Pembatasan Penggunaan UU TPK

c. Pembatasan Penggunaan UU TPK

Kalau kita mau taat asas sebenarnya, tidak semua perkara atau masalah hukum dapat dikorupsikan. Menjadikan perkara, pidana biasa atau perkara perdata menjadi perkara korupsi dengan mudah dapat dilakukan oleh penegak hukum. Dengan tidak adanya batasan, satu perkara sebagai perkara korupsi atau bukan perkara korupsi, maka sangat mudah penyidik memberikan interpretasi bahwa satu perkara adalah perkara korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah putusan yang memberi batasan satu perkara sebagai perkara korupsi atau bukan perkara korupsi. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi perihal sifat melawan hukum materiil tidak mengikat secara hukum berpengaruh dalam pemberantasan korupsi, artinya putusan tersebut telah menegasikan sifat melawan hukum materiil dan hanya mengakui berlakunya sifat melawan hukum formal.

Delik materiil dari penjelasan kedua pasal tersebut telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan,

“Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang “Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang

Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan

hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana ”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; ”

Dengan demikian, maka pada dasarnya secara teori hukum pidana, putusan MK tersebut bertujuan untuk mencegah multi interpretatif terhadap unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, sehingga kemudian Mahkamah Konstitusi mengartikan melawan hukum itu hanyalah sebagai melawan hukum formil. Artinya, melawan hukum tersebut hanyalah melawan undang-undang dan memenuhi unsur delik dari suatu rumusan pidana. Dan yang dimaksudkan oleh MK pada

putusannya tersebut adalah melawan hukum pada aturan yang berupa undang-undang, bukan yang berada di bawahnya undang-undang letaknya, sehingga perbuatan yang bertentangan dengan KEPMEN bukanlah termasuk suatu perbuatan yang melawan hukum sebagaimana

pula yang dimaksudkan oleh putusan MK tersebut . Hal ini sesuai dengan hal yang sangat prinsipil dalam teori asas legalitas, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Anselm von Feuerbach, yaitu nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).

Dari apa yang dikemukan diatas, maka kalau penegakan hukum ini dilakukan bukan untuk pembalasan terhadap orang yang diduga Dari apa yang dikemukan diatas, maka kalau penegakan hukum ini dilakukan bukan untuk pembalasan terhadap orang yang diduga