Identifikasi Organisme Perusak Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan Laut Belawan

(1)

IDENTIFIKASI ORGANISME PERUSAK TIANG LABUH

(FENDER) DI PELABUHAN LAUT BELAWAN

SKRIPSI

OLEH

SUCI DANIATI

021203034/TEKNOLOGI HASIL HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007


(2)

Halaman Pengesahan

Judul Penelitian : Identifikasi Organisme Perusak Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan Laut Belawan

Nama : Suci Daniati

NIM : 021203034

Jurusan : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Yarham Harid, ST., M.M. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si

NIP. 169 112 121 NIP. 132 259 571

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. NIP. 132 287 853


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi penulis yang berjudul IDENTIFIKASI ORGANISME PERUSAK TIANG LABUH (FENDER) DI PELABUHAN LAUT BELAWAN ini berhasil diselesaikan.

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan juni 2007 – oktober 2007 di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak, diantaranya:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta seluruh keluarga besar atas segala doanya dan motivasinya.

2. Yarham Harid ST. M.M. dan Iwan Risnasari S. Hut., M.Si. selaku pembimbing skripsi.

3. Seluruh karyawan PELINDO I Cabang Belawan dan buruh-buruh pelabuhan atas bantuannya.

4. Kepada Bu Ifit, Pak Kiki, dan asisten-asisten laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sumatera Utara.

5. Kepada teman-teman Dede Ja’far Siddiq, Fitrah Parlindungan, Ira Suryani, Yopi Caltina, Reza, Yeni, Silvi, Umar, Doli, Diki 01, Pandapotan, Stenly, senior-senior yang lain yang tidak disebutkan namanya.


(4)

Namun penulis menyadari atas kurang sempurnanya laporan ini, oleh karena itu penulis dengan ikhlas dan terbuka menerima kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini selanjutnya.


(5)

ABSTRAK

The destination of research was known spesies of organismes which demaged Shorea sumatrana wood. Organismes were found as wood destroyed which there were two part as fungi and marine borer. Spesies of fungi were

Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium sp, Penicellium sp, and

Trichoderma viride, and spesies of marine borer were Glycera sp and Limnoria sp. Wood decay were according to biology under influence of combination between fungi and marine borer. Aspergillus and Penicellium sp were most domination in wood samples.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Utama Kayu ... 3

B. Ciri Umum Kayu Damar Laut... 5

C. Sifat dan Kegunaan Kayu Damar Laut ... 5

D. Sifat Keawetan Kayu ... 6

E. Energi dan Gaya Bentur ... 9

F. Organisme Perusak ... 11

a. Jamur ... 11

b. Binatang Laut ... 16

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 23


(7)

C. Metode Pengambilan Jamur ... 23

D. Metode Penumbuhan Spora Jamur ... 24

E. Metode Isolasi Jamur ... 25

F. Metode Pengamatan Jenis Jamur ... 26

G. Metode Pengambilan Binatang laut... 27

H. Analisa Data ... 28

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aspergillus niger ... 29

B. Aspergillus flavus ... 31

C. Trichoderma viride ... 33

D. Penicillium sp ... 35

E. Fusarium sp ... 36

F. Glycera sp ... 38

G. Limnoria sp ... 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

1. Tiang Labuh (Fender) ... 9

2. Tiang Labuh dengan Sepatu ... 9

3. Fender Pelindung ... 11

4. Petak Contoh Pengambilan Jamur ... 24

5. Petak Contoh Pengambilan Binatang Laut ... 27

6. Aspergillus niger ... 31

7. Aspergillus flavus ... 32

8. Trichoderma viride ... 33

9. Penicillium sp ... 36

10. Fusarium sp ... 37

11. Glycera sp ... 38


(9)

DAFTAR TABEL

1. Kelas Keawetan Kayu ... 6 2. Kelas Kekuatan ... 7


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pemasangan Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan Laut Belawan

... 46

2. Labuh (Fender) Dilihat dari Samping ... 46

3. Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan Laut Belawan ... 47

4. Pelaksanaan Penelitian di Laboratourium Mikrobiologi MIPA (Matematika Ilmu Pengetahuan Alam) ... 47

5. Sampel Kayu ... 48

6. Hot Plate ... 48

7. Oven ... 48

8. Inkubator ... 49


(11)

ABSTRAK

The destination of research was known spesies of organismes which demaged Shorea sumatrana wood. Organismes were found as wood destroyed which there were two part as fungi and marine borer. Spesies of fungi were

Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium sp, Penicellium sp, and

Trichoderma viride, and spesies of marine borer were Glycera sp and Limnoria sp. Wood decay were according to biology under influence of combination between fungi and marine borer. Aspergillus and Penicellium sp were most domination in wood samples.


(12)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kayu sebagai hasil hutan sekaligus sumber kekayaan alam merupakan bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai dengan kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat yang istimewa, karena tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lain. Misalnya kayu mempunyai sifat elastis, ulet, mempunyai ketahanan terhadap pembebanan yang tegak lurus dengan seratnya atau sejajar seratnya dan masih ada sifat-sifat lain lagi. Sifat-sifat seperti ini tidak dipunyai oleh bahan-bahan lain seperti baja, beton, atau bahan-bahan lain yang bisa dibuat oleh manusia (Felix, 1984).

Mengenal suatu bahan kayu untuk tujuan penggunaan merupakan hal yang penting, baik bagi usahawan yang bergerak dalam bidang industri kayu maupun bagi para pemakai kayu lainnya. Setiap macam penggunaan kayu membutuhkan beberapa faktor persyaratan tertentu, yaitu dengan melihat dari kelas awet dan kelas kuat kayu itu sendiri.

Dalam perencanaan bangunan selalu mempertimbangkan dua aspek penting yang berhubungan dengan masa pakai yaitu kekuatan dan keawetan. Berkaitan dengan aspek kekuatan, pada umumnya struktur bangunan direncanakan berdasarkan beban yang kemungkinan terjadi dan kekuatan bahan struktur yang digunakan. Aspek keawetan dikaitkan dengan faktor-faktor lingkungan termasuk cuaca dan organisme perusak yang dapat menyebabkan terdegradasinya bahan bangunan dengan kemampuan bahan untuk menahan serangan dari faktor-faktor tersebut. Aspek kekuatan telah banyak mendapat


(13)

perhatian melalui berbagai penelitian bahan, struktur dan kontruksi bangunan (Nurul, 2005).

Untuk dapat merencanakan masa pakai suatu kontruksi, sesuai dengan yang diinginkan diperlukan suatu gambaran tentang tingkat bahaya serangan organisme di suatu daerah karena berdasarkan data yang ada kerusakan terbesar pada kontruksi bangunan adalah akibat serangan organisme perusak. Organisme perusak bangunan dilaporkan telah menyebabkan kerugian yang mencapai ratusan milyar setiap tahunnya. Keadaan ini diperparah dengan adanya kenyataan bahwa kayu-kayu yang digunakan pada bangunan secara umum semakin rendah kekuatan dan keawetannya (Nurul, 2005). Terkait dengan penggunaan kayu untuk kontruksi di pelabuhan maka organisme perusak yang berperan adalah jamur dan binatang laut.

Adapun alasan melakukan penelitian di Pelabuhan Belawan karena di pelabuhan tersebut terdapat tiang labuh (fender) yang terbuat dari kayu sebagai pelindung dermaga dari kerusakan kapal serta adapun yang mempengaruhi kerusakan tiang labuh tersebut secara biologis adalah jamur dan marine borer.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui jenis-jenis organisme yang merusak kayu Damar laut sebagai tiang labuh (fender).

.

Manfaat Penelitian


(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu yang berasal dari berbagai jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-beda. Bahkan yang berasal dari satu pohon pun dapat memiliki sifat-sifat berbeda jika dibandingkan bagian ujung dengan pangkalnya. Perlu sifat-sifat kayu diketahui terlebih dahulu, dan disesuaikan sebelum kayu dipergunakan sebagai bahan bangunan, industri, maupun untuk pembuatan perabot rumah tangga (Haygreen and Bowyer, 1996).

Sifat Utama

Kayu sampai saat ini masih banyak dicari dan dibutuhkan orang. Diperkirakan pada abad-abad yang akan datang kayu masih tetap selalu digunakan manusia. Dari segi manfaatnya bagi kehidupan manusia, kayu dinilai mempunyai sifat-sifat utama, yaitu sifat-sifat yang menyebabkan kayu tetap selalu dibutuhkan manusia.

Sifat-sifat utama tersebut antara lain:

• Kayu merupakan sumber kekayaan alam yang tidak akan habis, apabila dikelola/diusahakan dengan cara-cara yang baik. Artinya apabila pohon-pohon ditebang (di hutan) untuk diambil kayunya, segera tanah hutan harus ditanami kembali, supaya sumber kayu tidak habis. Kayu dikatakan juga sebagai renewebleresources (sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui/diadakan lagi).


(15)

• Kayu merupakan bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang lain. Dengan kemajuan teknologi, kayu sebagai bahan mentah sudah diproses menjadi barang lain. Barang-barang seperti tekstil yang terbuat dari kayu.

• Kayu mempunyai sifat-sifat spesifik yang tidak bisa ditiru oleh bahan-bahan lain. Misal kayu mempunyai sifat elastis, ulet, mempunyai ketahanan terhadap pembebanan yang tegak lurus dengan seratnya atau sejajar seratnya dan masih ada sifat-sifat lain lagi. Sifat-sifat seperti ini tidak dipunyai oleh bahan-bahan baja, beton, atau bahan-bahan lain yang bisa dibuat manusia (Frick, 1990).

Kekuatan kayu ialah kemampuan kayu menahan muatan dari luar berupa gaya-gaya dari luar benda yang mempunyai kecenderungan untuk mengubah bentuk dan dimensi. Kekuatan kayu memegang peranan penting dalam penggunaannya sebagai bahan bangunan, perkakas, dan penggunaan-penggunaan lainnya (Damanauw, 1999).

Penggunaan bahan baku kayu untuk kontruksi mempunyai keuntungan-keuntungan pada umumnya antara lain:

• Bahan ringan,

• Bahan murah terutama di daerah-daerah hutan,

• Bahan mudah dikerjakan sehingga biaya pembangunan juga rendah,

• Pelaksanaan cepat dan dapat dikerjakan oleh tenaga yang terdapat dimana saja (Frick, 1986).


(16)

Ciri Umum Kayu Damar Laut

Warna bagian teras umumnya berwarna kuning kecoklatan bila segar, lambat laun berubah menjadi coklat kekuning-kuningan sampai coklat tua, kayu damar laut memiliki batasnya tegas dengan gubal yang berwarna lebih muda. Corak: polos atau berjalur-jalur warna agak gelap dan terang bergantian pada bidang radialnya. Tekstur berkisar dari halus sampai kasar, umumnya agak halus. Arah serat: lurus sampai terpilin atau berpadu, kilap: agak mengkilap sampai mengkilap. Kesan raba pada bidang tangensial licin, pada bidang radial antara licin, dan kesat bergantian, disebabkan oleh arah serat yang berpadu. Kekerasan: keras sampai sangat keras.

Sifat dan Kegunaan Kayu Damar Laut

Berat jenis kayu dmaar laut 0.88-1.13, kelas awet I-II, kelas kuat I-II. Adapun kegunaannya sebagai bahan kontruksi berat sampai jembatan, dermaga, tiang telepon dan telegram, bangunan kapal dan pertambangan, juga untuk berbagai keperluan di dalam rumah seperti ambang, penyangga lantai, balok, tiang, rangka pintu, dan jendela; disamping itu digunakan juga untuk pengikat kapal-kapal berlabuh (Pandit dan Ramdan, 2000).

Sifat Keawetan Kayu

Secara alami, kayu sudah mempunyai keawetan sendiri-sendiri, yang berbeda untuk tiap-tiap jenis kayu. Yang dimaksud dengan keawetan disini ialah lamanya kayu dapat dipakai (umur pemakaian kayu). Berdasarkan keawetannya jenis kayu digolongkan ke dalam kelas-kelas awet. Dalam dunia internasional dipergunakan 3 tingkat awet, yaitu: I durable, II semi durable, dan III general


(17)

utility. Kelas awet kayu di Indonesia diadakan lima kelas, yaitu: Sangat baik, II baik, III cukup, IV kurang, dan V jelek.

Adapun yang menentukan tingkat keawetan kayu ialah daya tahan kayu terhadap pengaruh organisme perusak oleh rayap-rayap, serangga, dan binatang-binatang kecil lainnya, dan pengaruh alami seperti panas matahari, air, dan sebagainya.

Keawetan Kayu

Tabel 1. Keawetan Alam (Wiryomartono, 1976)

Keadaan Penempatan Jangka Waktu Pemakaian Berdasarkan Kelas Awet (Tahun)

I II III IV V

Selalu berhubungan dengan tanah lembab

8 tahun 5 tahun 3 tahun sangat pendek

sangat pendek Hanya dipengaruhi cuaca,

tetapi dijaga supaya tidak terendam air dan tidak kekurangan udara

20 tahun 15 tahun 10 tahun beberapa tahun sangat pendek

Dibawah atap tidak

berhubungan dengan tanah lembab dan tidak

kekurangan udara tidak terbatas tidak terbatas sangat lama beberapa tahun pendek

Seperti diatas tetapi

dipelihara dengan baik dan dicat dengan teratur

tidak terbatas tidak terbatas tidak terbatas

20 tahun 20 tahun

Serangan rayap tanah tidak jarang cepat sangat cepat

sangat cepat Serangan bubuk kayu

kering

tidak tidak hampir tidak

tidak berarti

sangat cepat


(18)

Kekuatan Kayu

Tabel 2. Kekuatan Kayu (Wiryomartono, 1976)

Keawetan tergantung pada penempatan kayu. Kayu yang dilindungi terhadap hujan dan sinar matahari tidak akan cepat rusak tetapi kalau ditempatkan di ruangan terbuka, dibiarkan terkena panas dan hujan, maka kayu akan cepat rusak. Dalam hal ini dapat diusahakan cara-cara lain untuk meningkatkan keawetan kayu, misalnya melaburnya dengan karbolium, minyak, kerosot, dan dengan pengawet lainnya.

Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan perusak kayu dapat terjadi oleh berbagai faktor baik biologis, fisik, mekanis maupun kimia. Kenyataan menunjukkan bahwa dari keempat faktor tersebut, ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan terhadap kayu adalah faktor biologis. Faktor-faktor biologis perusak kayu yang terpenting adalah jamur, bakteri, serangga, dan binatang laut. Organisme tersebut merusak kayu karena mereka menjadikan kayu sebagai tempat tinggal atau makanannya. Kerugian yang terjadi akibat kerusakan kayu oleh faktor biologis tiap tahunnya mencapai milyaran rupiah. Kerusakan tersebut terjadi baik pada pohon yang masih berdiri, balok segar, kayu gergajian, mapun produk-produk kayu lain baik dalam penyimpanan dan pemakaian. Oleh

Kelas kuat Berat jenis Keteguhan lentur mutlak (kg/cm2)

Keteguhan tekan mutlak (kg/cm2)

I lebih dari 0,90 lebih dari 1100 lebih dari 650

II 0,60 - 0,90 725 - 1100 435 - 650

III 0,40 - 0,60 500 - 725 300 - 425

IV 0,30 - 0,40 360 - 500 215 - 300


(19)

karena itu upaya pengendalian terhadap jasad hidup perusak kayu tersebut telah sejak lama dilakukan baik secara fisik, mekanik, kimia, maupun secara hayati.

Kayu Sebagai Tiang Labuh (Fender)

Dalam bentuk yang sederhana, kontruksi terdiri dari sederet tiang-tiang yang sama jaraknya dan tertanam sebagian di dalam tanah. Pada kayu yang tidak terlalu tinggi, tiang-tiang itu ditanam tegak lurus. Jaraknya kira-kira 1 atau 1,5 meter. Untuk pemakaian tetap (dipakai selama bertahun-tahun), dipakai tiang-tiang dari kayu jati atau dari kayu besi. Untuk penggunaan sementara dapat dipergunakan kayu kelas awet rendah dan kelas kuat rendah atau batang kelapa. Tiang-tiang kayu bundar dipergunakan untuk dermaga yang kecil, dan untuk demaga yang besar dipakai tiang-tiang kayu berbentuk segi empat (Honing, 2003).

Bila ditanam dalam tanah berpasir, pada ujung bawahnya dibuat satu titik tumpul yang panjang 1½ - 2 kali tebalnya dari tiang-tiang itu, dan sebuah muka

tombak sebesar 16 hingga 25 cm2 (lihat gambar 1a). Pada tanah lunak, tiang itu dapat dipotong biasa. Jika disangga dan di dalam tanah akan terkikis, maka pada ujung-ujung tiang itu dapat dipasang sepatu tiang dari baja (lihat gambar 1b).


(20)

Gambar 1. a) Tiang Labuh b) Tiang Labuh dengan Sepatu

Adapula baiknya terlebih dahulu tiang-tiang labuh dilakukan pengawetan dengan cara melabur karbolium sebelum ditancapkan ke dalam air. Tiang pelabuhan harus dilengkapi dengan alat-alat supaya kapal atau perahu dapat ditambatkan (berlabuh) ke dermaga. Adapun ukuran tiang labuh ini ± 4 m

dijangkar pada tembok. Tiang-tiang labuh ini dapat dipasang secara mendatar maupun tegak lurus. Untuk mencegah terjadinya pergesekan antara kapal dan tembok pada waktu berlabuh. Adapun lebar tiang labuh tergantung pada tinggi, berat jenisnya, bahan yang akan dipakai, dan dari bentuknya (Honing, 2003).

Energi dan Gaya Bentur

Pada saat kapal akan berlabuh pada dermaga, maka baik kapal maupun dermaga perlu dilindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat benturan. Akibat benturan ini sebagian energinya diserap oleh tiang labuh (fender) dan sisanya ditahan kontruksi. Sistem tiang labuh (fender) ini dibagi atas tiga bagian, yaitu : fender pelindung (protective), fender gantung, dan fender bentur (impact fender).

Fender berguna untuk menyerap sebagian tenaga (energi) sebagai akibat benturan kapal pada dermaga. Sebagian tenaga ini harus diserap oleh sistem

4 – 5 cm

1½ - 2d cm d

4 – 5 cm

1½ - 2d cm d


(21)

fender, sedang sisanya dipikul oleh kontruksi dermaga, sehingga kapal, dermaga bebas dari kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi.

Sistem Tiang Labuh (Fender) Prinsip dasar kontruksi meliputi: a. Fender Pelindung Kayu (Protective)

Fender jenis ini semakin kurang penggunaannya, dikarenakan makin langkanya mendapatkan kayu panjang. Di bawah ini diberikan beberapa contoh sistem pelindung kayu (Gambar 2.)

b. Fender Gantung

Bentuk fender ini dari yang sederhana sampai yang lebih sulit dalam pelaksanaannya. Biasanya digunakan untuk kontruksi dermaga untuk menampung kapal-kapal jenis kecil. Dikenal beberapa jenis, yaitu :

1. Rantai dilindungi karet

2. Berbobot (suspendel gravity fender) c. Fender Benturan (impact fender)

1. Fender bentur (impact fender) 2. Fender per baja (steel springs) 3. Fender karet (rubber fender)


(22)

Gambar 2. Fender Pelindung (Kramadibrata,1985) MHWS (Mean High Water Spring) = Air tinggi MLWS (Mean Low Water Spring) = Air terendah Organisme Perusak

Kayu yang digunakan pada bangunan, lama-kelamaan akan rusak, apalagi bila digunakan di luar dan bahkan berhubungan langsung dengan tanah lembab. Faktor perusak digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor non biologis antara lain faktor mekanis, udara, cahaya, angin, air, suhu, alkali, asam, garam, dan bahan kimia lainnya. Faktor perusak biologis (organisme perusak) sangat beragam, antara lain:

a) Jamur

Jamur termasuk salah satu jasad renik perusak kayu. Jamur adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau (chlorophyll). Detiorasi

tiang pancang

tiang fender (kayu) kapal

MLWS MHWS


(23)

oleh jamur dimulai ketika spora jamur menempel pada permukaan kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang sudah terkena infeksi. Sel-selnya berbentuk benang halus yang disebut misellium, sering kali tebalnya lebih kecil dari 2 micron sehingga tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Adapun faktor-faktor biologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur, diantaranya :

a. Temperatur

Jamur perusak dapat berkembang pada kisaran suhu yang cukup besar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periode-periode yang lebih panas (dan lebih lembab) dalam setiap tahun. Suhu optimum berbeda-beda untuk setiap spesies, tetapi pada umumnya terletak antara 22 °C sampai dengan 35 °C. Suhu maksimumnya berkisar antara 27 °C sampai dengan 39 °C, dengan suhu minimum kurang dari 5 °C.

b. Oksigen (O2)

Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum, oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen tidak ada jamur yang dapat hidup.

c. Konsentrasi Hidrogen (pH)

Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari tujuh (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimal akan dicapai pada pH 4.5 sampai 5.5.


(24)

d. Kelembaban

Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, akan tetapi hampir semua jenis jamur dapat hidup pada subtrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Hal ini terutama berlaku pada jamur yang tumbuh pada kayu di tanah. Kayu dengan kadar air kurang dari 20 % umumnya tidak diserang jamur perusak, sebaliknya kayu berkadar air 50 % sangat disukai jamur.

e. Bahan Makanan

Jamur memerlukan bahan makanan dari zat yang terkandung di dalam kayu seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat isi sel lainnya (Hunt and Garrat, 1967), menyebutkan bahwa selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang menyusun bahan baku terdapat sebagai molekul yang besar dan tidak larut dalam air untuk disimilasi langsung oleh cendawan.

Klasifikasi Jamur

a. Jamur Pelapuk Kayu (Brown Rot)

Jamur ini berasal dari kelas Basidiomycetes, mempunyai kemampuan untuk merombak selulosa dan lignin .yang menjadi komponen utama dinding sel kayu, sehingga kekuatan kayu menjadi berkurang. Beberapa jenis jamur hanya merombak selulosa, sehingga warna kayu berubah coklat dan disebut brown rot. Jenis lainnya merombak selulosa dan lignin, sehingga warna kayu menjadi putih pucat dan disebut white rot. Sifat mekanis kayu seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur, keteguhan tekan, kekerasan dan elastisitas akan berkurang bila terserang jamur pelapuk kayu. Pada umumnya jamur brown rot lebih cepat menurunkan kekuatan kayu daripada white rot. Jamur ini terdapat dimana-mana,


(25)

banyak menyerang kayu bangunan dan representatif bagi Indonesia antara lain

Schizophylum commune (Fr), Pycnoporus sanguineus (Fr). Karst dan

Dacryopinax spatularia (Schw) Mart (Nurul, 2005).

Hypa brown rot tumbuh terutama di lamina sel kayu dan di tahap awal dari hypa tunggal masuk hampir ke seluruh sel (Wilcocx, 1973). Selama tahap-tahap selanjutnya dari pembusuk, hypa lumen tidak dimungkin sangat banyak karena penyebaran terbatas. Jamur brown rot menyerang permukaan longitudinal dari kayu melalui jalur dan hypa kemudian memasuki sistem sel axial (trakeid dan fiber). Sobekan lubang dengan mudah dirusak tetapi hypa bisa mampu masuk dengan cara pelubangan-pelubangan. Pelubangan dibentuk langsung dengan mengirim cairan melalui dinding sel kayu oleh hypa jamur. Lubang-lubang ini dapat meluas sesuai pertumbuhan jamur tetapi pada serangan berat, kerusakan dinding sel dikaitkan dengan perbanyakan hypa dalam lamina dan permukaan lamina (Eaton and Hale, 1984).

b. Jamur Pewarna Kayu (White Rot)

Jamur pewarna kayu berasal dari kelas Basidiomycetes dan dapat menimbulkan pewarna pada kayu yang masih basah. Jamur ini tidak merombak dinding sel dan hidup dari zat pengisi sel, sehingga tidak menurunkan kekuatan kayu. Namun dapat merugikan karena pewarnaan pada kayu menyebabkan penurunan kualitas kayu. Jamur pewarna kayu yang terdapat di daerah tropis antara lain jenis jamur yang termasuk jenis Cerotocystis dan Diplodia (Nurul, 2005).


(26)

dapat terlihat sedikit karena beberapa penyebaran hypa terbatas tetapi umumnya didapatkan bahwa hypa pada lumen sangat banyak dan pembusuk kayu pada jenis jamur white rot daripada jamur brown rot. Awal penyerangan pada kayu keras terjadi melalui jalur parenkim dan pembuluh sedangkan pada kayu lunak terjadi melalui jalur parenkim dan saluran getah. Jalur parenkim dapat disebarkan pembusuk tetapi pembuluh di beberapa kayu keras dapat sedikit diserang sama pada tahap-tahap akhir pembusuk (Blanchette et al., 1988).

c. Jamur Pelunak Kayu (Soft Rot)

Golongan jamur ini berasal dari kelas Ascomycetes dan terutama menyerang kayu yang berhubungan dengan tanah atau air. Jamur pelunak kayu hanya menyerang lapisan tengahnya saja (middle lamela). Salah satu jenis yang terkenal dan terdapat dimana-mana adalah Chaetomium globosum Kunze (Nurul, 2005).

Jamur soft rot sering dikaitkan dengan mold dan blue stain. Daripada white rot dan brown rot, soft rot sering dihubungkan dalam keadaan sangat lembab. Hal ini dipengaruhi pada kebusukan dari tiang-tiang di dalam tanah yang sangat lembab (dimana kerusakan ditandai secara perlahan-lahan), tetapi tidak dipengaruhi pada kerusakan bangunan di atas tanah (Carll and Highley, 1999).

Mold kurang berpengaruh pada kerusakan kayu jika dibandingkan dengan jamur blue stain dan jamur dari kelas Basidiomycetes yang merupakan rangkaian serangan tinggi. Blue stain menyerang dengan sangat cepat pada proses pengerjaan kayu di awal, pengerjaan kayu hingga akhir yang rata dengan kelembaban karena proses pengeringan dan pengerjaan di lakukan di ruangan terbuka (Eaton and Hale, 1984).


(27)

b) Binatang laut

Jenis-jenis binatang yang biasa menyebabkan kerusakan pada kayu di dalam lingkungan air laut pada umumnya disebut marine borer atau binatang laut. Binatang laut ini hidup tersebar hampir di seluruh bagian dunia, tetapi kerusakan yang besar terutama di daerah-daerah berair hangat (Tambunan dan Nandika, 1989). Nicholas (1987) menyatakan kerugian akibat serangan-serangannya cukup besar. Sebagai contoh, di daerah pantai Amerika setiap tahunnya menderita kerugian yang ditaksir $ 50 juta setiap tahunnya akibat serangan jasad hidup ini terhadap kontruksi-kontruski kayu di pantai. Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan di daerah perairan tropis seperti Indonesia dimana terdapat banyak spesies binatang laut, kerugian yang ditimbulkannya belum dapat diantisipasi secara pasti. Binatang laut ini hidup dari kayu dicernanya dengan bantuan enzim selulosa dan dari plankton yang banyak terdapat dalam air laut (Hunt dan Garrat, 1986). Nicholas (1987) menyatakan setelah mengalami perkembangan yang singkat, mereka dapat meletakkan diri pada kayu dan mulai menggerek. Sekali binatang ini menggerek kayu dan masuk ke dalamnya, maka kayu tidak pernah ditinggalkannya. Kecepatan dan besarnya kerusakan oleh binatang ini sangat tergantung pada jumlah dan jenis spesies penggerek, intensitas penggerek, banyaknya bahan makanan yang tersedia, kondisi suhu, kadar air garam dan faktor-faktor lain yang mendukung. Cacing-cacing penggerek biasanya masuk ke dalam kayu dengan arah tegak lurus arah serat, kemudian membentuk saluran dalam arah longitudinal, selanjutnya dengan arah tidak beraturan. Akibatnya dari pelubang kayu berupa sarang, maka kekuatan struktural kayu menjadi sangat


(28)

Kayu yang digunakan di tempat yang berhubungan dengan air laut banyak dirusak oleh binatang laut yang pada umumnya termasuk ke dalam kelas mollusca dan crustacea. Dari kedua kelas tersebut yang terpenting diantaranya berasal dari genus Teredo, Bankia, Martesia, Spaeroma, dan Chelura (Nurul, 2005).

Walaupun tidak ada serangga, beberapa organisme laut diantaranya teredo dan cacing kapal, yang paling dikenal, bertanggung jawab atas kehilangan berat kayu dipakai di air garam. Intensitas serangan oleh variasi cacing kapal pada daerah yang berbeda, tetapi secara umum lebih hebat lagi di daerah tropis daripada di daerah iklim sedang. Spesies yang kebal secara alami greenheart dan brilian mungkin mempunyai kehidupan yang sangat pendek di beberapa perairan tropis. Kerusakan berakhir dengan membentuk terowongan baik secara vertikal maupun horizontal di kayu yang mungkin begitu luas seperti merusak ketahanan bagian kayu.

Bentuk kedua pada kerusakan disebabkan oleh organisme laut yang dikenal sebagai ‘gribble’ yang secara akrab menyerupai kutu kayu darat. Binatang ini membuat terowongan dangkal sekitar 1 mm di garis tengah di lapisan-lapisan permukaan kayu terbuka. Dikombinasikan dengan jamur pembusuk dan pelapuk, kerusakan mungkin sangat cepat. Beberapa kayu yang digunakan di air payau (air garam yang tinggi untuk perkembangan yang tinggi dari teredo) kerusakan menyerang, dan hanya di situasi dimana serbuan dikenal menjadi kecil adalah itu secara ekonomis untuk bergantung di atas kayu yang awet secara alami. Pelakuan tekanan dengan penyerapan kapasitas cairan ter kayu atau bahan pengawet baik yang lain, sudah dirasakan efektif di perairan sedang, tetapi logam yang berupa penyarung mungkin ternyata lebih ekonomis digunakan, kemanapun marine borer


(29)

terutama aktif. Ada banyak kayu, tetapi tidak semua kayu yang awet atau tahan terhadap serangan marine borer, yang ditemukan berisi silica di jaringan kayu (Desch, 1986).


(30)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Pelabuhan Belawan 1. Letak / Posisi

Pelabuhan Belawan berada di dalam wilayah kota Medan yang terletak ± 27 km dari pusat kota tepatnya pada posisi 03°-47’-00” LU; 98°-42’-00” BT. Pelabuhan Belawan dapat diakses melalui Jalan Propinsi/ Negara, Jalan Tol atau Jalur Kereta Api. Pelabuhan ini termasuk klasifikasi pelabuhan kelas utama di bawah pengelolaan seorang General Manager.

2. Keadaan Hidro Oseanografi

a. Hidrografi

Pelabuhan Belawan di muara sungai Belawan sepanjang pantai tanahnya labil berlumpur. Tingkat pengendapan/sedimentasi berkisar antara 0.4 – 0.2 cm / hari dan sangat dipengaruhi oleh sungai Belawan dan sungai Deli. Alur pelayaran yang dimiliki adalah sepanjang 13 km dengan lebar 100 m kedalaman 9.50 m LWS.

Kolam pelabuhan seluas 5.317.500 m2 (termasuk alur pelayaran) dengan kedalaman 6-10 m2 LWS cukup memadai untuk menampung kapal-kapal berbobot besar maupun kapal-kapal berbobot kecil.

b. Pasang surut

Air tinggi tertinggi HHWS: 3.30 MLWS

Air tinggi MHWS: 2.40 MLWS

Duduk tengah MSL: 1.50 MLWS


(31)

Air rendah terendah LWS : 1.80 MLWS

Muka surut : 1.50 MLWS

Waktu tolok : GMT + 07.00

Sifat pasut : Harian ganda beraturan

Tinggi air rata-rata pada pasang purnama adalah 192 cm dan saat pasang mati 56 cm. Besar perbedaan pasang surut bervariasi antara 1.1 – 2.7 m. pada pasut mati kadang-kadang sama sekali tidak ada arus, sedangkan di saat pasut perdani kadang-kadang terjadi arus keluar ± 1 mil dan arus masuk ± 2 mil.

c. Gelombang

Pada daerah kawasan Pelabuhan Belawan dan sekitarnya kecepatan angin maksimum mencapai 4.3 m/detik. Kondisi ini akan menimbulkan gelombang setinggi 0.6 m dan umumnya terjadi pada sore hari.

d. Arus

Arus ke arah darat sangat dipengaruhi oleh Sungai Belawan dan Sungai Deli, sedangkan arus ke arah laut dipengaruhi oleh Selat Malaka. Faktor musim juga turut mempengaruhi arah arus demikian pula kecepatannya. Disaat pasang purnama kecepatan arus masuk mencapai 3 knot dengan kecepatan terkecil serkitar 0.2 knot. Kecepatan arus dipantau stasiun yang berada pada posisi 03°-49’-18” LU; 98°-44’-04” BT.

e. Angin

1) Desember, Januari, Februari

Angin arah BL/U/TL, kecepatan 04-08 knot, Dominan TL/16 knot. Gelombang : 0.8-1.0 M


(32)

Lembab nisbi : 81%-83% 2) Maret, April, Mei

Angin arah TL/BD/BL, kecepatan 04-07 knot, Dominan BL/12 knot. Gelombang : 0.5-1.0 M

Suhu : 26.1°C – 28.0°C

Lembab nisbi : 79%-80% 3) Juni, Juli, Agustus

Angin arah BD/S/Tg, kecepatan 04-07 knot, Dominan BL/22 knot. Gelombang : 0.5-1.0 M

Suhu : 26.0°C – 27.5°C

Lembab nisbi : 82%-85% 4) September, Oktober, Nopember

Angin arah TL/BD/BL, kecepatan 04-07 knot, Dominan BL/12 knot. Gelombang : 0.5-1.0 M

Suhu : 25.4°C – 26.0°C

Lembab nisbi : 82%-85%

(Data Fasilitas Pelabuhan Belawan, Juni 2006) Keterangan :

1. HHWS = Highest High Water Spring 2. MHWS = Mean High Water Spring 3. MLWS = Mean Low Water Spring

4. MSL = Mean Sea Level


(33)

Kondisi Tiang Labuh (Fender)

Kondisi tiang labuh (fender) telah digunakan ± 8 tahun. Kondisi tiang labuh terlihat masih cukup kuat karena kayu yang digunakan berasal dari kayu kelas awet I, walaupun pada bagian kayu ini sudah terdapat bagian kerusakan. Hal ini dikarena gesekan-gesakan kapal pada tiang labuh tersebut yang paling kelihatan, sedangkan pada bagian bawah tiang labuh terlihat masih terlihat kokoh. Walaupun terdapat binatang laut yang menggunakan tiang labuh tersebut sebagai tempat tinggal mereka, tetapi diameter tiang labuh itu cukup besar (± 60 cm). Perlu waktu yang cukup lama (puluhan tahun) untuk dapat merusak tiang labuh yang diakibatkan binatang laut. Ukuran tiang labuh 0,30 x 0,30 x 13,00 m2.


(34)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2007 - Oktober 2007 di laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan

Adapun alat-alat yang digunakan adalah alumunium foil, autoklaf, beaker glass, bunsen, cawan petri, cover glass, cutter, hot plate, jarum ose, kamera, kapas, karet, kertas, object glass, oven, inkubasi, rak tabung, pinset, pisau dapur, plastik ukuran 1 kg, spatula.

2. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan adalah 2 buah kayu Damar laut (Shorea

sumatrana) yang dipasang sesuai ASTM A328, alkohol 70%, aquadest,

desifektan, kertas saring, PDA (Potato Dekstose Agar), spritus.

Prosedur Pengidentifikasi Perusak Kayu Damar Laut

1. Metode Pengambilan Jamur

a. Dibuat petak contoh, dimana bagian-bagian yang akan diambil sampel jamur (3 petak contoh dengan luas 10 x 10 cm).


(35)

Gambar 3. Petak Contoh Jamur

b. Bagian petak contoh dikikis dan dimasukkan ke dalam plastik.

2. Metode Penumbuhan Spora Jamur

a. Disterilkan 15 cawan petri pada suhu 227˚ C dalam waktu ± 1 jam. b. Dimasukkan media 7,8 gram PDA dengan 200 ml aquadest ke dalam

beaker glass, dimasak, diaduk-aduk.

c. Setelah mendidih, diangkat dan dituangkan ke dalam tiap-tiap tabung reaksi 13.3 ml.

d. Ditutup tabung reaksi dengan kapas.

e. Dibungkus dan diikat tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam autoklaf selama ± 2 jam.

f. Sementara PDA diautoklaf, dibersihkan tempat kerja dengan desifektan dan alkohol, dan dihidupkan bunsen.


(36)

g. Selesai media diautoklaf, diangkat, dan dituangkan ke dalam 15 cawan petri.

h. Setelah media dingin dimasukkan kayu ± 5 cm ke dalam media (kondisi kayu harus bersih dari kotoran-kotoran yang menempel dan dari ketiga bagian kayu, dibuat lima cawan petri).

i. Diberi label

j. Disalasiban cawan petri yang berisi media tersebut, dibungkus, serta diikat.

k. Diinkubasi pada suhu 29.6˚ C selama ± 5 hari.

3. Metode Isolasi Jamur

a. Disterilkan 10 cawan petri pada suhu 227˚ C selama ± 1 jam.

b. Dimasukkan PDA 3.9 gram dengan 100 ml aquadest ke dalam beaker glass, dimasak, dan diaduk-aduk sampai medidih.

c. Setelah mendidih, diangkat, dan dituangkan ke dalam tiap-tiap tabung reaksi 10 ml.

d. Ditutup tabung-tabung reaksi.

e. Dibungkus dan diikat tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam autoklaf selama ± 2 jam.

f. Sementara PDA diautoklaf, dibersihkan tempat kerja dengan desifektan dan alkohol dihidupkan bunsen.

g. Diambil spora jamur yang menempel pada bagian kayu dengan

menggunakan jarum ose dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah dingin (tiap spora diletakkan pada cawan petri yang berbeda).


(37)

h. Disalasiban cawan petri, dibungkus, diikat, dan diinkubasi pada suhu 29.6˚ C selama ± 1 minggu untuk mengembangbiakan jamur.

i. Diidentifikasi jamur sesuai buku panduan Pitt dan Hocking

4. Pengamatan Jamur

a. Disterilkan 7 buah cawan petri pada suhu 227˚ C selama ± 1 jam. b. Dimasukkan PDA 1.95 gram dengan 50 ml aquadest ke dalam beaker glass, dimasak, dan diaduk-aduk sampai mendidih

c. Setelah mendidih, diangkat, dan dituangkan ke dalam 2 buah tabung reaksi ± 25 cm.

d. Ditutup tabung-tabung reaksi.

e. Dibungkus dan diikat tabung-tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam autoklaf, direbus alumunium foil, cover glass, kertas saring, dan object glass.

f. Dibersihkan tempat kerja dengan desifaktan dan alkohol.

g. Selesai diautoklaf PDA dituangkan ke dalam cawan petri, didinginkan sampai mengeras, dibungkus, dan diikat, dimasukkan ke dalam lemari es. h. Setelah dingin media, kemudian dipotong-potong berupa kotak-kotak

kecil.

i. Sementara diletakkan kertas saring, alumunium foil, object glass, potongan PDA.

j. Diambil jamur pada cawan petri yang berasal dan diisolasi jamur. k. Dioleskan pada bagian-bagian pinggir media.


(38)

n. Disalasiban cawan petri, dibungkus, diikat, serta diinkubasi pada suhu 29.6˚ C selama ± 3 hari.

o. Difoto dan diindentifikasi karakteriktiknya.

2. Metode Pengambilan Binatang laut

a. Diambil hewan laut dengan mengikis bagian kayu pada 2 bagian petak contoh, seperti gambar berikut:

Gambar 4. Seperti Gambar 3

b. Dimasukkan masing-masing organisme ke dalam plastik yang berbeda menurut jenis spesies sambil diamati.

c. Pada hewan laut diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan hewan laut.

d. Difoto binatang laut yang mewakili masing-masing jenis organisme. Petak contoh

2

3 1


(39)

Analisa Data

Adapun analisa data yang dilakukan dengan secara deskriptif, dengan mengidentifikasi jenis jamur laut dan hewan laut yang mewakili dari yang ditemukan di kayu Damar Laut tersebut.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada kayu Damar Laut (Shorea sumatrana) di daerah Pelabuhan Belawan, yaiutu pada bagian kayu yang tidak terendam air laut tidak ditemukan jamur, hanya di daerah pasang-surut dan daerah yang selalu terendam air laut saja diperoleh jenis jamur.

Aspergillus niger

Spesies ini pada awalnya, spora-spora tumbuh berwarna kecoklatan, kemudian berubah menjadi kehitaman setelah beberapa hari (± 3 minggu). Pada awal tumbuh, terbentuk inti kemudian menyebar ke bagian samping secara beraturan. Spesies ini mempunyai conidiophore yang terbesar, bulat, dan tidak mempunyai bagian pembatas dengan spora-sporanya.

Aspergillus adalah genus dari Hyphomycetes. Ciri umum yaitu susunan conidiophore besar, bularan titik-titik kasar dan membengkak, dibatasi pori (vesicles). Ciri khas Aspergillus niger dibandingkan jenis Aspergillus lainnya yaitu vesicles di tempatkan di metule dan di philiade. Visicles di tempatkan pada philiade yang terpisah (Pitt and Hocking, 1989).

Conidiophore terbentuk secara bebas dengan ujungnya menggembung. Pada ujung ini terletak (cell “pembawa” spora-spora dengan ujung berbentuk tabung) secara langsung atau terdapat satu lapisan cell-cell penyangga. Conidia berangkai-rangkai, banyak sekali, dan keseluruhannya merupakan bentuk “kepala” yang bulat seringkali berwarna jika banyak jumlahnya, terletak dengan sterigmata primer.


(41)

Aspergillus niger ini merupakan jamur yang berada di tanah dan di air. Jamur jenis ini mampu tumbuh pada temperatur yang tinggi maupun pada aktivitas air rendah atau pada saat keduanya (Pitt and Hocking, 1989).

Aspergillus dan Penicilium termasuk ke dalam jenis white rot (Anonim, 1998). Pada jenis jamur ini tidak mempengaruhi kerusakan kayu yang sangat berat, karena hypa-hypa jamur ini hanya berada di bagian lignin kayu. Jamur ini tidak merombak dinding sel dan hidup dari zat pengisi sel, sehingga tidak menurunkan kekuatan kayu. Namun dapat merugikan karena pewarnaan pada kayu menyebabkan penurunan kualitas kayu. Awal penyerangan pada kayu keras terjadi melalui jalur parenkim dan pembuluh sedangkan pada kayu lunak terjadi melalui jalur parenkim dan saluran getah. Jalur parenkim dapat disebarkan pembusuk tetapi pembuluh di beberapa kayu keras dapat sedikit diserang sama pada tahap-tahap akhir pembusuk (Blanchette et al., 1988).


(42)

Gambar 6. Aspergillus niger

Aspergillus flavus

Spesies ini pada awalnya, spora yang tumbuh berwarna kehijau-hijauan. Pada awal tumbuh, terbentuk inti kemudian menyebar ke bagian samping secara tidak beraturan dan begitu seterusnya. Spesies ini mempunyai conidiophore yang besar, bulat, dan mempunyai pembatas (bagian tengah) dengan bagian spora-sporanya.

Ciri khas spesies ini adalah mempunyai conidia dengan bularan-bularan kecil yang saling berhubungan, lembut atau terakhir menjadi kasar. Berbentuk bola sampai membesar menjadi ellips, visicles berukuran sampai 50 µ m diam, biasanya ada matule (Pitt dan Hocking, 1989).

Conidiophore terbentuk secara bebas dengan ujungnya menggembung. Pada ujung ini terletak (cell “pembawa” spora-spora dengan ujung berbentuk tabung) secara langsung atau terdapat satu lapisan cell-cell penyangga. Conidia berangkai-rangkai, banyak sekali, dan keseluruhannya merupakan bentuk “kepala” yang bulat seringkali berwarna jika banyak jumlahnya, terletak dengan


(43)

Gambar 7. Aspergillus flavus

Pada jenis jamur ini tidak mempengaruhi kerusakan kayu yang sangat berat, karena hypa-hypa jamur ini hanya berada di bagian lignin kayu. Jamur ini tidak merombak dinding sel dan hidup dari zat pengisi sel, sehingga tidak menurunkan kekuatan kayu. Namun dapat merugikan karena pewarnaan pada kayu menyebabkan penurunan kualitas kayu. Awal penyerangan pada kayu keras terjadi melalui jalur parenkim dan pembuluh sedangkan pada kayu lunak terjadi melalui jalur parenkim dan saluran getah. Jalur parenkim dapat disebarkan pembusuk tetapi pembuluh di beberapa kayu keras dapat sedikit diserang sama pada tahap-tahap akhir pembusuk (Blanchette et al., 1988).


(44)

Trichoderma viride

Pada jenis spesies ini ditemukan inti yang berwarna hijau kemudian diikuti dengan pati-patinya berwarna putih. Bularan-bularan kasar dan membesar sacara teratur.

Conidiophore banyak bercabang-cabang tetapi tidak secara melingkar. Segmen pucuk membentuk kelompok-kelompok conidia berbentuk oval dan berwarna hjau (Pitt and Hocking, 1989).

Gambar 8. Trichoderma viride

Trichoderma viride sangat berbeda dari Trichoderma harzianum yang diproduksi dari conidia lebih besar (3.5 - 4.5 µm diam), dengan bularan kasar. Struktur conidiophore sama pada kedua jenis tersebut., tetapi kadang-kadang pada


(45)

Trichoderma viride lebih sedikit. Kedua spesies memproduksi kumpulan pati bewarna hijau yang mencirikan genus tersebut. Laporan-laporan dari penelitian spesies ini seharusnya diperlakukan dengan teliti karena, sebagai catatan ke depan, banyak bagian terisolasi dari Trichoderma dengan konidia hijau dilaporkan adalah jenis Trichoderma viride. Meskipun spesies ini mampu tumbuh jamur di tanah dan air, dan pembusukan yang paling penting, khususnya pada kayu (Pitt and Hocking, 1989).

Dalam genus ini, perkembangbiakan adalah sel tunggal kecil, conidia diproduksi dari philiade-philiade yang tersusun tidak teratur, dengan subterminal phialide-philiade melahirkan lebih atau sedikit tegak lurus pada stipe. Coloninya rendah dan menyebar dengan cepat. Conidia yang diproduksi Trichoderma viride mempunyai bularan-bularan kasar, bersamaan dari Trichoderma mengisolasi bularan-bularan halus.

Jamur ini termasuk janis jamur brown rot. Pada umumnya jamur brown rot lebih cepat menurunkan kekuatan kayu daripada white rot. Hypa brown rot tumbuh terutama di lamina sel kayu dan di tahap awal dari hypa tunggal masuk hampir ke seluruh sel (Wilcocx, 1973). Selama tahap-tahap selanjutnya dari pembusuk, hypa lumen tidak dimungkin sangat banyak karena penyebaran terbatas. Jamur brown rot menyerang permukaan longitudinal dari kayu melalui jalur dan hypa kemudian memasuki sistem sel axial (trakeid dan fiber). Sobekan lubang dengan mudah dirusak tetapi hypa bisa mampu masuk dengan cara pelubangan-pelubangan. Pelubangan dibentuk langsung dengan mengirim cairan melalui dinding sel kayu oleh hypa jamur. Lubang-lubang ini dapat meluas sesuai


(46)

dengan perbanyakan hypa dalam lamina dan permukaan lamina (Eaton and Hale, 1984).

Penicilium sp

Pada spesies ini terbentuk inti yang kemudian membentuk bularan-bularan tipis seperti serbuk. Awalnya berwarna kuning kecolatan dan menjadi coklat ± 3 minggu.

Conidiophore bercabang secara melingkar secara tunggal, dan mempunyai bentuk percabangan semak-semak. Conidia dihasilkan di ujung dalam rangkaian-rangkaian, bentuknya bulat, berjumlah banyak dan berwarna menyala. Penicillium tersusun atas empat strain, dengan karakteristik umum, dimana coloni tumbuh cepat menampakkan warna dalam bayangan hijau, kadang-kadang putih, tersusun atas conidiophore yang padat. Conidiophore yang muncul dari miselium jenis ini adalah bergelombol (type synnematous), tersusun atas tangkai tunggal yang berakhir tanpa rangkaian philiade (bentuk monoverticillate). Tingkat percabangan meliputi satu stage (biverticillate symetrical).

Jenis jamur Aspergillus dan Penicilium termasuk ke dalam jenis white rot (Anonim, 1998). Jamur ini tidak merombak dinding sel dan hidup dari zat pengisi sel, sehingga tidak menurunkan kekuatan kayu. Namun dapat merugikan karena pewarnaan pada kayu menyebabkan penurunan kualitas kayu. Jamur white rot tumbuh terutama di lamina sel kayu dan di tahap awal dari pembusuk, hypa bisa banyak. Pada tahap-tahap selanjutnya dan pembusuk, hypa dapat terlihat sedikit karena beberapa penyebaran hypa terbatas tetapi umumnya didapatkan bahwa


(47)

hypa pada lumen sangat banyak dan pembusuk kayu pada jenis jamur white rot daripada jamur brown rot (Blanchette et al., 1988).

Gambar 9. Penicilium sp

Fusarium sp

Fusarium jenis ini terdapat dua sel conidia, di bagian atas dan bawah. Pada PDA terlihat spesies ini berwarna putih dan dibatasi sekat pada bagian tengahnya. Pada mikroskop terlihat spora spesies ini seperti bulan sabit dan agak menanjang.


(48)

membentuk sel utama dan lebih atau sedikit separuhnya menjadi sel apical. Macroconidia mungkin diproduksi dalam bisul-bisul tersendiri dinamakan sporodochia atau dalam pengaruhnya menjadi massa-massa yang sedikit. Beberapa spesies dari Fusarium juga memproduksi lebih sedikit 1-2 sel conidia, microconidia dari variasi bulan sabit (Pitt and Hocking, 1981).

Gambar 10. Fusarium sp

Fusarium adalah salah satu dari ketiga genus yang memproduksi racun. Lebih dari 50 dalam kelompok ini diketahui memproduksi racun. Beberapa dari mereka mempunyai racun yang tinggi (Pitt and Hocking, 1989). Fusarium dikenal sebagai pathogen pada tanaman yang luas dari kerusakannya mampu melunakkan


(49)

(Pitt and Hocking). Dari pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa Fusarium sp termasuk jenis jamur soft rot.

Soft rot sering dihubungkan dalam keadaan sangat lembab. Hal ini dipengaruhi pada kebusukan dari tiang-tiang di dalam tanah yang sangat lembab (dimana kerusakan ditandai secara perlahan-lahan) (Carll and Highley, 1999). Golongan jamur menyerang kayu yang berhubungan dengan tanah atau air. Jamur pelunak kayu hanya menyerang lapisan tengahnya saja (middle lamela) (Nurul, 2005).

Cacing Laut ( Glycera sp) Phylum Annelida

Ordo Errantia Kelas Polychaeta Genus Glycera Spesies Glycera sp

Gambar 11. Glycera sp

Polychaeta mempunyai sepasang parapodia dari segmen masing-masing dengan banyak seta. Mereka mempunyai suatu kepala yang membedakan adalah


(50)

pembuatan vaskuler secara menyebar adalah kegunaan kakinya yang serupa ke insang dengan bantuan pertukaran dari material antara darah dan lingkungan secara difusi. Kebanyakan polychaeta adalah marine borer yang manapun bergerak secara aktif, planktonic, tinggal dan hidup di atas dan di bawah laut (benthic), atau penduduk kayu di laut. Tubesare membangun ingus dari cacing dan partikel seperti pasir dan lumpur dari lingkungan itu. Pada cacing yang lain membuat karbonat zat kapur dan atau protein dan molekul-molekul carbohydrate. Beberapa penduduk kayu sungguh dekoratif. Polychaeta dikenal sebagai cacing-cacing api yang mempunyai cairan beracun melalui cara dari seta khusus. Polychaeta tidak mempunyai suatu clitellum dan mendekati semua adalah jenis kelamin terpisah (dioecious). Beberapa polychaeta menghasilkan cacing dengan kumpulan larva adalah planktonic

Sistem reproduksi terpisah. Tidak ada identifikasi yang tepat terdapatnya gonad, tetapi selama masa pemeliharaan ovarium atau spermatozoa timbul dari dinding pada masing-masing segmen kecuali dekat ujung anterior. Pada waktu ini keadaan luar cacing terlihat berbeda pada dua bagian, anterior atoke dan posterior epitoke, dimana terdiri dari gonad-gonad. Dalam keadaan khusus ini cacing disebut heteronereid. Gamete terpisah melalui nephridiopore dan fertilisasi terjadi pada air terbuka. Trochophore larva berkembang dari hasil fertilisasi telur.

Cacing-cacing penggerek biasanya masuk ke dalam kayu dengan arah tegak lurus arah serat, kemudian membentuk saluran dalam arah longitudinal, selanjutnya dengan arah tidak beraturan. Akibatnya dari pelubang kayu berupa sarang, maka kekuatan struktural kayu menjadi sangat berkurang (Damanik, 2006).


(51)

Kerusakan berakhir dengan membentuk terowongan baik secara vertikal maupun horizontal di kayu yang mungkin begitu luas seperti merusak ketahanan bagian kayu. Adanya perbedaan intensitas serangan tersebut dikarenakan adanya perbedaaan daya tahan dan sifat kimia kayu pada tiap jenis kayu. Dari intensitas serangan pada kayu ternyata bersifat relatif, tergantung pada jenis penggerek yang menyerangnya. Kayu yang mendapat serangan berat dari suatu jenis penggerek, belum tentu mendapat serangan yang sama oleh penggerek yang lain (Newell,1996).

Limnoria sp Ordo Crustacea

Kelas Malakostraca (udang tingkat tinggi) Family Isopoda

Genus Limnoria

Spesies Limnoria sp

Ordo crustaceae memiliki tiga genera yang penting yaitu Limnoria, Chelura dan Shpaeroma. Ketiga genera ini memperbanyak diri dengan bertelur. Limnoria disebut juga “gribble” merusak kayu dengan cara mengebor dan membuat serambi kecil untuk tempat tinggalnya. Serangan Limnoria terlihat seperti bunga karang. Besar kecilnya gerakan air laut dapat mempengaruhi aktifitas dari Limnoria, semakin besar gerakan air laut akan semakin besar dorongan Limnoria membuat lubang untuk tempat berlindungnya, sehingga akan memperluas kerusakan kayu. Jenis lain dari kelas Crustaceae adalah Chelura dan


(52)

bersimbiosis. Sedangkan Sphaeroma mempunyai ukuran lebih panjang dan lebih gemuk. Sphaeroma ini terdapat diberbagai perairan dan berkembang dengan baik di perairan tropis dan dapat membuat lubang kurang lebih dengan diameter 10 mm dan kedalaman 7 – 10 mm (Muslich dan Sumarni, 1987).

Gambar 12. Limnoria sp

Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar. Ciri-ciri crustacea adalah sebagai berikut:

Struktur

Tubuh Crustacea bersegmen (beruas) dan terdiri atas sefalotoraks (kepala dan dada menjadi satu) serta abdomen (perut). Bagian anterior (ujung depan) tubuh besar dan lebih lebar, sedangkan posterior (ujung belakang)nya sempit. Pada bagian kepala terdapat beberapa alat mulut, yaitu:

1. 2 pasang antena

2. 1 pasang mandibula, untuk menggigit mangsanya 3. 1 pasang maksilla

4. 1 pasang maksilliped

Maksilla dan maksiliped berfungsi untuk menyaring makanan dan menghantarkan makanan ke mulut. Alat gerak berupa kaki (satu pasang setiap ruas pada


(53)

abdomen) dan berfungsi untuk berenang, merangkak atau menempel di dasar perairan. Ciriisopoda ; Tubuh pipih, dorsiventral, berkaki sama. Contoh:

1. Onicus asellus (kutu perahu)

2. Limnoria lignorum


(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Jamur jenis : Aspergillus dan Penicellium sp yang paling mendominasi pada sampel-sampel kayu.

2. Semakin terendam kayu, maka akan semakin banyak jenis jamur yang ditemukan. Adapun jenis jamur yang ditemukan pada daerah pasang surut, yaitu: Aspergillus niger, Aspergillus flavus, dan Penicellium sp. Pada daerah selalu terendam, yaitu: Aspergillus niger, Fusarium sp, Penicellium sp, Trichoderma viride.

3. Pada binatang yang merusak tiang labuh yaitu Gycera sp dan Limnoria sp yang paling menentukan kerusakan kayu.

4. Kayu cepat rusak karena adanya kombinasi antara marine borer dan jamur.

SARAN

Pada penelitian ini sebaiknya dilakukan pengulangan pada spora-spora jamur agar jenis jamur dapat ditentukan sampai spesies.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Buku Panduan Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Blanchette, R.A., Obts, J.R., Hedges, J.L. and Weliky, K. 1988. Resistance of hardwood vessels to degradation by white rot Basidiomycetes. Can. J. Bot., 1841-1847.

Damanik, M. I. R. 2006

Modload&name=Download&file=index&req=getit&lid=665., 27 Okober 2006.

Carll, G.C. and Highley, L.T. 1999. Decay of Wood and Wood-Based Product Above Graound in Buildings. American Society for Testing and Materials. America.

Desh, E. H. 1986. Timber: Its Structure, Properties, and Utilisation. Macmillan Education Ltd. London.

Dumanauw, F.J. 1996. Mengenal Kayu. Edisi Revisi. Kanisius. Yogyakarta.

Daryanto. 1996. Mekanika Bangunan. Bumi Aksara. Jakarta.

Eaton, R.A. and Hale, M.D.C. 1984. Wood: Decay, Pests, and Protection. Published by Chapman & Hall. London.

Frick H. 1990. Ilmu Kontruksi Bangunan Kayu. Kanisius. Yogyakarta.

Haygreen, G.H. and Bowyer, L.J. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Cetakan Ketiga. Diterjemahkan oleh Hadikusumo, S.A. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(56)

Kramadibrata Soedjono. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganeca Exact Bandung. Bandung.

Kwantes, J. 1983. Mekanika Bangunan. Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Kwantes, J. 1983. Mekanika Bangunan. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Newell, S.Y., 1996. Established and potential impacts of eukaryotic mycelial de-composers in marine/terrestrial ecotones. J. Exp. Mar. and Eco. 200: 87-206.

Nurul A. 2005. Kolokium2005_02.pdf., 27 Oktober 2006.

Muslich dan Sumarni, 1987.

Pandit, N.K.I dan Ramdan H. 2000. Anatomi Kayu. Yayasan Penerbit Kehutanan IPB. Bogor.

Pitt, J.I. and Hocking, A.D. 1989. Fungi and Food Spoilage. Blankie Academic & Profesional. London.

Pelabuhan Indonesia. 2006. Data Fasilitas Pelabuhan Belawan, Juni. Pelabuhan Indonesia. Medan.

Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB Bogor. Bogor.

Felix.1984. Kontruksi Kayu. Cetakan Ketiga. Penerbit Binacipta. Bandung.

Wilcox, W.W. 1978. Degradation in relation to wood structure, in Wood Deterioration and its preventation by preservative treatments, Vol. 1, (ed. Nocholas, D.D.), Syracuse University Press, 107-148.


(57)

LAMPIRAN DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Pemasangan Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan

Laut Belawan


(58)

Gambar 3. Tiang Labuh (Fender) Dilihat dari atas

Gambar 4. Pelaksanaan Penelitian di Laboratourium Mikrobiologi MIPA (Matematika Ilmu Pengetahuan Alam)


(59)

Gambar 5. Sampel Kayu

Gambar 6. Hot Plate


(60)

Gambar 8. Inkubator


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Buku Panduan Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Blanchette, R.A., Obts, J.R., Hedges, J.L. and Weliky, K. 1988. Resistance of hardwood vessels to degradation by white rot Basidiomycetes. Can. J. Bot., 1841-1847.

Damanik, M. I. R. 2006

Modload&name=Download&file=index&req=getit&lid=665., 27 Okober 2006.

Carll, G.C. and Highley, L.T. 1999. Decay of Wood and Wood-Based Product Above Graound in Buildings. American Society for Testing and Materials. America.

Desh, E. H. 1986. Timber: Its Structure, Properties, and Utilisation. Macmillan Education Ltd. London.

Dumanauw, F.J. 1996. Mengenal Kayu. Edisi Revisi. Kanisius. Yogyakarta.

Daryanto. 1996. Mekanika Bangunan. Bumi Aksara. Jakarta.

Eaton, R.A. and Hale, M.D.C. 1984. Wood: Decay, Pests, and Protection. Published by Chapman & Hall. London.

Frick H. 1990. Ilmu Kontruksi Bangunan Kayu. Kanisius. Yogyakarta.

Haygreen, G.H. and Bowyer, L.J. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Cetakan Ketiga. Diterjemahkan oleh Hadikusumo, S.A. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(2)

Kramadibrata Soedjono. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganeca Exact Bandung. Bandung.

Kwantes, J. 1983. Mekanika Bangunan. Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Kwantes, J. 1983. Mekanika Bangunan. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Newell, S.Y., 1996. Established and potential impacts of eukaryotic mycelial de-composers in marine/terrestrial ecotones. J. Exp. Mar. and Eco. 200: 87-206.

Nurul A. 2005. Kolokium2005_02.pdf., 27 Oktober 2006.

Muslich dan Sumarni, 1987.

Pandit, N.K.I dan Ramdan H. 2000. Anatomi Kayu. Yayasan Penerbit Kehutanan IPB. Bogor.

Pitt, J.I. and Hocking, A.D. 1989. Fungi and Food Spoilage. Blankie Academic & Profesional. London.

Pelabuhan Indonesia. 2006. Data Fasilitas Pelabuhan Belawan, Juni. Pelabuhan Indonesia. Medan.

Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB Bogor. Bogor.

Felix.1984. Kontruksi Kayu. Cetakan Ketiga. Penerbit Binacipta. Bandung.

Wilcox, W.W. 1978. Degradation in relation to wood structure, in Wood Deterioration and its preventation by preservative treatments, Vol. 1, (ed. Nocholas, D.D.), Syracuse University Press, 107-148.


(3)

LAMPIRAN DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Pemasangan Tiang Labuh (Fender) di Pelabuhan Laut Belawan


(4)

Gambar 3. Tiang Labuh (Fender) Dilihat dari atas

Gambar 4. Pelaksanaan Penelitian di Laboratourium Mikrobiologi MIPA (Matematika Ilmu Pengetahuan Alam)


(5)

Gambar 5. Sampel Kayu

Gambar 6. Hot Plate


(6)

Gambar 8. Inkubator