Pelaksana Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
d. Pelaksana Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pengawasan pada permulaan perkembangannya, di bidang perindustrian sebagian besar ditujukan kepada pabrik-pabrik di mana pertama-tama dirasakan perlunya peraturan dan tindakan mengenai kesehatan kerja. Kemudian secara berangsur-angsur pengawasan diperluas meliputi tempat kerja lain di mana pekerjaan dilakukan seperti
commit to user
produksi barang dengan mesin, meliputi perdagangan dan penyaluran (distribusi), meliputi bangunan dan pertanian (Iman Soepomo, 1988: 141).
Pelaksanaan pengawasan kesehatan dilakukan oleh pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja, ahli keselamatan kerja dan pengawas ketenagakerjaan terpadu (umum dan spesialis). Sedangkan yang berhak melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja adalah dokter yang ditunjuk oleh pimpinan tempat kerja/perusahaan dan yang disetujui oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Sendjun H. Manulang, 1995: 91).
Adapun ruang lingkup tugas-tugas pengawas keselamatan dan kesehatan kerja adalah (Sendjun H. Manulang, 1995: 125) :
1) melaksanakan pembinaan dan pengawsan atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai norma perlindungan tenaga kerja;
2) melaksanakan pembinaan dalam usaha penyempurnaan norma kerja
dan pengawasannya;
3) melaksanakan pembinaan dan pengawsan yang menyangkut perlindungan tenaga kerja wanita, anak dan orang muda;
4) melaksanakan usaha-usaha pembentukan, penerapan dan pengawsan
norma di bidang kecelakaan kerja.
Sedangkan ahli keselamatan kerja memiliki kewajiban yang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2)Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi Dan Koperasi Republik Indonesia Nomor: PER.03/MEN/1978 tentangPersyaratan Penunjukan Dan Wewenang Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan Kerja Dan Ahli Keselamatan Kerja, yaitu:
1) mengadakan pemeriksaan di tempat kerja yang ditentukan dalam suratpengangkatannya dan tempat kerja lain yang diminta oleh direktur;Menelaah dan meneliti segala perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja ditempat kerja yang bersangkutan;
commit to user
yang diwajibkan tersebut diatas menurut garis hierarki Departemen Tenaga Kerja;
3) memberikan petunjuk dan penerangan kepada pengusaha, pengurus dan tenaga kerja atas segala persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja;
4) merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan yang
didapat berhubung dengan jabatannya.
Sedangkan untuk mendukung perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maka dalam suatu tempat kerja perlu dibentuk panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3) adalah suatu wadah bagi unsur pimpinan perusahaan dan unsur tenaga kerja yang berfungsi dan tugasnya berkaitan dengan pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja/perusahaan. Sedangkan manfaat atau kegunaan dari P2K3 adalah (Sendjun H. Manulang, 1995: 93-94) :
1) mengembangkan kerja sama antara unsur-unsur pimpinan perusahaan dan tenaga kerja dalam melaksanakan kewajiban bersana, khususnya dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja serta dalam melancarkan proses produksi pada umumnya;
2) memberikan pengertian dan kesadaran kepada semua tenaga kerja tentang kehendak pimpinan atau pengurus perusahaan dalam melaksanakan pencegahan kecelakaan, kebakaran, peledakan dan penyakit akibat kerja di tempa kerja;
3) mengembangkan pendapat dan sebagai forum pembahasan masalah
di bidang keselamatan dan kesehatan kerja;
4) membantu meringankan beban tanggung jawab semua pihak dalam hal pencegahan kecelakaan termasuk kebakaran, peledakan dan penyakit akibat kerja;
commit to user
tenaga kerja dan pengawasan kerja dalam rangka peningkatan usaha pencegahan kecelakaan kerja.
Untuk membina Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan menampung segala permasalahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dibentuk suatu Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk setiap wilayah dan Nasional yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta (Bennett N.B. Silalahi dan Rumondang B. Silalahi, 1985: 53).
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (DK3) dimaksud untuk memupuk dan meningkatkan kerjasama dan tanggung jawab bersama terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dalam pelaksanaan proses produksi. Fungsi dan tugas Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah (Sendjun H. Manulang, 1995: 94) :
1) menghimpun permasalahan-permasalahan keselamatan dan
kesehatan kerja dari wilayah-wilayah; dan
2) memberikan pertimbangan dan saran kepada Pemerintah mengenai
usaha-usaha keselamatan dan kesehatan kerja.
commit to user
PREMIS MAYOR :
1. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No: PER.03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER.03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri.
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA/BURUH KHUSUSNYA PROGRAMKESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PREMIS MINOR :
1. Perlindungan yang Diberikan oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Pekerja Khususnya Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Kewajiban Pengusaha Dalam Pelaksanaan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Beserta Sanksi
(K3)
KESIMPULAN :
1. Mampu atau tidak peraturan yang melindungi keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di tempat kerja
2. Sudah atau belum adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban pengusaha beserta sanksi
commit to user
Dalam mengkaji dan menganalisis isu hukum yang penulis angkat dalam penelitian ini, penulis menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang merupakan payung hukum dalam dari peraturan- peraturan lain yang menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja disamping Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penulis juga akan menganalisis apakah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi pekerja. Terdapat juga pengaturan lebih lanjut yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selain itu adanya peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi yang mengatur lebih lanjut mengenai standar perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Berdasarkan analisis kesesuaian antara premis mayor (peraturan perundang-undangan) tersebut di atas dan isu hukum (premis minor) yang penulis angkat dalam penulisan hukum ini, penulis dapat memperoleh kesimpulan mampu atau tidakkah peraturan yang melindungi keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di tempat kerja dan untuk lebih meningkatkan perlindungan bagi pekerja dalam keselamatan dan kesehatan kerja maka sudah atau belum adanya harmonisasi Peraturan Perundang- Undangan yang mengatur kewajiban pengusaha dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja beserta sanksi untuk menghindari adanya peraturan yang saling bertentangan sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara peraturan yang ada dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari yang lebih membuat para pekerja mengalami kecelakaan kerja dan terkenanya penyakit akibat kerja.
commit to user