BARA DI TANAH RAJA Proses dan Mekanisme

“BARA DI TANAH RAJA”

Proses dan Mekanisme Proyek Perampasan Tanah dan Perlawanan Petani Pesisir di Yogyakarta

Dian Yanuardy

Awal

Akhir Juli 2014. Sebuah pamflet mencolok terpasang di pinggir Jalan Daendels, tepatnya di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, Yogyakarta. Ditempel pada sebuah tugu, pamflet itu terbuat dari papan kayu dengan warna dasar putih dan huruf-huruf tegas berwarna merah. Kalimat yang tertulis di pamflet itu sangat keras dan menantang: To Sultan HB X, Jangan Kau Jual Tanahku, Jual Saja Istrimu!. Pamflet itu bukan satu-satunya. Terdapat puluhan pamflet di sepanjang desa pesisir Kulon Progo yang berisi kecaman terhadap pertambangan pasir besi. Rentetan kalimat perlawanan seperti “Selamatkan Pesisir Kulon Progo dari Rakusnya Tambang Besi”, “Bertani atau Mati” dan “Kita Lebih Merdeka tanpa Tambang Pasir Besi” berjajar bak karnaval pamflet di sepanjang desa-desa pesisir Kulon Progo. Sebuah organ yang terhubung dengan kesultanan, Paguyuban Seksi Keamanan Keraton (Paksi Katon), melaporkan anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo atas pamflet yang dianggap mencemarkan nama baik keluarga Sultan HB X itu.

Pertentangan PPLP terhadap Kesultanan Yogya---yang dalam tulisan ini berarti keluarga Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta, yang seringkali saya gunakan secara bertukaran juga dengan istilah Swapraja---bukan peristiwa yang baru. Sejak tahun 2007, pemerintah provinsi Yogyakarta berupaya untuk membuat investasi skala besar dalam pertambangan pasir besi yang dilakukan oleh Indomines, Ltd, sebuah perusahaan berbasis di Australia dan PT. Jogja Magasa Internasional yang sahamnya dimiliki oleh keluarga kesultanan Yogya. Wilayah konsesi pertambangan pasir itu meliputi area seluas 2.900 ha, sepanjang 22 kilometer dari sungai Bogowonto hingga kali Progo dan masuk ke arah pemukiman sejauh 1, 8 kilometer dari garis pantai. Rencana pertambangan itu berpotensi menggusur sejumlah wilayah, seperti desa Jangkaran dan Palihan di kecamatan Temon; Desa Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates; desa Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan; dan desa Nomporejo, Kranggan, dan Banaran di Kecamatan Galur. Termasuk, menggusur lahan-lahan pertanian yang telah dikelola oleh ribuan para petani pesisir selama beberapa tahun. Salah satu klaim vital yang digunakan oleh pihak kesultanan untuk memuluskan rencana pertambangan pasir besi ini adalah dengan menyatakan bahwa wilayah pesisir tersebut merupakan tanah milik Pakualaman atau Paku Alaman Ground (PAG) berdasarkan berdasarkan Rikjsblaad Kasultanan 1918. Isi peraturan jaman kolonial ini menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah hak milik keraton..

Tentu saja, proyek pertambangan pasir besi ini mendapatkan perlawanan yang keras dari masyarakat pesisir Kulon Progo. Mendirikan sebuah organisasi yang bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, masyarakat pesisir seringkali mengkombinasikan perlawanan anti-tambang pasir besi dengan kecaman yang keras terhadap klaim swapraja atas tanah. Babak-babak dari pertarungan agraria di tanah para raja ini masih belum memasuki ronde-ronde terakhir. Pertarungan membara untuk merebut dan mempertahankan tanah masih berlangsung. Karena itulah, tulisan ini menyebut pertarungan tersebut sebagai “proyek perampasan tanah”, karena perampasan tanah secara aktual terhadap seluruh tanah di tapak proyek belum terjadi. 1

1 Sebagai perkecualian adalah proses “pelepasan lahan” warga pesisir di desa Karangwuni pada PT. JMI pada 2013 yang lalu yang dilakukan melalui transaksi tanah. Hanya saja, subyek tentang perampasan tanah melalui skema transaksi ini

perlu dilakukan penelitian tersendiri.

Tulisan ini berupaya untuk memeriksa proses dan mekanisme proyek perampasan tanah pada kasus pertambangan pasir besi di Yogyakarta. Proses, dalam studi ini, merujuk pada “diagnostic events”, suatu istilah yang ditemukan oleh Sally Falk Moore, yang merujuk pada "momen-momen tertentu yang memiliki kontradiksi yang kuat yang membedah logika kultural, mengidentifikasi berbagai macam pemangku kepentingan dan menyingkapkan genealogi dari ide-ide yang menghubungkan berbagai institusi dalam suatu kejadian konflik sosial” (Moore 1987: 727-736). Sementara yang disebut dengan mekanisme dalam penelitian ini diambil dari tradisi critical realist, merujuk pada pola dari “suatu peristiwa tertentu yang secara reguler terus terjadi…dan merupakan produk dari interaksi dan relasi kekuasaan tertentu dan mengambil tempat dalam suatu konteks geo-historis tertentu” (Sayer 2000: 15). Dengan meletakkan konteks geo-historis tertentu sebagai suatu yang penting, maka dalam penelitian ini mekanisme tidak dipandang sebagai suatu yang stabil, tetap dan tak tergoyahkan atau tak terlumpuhkan. Mekanisme juga tidak dipandang sebagai pola yang tetap dari peristiwa tertentu, melainkan hasil dari relasi spasio-temporal dengan obyek-obyek yang lain yang memiliki kekuasaan tertentu yang dapat memicu, memblokir atau memodifikasi mekanisme tersebut.

Karena itu, dalam hubungannya dengan proyek pertambangan pasir besi, studi ini akan menempatkan proses perampasan tanah dalam hubungannya dengan diskursus-diskursus yang membentuknya; inisiatif-inisiatif untuk memuluskan dan membuatnya natural dan dapat diterima; hingga proses-proses kebijakan yang menopangnya yang merupakan hasil dari berbagai macam kekuatan-kekuatan dan produk dari relasi kekuasaan yang bersifat konjungtural. Sementara, mekanisme dalam studi ini akan dilakukan dengan membedah dan menganalisis pola kekuasaan kesultanan dalam membuat kasus ini bekerja secara progresif.

Proses-proses Kebijakan

Selama satu dekade terakhir, terdapat berbagai proyek ambisius pasir besi di berbagai wilayah di Indonesia. Terdapat berbagai proyek pertambangan pasir besi yang telah berkembang dan sedang berjalan yang sebagian besarnya terletak di Jawa bagian selatan. Beberapa proyek pertambangan pasir besi yang sedang bekerja di Indonesia adalah: PT. Lhoong Setia Mining (Aceh), PT. Citra Trahindo Pratama (Sumatera Utara), PT. Minang Pangeran (Sumatera Barat), Selomoro Banyu Artha dan Famiartadio Nagara (Bengkulu), Asgarindo Prima Utama (Garut, Jawa Barat) General Mineral Resources, Indo Sinorang, Cakra Buana, dan Galuh Bahari Lestari, (Ciamis, Jawa Barat), SMDA (Tasikmalaya, Jawa Barat), Aneka Tambang (Cilacap/Jawa Tengah), Jogja Magasa Iron (Yogyakarta), Aneka Tambang (Lumajang/Jawa Timur), Laki Tangguh, Anugrah Mitra Graha (Nusa Tenggara Barat) dan Nikita Gemilang (Maluku Utara).

Peta 1: Proyek pertambangan pasir besi di Indonesia. Disusun dari berbagai sumber berita. Peta dibuat oleh Didi

Novrian.

Salah satu argumen yang mendorong dan menjadi basis dan landasan bagi bertumbuh pesatnya proyek pertambangan pasir besi yang berkembang luas di Indonesia adalah meningkatnya harga pasir besi dan biji besi di dunia. Ini terjadi seiring dengan permintaan pasar yang semakin meningkat akibat industrialisasi yang cepat di negara-negara seperti China dan India, sementara Krakatau Steel, sebuah perusahaan BUMN, dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional akan bahan baku biji besi dan baja selama beberapa tahun (Majalah Tambang Online, 2010). Dalam kasus proyek pertambangan pasir besi di Yogyakarta, argumen itu didasarkan pada hasil penelitian yang menyebutkan di sepanjang pantai selatan Jawa, utamanya di Kulon Progo, terdapat kandungan pasir besi yang terbaik di dunia dengan kualitas vanadium yang tinggi. Karena itu, beberapa pendukung proyek ini menyebut bahwa potensi pasir besi di Kulon Progo adalah “emas hitam”. (Kompas, 8 Oktober 2007).

Untuk membuat proyek tersebut lancar, dalam presentasi untuk sosialisasi tambang ke pihak pemerintah yang berjudul “Industri Baja Terpadu: Aktivitas Penambangan Berwawasan Lingkungan”, calon investor penambangan pasir besi, Jogja Magasa International, secara memikat memulai argumennya dengan menyatakan bahwa “yang membedakan peradaban zaman batu dengan zaman modern adalah ditemukannya pemanfaatan besi dan baja oleh manusia. Karena itu, besi dan baja merupakan elemen yang tak terpisahkan dari peradaban manusia modern dan merupakan elemen vital dan tulang punggung dari industri”. Presentasi itu lalu menyebutkan bahwa “industri baja di Indonesia 100% sangat tergantung pada impor, sementara diperkirakan terdapat 1300 juta ton potensi biji besi di Indonesia yang belum dieksploitasi…jika ini kondisinya, maka kapan Indonesia bisa mandiri?”. Selanjutnya, dalam presentasi tersebut dinyatakan bahwa pertambangan pasir besi di Yogyakarta menjadi tak terelakkan. Ini karena melalui pertambangan pasir besi itulah ketersediaan 50% dari stok nasional atas besi dan baja dapat terpenuhi. Selain itu, melalui pertambangan juga pendapatan negara dan peningkatan kualitas hidup manusia dapat terjamin.

Untuk membuat proyek tersebut menjadi dapat diterima oleh masyarakat, pihak investor menyebutkan bahwa: (1) pihak perusahaan akan memberikan kompensasi ganti rugi atas tanaman tumbuh, bangunan dan infrastruktur yang berada di atas lahan yang terkena aktivitas pertambangan dengan harga yang layak dan wajar; (2) Memberikan kompensasi penghasilan selama dua tahun, atas tidak beroperasinya lahan garapan; (3) Mengembalikan kondisi lahan eks-tambang dalam kondisi yang layak dan dapat dimanfaatkan pada tahun ketiga sejak penambangan dimulai; (4) Memberi prioritas kesempatan kerja kepada penduduk yang terkena aktivitas operasi penambangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

Sementara, untuk membuat proyek itu dapat diterima oleh pemerintah terdapat dua argumen yang diajukan. Pertama, menyatakan bahwa perusahaan akan melakukan good mining practice. Kedua, berargumentasi mengenai besaran penerimaan negara dan multiplier effect yang akan diperoleh dari aktivitas pertambangan. Pada argumen pertama, pihak perusahaan menyatakan bahwa good mining practice yang dimaksudkan adalah dengan memiliki izin kuasa pertambangan atau kontrak pertambangan dan mematuhi segala regulasi dari pemerintah pusat maupun daerah; melakukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup secara berkesinambungan; melaksanakan reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang; mematuhi norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja; dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk menyusun program penutupan tambang. Untuk argumen kedua, pihak perusahaan menyatakan bahwa keuntungan negara yang akan diperoleh dari pajak dan royalti adalah sebesar 350 milyar/tahun, program community development 90 milyar/tahun, dan pembangunan kawasan 2 milyar/tahun. Sementara, multiplier effect yang dimaksudkan adalah bahwa aktivitas pertambangan ini akan dapat memicu pertumbuhan ekonomi setempat karena akan memicu berkembangnya perdagangan, jasa, Sementara, untuk membuat proyek itu dapat diterima oleh pemerintah terdapat dua argumen yang diajukan. Pertama, menyatakan bahwa perusahaan akan melakukan good mining practice. Kedua, berargumentasi mengenai besaran penerimaan negara dan multiplier effect yang akan diperoleh dari aktivitas pertambangan. Pada argumen pertama, pihak perusahaan menyatakan bahwa good mining practice yang dimaksudkan adalah dengan memiliki izin kuasa pertambangan atau kontrak pertambangan dan mematuhi segala regulasi dari pemerintah pusat maupun daerah; melakukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan pemantauan lingkungan hidup secara berkesinambungan; melaksanakan reklamasi dan rehabilitasi pasca tambang; mematuhi norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja; dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk menyusun program penutupan tambang. Untuk argumen kedua, pihak perusahaan menyatakan bahwa keuntungan negara yang akan diperoleh dari pajak dan royalti adalah sebesar 350 milyar/tahun, program community development 90 milyar/tahun, dan pembangunan kawasan 2 milyar/tahun. Sementara, multiplier effect yang dimaksudkan adalah bahwa aktivitas pertambangan ini akan dapat memicu pertumbuhan ekonomi setempat karena akan memicu berkembangnya perdagangan, jasa,

10 basis; (3) meningkatkan permodalan sebesar 2.2 juta USD, dan (4) perekrutan jaringan pemegang

saham (shareholders). 2

Sejak tahun 2005, PT Jogja Magasa Iron, yang dimiliki oleh keluarga Hamengku Buwono X, gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga merupakan Sultan Yogyakarta, mendapatkan Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikutnya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo berdasar surat No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005. Kemudian karena bermitra dengan Indo Mines. Ltd. dan dikategorikan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA), maka Kuasa Pertambangan dikonversi menjadi Kontrak Karya (KK) sesaui dengan UU. No. 1/1967 dan UU. No.11/1967. Kontrak Karya ini kemudian mendapat persetujuan Pencadangan Wilayah dari otoritas tertinggi di Kabupaten Kulon Progo, berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral/ESDM No. 1614 tahun 2004, dengan syarat menyetorkan uang jaminan kesungguhan sebagai syarat mendapat Persetujuan Prinsip Aplikasi KK (Keputusan Menteri ESDM No. 1603/40/MEM/2003).

Adapun Butir-butir kontrak karya yang penting adalah sebagai berikut : Masa operasi

: 30 tahun

Luasan

: 2.987 Ha (22 x 1,8 km)

Investasi : 1,7 M US$., 600 Juta US$ untuk Penambangan dan 1,1 M US $ untuk Infrastruktur

Pajak

: 20 Juta US $ per tahun

Pendanaan Lokal : 7 Juta US $ per tahun selama 10 tahun dan selanjutnya 2 persen. Royalti

: 11,25 Juta US $ per tahun

Penambangan

Produksi besi

Volume

: 1 juta ton per tahun.

Rasio investasi

: JM 30 persen dan IM Ltd. 70 persen.

2 Surat AKD Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005. Dapat juga dibandingkan dengan

Indomines Limited. 2006. Annual Report, tidak diterbitkan.

9 Untuk kajian mengenai politik kebijakan Sumber Daya Alam dari kasus ini, tesis karya Kus Sri Antoro merupakan tulisan yang detail mengamati proses-proses kebijakan. Selengkapnya, Antoro, Sri Kus. 2008. Konflik

Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Tesis Master di Institut Pertanian Bogor, tidak diterbitkan.

Luas konsesi pertambangan direncanakan sekitar 3,000 ha, atau 22 kilometer sepanjang sungai Bogowonto hingga sungai Progo selama 25 tahun. Proyek ini akan mencakup tiga kecamatan, yang juga akan mencakup pertanian lahan pasir milik petani dan pemukiman sepanjang 1,8 kilometer dari pantai. Secara khusus, proyek tersebut akan menggusur pertanian lahan pantai di enam desa: Karangwuni, Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu, dan Banaran. (Lihat Peta 2)

Peta 2: Area Proyek Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo, Yogyakarta. Sumber: Bahan Presentasi PT. JMI, 2007.

Sebagaimana disebut dalam Kontrak Karya, Indomine, Ltd akan menguasai 70% saham dari proyek ini, sementara Jogja Magasa Iron akan memiliki sisa saham sekitar 30%. Investasi pada proyek pertambangan pasir besi ini berkisar antara 6000 juta USD. Selain pertambangan pasir besi, proyek ambisius ini direncanakan akan juga membangun kompleks industri pasir besi, termasuk empat pabrik pemrosesan sehingga tidak hanya pasir besi yang dihasilkan melainkan juga pig iron, biji besi dan produk-produk ikutan lainnya.

Salah satu titik kunci penting dalam setiap proyek adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang juga merupakan landasan bagi pelaksanaan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten dan kota. Sifat RTRW adalah hierarkis, dalam pengertian bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi payung bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan yang terakhir juga menjadi payung bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Dalam kasus proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo terdapat berbagai dinamika mengenai hal ini. Perda No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY disahkan oleh Gubernur Yogyakarta pada 4 Maret 2010. Salah satu masalahnya adalah bahwa Perda ini memuat perubahan substansi dengan Raperda RTRWP DIY yang telah disahkan, dan perubahan substansi ini tidak melibatkan DPRD DIY, yang merupakan suatu mekanisme yang menyalahi proses perubahan kebijakan penyusunan dan perubahan tata ruang (Kompas, 21 April 2010). Perubahan substansi itu berupa penghilangan dan penambahan beberapa pasal agar dapat memuluskan proyek pertambangan pasir besi tersebut. Salah satu perubahan substansi Perda No 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf b nomor 2) berbunyi Kawasan pesisir pantai selatan untuk pertambangan pasir besi, di Kecamatan

Wates, Panjatan, dan Galur. Pasal ini kemudian dapat menjadi menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL.

Sementara, untuk mendukung proyek pertambangan ini, maka diperlukan aspek yang lain, yaitu berkaitan dengan kepemilikan dan kepenguasaan atas tanah. Untuk mendukung klaim tersebut, maka dinyatakan bahwa sekitar 80% tanah yang diduduki oleh masyarakat pesisir untuk lahan pertanian, merupakan tanah yang dikuasai oleh Pakualaman Ground, berdasarkan pada Rikjsblaad Kesultanan 1918. Karena itu, sembari melarang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat untuk mengukur kembali tanah milik Kasultanan Yogyakarta (SG) dan Puro Paku Alaman (PAG), Sultan HB X juga menyatakan bahwa pengukuran terhadap tanah milik Kesultanan dan Pakualaman sudah pernah dilakukan BPN Provinsi DIY. Dalam pengukuran tersebut, BPN Provinsi DIY mencatat, tanah SG dan PAG teridentifikasi ada sekitar 3 ribu hektar lebih dan membutuhkan identifikasi selama 11 tahun. Mengutip pernyataan Sultan HB X:

“Kalau BPN sini kan sudah. Itu saja ngukurnya, identifikasinya 11 tahun. Isunya kan Kraton Yogya ini punya tanah di luar Yogya. Kapan ada, Kraton tidak punya, yang ada ya hanya di sini. Jadi sekarang BPN Pusat mengakui enggak BPN Yogya yang sudah mengukur, itu saja. Yogya

kan tidak punya tanah di luar Yogya.” 3

Untuk meneguhkan alas dan klaim penguasaan dan kepemilikan untuk proyek pertambangan pasir besi tersebut, maka Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta kemudian mengeluarkan sebuah peta yang menyatakan bahwa seluruh wilayah pesisir Kulon Progo yang di dalamnya termasuk rencana pertambangan pasir besi Kulon Progo adalah milik Pakualaman Ground. (lihat tanda kuning di bawah, peta 4)

Peta 3: Peta Pakualaman Ground di Kulon Progo Sumber: Presentasi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 2009. Pengembangan dan Pemantapan Kebijakan Pertanahan Pulau Jawa Bagian Selatan di Kabupaten Kulon Progo.

3 http://portal.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=331%3Apanja-ruuk-diy-komisi-ii-dpr- ri-kunker-ke-provinsi-diy&Itemid=53&catid=48%3A , dikakses tanggal 20 Oktober 2012. Keterangan yang berbeda

justru disampaikan oleh Kantor Pertanahan Kulon Progo yang menyebutkan bahwa tidak ada data yang lengkap mengenai Sultan ground dan Pakualaman Ground.

Proses kebijakan lain yang menentukan adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)---yang menjadi penentu apakah suatu proyek dapat dilaksanakan atau tidak. Kajian AMDAL meliputi aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat, sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha atau untuk kegiatan. AMDAL terdiri atas Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) serta Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Otoritas penentu kelayakan dokumen AMDAL berada di tangan Gubernur. Pengumuman dokumen AMDAL dilakukan pada Agustus 2009, sedangkan konsultasi publiknya dilakukan pada September 2009, sedangkan pelaksanaan AMDAL dilakukan pada Januari 2010.

Meskipun mendapat pertentangan oleh masyarakat, pada tahun 2012, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DIY kemudian memberikan izin terkait penambangan pasir besi tersebut. BLH berkesimpulan proyek pertambangan dengan operator PT Jogja Magasa Iron (JMI) telah memenuhi prosedur terkait Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hasil kajian Amdal BLH di pesisir pantai kawasan Kulon Progo menyebutkan bahwa proyek tersebut memenuhi persyaratan untuk

didirikan kegiatan pertambangan. 4

Mekanisme-mekanisme Yang Memuluskan dan Memungkinkan: Peranan Spesifik Kekuasaan Swapraja

Bagian ini akan menyoroti tentang mekanisme-mekanisme yang memungkinkan dan memuluskan (enabling and smoothening mechanisms) bekerjanya proyek akumulasi dengan perampasan. Sebagaimana diuraikan di atas, berbagai proses-proses kebijakan yang terentang mulai dari pemegang saham perusahaan, perubahan kebijakan tata ruang, pemberian alas hak penguasaan dan pemilikan semuanya berjangkar pada peranan spesifik dari kekuasaan Swapraja---dalam hal ini merujuk pada kekuasaan Kesultanan dan Pakualaman. Memahami bahwa proyek ini didukung oleh Kesultanan, Australian Indomine Ltd menyatakan bahwa prospek berjalannya investasi pasir besi ini akan berjalan lancar dan menyebut bahwa Sultan Yogyakarta yang sekaligus Gubernur sebagai “strong and well-connected local power” (Kompas, 10 April 2008).

Sebagaimana dicatat oleh Anderson (1988) dan Case (2003) seringkali kekuasaan lokal tampil sebagai kelas sosial yang dominan yang memiliki akses dan kontrol atas tanah memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah-arah perubahan agraria. Kekuasaan lokal tersebut juga dapat mengalihkan akumulasi kekayaan berbasis kontrol dan akses tanah tersebut ke dalam ranah-ranah kekuasaan lain seperti ranah politik dan budaya. Sementara, studi lain yang dilakukan oleh Christian Lund (2012) tentang kekuasaan lokal dan pertarungan untuk akses dan kontrol atas di Ghana menyebutkan bahwa pertarungan tersebut seringkali melalui mekanisme kekuasaan yang saling berkait-kelindan (interdigitating power) dengan cara yang kompleks untuk mengkonstruksi tradisi, sejarah atau adat dan mengkombinasikannya dengan proyeksi masa depan mengenai tanah sebagai teritori politik dan properti.

Dalam bagian ini, penulis berpendapat salah satu mekanisme yang memungkinkan dan membuat proyek pertambangan pasir besi menjadi berjalan lancar adalah moda kekuasaan Swapraja 5

4 http://www.cybernasonline.com/cybernas/index.php?content=news&news=984 , diakses tanggal 20 Oktober 2012.

5 Kekuasaan Swapraja dalam hal ini secara spesifik merujuk pada Kesultanan Yogyakarta, yang direpresentasikan oleh Sultan HB X yang berlaku sebagai Sultan dan sekaligus Gubernur Yogyakarta dan Pakualaman yang direpresentasikan

Pakualam IX yang sekaligus merupakan Wakil Gubernur. Namun, dalam banyak hal, tulisan ini banyak bertumpu pada peranan dominan yang diperankan oleh Sultan HB X. Penjelasan ini diperlukan karena pada dasarnya pandangan dan pendirian keluarga Kesultanan dan Pakualaman terhadap masalah tanah, proyek pertambangan pasir besi dan status Kesitimewaan Yogyakarta tidaklah tunggal dan fragmented. Sebagai contoh, Yayasan HB VII menyatakan bahwa tanah SG dan PAG bukan dimiliki oleh institusi, melainkan semestinya dimiliki oleh keturunan HB VII, namun tanah SG dan PAG itu telah diserobot secara sepihak oleh Pemprov DIY. Penyerobotan itu dilakukan dengan terbitnya Perda No 5 Tahun 1954. Dalam perda tersebut menyatakan bahwa tanah SG dan PAG telah dinyatakan sebagai tanah milik Pakualam IX yang sekaligus merupakan Wakil Gubernur. Namun, dalam banyak hal, tulisan ini banyak bertumpu pada peranan dominan yang diperankan oleh Sultan HB X. Penjelasan ini diperlukan karena pada dasarnya pandangan dan pendirian keluarga Kesultanan dan Pakualaman terhadap masalah tanah, proyek pertambangan pasir besi dan status Kesitimewaan Yogyakarta tidaklah tunggal dan fragmented. Sebagai contoh, Yayasan HB VII menyatakan bahwa tanah SG dan PAG bukan dimiliki oleh institusi, melainkan semestinya dimiliki oleh keturunan HB VII, namun tanah SG dan PAG itu telah diserobot secara sepihak oleh Pemprov DIY. Penyerobotan itu dilakukan dengan terbitnya Perda No 5 Tahun 1954. Dalam perda tersebut menyatakan bahwa tanah SG dan PAG telah dinyatakan sebagai tanah milik

Namun, bagaimana persisnya hal itu dilakukan dalam hubungannya dengan kasus ini? Bagian berikut ini akan berupaya menjelaskan mekanisme-mekanisme untuk memungkinkan dan memuluskan proyek pertambangan pasir besi. Mekanisme-mekanisme di bawah ini, tentu saja, tidak boleh dimengerti sebagai sebuah aksi tunggal seorang perencana ulung, melainkan merupakan hasil dari serangkaian bentuk-bentuk dan pola-pola tindakan sosial yang muncul sebagai hasil dari interaksi multirupa dari beragam aktor, kepentingan, dan konteks-konteks tertentu yang spesifik. (Lihat tabel 2)

Kait-kelindan Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta

Aspek

Pebisnis Tanah

Sultan

Gubernur

Tanah sebagai teritori Tanah sebagai sumber Tanah sebagai basis dan kekuasaan;

pertumbuhan ekonomi akumulasi kekayaan

Proyek

Mengukuhkan

Penyusunan RTRWP

Memuluskan rencana

Pertambangan Pasir legitimasi budaya dan AMDAL;

proyek melalui

Besi

menjadi kekuasaan Mengintegrasikan

kolaborasi dengan

politik melalui UU proyek ke dalam

penanam modal

Keistimewaan;

rencana-rencana

internasional dan Bank

Mengklaim hak legal pembangunan

Dunia; pertemuan-

atas tanah

regional dan nasional pertemuan bisnis dengan sejumlah investor.

Sarana Kekuasaan

Ekonomi Tabel 1: Kait-kelindan Kesultanan Yogyakarta

Adat dan budaya

Politik

Dari tabel tersebut, terdapat gambaran mengenai berbagai tindakan-tindakan sosial dari kekuasaan Swapraja yang muncul dalam hubungannya sebagai pemegang kekuasaan kultural, pemegang kekuasan juro-politik, dan pemilik kapital. Dalam hubungannya dengan tanah, misalnya, sebagai pemegang kekuasaan kultural tanah lebih dipandang sebagai teritori. Dalam hal ini, tindakan sosial yang diterapkan oleh kekuasaan Swapraja adalah meneguhkan eksistensi Sultan Ground dan Pakualaman Ground berdasarkan Rikjsblaad Kasultanan 1918. Isi peraturan ini lebih dikenal sebagai domeinverklaring, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah hak milik keraton. Meskipun Sultan Hamengku Buwono IX pernah berupaya untuk mengintegrasikan tanah SG dan PAG ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dalam kenyataannya pihak Kesultanan masih menjaga dan memelihara kontrol atas tanah dengan tidak sama sekali menghapuskan istilah Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Untuk menghindari penghapusan

pemerintah provinsi (Radar Jogja, 15 Oktober 2011).

tanah bekas swapraja sebagaimana tertuang dalam UUPA 1960, maka dinyatakan bahwa Sultan Ground dan Pakualaman Ground merupakan tanah-tanah adat yang dilindungi keberadaannya oleh UUPA 1960. Dengan mendasarkan diri sebagai tanah adat yang dilindungi oleh UUPA 1960, maka masyarakat yang menduduki atas tanah-tanah SG dan PAG secara yuridis diperlakukan sebagai pemakai tanah kesultanan yang diberikan akses pada tanah tersebut dalam bentuk pemanfataan dan penggunaan, tetapi tidak dapat mengubah akses menjadi properti. Dengan cara semacam ini, maka tampak tanah diperlakukan sebagai teritori kekuasaan sebagaimana lazim digunakan dalam kekuasaan-kekuasaan

adat di berbagai tempat. 6

Sementara, tindakan sosial yang dihasilkan dalam posisi sebagai pemegang kekuasaan juro- politik adalah memperlakukan tanah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Salah satu aspek yang menarik, karena keberjalinan aspek kekuasaan di Yogyakarta, meskipun di satu sisi diperlakukan sebagai teritori tetapi di sisi lain, akses terhadap tanah SG dan PAG diperlakukan sama seperti properti

privat pada umumnya, yaitu dikenakan pajak dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan. 7 Sebagai pemilik kapital, tentu saja, utamanya yang masuk dalam kategori tanah kesultanan dan pakualaman adalah menjadikan tanah tersebut sebagai basis dari akumulasi kekayaan (land-based wealth accumulation).

Dalam aspek yang berhubungan dengan proyek pertambangan pasir besi, tindakan sosial kekuasaan Swapraja sebagai pemegang kekuasaan kultural adalah dengan menyatakan bahwa proyek ini merupakan proyek yang diadakan di atas tanah milik keluarga kesultanan dan pakualaman. Karena itu, merupakan hal yang absah untuk melakukan eksplorasi dan menjalankan bisnis eksplorasi di atas lahan tersebut. Hal semacam ini ditandaskan oleh keluarga Kesultanan yang lain dengan menyatakan bahwa penambangan pasir besi itu sebenarnya merupakan pesan almarhum Sultan HB IX dan PA VIII yang sudah lama mengetahui potensi pasir besi di pesisir selatan. Karena itu tugas, para penguasa swapraja itu saat ini adalah melaksanakan mimpi tersebut (Kedaulatan Rakyat, 04 Januari 2011).

Selain itu, tindakan lain yang digunakan adalah dengan mengukuhkan klaim legal atas tanah dalam suatu upaya reorganisasi kekuasaan ekonomi dan politik dengan mendorong UU Keistimewaan Yogyakarta. Berhadapan dengan kondisi baru ini, utamanya liberalisasi politik dan ekonomi, pada umumnya penguasa swapraja yang tersisa di Indonesia mengalami krisis yang serius. Krisis itu berupa krisis itu berupa krisis ekonomi dan krisis legitimasi politik. Dalam hal ekonomi, krisis itu selain berupa ketidakcukupan bantuan negara untuk biaya operasional keraton, juga diakibatkan mulai menurunnya surplus yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang selama ini menopang pembiayaan keluarga keraton, seperti industri gula dan turisme. Hal ini ditegaskan oleh salah satu kerabat Kesultanan yang menyebutkan bahwa pangkal krisis ekonomi di tubuh kesultanan adalah keterbatasan biaya. Bantuan pemerintah pusat Rp. 205 juta pertahun dan dari pemerintah daerah 36 juta pertahun dianggap masih jauh dari memadai. Begitu juga dengan pemasukan dari sektor turisme dan beberapa unit usaha keraton, seperti Pabrik Gula Madukismo dan Hotel Ambarukmo tidak memadai lagi. (Gatra, 28 November 2002)

Sementara, krisis legitimasi politik dikarenakan hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai status kepemimpinan politik di Yogyakarta yang selama masa Orde Baru menjadi hak privilese bagi Kesultanan dan Paku Alaman. Karena itulah, pada masa kurun waktu sebelum UU Keistimewaan diberlakukan, kepastian apakah Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta tetap dijabat oleh keluarga Kesultanan dan Pakualaman masih kabur. Sebabnya, instrumen hukum yang selama ini dianggap sebagai “payung hukum” Keistimewaan Yogyakarta, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, menimbulkan masalah setelah adanya amandemen UUD 1945.

Lalu, salah satu jalur yang digunakan untuk mereorganisasikan dan mengkonsolidasikan

6 http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/03/22/m16m57-tanah-sultan-di-yogya-tinggal- 12-persen .

7 http://portal.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=331%3Apanja-ruuk-diy-komisi-ii-dpr- ri-kunker-ke-provinsi-diy&Itemid=53&catid=48%3A .

kembali kekuasaan ekonomi dan politik dari kekuasaan swapraja adalah dengan menghidupkan kembali wacana keistimewaan Yogyakarta serta legalisasinya, melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta. Untuk menyukseskan rencana tersebut, Rancangan pertama dari Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh petinggi keraton. Rancangan yang pertama ini menyebutkan bahwa Sultan dan Paku Alam mesti ditunjuk langsung sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta, tanpa perlu ada pemilihan umum kepala daerah langsung. Setelah melalui berbagai proses, akhirnya pada tanggal 30 Agustus 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta disahkan dengan mengabaikan konsep pararadhya yang bersifat moderat dan diusung oleh para scholar-activist di Yogyakarta. Pengesahan ini berarti selain menetapkan bahwa gubernur dan wakil gubernur diangkat langsung dari pihak kesultanan dan pakualaman, juga sekaligus mengesahkan kekuasaan swapraja memiliki hak legal atas tanah-tanah Sultan Ground dan Paku Alaman Ground.

Sebagai pemegang kekuasaan politik-legal, dalam proyek ini salah satu tindakan terpenting dari kekuasaan Swaparaja, selain melakukan perubahan RTRWP dan mendorong percepatan AMDAL, adalah dengan mengintegrasikan proyek ini ke dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi lain yang lebih besar, yaitu Zona Ekonomi Khusus dan ke dalam MP3EI (Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Dengan mengintegrasikan program ini ke dalam proyek pembangunan lain yang lebih besar, seperti Zona Ekonomi Khusus berarti membuat proyek ini mendapatkan rekognisi yang lebih luas secara nasional dari berbagai lembaga pemerintah. Sementara, dengan mengintegrasikan proyek ini ke dalam MP3EI, maka proyek ini akan mendapatkan kemudahan perizinan, karena salah satu program dari MP3EI adalah debottlenecking terhadap segala regulasi yang menghambat investasi. 8

Sebagai pemilik kapital, kekuasaan swapraja juga berupaya untuk membuat proyek ini berjalan, utamanya dengan beberapa hal berikut: dengan menggandeng investor dari Australia; lalu mengundang Bank Dunia untuk mempermudah pendanaan atas proyek; 9 memperbesar dan memperluas rencana proyek yang membutuhkan tambahan 700 hektar tanah lagi (Harian Jogja, Rabu, 22 Februari 2012); mengadakan serangkaian pertemuan bisnis dengan sejumlah investor dari Cina.

Gerakan Perlawanan Petani Pesisir Kulon Progo

Pada dasarnya gambaran umum dari kemiskinan pedesaan Yogyakarta telah muncul sejak jaman kolonial sebagai akibat penguasaan tanah di tangan kekuasaan swapraja yang dikombinasikan dengan munculnya perkebunan swasta. Sebagai gambaran, di Yogyakarta yang luas wilayahnya terhitung kecil dan penduduknya padat pernah berdiri 33 pabrik gula yang menghabiskan tanah baik untuk sentra penanaman, pabrik dan perumahan, sebagai akibatnya tanah garapan yang digarap oleh para petani sangatlah kecil. Rata-rata keluarga tani hanya memiliki 1/4-1/3 ha. Kondisi semacam itu terus berlanjut bahkan ketika beberapa pabrik gula itu sudah dikuasai oleh pemerintah Indonesia (Tauchid, 2007: 77). Bagi masyarakat pesisir Kulon Progo, hal ini bertambah parah karena kondisi gurun pasir tepi pantai Kulon Progo pada mulanya adalah gersang dan tandus. Segala yang tumbuh tidak ada yang bisa dimakan dan layak dijual: rumput duri, pandan duri, dan sidaguri. Bahkan, sejak zaman VOC Belanda, warga pesisir Kulon Progo telah dilarang untuk menghimpun garam dari lautan untuk menyambung hidup.

Kondisi kemiskinan melekat pada kehidupan penduduk pesisir selatan, terutama sepanjang sebelah selatan Jalan Deandels jalur selatan. Masyarakat setempat dijuluki sebagai Wong Cubung, yang merujuk pada tanaman kecubung beracun yang tumbuh merambat di sekitar lahan pantai. Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan pengembala kambing. Sebagian yang lain bekerja sebagai rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sumur, atau

8 http://mp3ei.info/a/content/86 , diakses pada 20 Oktober 2012.

9 http://www.solopos.com/2011/04/11/bank-dunia-siap-danai-proyek-pasir-besi-145848 , diakses pada 20 Oktober 2012.

pencari batu apung di pantai. Tempat tinggal mereka masih berupa anyaman bambu dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas penghidupan warga adalah buruh tani dan tuna kisma yang hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa (non lahan pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di musim kemarau seperti; kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci namun, tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian. Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati.

Berikut gambaran yang diungkapkan oleh salah satu penduduk mengenai kehidupan mereka sebelum inisiatif pertanian lahan pasir itu muncul:

Dahulu kala desaku adalah desa yang sangat tertinggal, desa yang identik dengan asumsi keterbelakangan. Di antaranya yaitu kehidupan yang sangat kekurangan. Semisal dulu makan saja penduduk di sini masih 1 kali sehari yaitu pada siang hari dan sarapan kuingat hanya makan sepotong ubi jalar yang dicampur dengan parutan kelapa dan pada waktu malam hari aku juga Cuma makan ubi. Sedang untuk urusan tidur kami sekeluarga memakai ranjang panjang yang di situ muat untuk tidur 4 orang, yaitu bapak, emak, adikku dan aku sendiri karena pada waktu itu adik terkecilku belum terbuat. Dan kadang aku sendiri sering tidur di lantai yang tidak rata karena waktu itu lantai masih berupa tanah yang diratakan, dibasahi dan dipadatkan, itu dinamai lantai jagan. Beralaskan tikar yang sangat usang tanpa selimut dan selalu dimakan dan digigit nyamuk karena pada waktu itu belum kenal dengan apa yang dinamakan obat nyamuk dan sejenisnya sehingga kami sangat rentan terserang penyakit. Juga karena asupan gizi yang kurang, mungkin juga karena kondisi alam yang sangat tidak bersahabat.

Semisal seperti ketika musim kemarau datang karena memang tanah di sini adalah tanah pasir, dan karena desaku adalah desa pinggir pantai yang secara otomatis angin menjadi besar dan iklim yang selalu panas sehingga pasir-pasir di sini akan menjadi kering dan ringan sehingga ketika angin kencang datang maka berterbanglah debu-debu tersebut ke udara. Dan secara proses alam juga maka debu-debu tersebut akan dihirup untuk bernafas, menempel di kulit, sehingga pada waktu itu orang-orang di sini sangat sering terkena penyakit kulit terutama anak- anak begitu pula aku. Dan juga penyakit yang lain seperti batuk, sesak nafas. Yang berhubungan dengan penyakit kulit biasanya kudis, kurap dan borok. Bahwa intinya dari semua itu adalah jorok dan kotor sehingga ketika orang luar itu mendengar kata “wong cubung” maka yang terlintas di pikiran mereka adalah penyakitan. Itu sedikit cerita tentang tingkat kesehatan, terus berlanjut tentang bagaimana kemiskinan yang membelenggu masyarakat pesisir pantai selatan Kulon Progo.

Kuingat ketika itu sangat jarang sekali bahkan bisa kukatakan tidak ada bangunan yang permanen seperti rumah yang pakai semen dan batu bata. Dulu ketika itu yang ada cuma rumah berdinding perak (getepe blarak) yaitu dinding yang dibuat dari anyaman daun dan pelepah kelapa, dan beratapkan welitan. Welitan itu sendiri terbuat dari anyaman daun kelapa ataupun jerami dan bisa juga anyaman dari rumput ilalang. Dan terkadang ketika terjadi angin agak kencang sedikit dinding-dinding ataupun atap rumah kami kabur terbawa angin. Di sisi lainnya ketika aku mau melihat dan menonton TV seingat saya dulu di dusun kami cuma ada dua yaitu di tempat Mbah Rono dan Mbah Kasan Dahono yang kebetulan ketika aku menulis buku ini beliau-beliau sudah meninggal dunia alias mati. Dan yang hari ini selalu kuingat ketika dulu aku sakit sedikit, aku dibawa ke tempat seorang dukun untuk di-suwuk atau istilah sekarang diobati. 10

10 Widodo. 2012. Menanam adalah Melawan!. Naskah belum dipublkasikan.

Gambaran ini menunjukkan kondisi mengenai kemiskinan kronik (Mosse, 2007). Sebagaimana dijelaskan oleh Mosse dalam kasus masyarakat asli Bhil di India, kemiskinan kronik ini terjadi dari sejarah panjang akumulasi primitif, penjarahan, marginalisasi suku serta pemiskinan produksi komoditi kecil dan diferensiasi pedesaan hingga terciptanya pengangguran dan cadangan tenaga kerja yang tinggi pada masyarakat adat Bhil di India. Dalam kasus ini, kemiskinan kronik tercipta karena proses akumulasi primitif sejak masa kolonial, dan marginalisasi masyarakat pesisir karena dalam beberapa hal mereka dianggap sebagai masyarakat terbelakang, wong cubung, yang memiliki hubungan dengan pemberontakan Diponegoro, dan juga merupakan hasil dari diferensiasi sosial yang tinggi antara masyarakat desa yang menggantungkan hidupnya dengan pertanian padi sawah yang relatif makmur di beberapa desa sebelahnya dengan masyarakat pesisir yang hidup dalam kemiskinan kronik.

Keluar dari Kemiskinan Kronik: Inisiatif-inisiatif dari Bawah

Pada tahun 1985 setelah berbagai upaya untuk mengubah lahan pasir sebagai lahan pertanian tidak berhasil, seorang petani kemudian menemukan teknik pertanian lahan pasir pantai dengan menggunakan berbagai teknik pengairan: mulai dari sumur renteng (sumur induk yang dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang dihubungkan dengan pipa), hingga penggunaan hidrolik. Setelah bekerjasama dengan para peneliti dari Universitas Gajah Mada, maka ditemukanlah juga tekik penutup

tanah menggunakan jerami dan pelapisan tanah liat untuk membuat tanaman lebih subur. 11 Proses ini kemudian meningkatkan produktivitas pertanian lahan pasir. Dan membuat harapan penduduk sekitar mulai tumbuh. Reintegrasi masyarakat desa terhadap tanah dan lahan pasir dimulai dari titik ini. proses ini kemudian dilanjutkan dengan proses pembagian penguasaan tanah dari masyarakat sendiri: mengatur penguasaan atas tanah. Ini dilakukan pertama-tama dengan memberi akses kepada petani tak bertanah dan para penggembala yang biasanya mengambil manfaat dari lahan tersebut. Pada umumnya luas lahan garapan disebut dengan “kotakan” (satu kotak), dengan luasan antara 2000-3000 M2, sementara yang terluas adalah 7000 m2.

Dengan menggunakan pemetaan yang sederhana, para petani juga melakukan pemetaaan atas tanah dengan membagi status tanah menjadi dua kategori, yaitu, pertama: tanah pemajekan: tanah yang bersertifikat dan wajib pajak, berada di sebelah dalam setelah tanah garapan (sekitar 400-500 m dari bibir pantai) dan dekat dengan perumahan warga. Tanah Pemajekan rata-rata bukan lahan pasir 100%, dan telah bisa ditanami sejak dulu, baik tanaman pangan utama; padi jagung, ubi maupun buah- buahan, meski tidak sesubur sekarang. Kepemilikan tanah pemajekan ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya dan bersertifikat legal; kedua: tanah garapan adalah lahan pasir yang berbatasan langsung dengan bibir pantai yang dulunya berupa bukit (gumuk) pasir yang kering dan tandus. Setelah ditemukan teknologi pertanian lahan pasir kemudian tanah terlantar ini diolah dan digarap digarap petani pesisir menjadi lahan subur dengan tanaman holtikutur: cabe, semangka, melon, palawija, dan sebagian kecil padi. Langkah maju invensi teknologi petani ini kemudian berlanjut dengan ditemukannya teknik penanggulangan hama uret pada cabe keriting melalui penggunaan teknik-teknik sederhana yang tidak menggunakan bahan-bahan kimiawi. Belakangan, petani pelopor invensi pertanian ini juga mulai berupaya untuk mengembangkan dan memuliakan bibit cabe sendiri, sehingga tidak bergantung pada produksi bibit cabe pabrik.

Proses selanjutnya adalah penemuan sistem lelang. 12 Latar belakang munculnya sistem lelang ini dipicu oleh keresahan para petani pesisir yang selalu dirugikan oleh tengkulak dan sering terjadinya konflik antar petani sendiri karena ketidaksamaan harga yang seringkali diterapkan oleh tengkulak. Sistem lelang ini dilakukan dengan cara petani mengumpulkan hasil panen cabe di Kelompok Tani. Para pembeli cabe kemudian diminta untuk memasukkan penawaran harga terteinggi melalui kertas yang dimasukkan dalam kotak tertutup. Harga tertinggi dari pembeli cabe inilah yang menjadi patokan utama untuk harga cabe di daerah tersebut. Sistem lelang ini kemudian direplikasi di berbagai tempat

11 Wawancara Sukarman, petani inisiator dan penemu teknik peladangan lahan pasir, 10 Maret 2009. 12 Wawancara Sudiro, Ketua Kelompok Tani Bangun Karyo, Garongan, 10 Maret 2009.

dan membuat keuntungan petani cabe lahan pasir semakin meningkat. Para petani pesisir ini kemudian berupaya untuk menjadikan penemuan lahan pasir besi ini sebagai pengetahuan sosial kolektif. Mereka menyadari bahwa pengetahuan tersebut harus disebar agar masyarakat pesisi yang selama ini hidup dalam kemiskinan dapat memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran seperti mereka. Karena itu mereka meremajakan tradisi sosial mereka yang berupa “endong-endongan”, awalnya merupakan tradisi berkumpul dan bersilaturahmi, menjadi suatu forum lokal untuk berbagi pengetahuan. Pada gilirannya, organisasi petani memanfaatkan forum tersebut sebagai sarana untuk memutuskan kapan musim tanam dan panen bisa dimulai secara serentak untuk menghindari hama; bagaimana mengatasi ketergantungan terhadap sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida, dan pembasmi hama; pada musim apa jenis tanaman tertentu ditanam dan sebagainya; dan termasuk membicarakan bagaimana pilihan dan strategi yang memungkinkan untuk gerakan perlawanan dan sebagainya.

Tabel 2: Transformasi Sosial Ekonomi Pra dan Pasca Inovasi Pertanian Lahan Pasir

Identitas Budaya dan

Petani pioner dan inovator Martabat

Disebut wong cubung secara

peyoratif karena dianggap

pertanian lahan pasir.

terbelakang, dan kelas terendah. secara kebudayaan termarginalisasi

Sistem penghidupan

Produsen komoditas skala dominan

Pekerja pedesaan; pekerja

migran

kecil dengan tanaman holtikultura.

Posisi sosial

Dianggap terbelakang;

Menjadi pembicara dan

masyarakat “kurang

pemateri di berbagai acara

berpendidikan dan kurang

ilmiah di universitas, LSM,

berkembang”

gerakan sosial dan media massa.

Tanaman utama

Tidak ada, hanya semak-

Cabe, padi, melon,

semak dan sedikit kelapa.

semangka, dll.

Proses inovasi atas lahan pasir ini, sebagaimana diklaim oleh para petani pesisir merupakan pengetahuan sosial kolektif yang didapatkan melalui pengalaman bertani di lahan pasir dan proses reintegrasi mereka pada tanah. Seluruh pengetahuan kolektif ini juga direproduksi dan disebarkan kepada kelompok-kelompok petani lahan pasir di berbagai wilayah. Proses-proses ini, setidaknya, memunculkan perubahan-perubahan pada masyarakat pesisir Kulon Progo. Di antara perubahan tersebut adalah: pertama, terjadi reintegrasi masyarakat dengan tanahnya. Karena lahan pasir dianggap sebagai lahan yang mampu memenuhi keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, maka juga terjadi arus balik ke pedesaan. Seorang informan pemuda, misalnya, menyatakan bahwa ia memilih untuk

pulang ke desa dan menjadi petani setelah ia menghabiskan hidup di kota sebagai buruh. 13 Kedua, semakin meningkatnya kesejahteraan petani. Dari hasil participatory poverty assessment misalnya ditemukan bahwa kesejahteraan petani semakin meningkat diukur dari semakin beragamnya dan

13 Wawancara Widodo, koordinator aksi dan juru bicara PPLP, 10 Maret 2009.

meningkatnya indikator kesejahteraan seperti kepemilikan terhadap bangunan rumah, luasan lahan, jumlah modal bertani dan perhiasan. (Shohibuddin & Savitri [eds], 2009: 87). Pada tahun 2012, pada sebuah acara yang disebut Panen Raya yang berjudul “Merayakan Bu(di)daya Pertanian Kita: Bertani atau Mati”, organisasi petani mengklaim bahwa panenan di setiap desa pesisir berkisar antara 8-9 ton/hari dengan nilai sekitar Rp 15.000/kg, dan menyatakan bahwa mereka memiliki Rp. 130 juta rupiah dalam setiap kali panen.