32
2. Dasar Hukum Kartu Kredit Syariah
Landasan penerbitan kartu kredit syariah yang dijadikan sebagai acuan umum berdasarkan fatwa DSN-MUI NO: 54DSN-MUIX2006 tentang kartu
kredit syariah adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 1:
....
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu….” QS.
Al-Maidah: 1 Pada saat nasabahcalon pemegang kartu mengisi dan menandatangani
formulir aplikasi syariah card, maka nasabah dinyatakan setuju dan tunduk pada ketentuan yang berlaku yang telah ditetapkan oleh bank. Oleh karena itu
sesuai dengan ayat di atas nasabah maupun bank wajib memenuhi perjanjian yang telah disepakati tersebut. Hal ini disebutkan pula dalam surat Al-Isra
ayat 34.
22
b. Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra ayat 34:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih baik bermanfaat sampai ia dewasa dan penuhilah
22
Evi Rahmawati, Analisis Fatwa DSN-MUI No. 54DSN-MUIX2006 Tentang Syariah Card, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010,
h.54.
33
janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” QS. Al-Isra: 34.
Salah satu prinsip ekonomi syariah adalah dilakukan atas dasar sukarela taradhi tanpa mengandung unsur paksaan ikrah. Sesuai dengan
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29.
23
c. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
” QS. An-Nisa: 29. Prinsip sukarela ini merupakan prinsip yang fundamental dalam setiap
aktifitas perekonomian syariah termasuk dalam transaksi syariah card. Ayat lain yang menjadi landasan hukum dibolehkannya kartu kredit syariah adalah
surat Al-Baqarah ayat 282.
23
Evi Rahmawati, Analisis Fatwa DSN-MUI No. 54DSN-MUIX2006 Tentang Syariah Card, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010,
h.54.
34
d. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan
35
dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka
boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian,
Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
”QS. Al-Baqarah: 282. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang
beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang, ini agar yang
memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak
memintanya.
24
e. Hadits Nabi SAW:
ﺜ ﱠﺪﺤ ﻲ ﺃ ﻲ
ﻉ ﻜﻷ ﻤ ﺴ ﺪﯿ ﻲ ﺃ ﺪﯿﺰﯿ ﺃ
ﯿ ﻲ ﯿ ﺰ ﻲ ﺃ ﺴ ﯿ :
ﯿ ﺪ ْ ﻤ ﯿ ؟
: ﻻ
24
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an, vol.1
Jakarta: Lentera Hati, 2002, h.603.
36
ﯿ .
ﺰ ﻲ ﺜ :
ﯿ ﺪ ْ ﻤ ﯿ ؟
: .
: ﻜ ﺤ
. ﺪ ﺃ
: ﺴ ﯿ ﯿ ﺪ ﻲ
٬ ﯿ
.
Artinya: “Abu Ashim telah menceritakan kepada kami dari yazid bin Abu
Ubai d, dari Salamah bin Al Akwa’ RA, “Sesungguhnya
didatangkan kepada Nabi SAW satu jenazah untuk beliau shalat, maka beliau bertanya, „Apakah dia memiliki utang?’ Mereka
menjawab, „Tidak’. Lalu beliau menshalatinya. Kemudian didatangkan satu jenazah yang lain
dan beliau bertanya. „Apakah dia memiliki utang?’ Mereka menjawabm „Ya’. Beliau bersabda,
„Shalatilah sahabat kalian’ Abu Qatadah berkata, „Utangnya menjadi tanggunganku, wahai Rasulullah’ Maka beliau
menshalatinya. ” Hadits Riwayat Bukhori.
25
f. Kaidah Fiqh
ﻷﺃ ﯽﻓ
ﯿ ﺪﱠ ﺪﯿ ﺃﱠ ﻻﺇ ﺤ ﻹ ﯿﺮﺤ ﻰ
ْ
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja
sama mudharabah atau musyarakah, perwakilan, dll, kecuali yang tegas- tegas diharamkan seperti mengakibatkan kumdharatan, tipuan, judi, dan riba.
26
25
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Bukhari. Penerjemah Amiruddin Jakarta: Pustaka Azzam, 2005, h.151.
26
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, edisi pertama, cet-2 Jakarta: Kencana, 2007, h.130.
37
3. Akad yang digunakan dalam Kartu Kredit Syariah