Alat pengumpulan data Analisis Data

24 jurnal ilmiah, majalah-majalah, artikel, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Untuk melengkapi data sekunder, maka perlu dilakukan interview wawancara dengan informan dengan menggunakan alat pedoman wawancara, hal ini dilakukan untuk memperoleh informan tambahan yang berkaitan dengan materi penelitian, data tersebut digunakan untuk melengkapi analisis dari data – data yuridisnya, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut pada alat pengumpulan data dengan pedoman wawancara.

4. Alat pengumpulan data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat- pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang- undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain. b. Pedoman Wawancara Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, wawancara ini dilakukan dengan cara terarah dan sistematis maupun wawancara bebas dan mendalam yang ditujukan kepada informan sehingga dapat menjadi sumber data yang Universitas Sumatera Utara 25 akurat untuk menjawab permasalahan diatas. Adapun informan meliputi Hakim Pengadilan Agama Stabat, Panitera Pengadilan Agama Stabat, Pengacara, Pegawai KUA Stabat, Pemohon Itsbat nikah.

5. Analisis Data

Analisis data adalah sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan penelitian, dan pencurahan daya pikir secara optimal. 40 Analisis data adalah merupakan sebuah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola katagori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan. 41 Data yang telah dikumpulkan, kemudian dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan sifat deskriptif analitis, karena penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data sebagaimana adanya, tetapi juga bermaksud melukiskan realitas dari kebijakan legislatif sebagaimana yang diharapkan. Selanjutnya dari data sekunder tersebut, ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif sehingga dapat diperoleh kumpulan akhir yang tepat setidak-tidaknya mendekati kebenaran ilmiah. 40 Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Peraktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 77 41 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kulaitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 103 Universitas Sumatera Utara 26

BAB II ITSBAT NIKAH PADA PENGADILAN AGAMA

A. Penyebab Suatu Perkawinan Harus Di Itsbatkan

Islam menilai dan menetapkan, bahwa pernikahan adalah bagian dari cara menyempurnakan pelaksanaan ajaran agama. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan : “Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah.” HR. Baihaqi dari Anas bin Malik. Pernikahan adalah fitrah yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Pada hakikatnya setiap kedudukan yang tinggi lagi mulia dalam pandangan Islam, pasti selalu dikembalikan kepada fitrah. 42 Sejatinya manusia tidak mampu untuk hidup sendiri namun selalu berkumpul atau hidup berkelompok dengan manusia lainnya seperti kata Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kelompok manusia terkecil adalah keluarga yang merupakan tempat tumbuh dan berkembang generasi-generasi selanjutnya. Apabila baik keluarga tersebut maka kemungkinan besar orang-orang yang terlibat di dalamnya akan baik pula, oleh sebab itu agama Islam memberikan perhatian khusus terhadap pengaturan kekeluagaan Islam seperti permasalahan munakahat. Perkawinan adalah fitrah yang terjadi pada setiap makhluk ciptaan Allah Swt. Dalam Al-Qur’an Surat Az-Dzariyat : 49 Allah Swt. Menegaskan : “Dan segala sesuatu kami ciptakan secara berpasang-pasang.” Oleh karena itu, naluri seorang lelaki pasti cendrung mencintai perempuan, demikian pula sebaliknya. Saling mencintai diantara insan berlainan jenis merupakan kebutuhan biologis, yang hal ini bisa tersalur bila terjadi perpaduan dan 42 A. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007, hlm.6. 26 Universitas Sumatera Utara 27 kerjasama antar keduanya. Dalam hal ini Rasulullah telah menegaskan : “Barangsiapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah, kemudian dia tidak menikah, maka dia bukan termasuk umatku,” HR. Thabrani dan Baihaqi. 43 Ayat-ayat Al- Qur’an yang mengatur perkawinan ada sekitar 85 ayat diantara 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar 22 surat dari 114 surat dalam Al- Qur’an. Keseluruhan ayat tentang munakahat tersebut disepakati keberadaannya thubut nya sebagai Firman Allah atau disebut juga dengan Qath’iy al tsubut. 44 Kemudian diantara puluhan ribu hadist Nabi tentang munakahat atau perkawinan, ada dua kitab hadis yang populer yang secara khusus membahas tentang hukum yaitu kitab Muntaqa al-Akhbar karya Ibnu Taimiyah dan kitab Bulugh al Maram karya Ibnu Hajar al Asqalaniy yang kesemua hadisnya berjumlah 505 hadist. 45 Pernikahan adalah perpaduan instink manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi bukan semata-mata memenuhi kebutuhan biologis. Hubungan biologis hanya merupakan bahagian kecil dari hubungan yang hakiki yang diikat tali pernikahan. Pernikahan dalam pandangan Islam bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis lebih dari itu mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, melestarikan kekhalifahan manusia di muka bumi dengan menurunkan keturunan yang sah dalam tatanan masyarakat yang bernaung dalam rumah tangga yang penuh kesejahteraan dan kebahagiaan. 43 Ibid. 44 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Jakarta: Kencana, 2006, hlm.6. 45 Ibid. hlm.13. Universitas Sumatera Utara 28 Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Hurairah Mutaffaq alaih yang berbunyi : “Perempuan itu dikawini dengan empat motivasi, karena hartanya, karena kedudukan atau kebangsaannya, karena kecantikannya dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya, kamu akan mendapat keberuntungan.” 46 Kata nikah kawin dapat didekati dari tiga aspek pengertian makna, yakni makna lughawi etimologis, makna ushuli syar’i dan makna fiqhi hukum. 47 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kawin diartikan dengan: 1. Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri, nikah. 2. sudah beristri atau berbini. 3. Dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh 48 Perkawinan menurut Bahasa Arab disebut dengan al nikah yang bermakna al wathi’ dan al dammu wa al tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 49 Dengan demikian pengertian nikah kawin bermakna sesuai dengan bahasa aslinya yaitu bahasa Arab, dan terlihat bahwa ulama-ulama fiqih juga memberikan pengertian yang sama. 46 A. Mudjab Mahalli, Op.cit, hlm. 88. 47 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 41. 48 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 453. 49 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Jakarta: Kencana, Cetakan Kedua, 2004, hlm. 38. Universitas Sumatera Utara 29 Menurut Hanafiah “nikah adalah akad yang memberi faedah mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar sengaja bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. 50 Menurut mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan sebutan atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual semata- mata”. 51 Oleh Mazhaf Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan redaksi lafal “inkah atau tazwij”. 52 Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia”. 53 Sementara itu menurut Hazairin bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah perkawinan bila tidak ada hubungan seksual. 54 Dengan demikian, pernikahan selalu diidentifikasikan dengan hubungan seksual, akan tetapi jika kita melihat akibat yang terjadi setelah pernikahan maka akan melahirkan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan kelahiran anak, harta bersama, waris serta hak dan kewajiban antara suami istri. Bahkan mahar yang 50 Muhammad Amin Suma, Loc.cit, hlm. 45. 51 Ibid. 52 Amiur Nuruddin, Op.cit, hlm. 39. 53 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 2. 54 Ibid. Universitas Sumatera Utara 30 seyogyanya merupakan pemberian ikhlas cinta seorang suami terhadap istrinya menjadi kehalalan hubungan seksual. Jika demikian adanya maka terlihat bahwa perempuanistri menempati posisi hanya sebagai pelampiasan kebutuhan biologis seorang priasuami. Hal tersebut akan sangat bertentangan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri yang menghormati perempuan. Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. 55 Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dinyatakan bahwa “Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Sedangkan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 “ Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi yang diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 terdapat kata aqad dan ikatan, kedua kata ini berkenaan dengan perikatan atau perjanjian. Secara sederhana akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam suatu 55 Ibid. hlm. 42. Universitas Sumatera Utara 31 ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa difahami demikian maka terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan, yang dalam bahasa fiqh disebut dengan aqad. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 56 Apabila dikaitkan dengan hukum perdata sesuai dengan pasal 1354 KUHPerdata, akan tetapi adanya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 2 serta untuk mentaati perintah Allah dalam Kompilasi hukum Islam pasal 2, maka perkawinan itu tidak dapat dipandang hanya semata-mata menurut KUHPerdata saja namun lebih luas lagi. Namun jika ditinjau dari perikatan tersebut, maka kedudukan antara suami dan istri adalah seimbang, dikarenakan yang dapat melakukan perikatan hanyalah subjek hukum yang cakap hukum dan tentunya masing-masing memiliki hak dan kewajiban di dalam menjalani kehidupan berumah tangga dan dapat dimintakan pertanggung jawaban atas peristiwa-peristiwa yang terjadi selama perkawinan atau akibat yang ditimbulkan perkawinan. Melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga negara, penegasan tersebut dapat dijumpai pada pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Meskipun 56 Subekti, Hukum Perjanjian Jakarta: PT. Intermasa, Cetakan Kesebelas, 1987, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara 32 perkawinan merupakan hak azasi, bukan berarti bahwa setiap warga negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan, tapi harus mengikuti aturan peraturan perundangan yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya perkawinan dicatatkan di Kantor Urusan Agama KUA yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan. Dalam aspek ini sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan UUD 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk keputusan perundang- undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan dan penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa standar untuk mengetahui suatu perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak serta ketentuan perundang- undangan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Berdasarkan penjelasan umum poin 2 tentang penjelasan UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menegaskan beberapa hukum agama dan kepercayaan bagi golongan-golongan yang ada di Indonesia yaitu : Universitas Sumatera Utara 33 a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat. b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks OrdonnantieChisten Indonesia S. 1933 Nomor 74. d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. e. Bagi orang Timur Asing Lainnya dan warganegara keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketentuan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasannya itu, Hazairin menafsirkan bahwa ”Dengan demikian hukum yang berlaku menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi agama Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.” 57 Sahnya sebuah perkawinan ditentukan oleh agama dan kepercayaa masing- masing pihak, apabila telah dilakukan memenuhi rukun dan syarat perkawinan untuk beragama Islam atau telah dilakukan ritual dan pemberkatan oleh pendetarohaniawan maka pernikahan itu adalah sah. Akan tetapi pada kenyataannya perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaannya itu harus dicatatkan oleh pemerintah sesuai dengan pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan. 57 Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007, hlm. 308-309. Universitas Sumatera Utara 34 Suatu perbuatan hukum yang sah bermakna bahwa hubungan hukum dan akibat hukum menjadi sah pula, dengan demikian perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang sah demikian pula akibat hukum lainnya seperti kelahiran anak, harta kekayaan, kewarisan dan sebagainya. 58 Pencatatan perkawinan menurut pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menunjukkan kualifikasi persamaan derajat antara sahnya perkawinan menurut agama dengan pencatatan perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan dapat menganulir sahnya perkawinan menurut agama. Bagir Manan berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama syarat-syarat agama merupakan syarat tunggal sahnya suatu perkawinan. 59 Pencatatan perkawinan dapat dikatakan bukan lagi sebuah peristiwa hukum atau syarat hukum akan tetapi sah menurut agama dan kepercayaan tersebut yang merupakan peristiwa hukum setelah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Pencatatan perkawinan tidak dapat mengesampingkan keabsahan perkawinan yang telah sesuai dengan hukum agama. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 4 ”Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.” 58 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 157. 59 Ibid, hlm. 158. Universitas Sumatera Utara 35 Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan demikian pencatatan perkawinan dilakukan : a. Berdasar tata cara yang diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Tata cara pencatatan yang diatur khusus dalam perundang-undangan yang berlaku bagi orang Islam sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955. Reglemen pencatatan sipil bagi mereka yang tidak beragama Islam sebagaimana yang di atur dalam Reglemen Pencatatan Sipil bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen Stbl. 1933 No. 327, reglemen Pencatatan Sipil bagi orang Tionghoa Stbl. 1919 No. 81 bagi mereka orang Tionghoa dan Stbl. 1849 No. 25 bagi mereka yang termasuk golongan Eropah. 60 Bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan selain yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, KUA Kecamatan bertugas dan berwenang khusus melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk bagi pemeluk yang beragama Islam. 61 Demikian juga ditegaskan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 yang berbunyi : “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.” Selanjutnya pada pasal 6 ayat 1 dikemukakan bahwa : ”Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.” Sementara itu ayat 2 60 Iman Jauhari, Op.cit, hlm. 317. 61 Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Universitas Sumatera Utara 36 menyatakan bahwa pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian apabila tidak memiliki kekuatan hukum maka perkawinan yang sudah sah nenurut hukum Islam dan seharusnya memiliki akibat hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah pernikahan ternyata dikembalikan kepada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yaitu mengenai pencatatan perkawinan tersebut, serta peraturan-peraturan pendukung lainnya. Penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Penjelasan Umum poin 4 b menyatakan : “.........dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga di muat dalam daftar pencatatan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan keterangan, pengakuan, keputusan, dsb tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan, dibuat, dan disahkan oleh pejabat resmi. Seluruh peristiwa penting yang terjadi di dalam keluarga yang memiliki aspek hukum, perlu dicatatkan dan dibukukan, sehingga baik yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwa- peristiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas. Dalam rangka memperoleh atau mendapatkan kepastian kedudukan Universitas Sumatera Utara 37 hukum seseorang, perlu adanya bukti-bukti autentik yang sifat bukti itu dapat dipedomani untuk membuktikan tentang kedudukan hukumnya. 62 Dengan demikian akta perkawinan yang dikeluarkan oleh PPNKUA merupakan akta autentik, semua akta yang dibuat dihadapan notaris dapat disebut sebagai akta autentik. Disamping notaris, pejabat umum lainnya seperti kepolisian, catatan sipil dan Pegawai Pencatat NikahKUA dapat membuat akta autentik. Akta autentik ini dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat pembuatan akta tersebut. 63 Akta autentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Semua yang tertera di dalam akta merupakan hal yang benar, kecuali terdapat akta lain yang dapat membuktikan isi akta pertama itu salah. Memiliki akta autentik berarti memiliki bukti atau landasan yang kuat di mata hukum. 64 Kembali kepada pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, penyebab sebuah perkawinan di Isbatkan ke Pengadilan Agama adalah : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Pertama, adanya pekawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, merupakan penggabungan itsbat nikah dengan gugatan cerai. Maka surat permohonan 62 Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan Jakarta: Universitas Trisakti, 2009, hlm. 25. 63 Ira Koesoemawati, Ke Notaris Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009, hlm. 82-83. 64 Ibid. Universitas Sumatera Utara 38 itsbat nikah tersebut berbentuk kontentiosa, yaitu adanya penggugat dan tergugat di dalamnya. Hukum positif di Indonesia tidak mengatur penggabungan gugatan permohonan. Baik HIR maupun R.Bg. tidak mengaturnya. Begitu juga Rv.,tidak mengatur secara tergas, dan tidak pula melarang.Yang dilarang Pasal 103 Rv., hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai Bezit dengan tuntutan hak milik. Dengan demikian secara a contrario in the apposite sense, Rv., membolehkan penggabungan gugatan. 65 Praktek kumulasi gugatan sudah dilakukan oleh lembaga peradilan yurisprudensi sejak sebelum Indonesia merdeka, seperti adanya Putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat innerlijke samenhangen. 66 Pendapat yang sama dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia N0.575 KPdt1983, dan N0. 880 KSip1970 dijelaskan antara lain: a. Meskipun Pasal 393 ayat 1 HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai manfaat dari segi acara proses doelmatig heid dimungkinkan menerapkan ketentuan acara diluar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman kepada ukuran: 65 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Jakarta: Sinar Grafika, Cet.Kedua, 1994, hlm. 103. 66 Ibid. Universitas Sumatera Utara 39 a benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan. b menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan. b. Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan samenvoeging atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Terkait dengan Pasal 7 ayat 3 huruf a, maka permohonan penetapan Itsbat nikah dapat dilakukan bersamaan dengan gugatan cerai karena kedua hal tersebut memiliki kaitan yang erat yaitu perceraian hanya akan dapat diperiksa jika telah ada keabsahan perkawinan. Penggabungan 2 dua, 3 tiga, atau beberapa perkara dapat dibenarkan kalau antara masing-masing gugatan tersebut terdapat hubungan erat untuk memudahkan proses dan menghindari terjadinya kemungkinan putusan- putusan yang saling bertentangan. Selain itu juga melalui penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sesuai dengan azas ini penyelesaian perkara sehingga azas peradilan: “sederhana, cepat dan biaya ringan ditegakkan. Sesuai dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman Universitas Sumatera Utara 40 Dalam mengajukan itsbat nikah untuk alasan perceraian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 67 1 Pasangan suami isteri yang hendak bercerai, terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikahnya dan setelah mendapatkan penetapan itsbat nikah maka barulah mereka mengajukan permohonan atau gugatan perceraiaan dengan dasar penetapan itsbat nikah sebagai bukti perkawinan. 2 Pengajuan permohonan itsbat nikah juga dapat diajukan satu paket dengan kasus perceraian. Jadi dalam hal diajukannya permohonan itsbat nikah biasanya dilakukan pada tahap pembuktian dimana perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah disahkan dahulu dengan dibuatkan penetapan itsbat nikah. Kedua, Pengajuan itsbat nikah yang disebabkan oleh hilangnya akta nikah. Wujud dari pencatatan perkawinan adalah diterbitkannya akta nikah. Sesuai Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Permenag 112007, akta nikah adalah akta otentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan buku nikah. Buku nikah merupakan kutipan dari akta nikah sebagai bentuk pembuktian hukum adanya perkawinan Pasal 7 ayat 1 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam KHI. 67 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet 1, 2008, hlm.345. Universitas Sumatera Utara 41 Bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama KUA. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu disimpan oleh Pegawai Pencatat dan satu helai disimpan di Panitera Pengadilan di wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada, dan suami-istri masing-masing diberikan buku kutipan akta perkawinan sesuai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi dalam kenyataannya berbagai hal dapat terjadi yang menyebabkan hilangnya akta nikah tersebut seperti terbakar, hilang dicuritercecer dan dilanda banjir. Dengan demikian apabila dikemudian hari akta tersebut diperlukan untuk mengurus berbagai keperluan yang membutuhkan akta nikah sebagai salah satu persyaratannya maka akan menimbulkan permasalahan. Berdasarkan Pasal 35 Permenag 112007, terhadap buku nikah yang hilang, dapat diterbitkan duplikat buku nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian setempat. Jika ternyata catatan perkawinan juga tidak ada di KUA setempat, sehingga keabsahan perkawinan tidak dapat dibuktikan atau diragukan dan duplikat akta nikah tidak dapat diterbitkan, harus diajukan permohonan pengesahan itsbat nikah agar Pernikahan mempunyai kekuatan hukum. Pasal 7 ayat 3 huruf b Kompilasi Hukum Islam menjadi dasar untuk mengajukan itsbat pengesahan nikah ke Pengadilan Agama sesuai dengan domisili yang bersangkutan. Sementara itu yang dapat mengajukan permohonan itsbat nikah adalah kedua suami istri atau salah satu dari suami istri, anak, wali nikah, dan pihak Universitas Sumatera Utara 42 lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum pemohon bertempat tinggal, dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas serta konkrit. Ketiga, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sah atau tidak sebuah perkawinan apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undnag No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai dengan UUD 1945. Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dinyatakan sah kalau perkawinan tersebut memenuhi rukun dan syarat perkawinan serta tidak ada larangan perkawinan diantara mereka yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Rukun dan syarat perkawinan serta larangan-larangan dalam perkawinan telah diatur dalam hukum Islam Fiqh Munakahat sebagaimana tertuang dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sebagai himpunan hukum Islam hasil kesepakatan ulama Indonesia sebagai berikut : 1. Rukun dan syarat perkawinan diatur dalam Bab IV pasal 14 s.d pasal 29. 2. Larangan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 39 s.d Pasal 44. Dengan demikian apabila agama dan kepercayaan yang dianut telah menyatakan sah maka sahlah sebuah perkawinan yang telah dilakukan. Bagi masyarakat Islam terdapat rukun dan syarat perkawinan seperti : Universitas Sumatera Utara 43 a. Calon suami b. Calon Isteri c. Wali Nikah d. 2 Orang Saksi e. Ijab dan Kabul Maka perkawinan yang dilakukan adalah sah, namun apabila pada waktu pelaksanaan pernikahan tersebut terdapat hal-hal yang meragukan berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan tersebut maka para pihak yang berkompeten dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sesuai dengan wilayah hukum masing-masing, sehingga perkawinan tersebut dapat memperoleh kepastian hukum terhadapat sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan. Keempat, Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- undang No. 1 Tahun 1974. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan yang dilakukan belum terakomodir dengan baik dan terdapat perbedaan perangkat hukum bagi setiap agama dan golongan yang merupakan warisan pemerintah kolonial. Selain daripada itu belum ada pengaturan administrasi yang baik bagi setiap perkawinan dengan kata lain pencatatan perkawinan yang dilakukan belum secara komprehensif sehingga banyak perkawinan yang tidak dapat dijangkau oleh undang- undang demikian juga peranan KUA yang belum dapat mencapai tempat-tempat terpencil. Sehingga perkawinan-perkawinan yang terjadi tidak dapat diketahui dengan Universitas Sumatera Utara 44 jelas yang dikemudian hari membawa pengaruh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan seperti status anak, kewarisan, harta kekayaan dalam perkawinan dan sebagainya. Sesuai dengan pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama penjelasan pasal 49 ayat 2 angka nomor 22 jo.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, penjelasan Pasal 49 huruf a nomor 22. Kelima, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Di dalam UU Perkawinan no.1 tahun1974 Pasal 8 disebutkan beberapa pernikahan yang dilarang, diantaranya : 1. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 4. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibipaman susuan. 5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Sedangkan dalam KHI, perkawinan itu dilarang apabila disebabkan oleh beberapa faktor, sesuai Pasal-pasal dibawah ini: Universitas Sumatera Utara 45 Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : 1 Karena pertalian nasab : a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2 Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya. b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya. c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul. d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 3 Karena pertalian sesusuan : a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah. d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. seorang wanita yang tidak beragama islam. Pasal 41 1 Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya : a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya. b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2 Larangan tersebut pada ayat 1 tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah. Universitas Sumatera Utara 46 Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 empat orang isteri yang keempat- empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. Pasal 43 1 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an. 2 Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

B. Tata Cara Pengajuan Perkara Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Stabat.

Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai suatu hukum nasional yang baik dalam bidang ke pidanaan maupun dalam bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup bangsanya. 68 Di Indonesia berlaku tiga sistim hukum yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum barat, dengan segala perangkat dan persyaratan siapa saja dan dalam aspek dan esensi apa saja yang harus mematuhi hukum dari ketiga sistim hukum tersebut. 69 68 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Hukum Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hlm. 80. 69 A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional Yogyakarta: Gama Media, 2002 hlm. 111. Universitas Sumatera Utara 47 Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahawa pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga institusi dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. 70 Roscoe Pound mengemukakan bahwa Hukum diartikan sebagai tata hukum dan kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administrasi. 71 Masyarakat dengan hukum tidak mungkin dipisahkan sehingga muncul sebuah adagium “Ibi Societas Ibi Ius”, dalam bahasa Inggiris disebut “where there is society, there is law” yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ungkapan ini tercatat pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Tullius Cicero 106-43 SM, 72 seorang filsuf ahli hukum dan ahli hukum kelahiran roma, Adagium ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa 70 C.S.T. Kansil, Op.cit, hlm. 73. 71 Ibid. 72 Cicero, http:id.wikipedia.orgwikiCicero, diakses tanggal 30 Desember 2013 Universitas Sumatera Utara 48 dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsi dengan efektif. 73 Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. 74 Ketertiban merupakan suatu fakta objektif yang dibutuhkan dan berlaku bagi segala golongan manusia dalam segala bentuk aktifitasnya. Maka dengan demikian manusia, masyarakat dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan manusia dalam masyarakat. Kepastian hukum disebut juga dengan istilah principle of legal security dan rechtszekerheid. Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum rechtszekerheid juga diartikan dengan jaminan bagi anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negarapenguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang. 73 A. Qodri Azizi, Op.cit,hlm. 100. 74 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan Bandung: Alumni, 2006, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara 49 Dalam perkembangan hak azasi manusia yang dikenal dengan fundamental rights terdapat moral rights dan legal rights. 75 Setiap individu memiliki hak terhadap hukum dan dijamin oleh UUD 1945 sesuai dengan pasal 27 ayat 1 yang menyatakan bahwa : “Segala waga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualinya.” Kemudian pada pasal 28D ayat 1 menegaskan kembali :”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pembicaraan mengenai hukum, ada konsep hak rights dan kewajiban duties yang tidak dapat dilepaskan. Kedua hal ini sangat penting dalam operasinya hukum di tengah-tengah masyarakat. 76 Hak adalah izin dan wewenang yang diberikan oleh hukum terhadap setiap subyek hukum. Hak itu dapat dibedakan antara lain : 77 1. Hak mutlak hak absolut Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, sebaiknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut. Hak dibagi dalam 3 tiga golongan : 75 A. Masyhur Effendi, HAM Dalam Dimensi Dinamika, Yuridis, Sosial, Politik Bogor: Ghalia Indonesia,2007, hlm. 10. 76 C.S.T. Kansil, Loc.cit, Kansil, hlm.87. 77 A. Masyhur Effendi, Op.cit, hlm. 57-58. Universitas Sumatera Utara 50 a. Hak asasi manusia, misalnya hak seseorang untuk dengan bebas bergerak dan tinggal dalam suatu negara. b. Hak publik mutlak, misalnya hak negara untuk memungut pajak dari rakyat. c. Hak Keperdataan, misalnya : hak marital, yaitu hak seorang suami untuk menguasai istrinya dan harta benda istrinya, hakkekuasan orang tua ouderlijke macht, hak perwalian voogdij hak pengampuan curatele. 2. Hak nisbi hak relatif Hak nisbi ialah hak yang memberikan wewenang kepada seorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hak nisbi sebagian besar terdapat dalam hukum perikatan yang timbul berdasarkan persetujuan-persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Contoh dari persetujuan jual beli terdapat hak nisbiralatif seperti : hak penjual untuk menerima pembayaran dan kewajibannya untuk menyerahkan barang kepada pembeli. Kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual asas pact sunt servanda. Hak dan kewajiban itu timbul apabila terjadi hubungan antara dua pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian. Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada Universitas Sumatera Utara 51 salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya. 78 Kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum rechtsplicht misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor. Dalam penerapannya hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya, sehingga ada slogan yang berbunyi “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”. Kekuasaan diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan maka pelaksanaan hukum di dalam masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib suatu masyarakat maka peranan kekuasaan semakin berkurang, masyarakat seperti ini disebut masyarakat yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Indonesia sendiri adalah negara hukum, hal ini ditegaskan di dalam UUD 1945 pada pasal 1 ayat 3 : “Indonesia adalah negara hukum”. Ketatanegaraan di Indonesia menganut ajaran trias politica dari Montesquien yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu : a. Badan Legislatif yaitu badan yang berwenang membentuk undang-undang. b. Badan Eksekutif yaitu bertugas melaksanakan undang-undang. 78 Ibid. Universitas Sumatera Utara 52 c. Badan Yudikatif yaitu bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang, memeriksa dan mengadilinya. Pelaksanaan ketatanegaraan Republik Indonesia diserahkan kepada lembaga- lembaga negara yang terdiri dari : 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR. 2. Presiden. 3. Dewan Perwakilan Rakyat DPR. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPD 5. Badan Pemeriksa Keuangan BPK. 6. Mahkamah Agung MA. 7. Mahkamah Konstitusi MK. Menurut pasal 24 ayat 1, 2 dan 3 serta pasal 24A ayat 1 Undang- Undang Dasar 1945 , Dalam hal ini Mahkamah Agung merupakan Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan, berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN, badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Universitas Sumatera Utara 53 kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, AdvokatPengacara dan lain-lain. Hadir dan diakuinya Peradilan Agama di lingkungan pengadilan Indonesia merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi umat Islam. Walaupun masih bercampur dengan hukum perdata khususnya dalam bidang hukum formilacaranya. Sedangkan untuk hukum materilnya memakai Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan kitab-kitab fiqih yang ada. Jika kita melihat hirarki perundang-undangan di Indonesia Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. UUD 1945 2. Ketetapan MPR 3. UUPerppu 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Propinsi 7. Peraturan Daerah KabupatenKota Dengan demikian keberadaan Inpres perlu diperhatikan supaya ditingkatkan menjadi sebuah undang-undang. Pertimbangannya adalah bahwa jika kita tinjau hirarki perundang-undangan di atas maka terdapat perubahan formasi dimana Instruksi Presiden Inpres tidak ditemukan maka dari segi legalisasikekuatan hukum Universitas Sumatera Utara 54 Inpres tersebut cukup mengkhawatirkan. Sementara itu hakim di pengadilan agama masih menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu dasar rujukan untuk memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan umat Islam. Istilah Kompilasi diambil dari bahasa latin compilatio yang berarti “kumpulan yang terdiri dari kutipan-kutipan buku-buku lain”. 79 Istilah ini kemudian dikembangkan dalam bahasa Inggris menjadi compilation yang artinya “ Kumpulan atau Himpunan”. 80 Atau dalam bahasa Belanda menjadi compilatie yang artinya kutipan, pengutipan, kompilasi. Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kompilasi. 81 Menurut kamus besar bahasa Indonesia kompilasi berarti “kumpulan yang tersusun secara teratur tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya.” 82 Adapun sebagai istilah hukum kompilasi adalah tidak lain sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukun tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum. 83 Dengan demikian baik kebahasaan ataupun istilah kompilasi dapat diartikan secara sama dan mencapai titik temu sebuah buku hukum atau kumpulan bahan-bahan hukum tertentu yang tersusun secara teratur. Kemudian istilah kompilasi ini dipergunakan dalam usaha besar untuk menghimpun Yurisprudensi Hukum Islam di Indonesia. Hukum Islam yang semula 79 K. Prent. C, Kamus Latin Indonesia Semarang: Jajaran Kanisius, 1969, hlm.160. 80 E. Pino, Kamus Inggris - Indonesia Jakarta: PT. Pratnya Paramitha, 1980, hlm. 79. 81 Sudjito Danusaputro, Kamus Belanda-Indonesia dan Indonesia-Belanda Den Haag:G.B. Van Goor Zonen’s Uitgeversmaatschappij N.V, 1996, hlm. 60. 82 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 156. 83 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: C.V. Akademika Pressindo, Cet-2, 1995, hlm. 12. Universitas Sumatera Utara 55 masih tersebar dalam karya-karya fiqh klasik, fatwa-fatwa ulama dan sebagainya. Kemudian dikompilasikan dalam sebuah buku hukum yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam KHI. Hukum Islam dalam makna fiqh Islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syari’at Islam yang terdapat dlam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Kemudian dikembangkan melalui Ij’tihad oleh para ulama atau ahli fiqh Islam hukum Islam yang memenuhi syarat untuk berij’tihad dengan cara-cara yang telah ditetapkan. 84 Membicarakan hukum Islam di Indonesia, dapat dilihat mengenai kedudukan hukum Islam itu sendiri dijajaran perundang-undangan di Indonesia. Sesuai dengan hirarki perundang-undangan yang ada maka Kompilasi Hukum Islam yang terbentuk atas Inpres No. 1 Tahun 1991 tidak memiliki kedudukan yang signifikan. Padahal hukum Islam itu telah hidup dan berkembang yang merupakan living law bagi umat Islam di Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Hukum Islam merupakan bahan dalam pembinaan hukum nasional. Hukum dan Agama tidak dapat dipisahkan, hukum yang mempunyai nilai ketuhanan. Hukum yang tidak mempunyai nilai ketuhanan hanya terdapat dinegara sekuler, yaitu terdapat pemisahan yang ketat antara negara state dan agama religion. 85 84 Moh. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Jakarta: Rajawali Press,1990, hlm. 190. 85 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 14. Universitas Sumatera Utara 56 Indonesia bukanlah negara sekuler, masyarakatnya memiliki agama dan nilai- nilai agama tersebut hidup di tengah-tengah masyarakatnya. UUD 1945 menegaskan dan bahkan melindungi agama-agama serta pemeluk-pemeluknya seperti yang terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Menurut Weiss saling menyatunya antara hukum dan teologi telah dilihat sebagai sesuatu yang apa adanya, bukan ditumbuhkan, tetapi dipulihkan. 86 Hukum dan agama dalam praktek lembaga peradilan dan dalam kehidupan lebih luas lagi tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupan umat Islam adat kebiasaan pasti mengandung nilai-nilai Islam sebagai hukum positif. Akan tetapi penegakan hukumnya law enforcement terhadap pelanggaran hukum diperlukan alat negara untuk menjalankannya. Praktek peradilan agama telah ada sebelum Indonesia merdeka bahkan sebelum datangnya Belanda ke Indonesia. Perkembangan peradilan agama seiring dengan perkembangan kesadaran pada waktu itu, kemudian dalam perkembangan selanjutnya hukum memperoleh tempat dalam kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan di Aceh, Banten, Mataram, Demak dan sebagainya. Hal ini dapat dimaklumi 86 A.Qodri Azizi , Loc.cit, hlm. 83. Universitas Sumatera Utara 57 karena jabatan Qadhi hakim menurut syari’at Islam, merupakan Fardhu Kifayah dalam pelaksanaan syariat Islam. 87 Dalam suatu kelompok masyarakat, jabatan hakim dapat dilakukan dengan cara “tahkim” yakni menunjuk seorang hakim jika mereka berselisih pendapat dan dapat pula dengan cara bai’at oleh Ahlul Hilli wal aqdi yaitu pengangkatan atas seorang untuk menjadi hakim, pengadilan tersebut dialakukan oleh majelis orang-orang terkemuka dalam masyarakat, dapat juga dilaksanakan dengan “tauliyah”, yaitu pemberian kuasa dari sultan atau kepala negara kepada seseorang untuk melaksanakan tugas sebagai hakim. 88 Sebagai konsekwensi pluralitas hukum yang berlaku dan sekaligus diakui di Indonesia, sejak masa pemerintahan kolonial Belanda telah diikuti sekaligus telah didirikan lembaga peradilan agama. Dalam sejarahnya, jenis peradilan ini merupakan kelanjutan dari “peradilan serambi” pada masa kerajaan Islam sebelum penjajahan. Kelembagaan tersebut sebagai realitas pelaksanaan hukum Islam secara formal yang diakui dalam sistim hukum negara. 89 Sejarah singkat peradilan agama dimulai pada tahun 1882, dimana perintah Belanda membentuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura atas dasar Stb. 1882 NO. 152, JO. Stb. 1937 No. 116 dan 610. Stb. 1882 No. 152 yang dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 berisi 7 pasal sebagai berikut : 90 87 M. Hasballah Thaib, Hukum Islam Di Indonesia Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2006, hlm. 33. 88 Ibid. 89 A. Qodri Azizi, Op.cit, hlm. 136. 90 M. Hasballah Thaib, Op.cit, hlm. 35-36 Universitas Sumatera Utara 58 1. Pada tempat yang ada Landraad Pengadilan Negeri di tanah Jawa dan Madura disitu didirikan Raad pengadilan Agama yang mempunyai daerah hukum yang sama. 2. Pengadilan Agama terdiri atas seorang Peghulu yang diangkat bagi para Landraad sebagai ketua dan sekurang-kurangnya tiga orang dan sebanyak- banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota.Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Residen, yakni di Tanah Gubernemen di tanah Jawa dan Madura dan oleh Gubernur di Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta. 3. Pengadilan Agama baru boleh mengambil keputusan jika banyaknya anggota yang bersidang sekurang-kurangnya tiga orang, termasuk ketuanya, dan dalam keadaan pertimbangan suasana, maka suara ketua yang menentukan. 4. Keputusan Pengadilan harus dinyatakan dalam surat yang memuat pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan secara singkat serta ditandatangani oleh anggota-anggota yang turut bersidang, begitu juga dicatat biaya perkara yang dibebankan kepada yang berperkara dan keterangan dari tiap-tiap pihak dan saksi. 5. 1 Orang yang berkepentingan haruslah diberikan salinan surat keputusan yang lengkap dan ditandatangani oleh Ketua. Kecuali kalau salinan keputusan itu tidak mungkin diberikan sebelum lewat sebulan sesudah keputusan itu, sebab orang yang berkepentingan itu tidak dapat dicari menurut surat keterangan seorang Kepala Polisi di tempat kediamannya maka keputusan itu diberitahukan dengan jalan menempelkan surat pengumuman di tempat rapat Universitas Sumatera Utara 59 Pengadilan Agama. 2 Dibagian sebelah atas tiap-tiap salinan diterangkan, bahwa keputusan itu dapat dimintakan banding pada Ketua Pengadilan Agama dan diterangkan dalam juga lamanya waktu keputusan itu masih dapat minta banding. 3 Tanggal memberikan salinan itu atau tanggal menempelkan surat pengumuman itu dicatat dalam daftar yang disebut dalam pasal 6. 6. Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu register yang setiap tiga bulan sekali harus disampaikan kepada kepala daerah setempat Bupati atau lainnya untuk memperoleh penyaksian visum daripadanya. 7. Keputusan-keputusan Pengadilan Agama yang melampau batas kekuasannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat 2, 3 dan 4 di atas dapat dinyatakan tidak berlaku. Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditentukan kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Oleh karena itu, wewenang Pengadilan Agama mengacu kepada ketentuan yang lebih awal yaitu Stb. 1835 No. 58, meskipun ketentuan lebih awal ini belum mengatur keberadaan Pengadilan Agama. Dengan demikian Pengadilan Agama berhak memeriksa perkara yang sejak dahulu diserahkan kepadanya atau Pengadilan Agama menetapkan sendiri yang dipandang masuk kekuasannya, yang pada umumnya ialah perkara-perkara yang ada hubungannya dengan nikah, talak, ruju’ dan segala jenis yang ada hubungannya dengan nikah, perwalian, warisan dan wakaf dan segala yang dipandang erat hubungannya dengan agama Islam. Universitas Sumatera Utara 60 Kewenangan yang diberikan oleh Stb. 1835 No. 58 demikian luas meliputi wakaf , hibah, warisan dan lainnya diputuskan berdasarkan hukum Islam, inilah yang kemudian dikenal dengan receptio in complexu. Melihat perkembangan hukum Islam melalui Pengadilan Agama tersebut menyebabkan pemerintah kolonial Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Stb. 1937 No. 116, sebagai revisi Stb. 1882 No. 152 berupa pasal 2a yang terdiri dari 5 ayat. Pasal 2a ayat 1 berbunyi sebagai berikut : Raad Agama semata-mata berwenang untuk memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan perkara-perkara lain yang berkenaan dengan nikah, talak, ruju’, dan perceraian antara orang Islam yang semestinya diperikasa oleh hakim agama, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mempersaksikan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku. Dalam perselisihan dan perkara ini pun segala tuntutan penyerahan benda-benda atau barang- barang yang sudah ditentukan harus diperiksa oleh hakim biasa, kecuali tentang tuntutan pembayaran maskawin mahar dan tuntutan nafkah perempuan, yang harus diputuskan oleh Pengadilan Agama sama sekali. 91 Tokoh Islam tidak dapat menerima keputusan pemerintah Belanda dan menolak Stb. 1937 No. 116. Akan tetapi protes tokoh Islam ini tidak ditanggapai oleh pemerintah kolonial Belanda akan tetapi justru mengeluarkan Stb. 1937 No. 610 yang intinya mendirikan Mahkamah Islam Tinggi sebagai lembaga banding dalam Peradilan Agama. Sedangkan wewenang Peradilan Agama tetap berlandaskan Stb.1937 No. 116. Wewenang Peradilan Agama hanya terbatas pada nikah, talak, cerai dan ruju’ NTCR. 92 91 Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama Di Indonesia Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hlm. 16. 92 Ibid, hlm. 19. Universitas Sumatera Utara 61 Selanjutnya pemerintah kolonial Belanda mendirikan lembaga peradilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur. Tepatnya di Banjarmasin, Martapura, Kandangan, Barabai, Amuntai dan Tanjung. Pembentukan ini didasarkan kepada Stb. 1937 No. 638 jo. No. 639, yang terdiri dari 19 pasal. Lembaga ini diberi nama Kerapatan Qadi untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qadi Besar untuk pengadilan tingkat banding. Wewenangnya tidak berbeda dengan pengadilan Agama di Jawa dan madura. 93 Setelah Indonesia merdeka, maka lahirlah Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Ruju’ yang berlaku hanya untuk wilayah Jawa dan Madura. Selanjutnya diubah dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1954 yang berlaku diseluruh wilayah Indonesia. Kemudian lahir Peraturan Pemerintah PP No. 45 tahun 1957 yang merupakan unifikasi pembentukan Pengadilan Agama diwilayah selain Jawa dan Madura, kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan sedangkan tekhnis pendirian Pengadilan Agama dilakukan dengan Keputusan Menteri Agama. Kemudian disusul dengan lahirnya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, walaupun undang-undang ini tidak menyebutkan kekuasan Pengadilan Agama namun memberi kekuatan hukum kedudukan Pengadilan Agama dilingkungan pengadilan lainnya. Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 semakin memperkuat kedudukan Pengadilan Agama, hal tersebut dapat 93 Ibid. Universitas Sumatera Utara 62 dilihat di dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan :” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Titik kulminasi kedudukan Pengadilan Agama terjadi ketika lahirnya Undang- undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama UUPA karena terjadi perubahan yang fundamental dari segi kelembagaan dan segi kekuasaan wewenang. Pada pasal 49 : 1 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdsarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. 2 Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. 3 Bidang kewarisan sebagaiman ayang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Pasal 52 ayat 2 : ”Selain tugas dan kewenangan sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 49 dan 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang-undang “. Kehadiran dan berlakunya UUPA ini semakin diperkuat dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI pada tahun 1991. KHI merupakan fikih dalam bahasa undang-undang yang mencakup Bab, Pasal, dan Ayat. Ditinjau dari isinya cukup terperinci yang mencakup persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.. Universitas Sumatera Utara 63 Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, kemudian Pengadilan Agama dibagi atas Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat banding. Kedua pengadilan ini merupakan tempat pencari keadilan bagi yang beragama Islam dan pada tingkat terahir bermuara kepada Mahkamah Agung. 94 Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupatenkota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupatenkota. Pengadilan Tinggi Agama berkeduudkan di Ibu Kota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. 95 Sementara mengenai pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah agung sesuai dengan pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 96 Propinsi Sumatera Utara memiliki 33 kabupatenkota yang tersebar di pulau Sumatera, salah satu dari kabupatenkota itu adalah kabupaten Langkat. Salah satu Pengadilan Agama terdapat di kabupaten tersebut yang terletak di kota Stabat sebagai ibu kota Langkat. Pengadilan Agama Stabat tepatnya berada di Jalan Proklamasi No. 46 Stabat. 97 Sebagaimana Pengadilan Agama lainnya , maka Pengadilan Agama Stabat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu perkara yang ada diperiksa adalah perkara Itsbat Nikah. 94 Lihat pasal 1 ayat 1 dan 2 serta pasal 3 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 7 Tahun 1989. 95 Lihat Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 3 Tahun 2006. 96 Wawancara dengan Muhammad Syofyan, wakil sekretaris PA-Stabat, tanggal 20 November 2013. 97 Alamat, www.pa-stabat.net, diakses tanggal 24 Oktober 2013. Universitas Sumatera Utara 64 Data tahun 2009 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa permohonan penetapan Itsbat nikah di Pengadilan Agama Stabat berjumlah 97 perkara. Dengan latar belakang permohonan adalah untuk kepentingan penetapan ahli waris, persyaratan terhadap pensiunan bagi Pegawai Negeri Sipil dan sebagainya. 98 Prosedur pemeriksaan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Stabat adalah sebagai berikut : 99 1. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohoan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan Itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami , istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi. 2. Jika permohonan Itsbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohoan sebagai pihak termohon, produknya bersifat putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. 3. Jika Itsbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima. 98 Muhammad Syofyan, Wawancara dengan wakil sekretaris PA-Stabat, tanggal 20 November 2013. 99 Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Jakarta: 2011, hlm. 147-148. Universitas Sumatera Utara 65 4. Jika permohonan Itsbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri danatau ahli waris lain sebagai Termohon. 5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan Itsbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan. 6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan Itsbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. 7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Stabat setelah mengetahui ada penetapan Itsbat nikah. 8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Stabat selama perkara belum diputus. 9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Stabat dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Stabat. Selanjutnya proses penyelesaian perkara pengesahan perkawinan Itsbat Nikah dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu : Universitas Sumatera Utara 66 1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Stabat Pasal 142 ayat 1 R. Bg.. 2. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama Stabat, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Stabat atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Stabat mencatat permohonan tersebut Pasal 144 R. Bg.. 3. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Stabat, kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang Stabat dengan melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Agama Stabat Pasal 145 ayat 4 R. Bg.. 4. Permohonan tersebut memuat: a. Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon. b. Posita fakta kejadian dan fakta hukum. c. Alasan atau kepentingan yang jelas. d. Petitum hal-hal yang dituntut berdasarkan posita. 5. Pemohon dan Termohon atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh JurusitaJurusita Pengganti Pengadilan Agama Stabat Pasal 26 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Universitas Sumatera Utara 67 Mengenai proses persidangan penyelesaian perkara pengesahan perkawinan Itsbat nikah dilangsungkan dengan cara sebagai berikut : 100 1. Pada tahapan awal proses Itsbat nikah ini dimulai dengan : Tahapan pertama adalah Permohonan Itsbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan hari sidang, terlebih dahulu mengumumkan adanya permohonan Itsbat nikah melalui media massa Radio Kalamaira Stabat dalam waktu 14 empat belas hari. Kemudian dilanjutkan penetapan hari sidang paling lambat 3 tiga hari setelah berakhirnya pengumuman oleh Majelis Hakim. Tahapan kedua, Pemohon dan Termohon dipanggil oleh JurusitaJurusita Pengganti Pengadilan Agama Stabat untuk menghadiri sidang pemeriksaan: a. Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama Stabat, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari Pasal 26 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama Stabat dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari Pasal 26 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. c. Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media massa Radio Kalamaira Stabat sebanyak dua kali, jarak pemanggilan pertama 100 Ibid, hlm. 148-150 Universitas Sumatera Utara 68 dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan Pasal 27 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. d. Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 enam bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan. 2. Tahapan pemeriksaan perkara dimulai dengan beberapa sidang yaitu : a. Pada pemeriksaan sidang pertama. 1 Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah Pasal 3 ayat 2 Perma. Nomor 1 Tahun 2008, selanjutnya Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus datang secara pribadi Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. 2 Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi Pasal 150 R.Bg. Universitas Sumatera Utara 69 b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik Pasal 157 ayat 1 R. Bg., pembuktian dan kesimpulan. c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir membacakan penetapan. 3. Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap BHT. a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 empat belas hari penetapan dibacakan. b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 empat belas hari penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir. Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama Stabat berkewajiban menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 empat belas hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya. Permohonan penetapan Itsbat nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Stabat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu permohonan yang besifat voluntair dan permohonan bersifat kontentiosa. Istilah voluntair terdapat pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 yang menyatakan : “Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan Universitas Sumatera Utara 70 mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.” Istilah voluntair ini selanjutnya tidak dipakai lagi pada UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970. Namun istilah voluntair dirubah menjadi permohonan, istilah ini dapat dilihat pada “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan”, 101 pada halaman 110 angka 15 akan tetapi pada angka 15 huuf e dipergunakan juga istilah voluntair, yang menjelaskan bahwa : “Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yuisdiksi voluntair. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan.” 102 Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. 103 Ciri khas pemohonan atau gugatan voluntair adalah : 104 1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata for the benefit of party only. Dengan demikian benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian pada prinsifnya apa 101 Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Buku II MA RI: Jakarta, 1994, hlm. 110. 102 Ibid, hlm. 111. 103 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Jakarta: Sinar Grafika, cet ke 8, 2008, hlm. 29. 104 Ibid. Universitas Sumatera Utara 71 yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 2. Permasalahan yang dimohon, pada prinsifnya tanpa sengketa dengan pihak lain without disputes or differences with another party. Berdasarkan ini maka tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga. 3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-parte. Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex- parte . Permohonan untuk kepentingan sepihak on behalf of one party atau yang terlibat dengan permasalahan hukum involving only one party to a legal matter yang diajukan dalam kasus itu hanya sepihak. Perkara gugatan contentiosa berbeda dengan perkara permohonan voluntair, dimana gugatannya mengandung sengketa diantara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak between contending parties. 105 Maksud dari gugatan contentiosa yang mengandung sengketa diantara para pihak yang berperkara yang pemeriksaan dan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak sebagai berikut : 106 105 Ibid, hlm. 46. 106 Ibid, hlm. 47. Universitas Sumatera Utara 72 1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat plaintiff = planctus, the party against whom a civil action is brought. 2. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat defendant, the party against whom a civil action is brought. 3. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa disputies, differences. Perkara pemohonan itsbat nikah yang diajukan kepada Pengadilan Agama Stabat cenderung berbentuk contentiosa sehingga Putusan Nomor 219Pdt.G2011PA-Stb. Dimana anak-anak pemohon dijadikan sebagai pihak lawan. Tujuannya adalah agar para pihak yang berkepentingan tidak dirugikan dan tidak ada rekayasa. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keadilan putusan dari lembaga peradilan agama. 107 107 Wawancara dengan Syaifuddin, Hakim Pengadilan Agama Stabat, tanggal 20 November 2013. Universitas Sumatera Utara 73

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN ITSBAT NIKAH

PENGADILAN AGAMA STABAT NOMOR: 219Pdt.G2011PA.Stb.

A. Posisi Kasus

Hamimah Binti Ulung Endan dengan Tjit Awang Bin Awang telah menikah pada tahun 1953 di Desa Pantai cermin, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Pernikahan dilakukan dengan cara Islam, berwalikan wali nasab yaitu saudara kandung Hamimah Binti Ulung Endan yang bernama Rajiden Bin Ulung Endan yang disaksikan oleh dua orang saksi yang bernama Jamil dan Japar dengan maharnya berupa uang Rp. 400,- empat ratus rupiah dibayar tunai. Setelah menikah, Hamimah Binti Ulung Endan dengan Tjit Awang Bin Awang telah hidup dan bergaul layaknya suami istri kemudian bertempat tinggal di rumah milik bersama di Dusun Pangkal Pasar, Desa Pantai Cermin, kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat sampai dengan sekarang. Dari pernikahan Hamimah Binti Ulung Endan dan Tjit Awang Bin Awang telah dikaruniai anak sebanyak 11 sebelas orang yang bernama : 1. Rukiyah Binti Tjit Awang. 2. Syamsuddin Bin Tjit Awang. 3. Maisyarah Binti Tjit Awang. 4. Bahtiar Bin Tjit Awang. 5. Misran Bin Tjit Awang. 73 Universitas Sumatera Utara 74 6. Syahrial Bin Tjit Awang. 7. Samsidar Binti Tjit Awang. 8. Sahran Bin Tjit Awang. 9. Saharuddin Bin Tjjit Awang. 10. Anifah Binti Tjit Awang. 11. Anisah Binti Tjit Awang. Kehidupan rumah tangga Hamimah Binti Ulung Endan dengan Tjit Awang Bin Awang rukun dan damai tanpa ada permasalahan yang mengakibatkan perpecahan baik antara Hamimah Binti Ulung Endan dengan Tjit Awang Bin Awang ataupun keberatan dari fihak ketiga khususnya yang berkaitan dengan keabsahan pernikahan tersebut. Pada tanggal 22 Mei 1987, Tjit Awang Bin Awang meninggal dunia karena sakit dalam keadaan beragama Islam dan telah dikebumikan sesuai dengan tata cara hukum Islam. Hamimah Binti Ulung Endan hidup menjanda sejak Tjit Awang Bin Awang meninggal dunia sampai dengan sekarang dan anak-anak Hamimah Binti Ulung Endan dengan Tjit Awang Bin Awang sudah menikah semuanya. Setelah Tjit Awang Bin Awang meninggal dunia belum ada dilakukan pembagian harta peninggalan Tjit awang Bin Awang sampai dengan tahun 2011, dimana Hamimah Binti Ulung Endan dan anak-anak Hamimah Binti Ulung Endan dan alm. Tjit Awang Bin Awang mengajukan permohonan itsbat nikah pengesahan nikah ke Pengadilan Agama Stabat sesuai dengan domisili Hamimah Binti Ulung Endan. Universitas Sumatera Utara 75 Hal ini dilakukan oleh pemohon karena ketika hendak melakukan pembagian harta warisan ternyata pernikahan Hamimah Binti Ulung Endan dengan alm. Tjit Awang Bin Awang tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanjung Pura. Maka sudah sewajarnya diajukan dahulu itsbat nikah supaya jelas kedudukan hukum pernikahan Hamimah Binti Ulung Endan dengan alm. Tjit Awang Bin Awang yang dilangsungkan pada tahun 1953 sehingga akan mempengaruhi keabsahan peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan pernikahan tersebut seperti kedudukan anak dan pembagian harta peninggalan alm. Tjit Awang Bin Awang.

B. Analisis Pertimbangan

Hakim Dalam Putusan Itsbat Nikah Pada Pengadilan Agama Stabat Nomor: 219Pdt.GPA.Stb. Lembaga Peradilan Agama adalah sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang untuk menangani perkara tertentu yang tidak terbatas pada perkara perdata, tapi juga mencakup perkara pidana yang diatur dalam KUHP. Kewenangan menangani perkara jinayah pidana diberikan kepada Pengadilan Agama yang berada di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut dengan Mahkamah Syariah yang oleh penjelasan pasal demi pasal 3A Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang atas perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama merupakan Peradilan khusus dilingkungan Peradilan Agama. 108 108 Syarifuddin, Buku Pintar Tekhnik Yudisial Dalam Praktik Peradilan Agama Medan: Perdana Publishing, 2011, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara 76 Tanggung jawab hakim dalam menyelesaikan perkara sedemikian besar, oleh karena itu diberikan keleluasaan dan otoritas yang sangat tinggi. Tanggung jawab ini bukan hanya secara administratif atau legalitas di dunia, namun juga tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berarti di akhirat kelak. Hal ini jelas sekali oleh karena setiap memberi keputusan, hakim harus dengan tegas mengucapkan dan menuliskan ungkapan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ungkapan ini bermakna bahwa keadilan yang akan diberikan oleh hakim melalui hasil kerjanya di dalam pengadilan itu mempunyai ikatan langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa, bukan semata-mata atas dasar kepentingan di dunia hedonis- utilitarianisme. 109 Hal ini sejalan dengan penjelasan pasal 14 ayat 1 Undang- undang No. 14 tahun 1970 yang berbunyi : “ Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara”. Tanggung jawab Hakim sebagai konsekwensi dari faham Rechtsvinding-Plus atau Legal Realism-Plus sangat besar. 110 Meskipun inti dari tanggung jawab itu kepada Tuhan, namun pertanggung jawaban di dunia tidak semata-mata legal formal, seperti praktek peradilan yang ada. Pertanggung jawaban itu akan dituntun dengan 109 Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema Insani Pers, 1996, hlm. 5. 110 L.J. Van Apeldorn , Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 20. Universitas Sumatera Utara 77 terwujudnya nilai keadilan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Hal ini sekaligus sebagai makna tanggung jawab Hakim kepada Bangsa dan Negara. Tuntutan kepada setiap Hakim untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat terdapat dalam penjelasan Pasal 27 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 sebagai berikut : “ Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.” Seorang hakim dapat berijtihad dengan sempurna apabila : 1. Memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang hukum dan ilmu sosial lainnya, 2 Harus mengetahui dengan baik kitab Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ para ulama, Qiyas, bahasa arab dan tata aturan ijtihad yang telah diterapkan syariat Islam , 3 Mengetahui Putusan Yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelaksanaan hukum di Indonesia. 111 Oleh karena undang-undang tidak lengkap, maka seorang hakim harus berani untuk menggali atau menemukan hukum rechtsvinding, lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang 111 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 177. Universitas Sumatera Utara 78 diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang kongkret. 112 Pengadilan Agama dapat menerima dan memutus perkara dari para pihak karena hal ini berkaitan dengan kebebasan Hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tiada peraturan hukumnya tentang hal-hal yang diajukan kepadanya, antara lain terdapat dalam beberapa pasal peraturan perundang undangan yang menjadi payung hukumnya seperti : 1. Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi sebagai berikut : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya “ ; 2. Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya “ ; Dan Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “ 112 Ibid. hlm. 178. Universitas Sumatera Utara 79 Disamping itu pula harus dianalisa dari segi pendekatan sosiologi hukum dengan mencari penafsiran baru terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al- Qayyim al-Jauziyah al-Hambali yang mengatakan bahwa hukum itu berubah karena ada perubahan, waktu, tempat, keadaan, adat dan niat. 113 Menurut sosiologi hukum dikenal istilah “the maturity of law” atau hukum yang matang yaitu hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat clothesbody of society , yang bersifat praktis , rasional dan aktual sehingga dapat menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Janganlah terlalu formalistik melaksanakan suatu peraturan, bahkan kalau perlu harus ada keberanian untuk melakukan “contra legem“ untuk menghadapi peraturan atau ketentuan yang kurang logis. 114 Sedangkan menurut kajian hukum Islam terdapat kaidah ushuliyah, yaitu “al- hukmuyadurru ma’a illatih wujudan wa’adaman hukum itu terkait ada tidaknya illat hukum, sehingga dapatlah terus diadakan pembaruan hukum Islam dengan menyesuaikannya dengan situasi, kondisi serta perkembangan zaman. Ijtihad untuk 113 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lama al-Muwaqi’in Bairut, Libanon : Dar al-Fikr, Juz VII, 1397H1977M, hlm. 14 -15. 114 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama Bandung: CV. Mandar Maju,Cet. I, 2008, hlm. 215. Universitas Sumatera Utara 80 melakukan pembaruan hukum Islam bukanlah sesuatu yang terlarang melainkan suatu yang dianjurkan jika menghadapi suatu permasalahan hukum. 115 Pengadilan Agama tidak perlu menolak perkara permohonan tersebut dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, namun dapat saja diperiksa karena kalaupun diputuskan adalah sesuatu yang bernilai ijtihad karena telah menemukan hukumnya dan pada hakikatnya pembaruan Hukum Islam dari segi substansi adalah untuk mewujudkan mashlahah bagi kepentingan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan yang dalam istilah fiqih disebut “al-kulliyat al- Khamsah“ dengan suatu klasifikasi mashlahah ini menjadi 3 hal yaitu : 116 1. Mashlahah dharuriyat essensial : dimaksudkan untuk menerapkan dan memelihara lima prinsip pokok tersebut dalam kehidupan manusia. 2. Mashlahah al-hajjiyat keperluankebutuhan : dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan dalam memelihara lima prinsip pokok agar dapat berjalan dengan baik. 3. Mashlahah al-tahsiniyat keindahan : dimaksudkan supaya manusia dapat melakukan yang terbaik untuk kesempurnaan pemeliharaan lima prinsip pokok tersebut. 115 Abdul Manan, Reformasi Hukum Di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2006, hlm. 296. 116 Ibid. hlm.297. Universitas Sumatera Utara 81 Oleh karena itu menggunakan teori mashlahah haruslah dengan kerangka kehati-hatian, seperti yang disinyalir oleh Abdul wahab Khallaf dengan memenuhi persyaratan kemaslahatan, yaitu : 117 1. Mashlahah itu hakiki, bukan dugaan . 2. Mashlahah itu untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan perorangan. 3. Mashlahah itu tidak bertentangan dengan maqashidus syari’ah. 4. Mashlahah itu harus dapat menjaga hal-hal yang dharuri dan menghindarkan kesusahan. 5. Mashlahah itu dapat diterima oleh akal sehat. Peraturan adalah sesuatu yang legal dan kenyataan adalah sesuatu yang sociological, empirical bukanlah dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak karena kedua unsur tersebut dipertemukan dengan penafsiraninterpretasi. Peraturan akan melihat kepada kenyataan, sedang kenyataan melihat kepada peraturan, Dengan demikian pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan dan dari situlah akan timbul suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme. 118 Hakim sebagai salah satu aparatur penegak hukum memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan oleh karena Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan 117 Abdurrahman, Bagir Manan, Ilmuwan Dan Penegak Hukum Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008, hlm.13. 118 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sintesa Hukum Indonesia Yogyakarta: Genta Publishing, Cet.I, 2009, hlm. 127. Universitas Sumatera Utara 82 yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir the last resort bagi para pencari keadilan justiciable. Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Kemampuan atau kemauan hakim menangkap makna yang ia artikan sebagai kebenaran semata-mata dikonstruksikan di dalam ruang sidang pengadilan dengan tercukupinya bukti-bukti formil yang dihadirkan. Ada kebenaran dalam realitas sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, seperti diungkapkan oleh Patricia Ewick dan SS. Silbey, bahwa makna hukum bukanlah melulu apa yang ada di kepala para hakim tetapi juga apa yang merupakan pengalaman subyektif kaum awam masyarakat. 119 Dalam hukum Islam, masalah putusan tidaklah berbeda dengan arti atau makna yang terdapat dalam hukum nasional, yang masih berbau hukum Eropa Continental. Putusan Hakim adalah merupakan suatu hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan, sedangkan menurut hukum 119 Bernand L. Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial Surabaya: Srikandi, 2006, hlm.31 Universitas Sumatera Utara 83 Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah pihak yang dimenangkan dari mahkum- alaih pihak yang dikalahkan, jadi tidaklah ada perbedaan. 120 Mengambil suatu putusan oleh para hakim, dalam hukum Islam adalah merupakan suatu perintah dan begitu juga isi dari pada putusan itu haruslah ditaati oleh para muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nisaa ayat 58-59 yang artinya sebagai berikut : 121 Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya rakyat umum dan apabila kamu para hakim hendak memutuskan sesuatu hukum diantara manusia hendaklah memutuskan itu adil. Sesungguhnya amat baik pelajaran yang diajarkan oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Hai orang- orang yang beriman taatilah hukum Allah dan taatilah hukum pesuruh-Nya dan taatilah hukum yang dibuat oleh ulul amri kamu sesuai dengan hukum Allah dan hukum pesuruh-Nya itu dan jika timbul kembali pertentangan di antara kamu dan ulul amri kamu kembalikan hal itu semua hukum Allah dan hukum pesuruh-Nya itu, jika kamu masih percaya pada Allah dan hari kemudian. Demikian itulah jalan yang terbaik dan terindah. Setiap hakim membuat suatu putusan di suatu pengadilan harus penuh pertimbangan sebagai ij’tihad. Pertimbangan atau dasar pertimbangan berasal dari dua suku kata yaitu “dasar” dan “timbang” , kata “dasar” dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pokok atau pangkal. 122 Kata “timbang” berarti tidak berat sebelah, sama berat, dan pertimbangan artinya pendapat baik dan buruk. 123 Sedangkan kata hakim secara etimologis berasal dari bahasa arab hakam, atau diistilahkan juga dengan qadhi, hakim berarti maha adil maha bijaksana sehingga secara fungsional 120 Muhammad Salam Madku, Peradilan Dalam Islam Surabaya: Binas Ilmu, 1990, hlm. 127. 121 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam Di Indonesia Jakarta: Universitas Indonesia Pers, 1988, hlm. 337. 122 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm.238. 123 Ibid, hlm. 1193 Universitas Sumatera Utara 84 diharapkan dapat memberikan keadilan dan kebijaksanaan dalam memutus sengketa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian hakim adalah : 124 1. Orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah. 2. Orang-orang pandai, budiman dan ahli, orang yang bijaksana. Dalam hukum perdata formil, Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian. Dalam Hukum Acara Peradilan Agama, setelah peristiwa yang terjadi dipersidangan dikonstatir dan dianggap oleh majelis hakim terbukti atau tidak, maka diambillah peraturan hukum, Nash Al-Qur’an atau sunnah, fatwa-fatwa dan doktrin hukum Islam yang dapat mendukung ke arah dikabulkan atau ditolaknya sebuah gugatan atau permohonan. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. Dalam praktik, landasan yang dijadikan hakim dalam sebuah putusan disistematisasikan dalam bagian mengingat. Misalnya mengingat Pasal 11 Permenag Nomor 2 Tahun 1990, Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam kalau perkara taklik talak, hadits dan doktrin dalam kitab fiqih. Pertimbangan hukum dimulai dengan kata “menimbang”…dan seterusnya. Khusus di Pengadilan Agama biasanya mencantumkan dalil hukum yang bersifat 124 Ibid, hlm. 383. Universitas Sumatera Utara 85 Islami, dari Nash Al-Qur’an dan hadits maupun fatwa ulama dan doktrin dari hukum Islam.

1. Dasar hukum pertimbangan hakim.