Batas Usia Anak Dapat Dipidana

B. Alasan Keluarga; C. Alasan Pengaruh Orang Luar; 1.Tipu daya 2. Bujuk Rayu 3. Paksaan. 51

B. Batas Usia Anak Dapat Dipidana

Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi tanggung jawab pidana.hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang meletakkan tanggung jawab anak-anak tidak berubah dan berevolusi sejak dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal pertanggung jawaban anak kecil belum dewasa pada masa sekarang ini. Tanggung jawab pidana dalam hukum Islam terdiri atas dua unsur utama: a. kekuatan berpikir idhrak dan b. pilihan ikhtiar. Karena itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase-fase yang dilaluinya oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya kekuatan akal idhrak dan pilihan ikhtiar yang lemah kemudian kedua-duanya sedikit demi 51 Sunarmo, Narkoba: Bahaya Dan Upaya Pencegahannya, Semarang: Bengawan Ilmu, 2007, Cet. Ke-1, h. 48. sedikit mulai terbentuk hingga akhirnya manusia dapat memahami batas waktu tertentu hingga akhirnya pertumbuhan akalnya menjadi sempurna. 52 Atas dasar adanya tahapan-tahapan dalam bentuk idrak kekuatan berpikir ini, dibuatlah kaidah tanggung jawab pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada diri manusia, tanggung jawab pidana juga tidak ada. Ketika kekuatan berpikirnya lemah, yang dijatuhkan padanya bukan tanggung jawab pidana, melainkan hukuman mendidik. Ketika kekuatan berpikirnya sempurna, manusia barulah mempunyai tanggung jawab pidana. Fase-fase yang dilalui manusia dari sejak lahir sampai usia dewasa terdiri atas tiga fase periode berikut: 1. Fase pertama: fase tidak adanya kemampuan berpikir idhrak Pada fase ini, seorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir. Ia pun disebut anak yang belum mumayiz. Pada realitasnya, tamyiz tidak terbatas pada usia tertentu karena kemampuan berpikir dapat timbul sebelum usia tujuh tahun dan kadang-kadang sesudahnya. Ini dipengaruhi oleh perbedaan orang, lingkungan, keadaan, kesehatan dan mentalnya. 53 Anak dianggap belum mumayiz jika usianya belum sampai tujuh tahun meskipun ada anak dibawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk tamyiz daripada anak lain seusianya. Ini 52 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy Muqaranan Bil Qanunil Wadhi, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II , Penj Ali Yafie, et all, Bogor: Kharisma Ilmu, 2008, Cet. Ke-1, h.255. 53 Ibid, h.255-256. karena hukum didasari atas kebanyakan orang, bukan atas perseorangan. Hukum pada kebanyakan orang menegaskan bahwa tamyiz belum dianggap ada pada diri seorang anak sebelum berusia tujuh tahun. Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun sebelum berusia tujuh tahun, ia tidak dihukum, baik pidana maupun hukuman ta’dibiy hukuman untuk mendidik. Anak kecil tidak dijatuhi hukuman hudud, kisas, dan takzi apabila ia melakukan tindak pidana hudud dan tindak pidana kisas misalnya membunuh atau melukai. Walaupun demikian, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab perdata atas semua tindak pidana yang dilakukannya. Ia bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain. Tanggung jawab perdata tidak dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam, darah dan harta benda itu maksum tidak dihalalkanmendapat jaminan keamanan dan juga uzur- uzur syar’I tidak menafikan kemaksuman. Ini berarti uzur-uzur syar’i tidak menghapuskan dan menggugurkan ganti rugi meski hukumannya digugurkan. 2. Fase kedua, kemampuan berpikir lemah Fase ini dimulai sejak sianak menginjak usia tujuh tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya pada usia lima belas tahun. Apabila seorang anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. 54 54 Ibid, h. 256-257. Dalam fase ini, anak kecil yang telah mumayiz tidak bertanggung jawab secara tindak pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Dia tidak dijatuhi hukuman hudud bila ia mencuri atau berzina, misalnya. Dia jugatidak dihukum kisas bila membunuh atau melukai, tetapi dikenai tanggung jawab ta’dibi, yaitu hukuman yang bersifat mendidik atas pidana yang dilakukannya. Meskipun pada dasarnya hukuman ta’dibi adalah hukuman atas tindak pidana, ia merupakan hukuman ta’dibi untuk mendidik, bukan hukuman pidana. Akibat menganggap hukuman itu untuk mendidik ta’dibi, sianak tidak dapat dianggap sebagai residivis pengulang kejahatan meski hukuman untuk mendidik telah dijatuhkan kepadanya. Sianak juga tidak boleh dijatuhi hukuman takzir kecuali hukuman yang dianggap untuk mendidik seperti pencelaan dan pemukulan. 3. Fase ketiga: kekuatan berpikir penuh sempurna Fase ini dimulai sejak sianak menginjak usia kecerdasan dewasa, yaitut kala menginjak usia lima belas tahun, menurut pendapat mayoritas fukaha, atau berusia delapan tahun, menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam mazhab Maliki. Pada fase ini, seseorang dikenai tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukannya apapun jenisnya. Dia dijatuhi hukuman hudud apabila dia berzina atau mencuri dan dikisas apabila dia membunuh atau melukai, demikian pula dijatuhi hukuam takzi apabila melakukan tindak pidana takzir. 55 55 Ibid, h. 257. Pada galibnya hukum-hukum positif sama pendiriannya dengan syariat Islam yaitu: mengadakan perbedaan pertanggung jawaban pidana menurut perbedaan umur anak-anak dibawah umur. 56 Pada hukum positif juga anak-anak dibawah umur dikenakan pertanggung jawaban perdata, baik dijatuhi hukuman pidana atau tidak karena tidak ada perlawanan antara dibebaskannya dari hukuman karena belum mencapai usia tertentu, dengan diharuskan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Menurut KUHP Indonesia pasal 45 apabila seorang anak dibawah umur kurang dari 16 tahun umurnya, ketika melakukan jarimah, maka hakim bisa menetapkan salah satu dari tiga hal, yaitu mengembalikan kepada orang tua atau walinya tanpa dijatuhi hukuman atau diserahkan kepada pemerintah untuk dididik tanpa dijatuhi hukuman atau dijatuhi hukuman. Hukuman yang dijatuhkan ialah hukuman pokok maksimal bagi jarimah tersebut dengan dikurangi sepertiganya. Jika jarimah tersebut diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka diganti dengan human penjara selama-lamanya 15 tahunpasal 47. 57 Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya usia anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dan 56 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005 h. 271-272. dalam Burjelijk Wetboek KUHPerdata bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Pembentuk undang-undang mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak dibawah umur sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak. Namun lain halnya menurut Hukum Islam, dimana batasan ini tidak berdasarkan atas perhitungan usia tetapi dimulai sejak adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik pria maupun wanita. 58 Bab III Buku KUHP mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal-hal yang memperingankan mengurangkan pidana dimuat dalam pasal 45, 46, dan 47. akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak diundangkan tanggal 3 Januari 1997 dan berlaku sejak tanggal 3 Januari 1998, ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi pasal 67. Kini penting hanya dari segi sejarah hukum pidana, khususnya pidana anak. 59 Menurut pasal 45 ialah hal yang memperingankan pidana ialah sebab si pembuat adalah seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 enam belas tahun. Inilah satu-satunya dasar yang memperingan pidana umum yang ditentukan dalam Bab III Buku I. 57 Ibid, h.272. 58 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2006, Cet. Ke-1, h.25-26. Kini setelah pasal 45, 46,dan 47 tidak berlaku lagi, kedudukan sebagai dasar peringan pidana yang bersifat umum, digantikan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997. Menurut UU No.3 Tahun 1997 dasar peringan pidana umum ialah sebab pembuatnya anak disebut anak nakal yang umurnya telah 8 delapan tahun tetapi belum 18 delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dan belum berumur 8 delapan tahun tidak dapat diajukan ke Pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan pasal 5, dan dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, ialah: a.Jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, walinya, atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak itu kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya; b.Jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997, terdapat 2 dua unsur kumulatif yang menjadi syaratnya, ialah pertama mengenai: umurnya telah 8 tahun tapi belum 18 tahun dan yang kedua mengenai: belum pernah menikah. Dalam system hukum kita, selain umur juga perkawinan adalah sebab kedewasaan seseorang. 59 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2: Penafsiran hukum Pidana, Dasar Peniadaan , Pemberatan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan Perbarengan Ajaran Sama dengan KUHP, UU No.3 Tahun 1997 ini juga terhadap anak. KUHP: belum berumur 16 tahun, UU ini telah berumur 8 tahun tapi belum 18 tahun dan belum pernah kawin yang terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua kemungkinan, ialah menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan pasal 21. 60 Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam suatu peraturan undang-undang tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas dilapangan, agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah sidik, salah tuntut maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi seseorang. Bagaimana menentukan seseorang itu termasuk anak? Dalam menangani perkara anak, petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran sianak, seperti akta kelahiran. Kalau anaktidak mempunyai akta tersebut, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya surat tanda tamat belajar, kartu pelajar, surat keterangan kelahiran. Hal yang demikian diperlukan biasanya terjadi apabila seoranganak badannya bongsor besar, sehingga secara kasad mata agak meragukan umurnya, pakah benar yang bersangkutan belum mencapai umur 18 tahun. 61 Kausalitas , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-1, h.97 60 Ibid, h.100 61 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2007, Cet. Ke-3, h.19. Juvenile delinquency ditentukan atas dasar umur para pelaku dan atas dasar macam tingkah laku para pelaku untuk diajukan ke pengadilan anak. Kebanyakan Negara mempunyai batas umur minimum dan batas umur maksimum seorang anak untuk dapat diajukan kemuka pengadilan. 62 Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan ke sidang anak. Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Batas umur anak nakal minimum adalah 8 delapan tahun dan maksimum 18 delapan belas tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak adalah umur 21 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 63 Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang ditentukan berdasarkan pembedaan umur, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah berusia diatas 12 sampai 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Anak yang belum berumur 8 tahun tidak memenuhi batas usia minimum tetapi melakukan suatu tindak pidana tertentu, maka ada 2 dua alternatif tindakan yang dapat diberikan kepada anak tersebut. Pertama, diserahkan kepada 62 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta: LP3ES, 1983, Cet. Ke-1, h. 10. 63 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, Cet. Ke-2, h.105-106. orangtua, wali atau orangtua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina; kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orangtua, wali atau orangtua orangtua asuhnya. 64 Ketentuan ini hanya membatasi diri khususnya dalam perkara anak nakal saja, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan dengan umur dibatasi secara minimal dan maksimal, dengan kekecualian anak belum pernah kawin. 65 Batasan usia sangat penting dalam pembentukkan Undang-undang seperti perkara pidana. Masalah batasan usia menjadi salah satu tolak ukur pertanggung jawaban pidana. Batasan usia menjadi penentu atas pelaku dan tingkah lakunya untuk dapat diajukan kepengadilan. Dengan adanya batasan usia di Undang-undang membantu untuk membedakan sanksi bagi anak-anak dan orang dewasa. Sehingga anak yang melakukan tindak pidana berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan yang khusus bagi kepentingan psikologi anak dan masa depannya nanti. Dalam system hukum positif di Indonesia yang menjadi batasan usia seseorang dikatakan dewasa, selain usia adalah perkawinan, baik orang itu sudah berumur 18 tahun atau dibawah umur 18 tahun sudah melangsungkan pernikahan. 64 Wagiati Soetodjo,. Hukum Pidana Anak, h. 27. 65 Gatot Supramono,. Hukum Pidana Anak, h. 19.

BAB III PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG