Gambaran Umum Sentra Agroindustri Tapioka di Desa Pogalan Kabupaten Trenggalek

pendidikan akhir pengusaha agroindustri tapioka di Desa Pogalan tidak menentukan besar kecilnya skala usaha agroindustri yang dijalankan. Besar kecilnya skala usaha dari agroindustri di Desa Pogalan lebih dipengaruhi oleh tingkat modal yang dimiliki. Hal tersebut dilihat dari hasil wawancara terhadap pengusaha agroindustri tapioka di Desa Pogalan yang menunjukkan bahwa pemilik agroindustri tapioka terbesar di sentra industri tapioka di Desa Pogalan merupakan tamatan sekolah rakyat SRSD, yang dapat dinyatakan bahwa tidak diperlukan tingkat pendidikan atau keahlian khusus dalam menjalankan agroindustri tapioka.

4.3 Gambaran Umum Sentra Agroindustri Tapioka di Desa Pogalan Kabupaten Trenggalek

Desa Pogalan Kecamatan Pogalan Kabupaten Trenggalek merupakan sentra agroindustri tapioka berdasarkan Data Sentra Industri Kecil Menengah IKM Dinas Koperasi Industri Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Trenggalek tahun 2013. Terdapat 5 kecamatan dengan 9 desa yang terdapat agroindustri tepung tapioka di wilayahnya antara lain Desa Depok-Kecamatan Bendungan, Desa Jatiprahu-Kecamatan Karangan, Desa Pogalan-Kecamatan Pogalan, dari Kecamatan Trenggalek terdapat 3 Desa yaitu Desa Dawuhan, Desa Ngares, dan Desa Sumberdadi, dari Kecamatan Tugu terdapat 3 desa yaitu Desa Jambu, Desa Nglinggis, dan Desa Prambon. Beberapa wilayah tersebut dapat dilihat melalui peta wilayah Kabupaten Trenggalek Lampiran E. Terdapat 32 IKM di Desa Pogalan yang mengolah ubi kayu menjadi tapioka sepanjang tahun tepatnya berada pada Dusun Oro-oro Ombo. Terdapat pola agroindustri berbeda yaitu di Dusun Krajan yang mengolah ubi kayu menjadi tapioka hanya pada saat musim panen ubi kayu saya yaitu pada bulan Juli-September. Komoditas ubi kayu merupakan komoditas pangan yang sangat familiar dikalangan masyarakat Kabupaten Trenggalek karena komoditas ini sering dimanfaatkan masyarakat menjadi komoditas pangan kedua setelah beras. Kondisi geografis Kabupaten Trenggalek yang di beberapa wilayahnya berupa pegunungan mengakibatkan tidak seluruh lahannya bisa ditanami seluruh jenis tanaman pangan. Lahan wilayah pegunungan cocok ditanami tanaman ubi kayu karena tanaman ini tidak membutuhkan terlalu banyak perawatan dan juga ubi kayu jenis pandemir atau ubi kayu yang umbinya terasa pahit lebih mudah dibudidayakan karena jarang mendapat serangan hama babi hutan. Disisi lain ubi kayu jenis ini memiliki ukuran umbi yang besar dan memiliki kandungan pati yang banyak dibandingkan dengan jenis ubi kayu yang memiliki rasa yang tidak pahit. Jenis ubi kayu inilah yang digunakan agroindustri tapioka di Desa Pogalan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tapioka. Agroindustri tapioka di Desa Pogalan merupakan usaha turun-temurun yang memanfaatkan produksi ubi kayu yang melimpah disetiap musim panen ubi kayu yaitu sekitar bulan Juli sampai September. Awal kemunculan agroindustri ini pada kisaran akhir tahun 1976 hanya memproduksi tapioka dari bahan ubi kayu lokal. Seiring dengan peningkatan produksi dan semakin banyak munculnya agroindustri tapioka, para pelaku usaha mulai mencari bahan baku ubi kayu dari luar wilayah Kecamatan Pogalan, seperti Kecamatan Dongko dan Kecamatan Bendungan yang banyak petaninya menanam ubi kayu, namun tidak diolah lebih lanjut. Produksi yang semakin meningkat ini diakibatkan dari adanya peningkatan permintaan dari industri makanan lokal wilayah trenggalek yang memanfaatkan tapioka menjadi camilan khas Kabupaten Trenggalek yaitu alen-alen. Peningkatan permintaan juga terjadi dari luar wilayah Kabupaten Trenggalek seperti Kabupaten Ponorogo, Solo, Kediri, Jombang, Jember dan lain sebagainya yang membutuhkan pasokan tapioka sebagai bahan baku industri untuk diolah menjadi berbagai bahan makanan seperti kerupuk, mie, dan saos. Tepung tapioka juga diolah menjadi produk non makanan seperti lem dan lain-lain. Awal pembuatan tapioka di Desa Pogalan masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana yaitu memanfaatkan kaleng bekas makanan yang dilubangi sebagai alat pemarut ubi kayu, lalu diperas dan diendapkan dalam bak-bak plastik karena skala produksi sangat kecil hanya kisaran 50 kg ubi kayu perhari. Skala produksi terus berkembang hingga beberapa pengusaha memodifikasi sepeda menjadi alat bantu pemarutan untuk memudahkan proses pembuatan tapioka. Pada akhir tahun 1980an pengusaha agroindustri mulai memodifikasi mesin diesel menjadi motor penggerak alat pemarut ubi kayu sehingga skala produksi tapioka berkembang hingga mampu memproduksi lebih dari 5 ton per hari. Diesel yang digunakan oleh pengusaha agroindustri tapioka di Desa Pogalan merupakan serangkaian satuan mesin dari parutan, penyaring parutan ubi kayu dan mesin penyedot air dari dalam tanah. Mesin ini digunakan oleh pengusaha agroindustri hingga saat ini. Teknik produksi yang digunakan oleh agroindustri tepung tapioka di Desa Pogalan termasuk dalam teknik produksi tradisional karena penggunaan mesin pada proses pembuatan tepung tapioka hanya terbatas pada tahap pemarutan, penyaringan, dan proses penghalusan tepung tapioka. Tahap penjemuran masih dilakukan secara tradisional karena masih bergantung pada sinar matahari. Universitas Brawijaya memberikan bantuan berupa oven untuk proses pengeringan tepung tapioka. Namun oven tersebut tidak digunakan karena daya tampung untuk pengeringan tepung tapioka kurang. Oven tersebut hanya dapat mengeringkan 2 Kw tepung tapioka dalam waktu 1 hari. Padahal setiap pengusaha agroindustri tepung tapioka harus mengeringkan 12,5-15 Kw tepung tapioka dalam waktu 1 hari. Pengusaha agroindustri kembali menggunakan cara tradisional untuk menjemur tepung tapioka. Tidak ada peran dari Dinas Koperasi Industri Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Trenggalek dalam membantu pengusaha agroindustri tapioka terkait teknik produksi. Bantuan yang diberikan hanya dalam hal pengolahan limbah dari proses produksi ubi kayu. Limbah dari parutan ubi kayu terdiri dari dua bentuk yaitu limbah padat berupa ampas umbi ubi kayu dan limbah cair berupa air parutan ubi kayu. Limbah padat mengandung lebih dari 60 serat dan juga sebagian kecil asam sianida sedangkan limbah cair mengandung air dan asam sianida HCN. Kedua limbah ini dapat menimbulkan bau busuk apabila tidak ditangani dengan baik. Limbah padat dari proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka masih bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak dan juga bahan baku tambahan dibeberapa industri makanan seperti industri saos. Limbah cair oleh pengusaha agroindustri sama sekali tidak dimanfaatkan. Disisi lain jumlah limbah cair yang sangat banyak sedangkan tempat pembuangan limbah yang terbatas membuat terjadinya polusi udara dan air yang mengakibatkan udara dan air tanah di dekat lokasi agroindustri berbau kurang sedap. Pemerintah telah memberikan bantuan berupa bak penampung limbah yang dapat diolah menjadi air jernih, namun bak tersebut tidak berfungsi karena daya tampung yang kurang. Bantuan bak penampungan limbah yang dulu pernah diberikan oleh Universitas Brawijaya yang bisa mengubah limbah cair menjadi tempat untuk membudidayakan ikan, tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha. Tahun 2009, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia juga telah memberikan bantuan berupa satu unit IPAL Komunal, namun juga tidak berfungsi dengan baik karena kurangnya daya tampung limbah cair. Selama ini pemerintah setempat telah beberapa kali melakukan pelatihan terkait cara pembuangan dan pemanfaatan limbah. Namun, karena kurangnya kesadaran para pelaku usaha dan kebutuhan untuk memenuhi permintaan industri, membuat pengusaha agroindustri tapioka membuang limbah ditempat-tempat yang tidak semestinya seperti lahan kosong maupun bak penampungan pribadi yang apabila volume produksi tapioka meningkat mengakibatkan limbah cair meluber dan mencemari air tanah disekitar lokasi agroindustri. Pihak pemerintah desa juga berupaya untuk mencari penyelesaian dari masalah limbah yang dihasilkan dari agroindustri tepung tapioka. Beberapa bantuan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat selama ini tidak berfungsi dengan baik karena memang sulitnya melakukan koordinasi dengan pihak pemilik agroindustri yang jumlahnya cukup banyak di Desa Pogalan, sehingga bantuan yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan oleh agroindustri tepung tapioka. 132

BAB 6. PENUTUP