35
2.7.2.1. Bencana alam
yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah alam semesta angin: topan, badai, puting beliung; tanah: erosi, sedimentasi, longsor,
ambles, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringan, perembesan air tanah; api: kebakaran, letusan gunung api.
2.7.2.2. Bencana sosial
yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai komponen sosial instabilitas sosial, politik, dan ekonomi; perang; kerusuhan massal; teror bom;
kelaparan; pengungsian; dll.
2.7.2.3. Bencana kompleks
yakni perpaduan antara bencana alam dan sosial sehingga menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan
ekosistem; polusi lingkungan, dll.
2.8. Mitigasi Bencana
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh- pengaruh dari suatu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku
untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik, seperti membangun
bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam
rencana penggunaan lahan Coburn, et.al., 1994 dalam Setyowati, 2010.
36
lewat tindakan mitigasi, kita bisa mencegah, membatasi, atau memperlambat tingkat perubahan atau kerusakan. Melakukan tindakan-tindakan mitigasi
sangatlah masuk akal; perasaan-kerepotan yang diperlukan untuk mencegah bencana jauh lebih sedikit dibandingkan dengan konsekuensi-konsekuensi yang
kita derita jika saja bencana tersebut benar-benar terjadi Wilches, 1995 dalam Setyowati, 2010.
Menurut Unesco 2007 dalam Indiyanto dan Kuswanjono, 2012, ada beberapa alasan mengapa perlu melibatkan masyarakat lokal di kawasan rawan
bencana dalam program aksi pengurangan risiko bencana tidak hanya pada fase tanggap darurat,namun juga pada fase kesiapsiagaan, antara lain: 1 tidak ada
yang lebih mengerti tentang kesempatan dan hambatan serta permasalahan lokal selain masyarakat itu sendiri, 2 tidak ada yang lebih tertarik untuk memahami
bagaimana bertahan hidup dalam kondisi yang terancam daripada masyarakat itu sendiri, 3 masyarakat akan mengalami banyak kerugian apabila mereka tidak
dapat merumuskan keterbatasan mereka dan mengatasinya, namun masyarakat juga akan banyak memperoleh keuntungan apabila mereka dapat mengurangi
dampak bencana, 4 masyarakat yang tangguh dan mandiri dapat membantu pemerintah dalam mengatasi bencana di daerah.
2.9. Tanah Longsor 2.9.1.
Definisi Tanah Longsor
Gerakan massa mass movement tanah atau sering disebut tanah longsor landslide merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah
37
perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas
umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan
aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas
manusia Hardiyatmo, 2006. Tanah longsor atau gerakan tanah adalah proses massa tanah secara alami
dari tempat tinggi ke tempat rendah. Pergerakan ini terjadi karena perubahan keseimbangan daya dukung tanah dan akan berhenti setelah mencapai
keseimbangan baru. Tanah longsor terjadi apabila tanah sudah tidak mampu mendukung berat lapisan tanah diatasnya karena ada penambahan beban
dipermukaan lereng, berkurangnya daya ikat antarbutiran tanah dan perubahan lereng menjadi lebih terjal Majid, 2008.
Tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan debris avalanches dan rembesan
slumpsrotational slides. Gaya-gaya gravitasi dan rembesan seepage merupakan penyebab utama ketidakstabilan pada lereng alami maupun lereng
buatan yang dibentuk dengan cara penggalian atau penimbunan Majid, 2008. Menurut Majid, fenomena tanah longsor merupakan hal biasa ketika terjadi
peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan. Kementerian Riset dan Teknologi KRT menyebutkan bahwa banyaknya tanah retak akibat kekeringan
yang tiba-tiba terkena hujan lebat, maka tanah tersebut longsor.
38
Ada dua hal penyebab tanah longsor yang kaitannya dengan hujan, yakni hujan berintensitas tinggi dalam waktu singkat dan menerpa daerah yang kondisi
tanahnya labil. Tanah yang kering ini menjadi labil dan mudah longsor saat terjadi hujan. Kondisi lain adalah akumulasi curah hujan di musim hujan pada tebing
terjal yang menyebabkannya runtuh. Tanah longsor ini cukup berbahaya dan dapat mengakibatkan korban jiwa tidak sedikit.
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor Majid, 2008 antara lain: 1 Kondisi geologi Geostruktur: batuan lapuk, kemiringan lapisan,
sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi, dan gunung api, 2 Iklim: curah hujan yang tinggi, 3 Keadaan topografi: lereng
yang curam, 4 Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatistika, 5 Tutupan lahan
yang mengurangi lahan geser, misal tanah kritis. Menurut Agus Setyawan dan Wahyu Wilopo, bencana adalah sesuatu yang
tidak kita harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah
maupun masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan preventif, pengurangan mitigasi maupun penanggulangan
rehabilitasi perlu dikaji secara mendalam Majid, 2008.
2.9.2. Dampak Bahaya Tanah Longsor
Peristiwa longsor landslide yaitu melorotnyameluncurnya suatu benda ke bawah merupakan fenomena alam. Hal itu bisa saja di inginkan oleh manusia, dan
39
bisa saja tidak di inginkan oleh manusia. Maksud dari peristiwa longsor yang di inginkan manusia adalah peristiwa longsor memang disengaja karena membantu
pekerjaan manusia, misalnya pada waktu pengerjaan pengeprasan bukit terjal berisi ilalang yang akan diubah dikonversi menjadi kebun teh, pekerjaannya
memang menghendaki longsor-longsor kecil untuk membantu pemerataan tanah tersebut Majid, 2008.
Adapun peristiwa longsor yang tidak di inginkan manusia adalah peristiwa longsor yang justru mengganggu kenyamanan hidup manusia. Biasanya terjadi
tidak sengaja dan tidak lazimnya disebut sebagai bencana. Adapun bahaya dari bencana tanah longsor Majid, 2008 antara lain: 1 kerusakan alam dan lahan
pertanian, 2 kehancuran pemukiman penduduk, 3 memakan korban manusia terpendam, dan 4 rusaknya sarana dan prasarana umum.
2.10. Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Mitigasi bencana tanah longsor berarti segala usaha untuk meminimalisasi akibat terjadinya tanah longsor. Mitigasi adalah segala usaha untuk
meminimalisasi akibat terjadinya suatu bencana sebelum terjadinya bencana, saat bencana terjadi maupun pasca bencana, yang dalam hal ini dilakukan baik dalam
skala lokal, nasional, maupun regional. Beberapa instansi yang menangani hal ini antara lain Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Alam, LAPAN, BPPT, Pemerintah KabupatenKota dan Pemerintah Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi, Perguruan Tinggi,
Bakornas, Kimpraswil, dan Lembaga-lembaga penelitian lainnya.
40
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor Majid, 2008, yaitu:
2.10.1. Mitigasi Tahap Awal Preventif
a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan. Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan tanah yang telah terjadi selama ini ternyata lokasi-lokasi kejadian
gerakan tanah merupakan daerah yang telah teridentifikasi sebagai daerah yang memiliki kerentanan menengah hingga tinggi.
b. Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam gerakan tanah dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan kenapa tanah
longsor, gejala
gerakan tanah
dan upaya
pencegahan serta
penanggulangannya. c. Pemantauan daerah longsor dan dilakukan secara terus menerus dengan
tujuan untuk mengetahui mekanisme gerakan tanah dan penyebabnya serta mengamati gejala kemungkinan akan terjadinya longsoran.
d. Pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan
dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan menggalang kebersamaan segenap lapisan masyarakat.
e. Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.
f. Pola pengelolaan lahan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan yang sesuai dengan asas pelestarian lingkungan dan kestabilan lereng.
g. Hindari bermukim atau mendirikan bangunan di tepi lembah sungai terjal.
41
h. Hindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor.
i. Hindari membuat pencetakan sawah baru atau kolam pada lereng yang terjal karena air yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dan
keteknikan yaitu tanah menjadi lembek dan gembur sehingga kehilangan kuat gesernya yang mengakibatkan tanah mudah bergerak.
j. Penyebarluasan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media dan cara sehingga masyarakat, baik formal maupun non formal.
2.10.2. Mitigasi Tahap Bencana
a. Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah. b. Pembentukan pusat pengendalian Crisis Center.
c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman. d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan dan penyediaan air bersih.
e. Pendistribusian air bersih, jalur transportasi, tikar, dan selimut. f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.
g. Evaluasi, konsultasi, dan penyuluhan.
2.10.3. Mitigasi Tahap Pasca Bencana
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan tata ruang dalam upaya mempertahankan fungsi daerah resapan air.
b. Mengupayakan semaksimal mungkin pengembalian fungsi kawasan hutan lindung.
42
c. Mengevaluasi dan memperketat studi AMDAL pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana.
d. Mengevaluasi kebijakan InstansiDinas yang berpengaruh terhadap terganggunya ekosistem.
e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, sabuk hijau dan disepanjang bantaran sungai.
2.11. Kerangka Berfikir
Indonesia merupakan negara yang memiliki topografi atau relief yang sangat beragam akibat dari adanya tenaga pembentuk muka bumi baik endogen maupun
eksogen. Secara geologis, wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia, yaitu: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan
Lempeng Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng ini menimbulkan penunjaman maupun pengangkatan kenampakan alam berupa dataran tinggi dan gunung-
gunung api aktif yang umumnya memiliki tingkat kemiringan lereng yang cukup terjal dan tanah yang tidak stabil akibat proses alam maupun manusia. Kondisi
yang demikian memiliki potensi dan ancaman bencana tinggi berupa tanah longsor.
Secara astronomis, Indonesia terletak pada lintang 6° LU - 11° LS dan 95° BT - 141°BT sehingga Indonesia termasuk negara beriklim tropis dengan jumlah
curah hujan cukup tinggi. Maka dari itu, saat musim-musim penghujan tiba antara bulan oktober hingga april masyarakat perlu waspada terutama yang bermukim di
lereng gunung, dekat lereng, tebing, serta bertempat tinggal di lahan yang kondisi
43
tanahnya tidak stabil. Salah satu wilayah yang tingkat potensi risiko dan kerentanannya tinggi adalah di Kabupaten Boyolali tepatnya di Kecamatan
Cepogo. Cepogo merupakan wilayah yang sebagian berada pada lereng merapi
sehingga memiliki kemiringan lereng hingga lebih dari 70. Jenis tanah berupa endapan longsoran lama, serta endapan dari material Gunungapi Merapi dan
Gunungapi Merbabu yang labil. Berdasarkan hasil penelitian dari BAPPEDA Kabupaten Boyolali tahun 2007 menunjukkan bahwa Kecamatan Cepogo hampir
sebagian besar wilayahnya masuk dalam zona potensi tanah longsor, terutama desa yang berada pada lereng Gunung Merapi. Salah satunya adalah Desa
Wonodoyo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Namun, tingginya potensi tanah longsor yang mengancam wilayah penelitian
tidak sebanding dengan tingkat pengetahuan dan sikap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut. Selain itu, kurangnya vegetasi yang dapat
mengikat tanah ditambah pola tanam serta jenis tanaman yang dibudidayakan warga disekitarnya, memperbesar kemungkinan potensi longsor. Jika tanah
longsor terjadi maka bukan tidak mungkin akan banyak korban jiwa maupun materi yang diderita.
Untuk mengurangi potensi dan bahaya longsor di Kecamatan Cepogo, maka perlu dilakukan pembelajaran dan sosialisasi mengenai bencana longsor kaitannya
dalam kesiapsiagaan masyarakat sebagai usaha peningkatan kapasitas dalam menghadapi bencana longsor. Pembelajaran sedianya harus menarik dan dapat
meninggalkan kesan yang mendalam, salah satunya melalui penggunaan media
44
maket lansekap berkontur. Untuk menguji keefektifan media tersebut digunakan teknik evaluasi Four Levels Evaluation Models dari Kirkpatrick
Adapun kerangka berfikir dalam penelitian seperti dalam Gambar 2.1 sebagai berikut:
Gamabar 2.1 . Bagan Kerangka Berfikir Penelitian
Analisis Hasil
Reaction Result
Behavior Learning
Tingkat Kepuasan
Tingkat Pemahaman
Materi Perubahan
Perilaku Kesiapsiagaan
Kuesioner Tes
Kuesioner Tes
Pemanfaatan Media Maket Lansekap Berkontur untuk Kesiapsiagaan Masyarakat
Media Maket Pendidikan Kesiapsiagaan
Ancaman Longsor Profil Kecamatan Cepogo
efektifitas
45
2.12. Batasan Operasional