Dari uraian di atas, tersimpul pendapat bahwa pandangan, pengetahuan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat menentukan di dalam
memilih serta merumuskan hakekat pidana dan pemidanaan. Dengan demikian maka timbul suatu pertanyaan sejauh mana aliran-alian dalam hukum pidana
dan teori-teori pemidanaan berpengaruh pada kebijakan legilatif dalam menetapkan tujuan pemidanaan yang hendak digariskan di dalam sistem
operasionalisasifungsionalisasi hukum pidana? Teori pidana mana yang dianut, sudah pasti akan membawa hasil yang
berbeda. Namun yang terpenting , ketiadaan tujuan pemidanaan yang dinyatakan secara tegas dan formal dalam hukum pidana materiilsubstantif
potensial menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana, karena persepsi masing-masing tahap pemidanaan tahap legislatif, tahap yudikatif dan tahap
eksekutifadministratif akan menjadi subjektif; dan hal ini erat kaitannya dengan latar belakang sosial yang bersangkutan. Yang berpandangan pembalasan
merasa mendapat legitimasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. serdangkan mereka yang berpandangan maju akan bertindak ragu-ragu karena
tidak memiliki legalitas formal.
C. PIDANA DENDA 1. Perkembangan Pidana Denda Di Indonesia Dan Pandangan Beberapa
Ahli Hukum
Pidana Mati adalah suatu pidana yang ditujukan kepada jiwa orang, pidana penjara dan kurungan kepada kebebasan orang, sedangkan pidana
denda tertuju kepada harta benda orang berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu.
Di antara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP WvS jenis pidana denda merupa pidana tertua,
184
lebih tua dari pidana penjara
185
mungkin setua pidana mati.
186
Sebelum menjadi bagian dari sanksi yang mendukung sistem pemidanaan KUHP, pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap
masyarakat, termasuk masyarakat primitip, walaupun dengan bentuknya yang primitif pula misalnya jaman Majapahit maupun pada pelbagai masyarakat primitif
dan tradisional di Indonesia. Pada jaman kerajaan Majapahit, sanksi pidana denda biasanya
dikenakan pada kasus-kasus penghinaan atau pencurian dan pembunuhan binatang piaraan yang menjadi kesenangan raja. Dalam menetapkan besar atau
kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat, yaitu dapat diperinci sebagai berikut : 1 berdasarkan kasta orang yang bersalah,
dan kepada siapa kesalahan tersebut diperbuat; 2 berdasarkan akibat yang diderita oleh orang atau binatang yang terkena; 3 berdasarkan perincian
anggota yang terkena; 4 berdasarkan waktu berlakunya perbuatan; 5 berdasarkan niat orang yang berbuat salah; 6 berdasarkan jenis
barangbinatang yang menjadi objek perbuatan. Apabila denda tidak dibayar,
184
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Op.cit. hal. 53
185
Berdasarkan sejarah sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia yang ditelusuri dari Kitab perundang-undangan Majapahit sama sekali tidak dikenal mengenai pidana penjara dan
pidana kurungan. Hal tersebut dapat diketahui dari jenis-jenis pidana yang dijatuhkan kepada orang yang bersalah pada saat itu adalah meliputi : a. Pidana Pokok yaitu : 1 Pidana Mati, 2
Pidana Potong Anggota Badan orang yang bersalah, 3 Denda, Ganti Kerugian atau Pangligawa atau Putukucawa; b. Pidana Tambahan : 1 Tebusan; 2 Penyitaan, 3 Patibajampi uang pembeli
obat. Menurut Koesnoe, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC Verenide Oost Indische Compagnie memeperkenalkan lembaga “bui” pada tahun 1602 yang kemudian
dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara. Lihat Slamet Muldjana, Perundang-undangan Majapahit, Bratara, Jakarta, 1967, hal. 20; Lihat pula : Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Legislatif…..,Op.cit. hal. 52
186
Sanksi Pidana Mati telah dikenal sejak jaman Nabi Musa Mozaische Wetgeving. Lihat
S. R. Sianturi dan Panggabean Mompang, Hukum Penitensia di Indonesia, Op,cit. hal. 51