Jejak-jejak Perlawanan

Jejak-jejak Perlawanan

Setelah kejatuhan Orde Baru terdapat sinyal yang kuat atas kebangkitan gerakan sosial pedesaan yang mengkombinasikan strategi okupasi di satu sisi dengan berbagai macam bentuk perjuangan untuk perubahan undang-undang di level nasional, yang menghasilkan TAP MPR No. 9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Lucas and Waren 2003; Affiff, et, al, 2005). Meski demikian, terdapat juga tanda-tanda gerakan-gerakan agraria yang gagal tampil secara terbuka untuk melawan perampasan tanah; beberapa gerakan mengalami fragmentasi; sebagian yang lain mengambil pilihan-pilihan dan jalur yang lebih lunak untuk menuntut kompensasi dan lain sebagainya (Noteboom and de Joong, 2010; Peluso, et al, in Borras, Kay and Edelman [eds] 2010: 220).

Namun, dalam kasus pertambangan pasir besi Kulon Progo, salah satu yang menonjol adalah munculnya gerakan-tanding dari petani pesisir terhadap proyek perampasan pasir besi tersebut. Dalam rangka untuk melawan proyek pertambangan pasir besi, pada 1 April 2007, berbagai kelompok tani berkumpul dan membentuk Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) untuk mengkonsolidasikan perjuangan melawan pertambangan pasir besi ini. Dari tahap awal pendiriannya, sebagaimana dikisahkan oleh salah satu aktivis PPLP, tujuan organisasi ini untuk melawan proyek pertambangan:

“Selanjutnya pada tanggal 1 April 2007 terbentuklah sebuah wadah petani yang bernama “Paguyuban Petani Lahan Pantai” (PPLP) Kulon Progo. Seorang petani mencoba memberanikan diri dan sekarang sudah dianggap sebagai petani pemberani yang bernama Sukarman dari desa Bugel yang juga merupakan salah satu desa di pesisir Kulon Progo. Mengundang seluruh kelompok tani yang berada di pesisir Kulon Progo, yang notabene akan menjadi korban pembantaian tambang untuk berkumpul di rumahnya, membahas semua kejadian-kejadian terkait dengan situasi pesisir saat itu terutama tentang rencana penambangan yang pasti menggusur tempat mereka hidup dan menghidupi keluarganya. Pada hari itu muncul tiga opsi untuk dipilih oleh peserta rapat, yaitu:

1. Menerima tambang besi

2. Menerima dengan syarat

3. Menolak harga mati dengan berbagai alasan Tanpa dikomando dan dikoordinir peserta rapat pada siang itu serentak menyatakan memilih pilihan yang ke-3 yaitu: ”Menolak harga mati dengan berbagai alasan”. Sehingga tanpa meninggalkan proses kolektif maka keputusan diambil dengan pilihan angka tiga. Tidak hanya modal otot, petani di sini sudah mulai berpikir tentang kelangsungan hidup mereka dan anak cucu serta kehidupan di masa mendatang. Mereka (petani) berpikir ketika alam memberi manfaat maka mereka harus bisa menjaga dan melestarikan dan juga sebetulnya bahwa yang 3. Menolak harga mati dengan berbagai alasan Tanpa dikomando dan dikoordinir peserta rapat pada siang itu serentak menyatakan memilih pilihan yang ke-3 yaitu: ”Menolak harga mati dengan berbagai alasan”. Sehingga tanpa meninggalkan proses kolektif maka keputusan diambil dengan pilihan angka tiga. Tidak hanya modal otot, petani di sini sudah mulai berpikir tentang kelangsungan hidup mereka dan anak cucu serta kehidupan di masa mendatang. Mereka (petani) berpikir ketika alam memberi manfaat maka mereka harus bisa menjaga dan melestarikan dan juga sebetulnya bahwa yang

Basis sosial yang paling utama dari gerakan PPLP adalah para petani penanam lahan pasir yang utamanya menggantungkan hidupnya dari pertanian lahan pasir di sepanjang pesisir Yogyakarta. Bertransformasi dari kelompok miskin pedesaan, para petani ini tampil sebagai produsen skala kecil (petty commodity producers) yang meskipun memiliki lahan tidak dalam skala luas, tetapi menghasilkan komoditi untuk dijual ke pasar. Tenaga kerja dalam usaha tani lahan pasir, pada umumnya didapat melalui buruh tani, pekerja musiman, perempuan yang bekerja di rumah tangga di desa-desa yang menggantungkan hidupnya pada usaha tani persawahan. Dengan proses semacam ini, ciri penting yang menandai transformasi pedesaan di pesisir adalah “akumulasi kekayaan yang didapatkan melalui pengelolaan sumber daya bersama beserta reproduksinya terus-menerus”. Akumulasi kekayaan ini pada gilirannya menjadikan para petani lahan pasir besi menimbang trade-off yang dihasilkan dari munculnya pertambangan dengan usaha tani lahan pantai yang sejauh ini mereka kerjakan. Karena itu, sangat mudah bagi PPLP untuk memutuskan untuk sama sekali menolak proyek pertambangan pasir besi tersebut.

Keberadaan PPLP bukan saja sebagai wadah pengorganisasian massa untuk menolak pertambanan, tetapi lebih dari itu juga sebagai otoritas untuk membangun kesepakatan-kesepakatan sosial melalui forum yang disebut endong-endongan, menyangkut putusan-putusan dan pilihan-pilhan strategi yang akan digunakan oleh organisasi. Berdasarkan berbagai pengalaman mereka sendiri, salah satu yang diatur adalah bagaimana wewenang, peranan dan tugas di antara mereka diatur. Termasuk, salah satu di antara yang terpenting, adalah bagaimana mengatur, mengelola, melarang atau membatasi pihak-pihak dari luar maupun dalam yang boleh dan tidak boleh terlibat, beraliansi dan bergabung dalam barisan mereka. Dengan kata lain PPLP juga berperan sebagai satu-satunya ‘pintu masuk’ bagi orang ‘luar’ untuk mengetahui dan berhubungan dengan gerakan perlawanan petani pesisir Kulon Progo. Hal ini dianggap penting, menurut beberapa aktivis PPLP, karena beberapa kali organisasi ini disusupi orang-orang ‘titipan' yang bertujuan untuk mengendurkan perlawanan kelompok penolak penambangan pasir besi. Selain itu, merea juga bersikap tegas dan selektif terhadap kalangan NGO/LSM lokal, nasional maupun internasional yang hendak telibat dan ‘membantu’ mereka. Sejauh ini PPLP tidak menerima kelompok LSM/NGO secara penuh jika mulai masuk pada wilayah pengorganisiran warga. Sikap dan kesadaran politik yang tinggi ini dimungkinkan karena hingga saat ini PPLP masih menghadapi situasi konflik dan ketegangan.

Seperti cerita gerakan sosial pada umumnya, tentu saja tak mudah bagi PPLP untuk menyatukan seluruh petani pesisir untuk tergabung dalam organisasi petani yang langsung terlibat dalam aksi kolektif untuk menantang proyek akumulasi dengan perampasan tersebut. Pada tahap awal, konsolidasi gerakan tersebut dibantu oleh kehadiran sekelompok aktivis-seniman teater yang dengan cara yang cair mengajak anggota PPLP bermain teater. Melalui beberapa protokol dan koridor yang disepakati akhirnya ditemukan bahwa mereka akan memainkan format teater yang disebut sampakan. Pilihan atas format sampakan dilakukan karena format inilah yang memungkinkan bagi para penduduk untuk menjadi aktornya: membuat alur cerita; menentukan dekorasi panggung; memilih aktor dan dialog. Sampakan juga memungkinkan terjadi dialog yang cair, bebas dan jenaka. Para pemain duduk bersama di antara penonton dan penonton bebas memberi komentar, mengkritik atau mengubah jalannya cerita. Teater ini pertama kali dimainkan bukan di kampus-kampus, melainkan di desa-desa penduduk dan bercerita tentang nasib meteka sehari-hari; perjalanan mereka dari Wong Cubung menjadi petani

pesisir; dan mempersepsi atau mengkerangkakan musuh yang mereka tantang. 15

Dalam pertunjukan teater tersebut, banyak ditemui penduduk desa, kebanyakan ibu-ibu yang

14 Widodo. 2012. Menanam adalah Melawan!. Naskah belum dipublikasikan. 15 Wawancara Surya Saluang, 14 April 2012, di Bogor.

menangis, tertawa, atau geram dan marah bersama-sama. Cara semacam ini, pada gilirannya, dengan cepat mengaduk-aduk emosi dan persepsi dan kesadaran kritis secara individual dari penduduk setempat tentang bagaimana mereka mesti terlibat aktif di dalam gerakan, tanpa instruksi, komando,

ataupun keputusan organisasi. 16 Tak hanya itu, pertunjukan teater ini juga sangat efektif dalam mempertemukan, mengorganisasikan kekuatan-kekuatan sosial antar desa di sepanjang pesisir yang pada dasarnya telah memulai proses pengorganisiran dan merekonsiliasi fragmentasi-fragmentasi yang sempat muncul di awal-awal pertumbuhan gerakan.

Corak dan pendekatan semacam ini sangat berbeda dengan pola-pola aktivisme gerakan agraria di dekade-dekade akhir masa Orde Baru. Pada masa itu, kecenderungan yang muncul adalah transmutasi gerakan agraria yang difasilitasi oleh sejumlah kelompok kelas menengah dari aktivis- berbasis di kota, seperti aktivis gerakan mahasiswa dan aktivis NGO yang turun ke desa-desa menjalankan berbagai macam pelatihan-pelatihan kritis mengenai kesadaran hukum kritis, advokasi, pembaruan agraria atau pengorganisiran massa yang pada gilirannya mengubah corak aktivisme rakyat

dari gerakan protes atas konflik menjadi gerakan reforma agraria. 17 Cara transmutasi ini meskipun dalam beberapa hal secara efektif sangat berperan dalam mengubah dan memajukan jalannya tuntutan dan model aksi dari gerakan rakyat, namun juga tak terlepas dari masalah-masalah yang mengikutinya: munculnya para aktivis baru tersebut yang menjadi elit gerakan; kelelahan para aktivis (activist fatigue) yang mengakibatkan mereka ingin berada dalam lingkungan politik yang lebih luas dan berupaya menjadi elit politik; sumber perpecahan karena fragmentasi di antara mereka; atau justru meningkatkan ketergantungan organisasi rakyat pada aktivis terdidik tersebut yang seringkali berujung pada penurunan skala perlawanan gerakan rakyat.

Belajar dari berbagai pengalaman tersebut dan berbagai pengalaman mereka sendiri, PPLP berupaya untuk membentuk suatu model pergerakan yang berciri otonomis dengan membayangkan para petani sendiri sebagai aktor dari gerakan sosial. Bentuk organisasi PPLP yang mereka jalankan terdiri dari suatu strukur organisasi yang terdiri dari beberapa desa dan menunjuk satu orang sebagai jurubicara. Juru bicara ini juga bertindak sebagai penghubung (linker) antara organisasi petani dengan aktivis-berbasis di kota (urban-based activists) yang berupaya membangun aliansi dengan mereka. Perubahan-perubahan struktur organisasi dan kepemimpinan juga cenderung cair dan fleksibel, meskipun tetap mengenal struktur organisasi pada umumnya. Poros utama PPLP terletak pada individu- individu yang mengorganisir dan berperan penting di setiap desa. Ini dilakukan untuk tidak menyurutkan gerakan ketika pimpinan gerakan tertangkap atau terfragmentasi. Setiap desa membuat unit-unit PPLP yang dianggap otonom, dengan strukturnya sendiri. Seluruh keputusan PPLP diputuskan dalam forum rutin “endong-endongan”. PPLP juga memutuskan untuk tidak membangun suatu sekretriat atau markas sebagai suatu strategi untuk tidak terjadi penyerangan terhadap markas tunggal tersebut, sebagai respon dari aksi pembakaran terhadap tempat pertemuan PPLP sebelumnya oleh pihak pendukung tambang, dan menyerukan bahwa setiap rumah di pesisir adalah markas PPLP dan mereka bisa melakukan pertemuan dimana saja.

Berbagai pilihan dan strategi aksi kolektif untuk membuat pengakuan mereka atas lahan pesisir dan penolakan terhadap tambang dilakukan. Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perundingan yang akhirnya gagal, PPLP kemudian mengambil bentuk aksi kolektif yang lebih terbuka: demonstrasi,

16 Sebagai konfirmasi dari pernyataan tersebut, dapat dilihat dalam suatu wawancara mereka mengenai bagaimana energi gerakan mereka tumbuh. “Karena ini perlawanan rakyat, bukan PPLP, bukan siapa-siapa. Mereka merasa akan dibunuh

maka mereka melawan. Mereka merasa dipaksa, maka mereka berontak. Mereka itu takut kehilangan sandang pangan, maka mereka berjuang habis-habisan… Tahu nggak, semua komponen rakyat pesisir itu, sadar dan tahu menempatkan dirinya pada posisinya dan tugasnya masing-masing, dalam perjuangan ini tanpa komando. Yang tua dimana, yang muda ngapain, perempuan dimana dan mereka harus berteriak apa, itu semua mereka lakukan secara sadar dan

bersemangat”. Selengkapnya lihat, h ttp://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah- memaksa-kami-melawan/ , diakses pada 20 Oktober 2012.

17 Selengkapnya mengenai transmutasi gerakan sosial pedesaan ini dapat dilihat di Dianto Bachriadi. 2010. Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements. Disertasi pada Flinders University, Australia.

kampanye, diskusi publik, aksi pementasan teater, hingga sabotase langsung pada pilot project pertambangan. Pada perkembangan lebih lanjut, dalam kerangka untu memperluas kampanye dan gerakan perlawanan, PPLP mencoba mengembangkan pesan-pesan penindasan atas nasib warganya melalui media. Beberapa kali, PPLP berkampanye dan menghadiri undangan dari beberapa staisiun radio di Yogyakarta. Membuat film dokumenter dan website dan bermain teater agar masuk menyampaikan pesan mereka ke kampus-kampus besar di Indonesia untuk ‘mengepung’ dan merebut opini melawan pendukung pembangunan pasir besi Kulon Progo. Permainan teater ini menjadi penting mengingat kampanye terbuka di Yogyakarta dianggap berisiko tinggi.

Salah satu aksi massa besar-besaran dilakukan di Universitas Gadjah Mada dengan melibatkan ribuan warga Kulon Progo terjadi pada 21 Juli 2008, PPLP memprotes keras akademisi kampus yang turut melegitimasi kepentingan perusahaan penambangan pasir besi Kulon Progo dengan Analisis Masalah Dampak Lingkungan. Menurut petani keterlibatan UGM menunjukkan kalanga kampus telah kehilangan kekuatan moral dan independensinya sebagai lebaga pendidikan tinggi.

Selain bentuk aksi massa, petani pesisir yang telah tergabung dalam PPLP, juga menggalang kekuatan di kalangan kelompok agamawan dan ilmuwan. Pada tanggal 14 agustus 2008 diadakan saresehan dan rapat akbar di Balai Desa Karangwuni, Wates Kulon Progo, dengan topik “Perjuangan Rakyat Tani Menolak Penambangan Biji Besi”. Rapat itu selain sebagai media konsolidasi kekuatan petani juga upaya melihat lebih dalam bagaimana proses penambangan pasir besi tersebut ditinjau dari segi yuridis, melalui tinjauan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Karena itu hadir pula pada kesempatan itu pakar hukum agraria dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Kesepakatan yang diperoleh adalah petani masih menolak rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Selain melanggar keadilan agraria juga mengancam kerusakan ekologis bagi daerah di sekitar penambangan pasir besi. 18

Dalam beberapa hal, PPLP tampak tampil sebagai gerakan anti-enclosure yang berbeda dari sekedar untuk tuntutan atas kompensasi. Gerakan ini juga memiliki artikulasi yang sangat kuat untuk melawan proyek pertambangan dan berjuang untuk kedaulatan atas tanah. Dengan sangat jelas PPLP mengidentifikasi identitasnya sebagai petani inovator lahan pasir besi yang sedang diancam kehidupannya:

Kami adalah warga pesisir yang puluhan tahun mengubah tanah kritis pasir pantai selatan menjadi tanah subur sumber kehidupan… Kami adalah para petani holtikultura yang mempertahankan alam dan merawatnya demi kehidupan… Kami sekarang terancam diusir dari tanah hidup kami oleh rencana Penambangan Bijih Besi di Pesisir Selatan Kulon Progo… Kami adalah warga petani yang menciptakan wadah mandiri bernama PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai) 19

Kampanye yang paling terkenal dari gerakan ini adalah Menanam adalah Melawan. Mempertahankan usaha tani pesisir bagi mereka menjadi elan vital dan urat nadi kehidupan mereka.

Salah satu alasan mereka memilih ungkapan ini adalah 20 :

Karena kami tahu, persis tahu, apa yang kami perjuangkan. Tanah pesisir seluas 1.500 hektar itu, lahan yang diberikan Tuhan untuk ummatnya, dan jika pemerintah lupa akan hal itu, akan kami ingatkan dengan cara melawan…Kami melawan karena mempertahankan hidup. Lahan pasir itu urat nadi kami. Lahan itu, dari semula tandus, dihijaukan selama puluhan tahun, dirawat turun temurun dan konkritnya telah menjadi sumber penghidupan pokok bagi ribuan rakyat pesisir…Maka kalau terus diogrek-ogrek, dipaksa untuk menyerahkan lahan untuk

18 Lihat Kompas, 14 Agustus 2008, Petani Kulon Progo Tolak Pembangunan Pasir Besi.

19 http://petanimerdeka.tk/siapa-kami/ , diakses pada 20 Oktober 2012.

20 http://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/ , diakses pada 20 Oktober 2012 20 http://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/ , diakses pada 20 Oktober 2012

Mempertahankan usaha tani lahan pantai dengan demikian berurusan dengan sumber kehidupan dan martabat para petani ini. Karena itulah, gerakan ini juga memiliki slogan yang berbeda, yaitu Bertani atau Mati sebagai manifestasi dari upaya mereka untuk mempertahankan usaha tani pesisir dengan berbagai cara, metode, dan model perjuangan apapun:

Chaos! Bertempur! Kami sudah membayangkan, bagaimana harus menghadapi mereka (investor maupun Pemda), dan bayangan itu sudah tersusun dalam sebuah skema pertempuran antara rakyat dengan pemerintah yang semestinya bertugas melindungi dan mensejahterakan rakyat… Siapa Bupati? Siapa TNI? Siapa Polisi? Kami rakyat pesisir tahu persis posisinya. Dan kami tahu persis, apa tugas yang mereka emban. Jadi kalau suatu hari kelak kami harus bertempur dengan mereka, kami sangat mengerti kapan kami menyerang dan kami juga tahu resikonya, termasuk resiko yang akan dihadapi oleh mereka… Sederhana saja! Kami akan menemui momentum dimana investor memasukkan alat berat untuk penambangan, dikawal oleh Polisi Anti Huru Hara atau TNI. Nah, saat itu, kami rakyat pesisir atau yang selama ini dikenal dengan masyarakat cubung, akan berhadapan dengan senjata laras panjang, pentungan dan panser… Tetapi kami juga berhitung, dengan strategi penyerangan ala rakyat. Mungkin akan memainkan rojong, Molotov, dan untuk jarak dekat kami tentu hanya punya parang, pedang dan bambu runcing serta keyakinan bahwa tidak pada tempatnya rakyat diserang oleh TNI atau polisi… Maka kalau itu terjadi, dunia akan mencatat, bahkan akan menertawakan TNI

dan Polri, dan menempatkan Pemda pada posisi yang sangat hina di mata dunia. 21 Para petani juga dikenal sebagai penantang yang tangguh dengan mempertanyakan hak

konstitusional dari klaim atas tanah oleh kekuasaan swapraja. Menurut gerakan ini: Siapa bilang! Sejak kapan lahan itu menjadi milik Puro Pakualaman? Puro, kraton atau Pemda

itu siapa? Kalau dengan cara berfikir orang Cubung, dulu mana antara rakyat dan pemerintah?... Memang kemudian kamu harus bicara Tata Negara. Dan sesuai Tata Negara, maka UUPA menyatakan, 20 tahun menggarap lahan maka itu menjadi hak rakyat, kalau Puro mau menguasai, dengan cara menstatus magersari, dasarnya apa?... Pemerintah, Puro, Kraton mau melawan hukum Tata Negara, mau melawan UUPA? Ingat, Pemda Yogyakarta, juga bagian Indonesia. Harus taat dengan hukum Indonesia. 22

Secara umum, terdapat tiga argumen utama yang dikembangkan oleh PPLP dalam rangka menolak proyek pertambangan pasir besi. Pertama, ancaman atas penghancuran ruang hidup, dalam pengertian ini bukan saja soal kehilangan lahan sebagai basis produksi dan subsistensi warga pesisir yang telah bertahun-tahun berhasil mengolah lahan pasir kering menjadi lahan subur yang terancam, namun semua dimensi ekologis seperti air, udara, dan dimensi sosial dan kebudayaan kehidupan warga pesisir juga terancam hancur seperti kekerabatan, budaya pertanian, ingatan kolektif atas kampung halaman.

Kedua, ancaman bagi rusaknya keberlangsungan layanan alam. Proyek pertambangan bagi mereka akan mengakibatkan pada bencana ekologis yang tak terkira. Terutama berkaitan dengan

21 http://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/ , diakses pada 20 Oktober 2012.

22 http://Kulon Progotolaktambangbesi.wordpress.com/2010/11/11/pemerintah-memaksa-kami-melawan/ , diakses pada 20 Oktober 2012.

polusi, degradasi pesisir dan erosi pesisir sebagai pertahanan untuk menghadapi tsunami. Kehancuran alam juga berpotensi terjadi karena pertambangan dapat menghilangkan warisan gunung-gunung pasir yang selama ini tak tersentuh oleh pertanian lahan pasir. Ketiga, ancaman hilangnya pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan sumber daya lahan pasir, yang sebelumnya telah selaras dengan keberlangsungan ekologis lahan pasir. Temuan jenis tanaman palwija dan buah- buahan, model irigasi, teknologi pengoalahan lahan pasir dengan pupuk, dan penanganan hama model petani pesisir serta pengelolaan pertanian lahan pasir lainnya tidak akan punya tempat lagi, ketika proyek penambangan pasir besi dalam skala besar terjadi.

Tetapi gerakan agraria manapun selalu menghadapi respon balik dari musuh yang ditantangnya. Salah satu teror dan kekerasan yang dilakuakan pendukung pembangunan pertambangan pasir besi, terjadi pada hari Senin, 27 Oktober 2008. Puluhan preman dengan bersenjata pentungan dan senjata tajam, dengan ganas merusak dan membakar beberapa pos ronda, pos komando warga, dan beberapa rumah tokoh warga penolak pertambangan pasir besi di Kulon Progo. Intimidasi dan kriminalisasi berlanjut pada Minggu, 1 Mei 2011ketika 9 polisi berpakaian preman mendatangi ladang Tukijo, pemimpin PPLP, di Gupit, Karangsewu. Polisi menangkap Tukijo dengan tuduhan perampasan kemerdekaan orang dan perbuatan tidak menyenangkan. Kasus itu bermula dari suatu peristiwa dimana Tukijo berupaya untuk menyelamatkan para karyawan PT. JMI yang berupaya untuk memasuki lahan pesisir dari penduduk setempat dan menghubungi Polres untuk mengamankan kasus tersebut. Namun, pada akhirnya, Pengadilan Negeri Wates justru memutuskan bahwa Tukijo terjerat dalam kasus penyanderaan tujuh karyawan lepas PT Jogja Magasa Iron (JMI) dijatuhi vonis hukuman 3 tahun penjara. Meskipun terjadi kriminalisasi terhadap salah satu pemimpin penting dalam PPLP, namun gerakan PPLP terus melanjutkan perjuangan dan kampanye anti pertambangan pasir besi.

Dalam beberapa hal, tampak bahwa kampanye anti proyek pertambangan pasir besi yang seringkali dikombinasikan dengan perlawanan terhadap kekuasaan Swapraja, baik dalam hal klaim atas tanah maupun UU Keistimewaan Yogyakarta. Namun kampanye semacam ini tidak mudah untuk mendapatkan resonansi dan pengaruh yang luas di Yogyakarta. Berupaya untuk mengatasi hal itu, lalu pada beberapa waktu belakangan, PPLP dan para pendukungnya berupaya untuk terlibat penuh dalam pengorganisasian terhadap masyarakat lain yang juga mengalami konflik agraria di sepanjang Jawa bagian selatan. Dari Lumajang, Banyuwangi, Kebumen, Cilacap, Tasikmalaya dan Ciamis. Beberapa kasus dari konflik agraria ini juga diakibatkan oleh proyek pertambangan pasir besi.

Berupaya untuk membangun suatu jaringan perlawanan berbasis-petani yang lebih luas, maka PPLP and jaringan pendukungnya mengadakan suatu pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Petani Jawa dan menyusun suatu organisasi jaringan yang disebut sebagai FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris) yang terdiri dari berbagai organisasi seperti JMPPK (Pati); FOSWOT (Lumajang); FPPKS (Kebumen); Serikat Tani Merdeka (SeTAM) (Cilacap); PPLP (Kulon Progo); SITAS DESA (Blitar); LPMB (Banten); Bale RUHAYAT (Tasikmalaya dan Ciamis) Forum Warga Cilacap dan Korban Lumpur LAPINDO Porong Sidoarjo. Deklarasi Petani Jawa ini menghasilkan berbagai tuntutan di antaranya:

1. Siap melawan ketidakadilan yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan negara-korporasi.

2. Siap mempertahankan hak rakyat atas tanah karena tanah adalah ruang hidup dan sumber penghidupan tak tergantikan.

3. Siap melawan pelaku kejahatan perundang-undangan yang menjadikan hukum sebagai alat dan pembenaran bagi penghancuran tatanan sosial; tatanan ekonomi; tatanan kebudayaan dan lingkungan masyarakat.

4. Menyerukan pada aparat negara untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, represi, dan kriminalisasi atas petani dan masyarakat yang mempertahankan haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia, karena aparat negara adalah pelayan rakyat bukan pelayan pemodal.

5. Menyerukan solidaritas, dukungan moral, dan semangat perjuangan kepada saudara-saudara 5. Menyerukan solidaritas, dukungan moral, dan semangat perjuangan kepada saudara-saudara

Sebagai catatan akhir, pada akhirnya kita mendapati bahwa gerakan ini mencirikan suatu gerakan petani sebagaimana diungkapkan oleh Borras dan Franco (2011: 4) , yaitu perjuangan untuk kedaulatan atas tanah yang mengambil bentuk perjuangan ‘counter-enclosure movement’. Sayangnya, kajian mengenai gerakan kedaulatan atas tanah dan gerakan anti-perampasan jarang sekali mengemukakan bagaimana suatu gerakan tersebut dapat muncul, organizable dan powerfull, sebagai perkecualian Huizer (1999) yang menyatakan organizability dari gerakan agarria sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dan aliansi yang dibangun. Berdasar pada kasus di Kulon Progo, saya berargumen bahwa akar-akar dari organizability dari PPLP bukan semata-mata berangkat dari kepemimpinan dan kualitas aliansi, melainkan berakar dari inisiatif dan praktik sosial terus-menerus dari petani dan gerakan petani dalam mengatasi berbagai ancaman dan tantangan yang muncul dari waktu ke waktu. Ini dapat ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Momen

Ancaman

Respon dan Inisiatif

Lahan pesisir yang

Inovasi dan invensi marginal dan tak dapat

Kemiskinan kronis;

pertanian lahan pasir ditanami (…-1985)

dianggap sebagai

masyarakat terbelakang.

Sistem lelang lokal adil antara petani dan

Perdagangan yang tidak

Mengalami kerugian

sebagai mekanisme pedagang (2008)

finansial

pasar yang adil

Ketergantungan pada

Penggunaan kompos; input tinggi seperti

Mengalami kerugian

menciptakan cara-cara benih, pestisida bibit

finansial dan ancaman

yang ramah lingkungan dan hama (2008)

tingkat kesuburan tanah

untuk menghilangkan hama; memuliakan bibit.

Proyek pertambangan

Kehilangan kehidupan,

Perlawanan dan

pasir besi (2006-

pembentukan PPLP sekarang)

lahan pertanian dan

martabat

Turunnya harga

Mengalami kerugian

penyebab; barter dalam bentuk barang dengan komunitas pertanian lainnya.

Rendahnya resonansi

Membentuk FKMA; kampanye anti-

Melemahnya rekognisi

mendeklarasikan pertambangan di

dan dukungan.

Deklatrasi Petani Jawa; Yogyakarta

belajar dari pengalaman organisasi-organisasi gerakan lain di jawa bagian selatan.

Tabel 3. Akar-akar kemampuan organisasi (organizability) PPLP.

Akhir

Bagian ini menjelaskan bagaimana watak, bentuk dan proses pembentukan gerakan-tanding dari masyarakat pesisir Kulon Progo yang terwadahi dalam organisasi yang bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Sejak awal kehadirannya, gerakan masyarakat pesisir ini bersifat suatu gerakan anti-enclosure, iatau gerakan yang melawan proyek perampasan tanah. sifat dan watak semacam ini dimungkinkan karena tanah dan pertanian lahan pantai merupakan sumber penghidupan utama mereka, sumber martabat dan ruang hidup. Watak anti-enclosure ini juga dimungkinkan akibat dari transformasi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang memungkinkan mereka untuk menjadi produsen komoditas skala kecil (petty commodity producers) sehingga membuat penolakan terhadap proyek pertambangan pasir besi memungkinkan. Proses pembentukan dan konsolidasi gerakan ini juga relatif berbeda dengan tumbuhnya gerakan agraria di berbagai tempat yang umumnya difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat dengan pelatihan-pelatihan. Dalam kasus PPLP Kulon Progo, proses pembentukan dan konsolidasi gerakan terjadi melalui pementasan teater dan juga disemai melalui forum dan tradisi endong-endongan, yang sekaligus menjadi media rekonsiliasi dari berbagai faksi gerakan.

Sementara, strategi aksi kolektif yang dikembangkan oleh PPLP bervariasi, mulai dari aksi massa, kampanye, diskusi publik, aksi pementasan teater, hingga sabotase langsung pada pilot project pertambangan. Sementara artikulasi yang dikembangkan oleh PPLP juga bervariasi antara membangun diskursus penolakan tambang hingga perlawanan dan pengecaman terhadap kekuasaan swapraja. Gerakan PPLP ini pada dasarnya mencerminkan apa yang disebut oleh Borras dan Franco (2011: 4) sebagai perjuangan untuk kedaulatan atas tanah yang mengambil bentuk perjuangan ‘counter-enclosure movement’. Salah satu aspek yang menonjol dari gerakan ini adalah bahwa ia bersifat organizable karena memiliki inisiatif yang terus berkembang.

Hingga kini pertarungan untuk proyek pertambangan pasir besi ini masih berlangsung. Hasil akhir dari pertarungan ini tak dapat dengan mudah diramalkan, melainkan bergantung pada bagaimana praktik-praktik sosial dengan pertarungan sosial dan kontestasinya berlangsung. Meskipun terdapat upaya untuk terus meresonansikan perjuangan ini, tetapi upaya gerakan sosial pedesaan itu berhadapan dengan rencana-rencana, rongrongan dan desakan yang gencar dan massif dari pihak yang akan memuluskan proyek pertambangan pasir besi. Bagi gerakan PPLP, masa depan perjuangan mereka sangat ditentukan oleh bagaimana gerakan tersebut memperoleh rekognisi dan resonansi yang lebih luas dan bergantung pada upaya mereka untuk membangun nodal points (Laclau dan Mouffe, 1999) bagi perjuangan-perjuangan lain, baik di Yogyakarta maupun di luarnya. Bara di tanah raja ini tampaknya belum akan usai.