat-Ku.” QS.
Thaha: 14 Maksudnya:
“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak
disembah, dan Pencipta serta Pengendali seluruh wujud selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk berzikir mengingat-Ku
. Perlu digarisbawahi bahwa untuk mencapai tujuan yang disebut ayat di atas, maka
siapa pun yang melaksanakan shalat, bukan saja dituntut untuk memahami substansi shalat, yang dalam hal ini tidak sekadar seperti yang didefinisikan oleh pakar-pakar
hukum Islam, yakni: “Ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam,” tetapi substansi yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an, yakni
pengagungan kepada Allah dan kesadaran tentang perlunya membantu siapa pun yang butuh.
Seandainya substansi yang dimaksud hanya sekadar seperti rumusan ulama fiqih pakar-pakar hukum Islam sebagaimana yang telah menyebutkan arti shalat secara istilah
di atas, maka tentu Allah tidak menegaskan bahwa shalat dapat mencegah manusia terjerumus dalam kemunkaran. Allah berfirman:
s Kžw
“6 -, 4JS
i •A
Dj1 J •o
6 W A¢J
¤eS W A¢J
WT‹ wi
€d J
:1 O J 1
n J£Z 6
1 Ÿ
¥oA X
V ; ,
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab Al Quran dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan- perbuatan
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah shalat adalah lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” QS. al-Ankabut: 45
Maksudnya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al- Kitab yakni al-Quran dan laksanakan shalat secara bersinambungan dan khusyu’ sesuai
dengan rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya. Sesungguhnya shalat yang dilaksanakan sesuai tuntunan Allah dan rasul-Nya senantiasa melarang atau mencegah pelaku yang
melakukannya secara bersinambungan dan baik dari keterjerumusan dalam kekejian dan kemunkaran
. Hal ini disebabkan karena substansi shalat adalah mengingat kebesaran Allah dan mengagungkan-Nya. Siapa yang mengingat Allah dia terpelihara dari
kedurhakaan, dosa, dan ketidakwajaran dan Sesungguhnya mengingat Allah, yakni shalat adalah lebih besar keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain. dan Allah
mengetahui apa yang kamu sekalian senantiasa kerjakan baik maupun buruk.”
15
Dengan penjelas firman-firman Allah di atas, bisa dikatakan bahwa shalat berfungsi sebagai media atau sarana zikir sekaligus zikir itu sendiri. Ini tentu saja baru
berlaku jika shalat tersebut dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah Saw. hal ini dapat terbaca, antara lain, dalam firman-Nya yang mengidentikan shalat
Jum’at dengan zikir. Allah berfirman:
15
Ibid., vol. X, h. 505
] S
¦ \ q W A¢A J
L š?
- OQ§ J
? - .
_ W9RS
: n
T -¨ 4 , J
= 6
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, Maka bersegeralah menuju zikrullah atau mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli.” QS. al-Jumu’ah: 9 Maksudnya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru yakni dikumandangkan
adzan oleh siapa pun untuk menunaikan shalat pada Zhuhur hari Jumat, Maka bersegeralah
kuatkan tekad dan langkah, jangan bermalas-malasan apalagi mengabaikannya untuk menuju zikrullah atau mengingat Allah yakni menghadiri shalat
dan khutbah Jum’at dan tinggalkanlah jual beli yakni segala macam interaksi dalam bentuk dan kepentingan apa pun, bahkan semua yang dapat mengurangi perhatian
terhadap upacara Jum’at.
16
b. Waktu Berzikir
Di atas telah disinggung bahwa fenomena alam, kejadian yang berada dalam kontrol dan di luar kontrol manusia, hendaknya dapat dijadikan sarana berzikir. Ini berarti
berzikir dapat dilakukan kapan dan di mana saja. Dari sini kitab suci al-Qur’an memerintahkan manusia agar banyak berzikir, yakni mengingat dan merenung kapan saja
dan dalam keadaan apa pun. Sekian banyak ayat al-Qur’an yang mengandung perintah
16
Ibid., vol. XIV, h. 35
berzikir dan bertasbih dengan menyebut kalimat yang secara harfiah berarti pagi dan petang atau siang dan malam, seperti firman-Nya:
+,-. 012
34 5 6
“Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” QS. al-Ahzab: 42. atau firman Allah yang liannya:
a+,-. f…
aO •Z
-,2 T ežjF-
J 2
: `?2Nˆ ?ﻡ
“… dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” QS. al-Mu’min: 55
Kata pagi dan petang pada ayat-ayat ini, ada yang membatasinya pada kedua
waktu itu saja, bahkan membatasi perintah itu dalam arti shalat Shubuh, Zhuhur, dan Ashar, tetapi pemahaman yang lebih sesuai adalah perintah untuk berzikir menyucikan
Allah sepanjang hari dan malam. Makna ini sejalan dengan firman-Nya dalam QS. Ali Imran [3]: 191 yang memuji Ulul Albab dengan melukiskan mereka sebagai:
X 04
… O
\ V\
W9 ?†2
G 3
6
“… Berzikir mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring ….” QS. ali Imran: 191
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada waktu dan kondisi tertentu di mana zikir tidak dapat dilakukan. Memang ada ibadah-ibadah lain yang memiliki waktu dan
cara pelaksanaannya tersendiri, katakanlah seperti shalat yang tidak diperkenankan, misalnya setelah shalat Shubuh sebelum naiknya matahari sepenggalahan, atau haji yang
mempunyai tatacara dan waktu tertentu. Nah, karena zikir tidak mengenal waktu, tempat, dan tata cara yang mengikat, maka seperti sabda Nabi Saw:
ABC4A Cﻡ BC4Cﻡ A?CﻡC DE C E C?Eﻡ E ACC AFC, C GEH E AEI C J J AKCیC D.C=ACﻡ C.C=CL A?Cﻡ
DE C E C?Eﻡ E ACC AFC, C GEH E AEI C J J AKCیC M M N
“Siapa yang duduk pada satu tempat duduk sedang dia tidak berzikir kepada Allah, maka dia tidak memperoleh sesuatu kecuali penyesalan, dan siapa yang berjalan di
satu jalan sedang dia tidak berzikir kepada Allah, maka dia tidak memperoleh sesuatu kecuali penyesalan” HR. Abu Daud melalui Abu Hurairah ra.
Oleh karena itu, setiap saat dan dalam situasi apa pun seseorang diminta untuk berzikir. Teks-teks al-Qur’an dan Sunnah yang di kutip di atas cukup mendukung
pernyataan ini, apalagi zikir, sebagaimana dikemukakan sebelum ini, mencakup banyak cara dan diundang oleh fenomena alam yang disaksikan serta kondisi apa pun yang
dialami.
BAB III PROFIL Dr. QURAISH SHIHAB