11
3. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian ilmiah senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui alasan pemilih mengapa tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2008 di
Kecamatan Pamatang Sidamanik.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum akan bermanfaat bagi :
1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas
dan memperdalam pemahaman dan melatih penulis dalam membuat sebuah karya ilmiah.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan jadi salah satu pendukung dalam
pengembangan dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti perilaku pemilih dan teori-teori politik lainnya.
3. Hasil penelitian ini secara praktis kiranya bermanfaat bagi
lembagainstansi pemerintah seperti Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan KPU dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.
12
5. Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan
pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang
menggambarkan sudut mana masalah penelitian yang akan disorot
9
Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proposisi menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep .
10
5.1. Perilaku Pemilih
.
Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori
mengenai perilaku pemilih voter behavior. Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih voting turnout dilacak pada
sebab-sebab dari individu pemilih. Secara umum analisa-analisa mengenai “voting behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada tiga pendekatan atau model
yaitu:
9
Hadawi nawawi, metode penelitian bidang sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995 hal.40
10
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendy, metode penelitian sosial survei, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112
13
d. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis sering disebut Mazhab Columbia The Columbia School of Electoral Behavior merupakan pendekatan yang menekankan pada
peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang
sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut
pemilihan atau tidak.
11
e. Pendekatan Psikologis
Berbeda dengan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, yang sering disebut dengan Mazhab Michigan The Michigan Survey Research Center
lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politik. Pendekatan psikologi ini mengembangkan konsep psikologi,
khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku sesorang. Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku
pemilih karena Menurut Greenstein ada 3 fungsi sikap yakni ; pertama, sikap
merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan
berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap
merupakan fungsi penyesuaian diri. Artinya, seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau
11
Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, Jurnal Ilmu Politik Edisi No. 16, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 52
14
kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan
pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan
defense mechanism. Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan proses
sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan inilah yang menentukan
seseorang ikut memilih atau tidak. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.
12
f. Pendekatan Rasional
Dua pendekatan diatas menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa
perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup,
merupakan variable yang secara sendiri-sendiri maupun komplementer mempengaruhi perilaku atau pilihan politik sesorang.
Tetapi pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan
12
Ibid, hal .52
15 pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi
pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor
situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu
yang aktif. Ia tidak terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak. Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang
dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika
pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut
memilih
13
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku pemilih sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung pada situasi
sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lain .
14
13
Ibid,hal.53
14
Ibid.hal. 54
. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam
mempengaruhi keputusannya.
Penjelasan kedua mengapa pemilih tidak memilih bersumber dari sudut struktur atau sistem suatu negara, yaitu :
16
a. Sistem Pendaftaran Pemilih
Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa
mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang
dalam pemilihan. Secara umum ada dua sistem pendaftaran pemilih, yaitu sistem aktif dan
sistem pasif
15
Sedangkan sistem pasif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara petugas pendata atau pencacah untuk mencacah atau mendaftar sebagai pemilih.
Sistem yang pertama akan menghasilkan partisipasi pemilih voting turnout yang tinggi. Misalnya di Prancis. Warga yang berumur 18 tahun secara otomatis akan
didaftar sebagai pemilih. Tidak mengherankan jikalau Prancis adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat voting turnout lumayan tinggi. Rata-rata voting
turnout dalam sejumlah pemilihan umum di Prancis adalah 76 . Sistem aktif adalah sistem pendaftaran pemilih dengan cara warga
sendirilah yang aktif mendatangi panitia atau petugas pendaftaran atau pencacahan untuk didaftar sebagai pemilih.
Pemilih punya hak untuk menolak didaftar sebagai pemilih jika tidak menginginkannya
.
16
.
15
Joko Prihatmoko, hal. 201
16
Rafael Lopez Pintor and Maria Gratschew, Voter Registration and Inclusive Democracy: Analysing Registration Practices Worldwide dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global
Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, op.cit., hal. 7
17
b. Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Sejumlah penelitian menunjukkan, sistem dua partai relatif bisa mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Motivasi pemilih untuk ikut memilih bisa
surut ketika partai atau calon yang maju dalam pemilihan tidak ada yang disukai. Sebaliknya negara yang menganut sistem multipartai relatif bisa memancing
partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Hal ini karena pemilih lebih punya banyak pilihan dan alternatif. Sejumlah penelitian juga menunjukkan, sistem proporsional
lebih membuat partisipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat
meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai dapat meningkatkan keterwakilan mereka Russel J. Dalton dan Martin P. Wattenberg, 1993
17
Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum adalah hak bagi warga negara, karenanya warga bisa memilih dan bisa juga tidak memilih.
Tidak ada hukuman bagi warga negara yang tidak ikut memilih. Tetapi ada juga negara yang memandang pemilihan umum sebagai kewajiban dari warga negara.
Warga diwajibkan untuk ikut pemilihan dan jika tidak ikut akan mendapat hukuman. Bentuk hukuman ini bermacam-macam dari hukuman denda,
penambahan pajak hingga ancaman tidak mendapat jaminan atau asuransi dari .
c. Sifat Pemilihan
17
Eriyanto, op.cit., hal.10
18 negara. Negara yang menerapkan hukuman bagi warga yang tidak terlibat dalam
pemilihan bisa dipastikan mempunyai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Salah satu contoh adalah Australia. Rata-rata tingkat voter turnout di
Australia adalah 95. Australia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi di dunia. Australia menerapkan hukuman denda
bagi pemilih yang tidak ikut memilih. Hukuman ini bisa berujung penjara jika calon pemilih ini tidak membayar denda yang harus dibayar. Australia bukan satu-
satunya negara yang menerapkan denda bagi warga yang tidak ikut memilih. Swis, Austria, Ciprus, Argentina, Peru adalah contoh negara lain yang
menerapkan hukuman denda. Selain hukuman, mekanisme lain untuk “mewajibkan” pemilih datang di hari pemilihan adalah memberikan surat
keterangan. Surat keterangan ini dipakai ketika seseorang melamar pekerjaan terutama di kantor-kantor pemerintah. Di Belgia dan Mexico, pemilih yang tidak
ikut pemilihan tanpa alasan jelas, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat pekerjaan di kantor pemerintah. Kesulitan yang sama juga dialami ketika
mengurus surat dan dokumen dari kantor pemerintah. Semua negara yang mewajibkan warga negaranya ikut memilih ini, dikenal mempunyai tingkat voter
turnout tinggi
18
18
Maria Gratschew, Compulsory Voting, dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, dikutip dari Eriyanto, loc.cit.
.
19
5.2. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan – kegiatan
politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan, ”Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang
memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan warganya”
19
”Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.” .
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu: pertama, partisipasi dalam
pemilihan electoral participation, kedua, partisipasi kelompok group participation, ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah
citizen government contacting dan keempat, partipasi warga negara secara langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing :
20
19
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali pers, 1999, hal.112
20
Samuel P Hutington dan Joan M. Nelson, No easy choice : Political Participation In Developing Countries cambridge, mass : harvard universiry press 1997. Hal 3, dalam Miriam
Budiarjo.
20 Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
21
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang poiltik,
keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat- pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai
pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adaalah kegiatan yang dimaksud untuk
mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek- aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan
bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua
kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak
langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan, tetapi ada
21
Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128
21 pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan
kepemerintah. Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang
dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan
keluaran suatu sistem politk. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum
yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta
dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. b.
Partisipasi Pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturanperintah, menerima, dan
melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.
22
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang
dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,
alienasi, dan anomie. 1.
Apatis masa bodoh dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
22
Sudijono Sastroadmojo, Perilaku politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74
22 2.
Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor,
tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apapun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik
dan pemerintahan masyarakat dan kecendrungannya berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk orang
lain tidak adil. 4.
Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan
ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk
bertindak.
23
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik
24
: Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan
ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial,
dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang
ditanggung dari suatu aktifitas politik mereka sebagai pekerjaan sia- sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara
cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya
dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk
23
Michael rush dan althoff, pengantar sosiologi politik, PT Rajawali, Jakarta, 1989, hal.131
24
Ibid.
23 tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor
yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat
atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima
sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik
tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relatif kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal
yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi
kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
5.3. Motivasi untuk Melakukan Aktivitas Politik
Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku, baik menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik baik
menyangkut aspek sosial maupun aspek politik. Tindakan-tindakan aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga
menyangkut hal-hal yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Menurut Max Weber, ada beberapa jenis motivasi seorang melakukan aktivitas politik
25
1. Motif yang rasional .
Motif ini merupakan motif yang mendorong tingkah laku untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan logis dan rasional terdapat suatu kelompok.
Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas politik telah didukung oleh penilaian-penilaian objektif terhadap suatu kelompok tertentu. Artinya, bukan
berarti motif ini terlepas dari unsur-unsur subjektif, tetapi seorang individu telah
25
Sudijono sastroadmojo, op.cit, hal. 83-84
24 dibekali cara-cara rasional, melalui pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan
menentukan pilihan sikapnya atau dalam menilai organisasi sosial tertentu. 2. Motif yang efektual-emosional
Motif ini didasarkan atas kebencian tertentu yang melekat pada individu dalam menilai gagasan, organisasi atau individu lainnya. Dorongan ini pula
membentuk katidaksamaan terhadap suatu kelompok yang kemudian dalam bentuknya yang konkrit menjadi bentuk apatisme politik.
3. Motif yang tradisional Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dalam
suatu kelompok sosial. Yang menyebabkan individu tersebut mau bergabung dengan partisipasi dalam kelompok sosial tersebut.
4. Motif rasional – bertujuan Motif ini didasarkan atas pertimbangan keuntungan pribadi. Bila aktifitas
tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa padanya, ia tidak akan ikut serta, demikian juga sebaliknya.
5.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem delalu memiliki
sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah 1 terdiri dari banyak bagian- bagian, 2bagian-bagian itu saling berinteraksi dan tergantung, dan 3
25 mempunyai perbatasan yang memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri
dari sistem-sistem lain.
26
26
Ibid.,hal.200
Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian-bagian tersebut
adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforment. Elecroral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada
langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman penyelenggara, calon dan pemilih dalam menuaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral
process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat
legal maupun tehnikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administratif atau pidana.
Atas dasar itu, sistem pilkada langsung merupakan sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan proses untuk
memilih kepala daerah. Sebagai suatu sistem, sistem pilkada memiliki ciri-ciri antara lain bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan
kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan sub sistem, masing-masing kegiatan saling terikat dan tergantung
dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme control, dan mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.
26
6. Definisi konsep
Konsep adalah unsur penelitian yang penting dalam penelitian dan merupakan definisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan secara
abstrak suatu fenomena sosial atau alam. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan atau makna ganda dari definisi konsep yang ada. Maka yang menjadi
batasan penelitian ini adalah: 1.
Perilaku tidak memilih adalah perilaku pemilih yang tidak ikut memilih pada saat pemilihan atau pilkada berlangsung.
2. Sistem pilkada adalah penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur maupun wakil gubernur ataupun bupatiwakil bupati, atau walikotawakil walikota.
7. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan diukur. Dalam penelitian ini yang akan diteliti, yaitu Perilaku tidak memilih,
dengan indikator : 1.
Perilaku pemilih -
Pendekatan sosiologis dengan indikator : pendidikan, ras, agama, pekerjaan.
- Pendekatan psikologis dengan indikator : kedekatan emosional
dengan calon gubernur, keterlibatan dalam partai politik yang mengusung calon Gubernurwakil gubernur.
27 -
Pendekatan rasional dengan indikator : kepercayaan terhadap isu-isu politik yang ditawarkan calon Gubernur dan wakil
Gubernur. 2.
Sistem Pemilihan Kepala Daerah -
Sifat pemilihan dengan indikator : ketiadaan sanksi yang diberikan pemerintah bagi yang tidak memilih.
- Sistem pencalonan dengan indikator : jalur pencalonan.
8. Metodologi Penelitian 8.1. Jenis Penelitian