169
dengan metode InBIG dapat efisiensi biaya sebasar 70,53. Efisiensi tertinggi terletak pada tahap survei lapangan, hal karena survei lapangan melalui
pengamatan “lahan” dan melakukan verifikasi dan validasi karakteristik tanah masing-masing SKDLP hasil analisis basis data tanah.
Tabel 47. Perbandingan biaya kegiatan antara metode “konvensional” dan InBIG
Tahapan Kegiatan Metode
Nilai ER Efisien
“Konvensional” InBIG
… Biayaha rupiah ….
I Persiapan 475 130
3,65 72,63
Pengadaan Bahan 175
55 - Foto
udara 130
- - Citra
Alos -
10 - Peta
Dasar 35 35
- DEMs -
- Peta Geologi
10 10
Intrepretasi 300 75
- Landform 250
- - SKDLP
- 75
II Survei Lapangan 1.750
450 3,89
74,27
- Pengamatan 1.750 450
III Analisis DataPelaporan 1.100
400 2,75
63,64
- Analisis tanah
600 100
- Pengolahan Data 300
100 - Pelaporan 200
200
J u m l a h 3.325
980 3,39
70,53
Keterangan: Keputusan Kapuslitbangtanak, 1 November 2002
Efisiensi juga dapat diukur dengan waktu pelaksanaan. Pada metode “konvensional” diperlukan waktu persiapan yang lebih panjang dibandingkan
dengan metode InBIG, yaitu 5 bulan, sedangkan metode InBIG memerlukan waktu 1,5 bulan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa metode InBIG dalam melakukan identifikasi dan evaluasi potensi sumberdaya lahan lebih cepat, akurat, dan efisien
dibandingkan dengan metode “konvensional”.
6.3. SKDLP untuk Arahan Tata Guna Lahan
Kebutuhan data dan informasi sumberdaya lahan untuk tata guna lahan saat ini sangat mendesak, terutama untuk penyusunan dan penyempurnaan
170
RTRW KotaKabupaten dan pengembangan komoditas pertanian unggulan daerah. Data dan informasi sumberdaya lahan tingkat tinjau, skala 1:250.000
dapat dikatakan sudah tersedia. Peta tanah tingkat tinjau, skala1:250.000 yang dihasilkan oleh BBSDLP, menyisakan provinsi Kalimatan Tengah, Papua Barat,
dan Papua, sedangkan Land System, skala 1:250.000 yang dihasilkan oleh Departemen Transmigrasi dan Bakosurtanal tahun 1989 tersedia seluruh wilayah
Indonesia. Sesuai dengan tingkat kedetilan informasi, pemanfaatan data dan informasi tersebut untuk perencanaan tingkat regional provinsi.
Data dan informasi sumberdaya lahan tingkat tinjau ini digunakan untuk penyusunan RTRW Provinsi. Penyusunan RTRW Provinsi dimaksudkan agar
sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing provinsi dapat dimanfaatkan secara terarah sesuai dengan daya dukungnya, sehingga dapat dicapai hasil yang
optimal dan berkelanjutan. Pada dasarnya kawasan tata ruang dibedakan atas fungsi utama, yaitu
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
Data dan informasi sumberdaya lahan tingkat tinjau juga digunakan untuk penyusunan Zone Agroekologi ZAE. Konsep ZAE diperkenalkan oleh FAO
1978 untuk evaluasi lahan di Afrika dengan menggunakan peta tanah FAO 1974 skala 1:5.000.000 dengan parameter panjang periode tumbuh length of growing
period dan suhu. Selanjutnya, FAO merekomendasikan penggunaan ZAE pada tingkat nasional dan provinsi pada skala 1:1.000.000-1:500.000 Kassam et al.
1991. ZAE didefinisikan sebagai pembagian wilayah ke dalam zona berdasarkan kemiripan similarity karakteristik iklim, fisiografi, dan tanah yang memberikan
keragaan performance tanaman tidak berbeda secara nyata FAO 1996. ZAE, didelineasi berdasarkan data minimum dari peubah relief, iklim, dan
tanah. Data tersebut diperoleh dari data sumberdaya lahan tingkat tinjau atau Land System, skala 1:250.000. Faktor relief dan iklim menjadi faktor penentu dalam
171
delineasi, sedangkan faktor tanah hanya sebatas pada karakteristik tanah yang ekstrim, seperti membedakan tanah gambut atau bukan gambut, tanah pasir atau
bukan pasir, tanah sulfat masam atau bukan sulfat masam. Walaupun demikian, ZAE merupakan salah satu alternatif dalam pemetaan potensi sumberdaya lahan
pertanian dengan menggunakan data minimum. ZAE dapat digunakan sebagai dasar perencanaan pengembangan pertanian di tingkat provinsi. Delineasi ZAE
mengandalkan ekternal karakteristik lahan dan kurang menyentuh internal karakteristik tanah dan tidak melalui proses evaluasi lahan, sehingga ZAE
merupakan peta indikatif potensi sumberdaya lahan. Dengan demikian, ZAE cukup pada tingkatan tinjau. Untuk menjabarkan lebih lanjut dari ZAE, diperlukan
data dan informasi sumberdaya lahan pada tingkat semi detil, skala 1:50.000. Secara ideal, data dan informasi sumberdaya lahan pada skala semi detil,
diperoleh melalui kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detail, skala 1:50.000 dengan klasifikasi tanah sampai katagori Famili, tetapi membutuhkan
waktu sangat lama dan biaya yang tinggi, padahal keperluannya sangat mendesak. Dengan adanya metode InBIG yang mengintegrasikan basis data tanah, data
Inderaja, dan menggunakan teknik GIS, kegiatan pemetaan potensi sumberdaya lahan diharapkan akan lebih cepat, akurasi, dan efisien.
SKDLP yang dihasilkan dengan metode InBIG merupakan data dan informasi sumberdaya lahan tingkat semi detil, setara dengan skala 1:50.000. Data
dan informasi tersebut dapat digunakan untuk penyusunan atau pembenahan RTRW KotaKabupaten. Undang Undang No. 26 tahun 2007 mengenai Penataan
Ruang memuat adanya kebijakan terkait dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang bertujuan untuk kelestarian lingkungan, sehingga
penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya harus tepat. Untuk itu diperlukan data dan informasi sumberdaya lahan yang handal. Pemilihan
kawasan budidaya pertanian perlu mempertimbangkan dua aspek penting, yaitu aspek teknis sektoral dan aspek teknis keruangan. Pertimbangan aspek teknis
sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang telah memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, seperti daya dukung lahan, kesesuaian
lahan, dan bebas bencana alam. Aspek teknis keruangan adalah pertimbangan atau ukuran untuk menentukan bahwa suatu kegiatan dalam kawasan menghasilkan
172
sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan aspek kelestarian lingkungan. Metode InBIG dapat
menjawab keperluan aspek teknis sektoral keruangan yang diperlukan. Pengembangan komoditas pertanian berbasis kawasan sentra produksi telah
dicanangkan oleh Kementrian Pertanian dalam pencapaian swasembada beras dan jagung berkelanjutan dan pencapaian swasembada kedelai, daging sapi serta gula
pada tahun 2010-2014. Untuk itu, diperlukan data dan informasi potensi sumberdaya lahan pada tingkat semi detil, skala 1:50.000. Badan Pengembangan
dan Penelitian pada tahun 2013 akan melakukan penyusunan ZAE pada tingkat semi detil, skala 1:50.000 seluruh Indonesia. Sehubungan dengan itu, untuk
mendukung implementasi kebijakan tersebut, metode InBIG dapat digunakan untuk menyediakan data dan informasi potensi sumberdaya lahan pada tingkat
semi detil, skala 1:50.000.
173
VII. KESIMPULAN, SARAN, DAN KEBARUAN