1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Brauss dalam Meilani 2011 mengemukakan kemerosotan kondisi lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional selama beberapa dekade
terakhir. Isu-isu lingkungan seperti kepunahan berbagai jenis keanekaragaman hayati, deforestasi, pencemaran lingkungan, penipisan ozon dan perubahan iklim
global, telah mendorong berbagai pihak untuk melakukan upaya-upaya perbaikan. Menurut salim 2009 Berkurangnya tingkat keanekaragaman hayati dan
kerusakan lingkungan berkaitan dengan kesadaran msyarakat yang disebabkan karena persepsi dan tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah. Hal ini dapat
dilihat dari aktifitas-aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan, misalnya over eksploitasi terhadap spesies tertentu baik untuk tujuan konsumsi
apalagi untuk tujuan industry, seperti penangkapan ikan secara berlebihan. Selain itu, banyaknya perdagangan satwa secara gelap seperti harimau, orang-utan untuk
membuat obat, gading gajah untuk koleksi, perburuan beruang dan ular atau buaya untuk pembuatan tas maupun jaket kulit. Kenyataan semacam ini
menyebabkan kepunahan pada berbagai jenis makhluk hidup, sehingga menurunnya tingkat keanekaragaman hayati merupakan faktor utama
berkurangnya sumber daya alam. Keanekaragaman hayati merupakan indikator sehat tidaknya suatu habitat
misalnya habitat hutan hujan tropis. Jika tingkat keragaman hayati menurun, hal itu berarti bahwa telah terjadi degradasi terhadap suatu lingkungan atau paling
tidak telah terjadi over eksploitasi terhadap spesies tertentu. Bila keadaan demikian terus dibiarkan, maka apa yang akan terjadi kelak di muka bumi ini.
Tidak hanya pemanasan global makin menjadi-jadi, tapi juga biodiversitas keanekaragaman hayati juga akan musnah, karena hutan tropis merupakan
tempat kehidupan lebih 70 jenis spesies yang ada di bumi. Maka apabila hutan tropis musnah, keanekaragaman hayati pun akan musnah. Faktor lain penyebab
terus berkurangnya satwa adalah kebakaran hutan dan masih adanya aksi perburuan satwa langka oleh masyarakat.
2
Keanekaragaman hayati merupakan indikator sehat tidaknya suatu habitat misalnya habitat hutan hujan tropis. Jika tingkat keragaman hayati menurun, hal
ini berarti bahwa telah terjadi degradasi terhadap suatu lingkungan. Di kabupaten serdang bedagai, kerusakan rata-rata 3,700 hektar, bahkan penanaman pohon
sawit, masih di batas bibir pantai. Padahal, seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai, tidak boleh ditanami dan untuk hutan mangrove.
Menurut peneliti dan banyak pendapat orang untuk mengatasi menurunnya tingkat keanekaragaman hayati Indonesia, peran pemerintah saja tidaklah cukup
jika tidak didukung oleh masyarakat. Agar masyarakat menyadari permasalahan keanekaragaman hayati ini, pendidikan merupakan faktor utama dapat
menyebabkan masyarakat memahami, menyadari, dan dapat melakukan tindakan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mengelola lingkungan dengan
baik, karena dengan adanya pendidikan, guru dapat member suatu motivasi, tanggapan serta ilmu kepada siswa tentang pelestarian lingkungan Brauss dalam
Meilani, 2011. Menurunnya tingkat keanekaragaman hayati juga dipengaruhi oleh
lingkungan yang sudah rusak, misalnya adalah akibat pemanasan global. Isu pemanasan global menjadi sangat penting secara ekologis karena berdampak
terhadap ekonomidan habitat. Pemanasan global Global Warming yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida CO
2
, metana CH
4
, dinitrooksida N
2
O dan cloroflorocarbon CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi Hanafiah, 2009.
Untuk itu, dibutuhkan pemahaman pemanasan global dengan segala dampak yang ditimbulkan dari semua masyarakat yang masih rendah terhadap
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, menjadi salah satu penyebab tingginya pemanasan global dan keanekaragaman hayati. Kurangnya kesadaran
manusia tentang keanekaragaman hayati dan pemanasan global, seharusnya ada materi pembelajaran ini di sekolah, dan guru harus mengajarkan kepada siswa
sesuai dengan kondisi yang ada agar siswa mengetahui dan memahami materi tersebut. Karena kita ketahui bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru
tidak hanya memiliki pengetahuan yang lebih tetapi juga harus memberikan
3
konsep yang benar kepada siswa, sehingga siswa memahami dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muntasib dalam Meilani 2011 menyatakan bahwa guru dengan persepsi dan motivasi yang baik terhadap tingkat pengetahuan tentang keanekaragaman
hayati dan pemanasan global serta memiliki penguasaan terhadap materi dan keterampilan mengajar yang memadai, akan dapat menyampaikan materi dengan
baik kepada siswa serta melakukan praktik-praktik di lingkungan siswa. Untuk itu, perlu dilakukan survey awal untuk kepentingan perencanaan dan
pembangunan sumber daya manusia yang memelihara keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak pemanasan global terkait dengan persepsi dan tingkat
pengetahuan masyarkat terhadap keanekaragaman hayati dan pemanasan global. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti perlu mengetahui apakah guru
dan siswa memiliki kesadaran tentang lingkungan dan Global Warming dengan mengangkat judul penelitia
n: “ Persepsi dan Tingkat Pengetahuan Guru dan Siswa Tentang Keanekaragaman Hayti dan pemanasan Global SMA Negeri se-
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun Pembelajaran 20132014”.
1.2. Identifikasi Masalah