semacam itu tidak dipentingkan kekhususan waktu dan tempat. Maka alur itu disebut dengan istilah alur netral. Dalam cerita dikenal pula istilah latar fisik yang
menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu ini disebut latar spiritual. Latar yang terperinci mencegah timbulnya tautan yang sterotip, yaitu mencegah
pembaca terlalu mudah dan terlalu cepat menautkan latar tertentu dengan konotasi tertentu. Latar memiliki fungsi, yaitu 1 memberikan informasi situasi ruang dan
tempat sebagaimana adanya, 2 sebagai proyek keadaan batin para tokoh, 3 latar menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh. Namun tidak
selamanya latar itu serasi dengan peristiwa yang dilatarinya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar
dapat disebut landas tumpu, yaitu hal yang menyaran pada keadaan tempat, waktu dan lingkungan sosial untuk mendeteksi peristiwa- peristiwa dalam cerita.
2.2.1.4 Tema
Kenny 1966: 88, mengemukakan tema theme adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sedangkan menurut Hartoko dan Rahmanto 1986:
142 keduanya mengemukakan tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagi struktur
semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Stanton 1965: 21 mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara
khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama central idea dan tujuan utama
central purpose.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang
telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Walaupun demikian, diakui banyak pengarang
pengembangan cerita itu sendiri tidak selalu sejalan dengan kerangka pemikiran semula karena ide-ide cerita tidak jarang akan berkembang sesuai dengan
„kemauannya‟ sendiri. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna pengalaman
kehidupan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema atau sub-tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan
pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak
pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.
2.2.1.5 Moral Pesan
Karya sastra merupakan hasil salah satu cabang kebudayaan, yakni kesenian. Seperti hasil kesenian umumnya, karya sastra mengandung unsur
keindahan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan penikmatnya. Karya sastra senantiasa menawarkan
pesan moral atau hikmah yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat kemanusiaan tersebut
pada hakikatnya bersifat universal, artinya sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini oleh seluruh manusia. Ia tidak hanya bersifat kebangsaan apalagi perseorangan.
Menurut Kenny 1966: 89 moral dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat
diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Secara umum moral menyaran pada pengertian ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila KBBI, 1994. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Moral dalam karya sastra yang diperoleh pembaca lewat sastra selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya sastra
ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji baik sebagai tokoh antagonis maupun protagonis tidaklah berarti bahwa pengarang
menyarankan kepada pembaca untuk bersikap demikian, namun sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanya sebagai model yang kurang baik yang sengaja
ditampilkan agar tidak diikuti. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspresikan pengalaman dan kepribadiannya dalam suatu karya sastra, tetapi
secara implisit bermaksud ingin mempengaruhi pembaca agar ide yang disampaikan oleh pencipta karya tersebut diikuti oleh para pembacanya.
2.2.2 Teori Intertekstualitas