ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Berdasarkan penyelasan mengenai golput di atas, maka dapat disimpulkan golput dalam penelitian ini adalah orang atau masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih
dalam pemilihan namun tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan sengaja serta tujuan yang jelas, sebagai wujud protes politik terkait rasa ketidakpuasan
sebagai pemilih disebabkan kepribadian serta orientasi kepribadian pemilih, sistem dan objek politik yang ada disekitarnya serta kalkulasi untung dan rugi.
Yang terdiri atas asalan-alasan sebagi berikut : 1.
Golput yang dikarnakan sifat teknis berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara karna urusan pekerjaan, pendidikan dan lain-lain diluar
faktor Ideologis.
2. Golput masyarakat yang tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau
pesimistis bahwa pemilupemilihan kepala daerah akan membawa perubahan
dan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernergara.
3. Golput masyarakat yang tak percaya pada mekanisme demokrasi liberal
dan tak mau terlibat didalamnya entah karena alasan nilai-nilai agama atau
alasan politik-ideologi lain.
4. Golput masyarakat yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak
ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan
suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.
D. Faktor-Faktor Golput Pendekatan Golput
Menurut Efriza 2012: 538-543 mengungkapkan setidaknya ada 4 faktor utama
yang dapat menjelaskan masyarakat yang perilaku tidak memilih atau golput sebagai berikut :
1. Faktor psikologi
Efriza, 2012: 538 Menjelasan golput dari faktor psikologis pada dasarnya dapat dikelompokan dalam 2 kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri
kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku golput diesebabkan oleh
kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan hawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi dan
semacamnya. Hal itu dikarenakan apa yang diperjuangkan kandidat atau parpol tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara langsung,
betapapun hal itu menyangkut kepentingan yang lebih luas. Pada konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak
toleran atau tidak acuh cendrung untuk tidak memilih. Ciri-ciri dari perilaku golput berdasarkan faktor psikologis ini umumnya diperoleh sejak lahir
bahkan lebih bersifat keturunan. Dan selanjutnya secara konsisten dalam setiap perilaku. Faktor yang lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri
kepribadian ini adalah keefektifan personal personal effectiveness, yaitu
kemampuan atau ketidak mampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di sekitarnya.
Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitik beratkan faktor orientasi kepribadian. Sherman Efriza, 2012: 538 Melihat bahwa perilaku golput
disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomali dan alienasi. Secara teoritis,
perasaan apatis sebenarnya merupakan penjelasan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sengaja ditandai dengan tiadanya
minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan politik, atau adanya perasaan bahwa
aktifitas politik tidak menyebabkan perasaaan kepuasan atau hasil secara langsung.
Anomi menunjukkan pada perasaan tidak berguna. Mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwan dan kebijaksanaan politik.
Bagaimana para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempengaruhi apa-apa, karena keputusan-keputusan politik sering kali
berada di luar kontrol para pemilih. Perasaan power lessness inilah yang disebut dengan anomi. Sedangkan alienasi berada di luar apatis dan anomi.
Aliensi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik. Pemerintah dianggap tidak
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bahkan mereka
dianggap sebagai suatu yang mempunyai kosekuensi jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan
mengambil bentuk alternative aksi politik, seperti melalui kerusakan, kekacauan, demonstrasi, dan semacamnya.
2. Faktor sistem politik
Tingsten Efriza, 2012: 539 menjelaskan ada hubungan antara sistem pemilu atau sistem perwakilan yang diterapkan sangat berpengaruh terhadap
persentase kehadiran dan ketidak hadiran seseorang dalam bilik suara. Hasil studi yang dilakukan Tingsten menyimpulkan, dinegara-negara yang
menerapkan sistem pemilu atau sistem perwakilan berimbang, rata-rata jumlah pemilih yang hadir cukup tinggi.
Sementara itu negara yang menerapkan sistem distrik jumlah pemilih relatif rendah. Hal ini dikarenakan, dalam sistem perwakilan berimbang perolehan
kursi sangat bergantung pada proporsi jumlah suara pemilih. Sementara itu, dalam sistem proporsional mempunyai semangat yang lebih besar memilih
betapapun mereka menyadari partai atau dapil, sebab suaranya tidak hilang karena digabungkan dengan perolehan suara didaerah pemilihan lainya.
Faktor sistem politik berkaitan dengan sistem politik khususnya sistem pemilu
secara langsung. Pemilih melakukan perotes terhadap sistem politik dan sistem pemilu terutama kecewa dengan kebijakan dan implementasi dari
pemerintah. Sistem politik yang dibangun rezim berkuasa saat ini dirasa pemilih tidak mempu membangun demokrasi yang sehat. Sistem pemilu
Proposional juga dinilai tidak menjamin kedekatan antara wakil dan yang terwakili.
3. Faktor Kepercayaan Politik
Pada literatur ilmu politik, konsep kepercayaan oleh para akhli banyak digunakan untuk menjelaskan ketidak aktifan inactivity seseoang dalam
dunia politik. Menurut Khoirudin Efriza, 2012: 540 fenomena meningkatnya golput harus dipandang dalam dua persfektif. Pertama, munculnya
ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk partai dan kandidat, yang kemudian berakibat pada perspektif kedua, keinginan warga negara untuk
melakukan delegitimasi terhadap kekuasaan. Padahal, tanpa legitimasi warga negara sesungguhnya sebuah kekuasaan dapat dianggap tidak ada. Faktor ini
sebagai bentuk perilaku golput sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu exspresi perasaan keterasingan.
Sedangka menurut Asfar Efriza, 2012: 541 golput disebabkan karna beberapa hal, yaitu:
1. Ketidakhadiran diinterpretasikan sebagai bentuk ketidak percayaan kepada
sistem politik, berbeda dengan kehadiran yang sering diinterpretasikan sebagai bentuk “loyalitas” atau kepercayaan pada sistem politik yang ada.