Pemahamam Konflik dalam Otonomi Daerah
B. Pemahamam Konflik dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah lahir atau kembali diterapkan kembali ke dalam sistem kekuasaan di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan kepada daerah yang selama masa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi daerah ditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada daerah tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk otonomi yang dijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol pusat terhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakan representasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakan pusat dan tidak memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara negara dengan rakyat, birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk melakukan managing people, mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Ndara,1986).
Melalui birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai bentuk aturan yang kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebih merupakan kepentingan pusat. Masyarakat tidak diberikan ruang berpartisipasi mengatur apa yang mereka butuhkan dalam ber-
OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK
masyarakat dan bernegara. Masyarakat benar-benar diposisikan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Birokrasi telah kehilangan rasionalitasnya, yang mengharuskannya bersikap obyektif, netral, dan politik (Ndara, 1986).
Usaha Orde Baru melakukan birokratisasi dan politik korperatif, tidak lepas dari strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan stabilitas politik sebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Karena itu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yang efektif untuk menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatisme negara sendiri sebenarnya memiliki arti ideal sebagai upaya negara membuat segmentasi masyarakat secara vertikal, mengungkung individu dan kelompok dalam kerangka struktur yang ditetapkan secara legal yang mendapatkan legitimasi dan diintegrasikan oleh suatu pusat birokrasi yang tunggal (Kasiepo, 1987).
Proses birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya. Untuk mendukung srategi politik represif dalam menangani resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen militer. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga ke distrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudah memantau dan cepat dapat menangkap gejala-gejala resistensi dari dalam masyarakat.
Usaha pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, juga dilakukan melalui strategi ideologis, dengan cara menanamkan pemahaman betapa pentingnya harmoni dalam masyarakat. Strategi ideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke dalam apa yang disebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi. Ideologisasi harmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran dari doktrin agama maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalam bermasyarakat merupakan cita-cita luhur yang selalu ditekankan.
Dalam ajaran Tuhan, manusia dituntut untuk patuh pada perintahNya, diwajibkan hidup selaras, serasi dan seimbang dengan manusia lainnya serta dengan alam sekitarnya. Dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, kehidupan sosial yang rukun, damai, aman, bahagia, sentosa mendapat legitimasi dari ideologi negara, Pancasila. Ideologi harmoni dipolitisasi oleh Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Akselerasi penerimaan ideologi harmoni dalam masyarakat, dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari menutup pintu adanya perbedaan pendapat, hingga dengan cara indoktrinasi yang dilakukan secara sistematis melalui pola Penataran Pendidikan Moral Pancasila (P4).
Pola kekuasaan yang sentralistis dan kebijakan yang bersifat top down, mengakibatkan ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi di tengah masyarakat. Birokrasi menjadi mesin politik penguasa. Para pejabat birokrasi berperilaku asal bapak senang (ABS), pasif, menunggu instruksi atasan dan mengabaikan kepentingan umum. Masyarakatpun menjadi tidak dapat mandiri mengelola dan menyelesaikan konflik yang mereka hadapi, serta memberikan loyalitas yang tidak rasional kepada struktur kekuasaan. Tumbuhnya organisasi swadaya masyarakat (LSM) yang menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat disikapi oleh pemerintah secara represif, dinilai berpotensi dapat mengganggu pembangunan. Contoh kasus tragedi Waduk Nipah dan Waduk Kedungombo, yang kedua-duanya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, memperlihatkan bagaimana pemerintah memperlakukan masyarakat bukan bagian dari pembangunan dan disikapi secara represif.
Reformasi politik yang diawali oleh gerakan mahasiswa dan pergantian pucuk pimpinan nasional, dari Soeharto kepada Habibie telah membuka kembali pintu bagi daerah untuk mengatur dirinya secara otonom. Pemerintahan Habibie saat tu telah menerbitkan Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Anggaran Keuangan antara Pusat dan Daerah. Penerbitan kedua Undang-undang tersebut merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk mengembalikan hak otonomi daerah untuk
OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK
mengatur wilayahnya secara mandiri yang selama Orde Baru dikendalikan oleh pusat dan dituding sebagai penyebab ketidak- seimbangan distribusi pembagian kue pembangunan oleh pusat kepada daerah. Daerah hanya menjadi perahan pusat.
Penerimaan daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebanding dengan yang diberikan daerah kepada pusat. Hanya saja daerah tidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan melalui politisasi birokrasi yang sistematis. Beberapa gerakan separatis di daerah pada intinya merupakan bentuk ketidak puasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilan pembangunan yang berorientasi pusat, seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua – dahulu Irian Jaya. Gerakan perlawanan sekelompok masyarakat, hal tersebut dilakukan karena pemerintahan dan birokrasi di daerah tidak berdaya menghadapi pusat dan berperan lebih sebagai representasi pusat dari masyarakat.
Pemberian otonomi yang sangat besar kepada daerah, disatu sisi merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi di tingkat lokal yang menghormati realitas kemajemukan dalam masyarakat. Model ini sejalan dengan konsep demokrasi lokal yang memberikan hak otonomi kepada sekolompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu, sesuai dengan karateristik dan aspirasi lokal (Piliang, Et. Al., 2001).