Politisasi Desa
H. Politisasi Desa
Hingar bingar otonomi daerah dan pelimpahan wewenang di tingkat lokal hampir tidak mempengaruhi desa. Hingga saat ini desa yang merupakan ‘benteng pertahanan terakhir’ masyarakat sipil Hingar bingar otonomi daerah dan pelimpahan wewenang di tingkat lokal hampir tidak mempengaruhi desa. Hingga saat ini desa yang merupakan ‘benteng pertahanan terakhir’ masyarakat sipil
Teknologi dan pola produksi berpengaruh terhadap interaksi desa yang eksklusif. Sistem pengairan desa bersifat kolektif dimana penduduk mengambil air dari sumber yang terpusat di suatu tempat untuk kebutuhan sehari-hari. Di sumber air tersebutlah penduduk desa saling berinteraksi. Mulai dari pembicaraan ringan seperti gosip dan pergunjingan, sampai masalah prinsip seperti perencanaan awal musim tanam dan sebagainya. Tidak hanya sumber air, tetapi juga pola tanam dan proses pengolahan hasil tanam yang hampir secara keseluruhan bersifat kolektif. Penduduk desa juga menikmati kesenian lokal yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi lebih dari itu, kesenian mengandung filosofi hubungan dan perekat yang memiliki daya magis bagi masyarakat desa.
Kolektifitas desa yang begitu kuat mulai goyah tatkala teknologi mulai ditemukan. Air yang di masa sebelumnya diperoleh di sumber air yang terpusat atau pancuran saat ini dapat diambil sendiri di rumah masing-masing dengan menggunakan pompa air. Menumbuk padi
OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK
dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling padi otomatis atau huller. Hiburan dapat diperoleh melalui radio atau televisi. Eksklusifitas interaksi desa mendapat tekanan yang sangat besar pada saat penduduk desa mulai melakukan migrasi dengan alasan ekonomi. Saat itu kontak dengan pihak luar desa menjadi lebih berpengaruh daripada hubungan di dalam desa. Bersamaan dengan terbukanya hubungan masyarakat desa dengan komunitas di luar desa, maka ekslusifitas desa pun semakin rendah.
Perkembangan desa selanjutnya lebih ditentukan oleh komunitas di luar desa, yaitu negara. Dilihat dari sudut pandang kekuasaan, desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Kartohadirejo, 1884; Wiradi, 1988). Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa, bukan oleh pihak luar (Suhartono dkk, 2000). Tetapi, pada kenyataannya pemerintah di masa Orde Baru meletakkan desa bukan sebagai wilayah yang otonom yang tercantum dalam UU No. 5/1979 yang menyatakan bahwa desa adalah:
“…suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang memiliki organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia…”.
Pada bagian lain, kebijakan pemerintahan desa menyebutkan: “…bahwa sesuai dengan sifat negara kesatuan Republik Indo-
nesia, maka kedudukan pemerintah Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif…”.
Desa dalam UU No. 5/1979 merupakan bentuk intervensi yang sangat besar dari pemerintah pusat. Dengan konsepsi desa tersebut, secara otomatis desa menjadi dua entitas yang saling bertolak belakang. Di satu sisi desa sebagai entitas sosial budaya yang otonom, di sisi lain desa sekaligus sebagai entitas politik yang sangat terkooptasi. Yang lebih parah dari itu, pemerintah pusat dengan semena-mena mendesain desa dengan format desa yang berada di Jawa, yang menghancurkan bentuk-bentuk desa yang sangat beragam seperti nagari di Sumatera Barat, dan sistem marga.
Kooptasi negara tidak hanya terbatas pada konsepsi desa yang sarat dengan uniformitas. Meskipun terdapat unsur lain dalam pemerintahan desa seperti Lembaga Musyawarah Desa (LMD), akan tetapi keberadaan lembaga ini menjadi formalitas belaka. Ketua LMD sangat bergantung pada figur Kepala Desa, maka biasanya Kepala Desa secara otomatis menjadi Ketua LMD dan Sekdes karena jabatannya, merangkap sebagai Sekretaris LMD. Rangkap jabatan tersebut sangat lazim dilakukan dengan alasan keterbatasan sumber daya manusia serta demi efektifitas dan efisiensi. Tidak perlu merekrut banyak orang, yang penting program untuk desa diperbesar. Meskipun LKMD mengalami perubahan dalam hal keberagamaman elemen masyarakat yang masuk ke dalam struktur kepengurusan, tetapi perannya tetap lebih menyuarakan kepentingan pemerintah yang berada pada struktur diatasnya.
Bentuk baru lembaga perwakilan desa di masa desentralisasi adalah hadirnya BPD. BPD atau Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyeleng- garaan Pemerintahan Desa. Berdasarkan Permendagri No. 64/1999, disebutkan bahwa BPD sebagai Badan Perwakilan melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Desa. BPD diprediksikan akan bernasib sama dengan lembaga-lembaga sebelumnya; elitis dan menjadi corong kepentingan pemerintah. Fungsi BPD yang lebih me- nyuarakan kepentingan pemerintah karena dari segi keanggotaan lembaga ini diisi oleh orang-orang yang berpredikat ‘pemuka
OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK
masyarakat’. Pemuka masyarakat, terlebih yang berasal dari desa dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap subsidi pemerintah akan lebih berpihak pada pemberi subsidi daripada pemberi mandat. Terlebih lagi, masyarakat desa yang apatis karena ketidaktahuan akan menyetujui hampir setiap kebijakan dan kesepakatan yang dikeluarkan, padahal belum tentu menguntungkan masyarakat.
Satu hal yang ironis pada pelaksanaan otonomi daerah adalah kebijakan pemerintahan Megawati yang hendak mempegawai- negeri-sipilkan sekretaris desa (sekdes). Kebijakan ini tentunya akan menimbulkan implikasi yang luas terhadap keberdayaan institusi pemerintahan desa. Pertama, apabila pada masa Orde Baru, desa sebagai entitas politik berada diluar struktur birokrasi, maka dengan kebijakan pemerintah Megawati tersebut, struktur birokrasi pusat telah masuk hingga ke tingkat desa. Dari aspek ini desentralisasi menjadi kontraproduktif dan sistem pemerintahan menjadi lebih sentralistis. Kedua, akan terjadi konflik kewenangan antara sekretaris desa dan kepala desa. Sekretaris desa merupakan representasi yang berfungsi melaksanakan instruksi dari atas, sementara kepala desa adalah aparat yang dipilih oleh langsung rakyat. Sekretaris desa sekalipun tidak dipilih oleh rakyat namun ia memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan dalam penggunaan anggaran desa yang diperbantukan dari pemerintah. Tentunya hal ini akan memotong dan melemahkan kewenangan kepala desa dalam mengelola pemerintahan desa. Dampaknya adalah kepala desa, pada akhirnya, hanya menjadi ‘boneka’ legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah di atasnya. Desentralisasi idealnya menempatkan desa lebih sebagai entitas sosial dan budaya daripada politik. Namun pada kenyataannya, desentralisasi diterjemahkan oleh pusat dengan menempatkan desa sebagai entitas politik yang akan dapat dioperasikan sebagai instrumen kekuasaan.