Prinsip Intertekstualitas dalam Penerapannya pada Karya Sastra

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks- teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu: a membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya. Intertekstualitas yang sesungguhnya adalah yang kedua sebab aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, yang dilakukan melalui dimensi-dimensi interlocutor, yang suara-suaranya dapat diperdengarkan pada setiap wacana itu juga, yang berbeda-beda sesuai dengan intense masing-masing wacana. Tidak ada teks yang mandiri, tidak ada orisinalitas dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Oleh karena itulah, pada dasarnya tidak ada wacana yang pertama dan terakhir, setiap wacana merayakan kelahirannya Ratna 2004:174-175.

2.2.4 Prinsip Intertekstualitas dalam Penerapannya pada Karya Sastra

Prinsip intertekstualitas dalam kritik sastra di dunia Barat sudah mulai dikenal tahun enam puluhan. Di Indonesia, prinsip ini baru diterapkan pada karya sastra Indonesia pada tahun delapan puluhan dipelopori oleh Teeuw dalam artikel majalah Basis tahun 1980 No. 301, yang ditulis kembali dalam buku Membaca dan Menilai Sastra 1983. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra itu merupakan response Teeuw 1983: 65 pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus. Teeuw membuktikan bahwa prinsip intertekstualitas selanjutnya disebut pendekatan intertekstual dapat diterapkan secara efektif pada karya sastra Indonesia. Misalnya, “Sajak-Sajak Indonesia Modern” karya Amir Hamzah Pujangga Baru dan sajak karya Chairil Anwar Angkatan „45 seperti “Berdiri Aku ” dengan “Senja di Pelabuhan Kecil”; sajak “Kusangka” dengan “Penerimaan”; “Dalam Matamu” dengan “Senja Putih”. H. B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 1978 telah menerapkan pendekatan Intertekstualisme untuk memahami sajak Chairil yang penciptaannya dilatari sajak-sajak penyair Eropa dan Amerika. Demikian pula Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry 1978 mendemonstrasikan pendekatan intertekstualisme secara nyata dengan membahas sajak Perancis yang baru dapat dipahami sepenuhnya apabila dibaca dengan latar belakang sajak lain. Pradopo dalam Pengkajian Puisi 1978 menjelaskan bahwa hubungan intertekstual dalam sajak Indonesia Modern tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, sebelum terbit sajak Pujangga Baru sudah ada sajak Indonesia Lama Melayu. Pada saat itu, para penyair Pujangga Baru telah mengenal konvensi pantun dan syair, dan ketika mereka berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa, mereka menentang aturan dan konvensi itu baik mengenai konvensi bentuk normal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya.

2.3 Kerangka Berpikir

Wayang gombal merupakan bentuk cerita wayang masa kini. Wayang gombal termasuk ke dalam ragam lakon wayang gubahan. Ceritanya berbeda dengan cerita wayang pada umumnya. Ceritanya dikemas sedemikian rupa, bahasanya pun menggunakan bahasa santai, bahasa yang kita pergunakan sehari- hari, bahkan juga menggunakan bahasa “gaul”. Wayang sebagai kesenian memberikan kontribusi yang besar dalam masyarakat. Masyarakat dapat mengambil pelajaran dari cerita yang terdapat dalam kesenian wayang. Cerita wayang yang diilhami dari kejadian di masyarakat ini menjadikan wayang sebagai bentuk cerita dan sebagai kritik dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan intertekstualitas, yakni salah satu pilihan pendekatan dalam menguak makna dari sebuah karya sastra. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode interteks, dengan menghubungkan teks-teks cerita wayang gombal terhadap Babon Cerita Wayang,