BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kain lurik merupakan kain tradisional yang berkembang di wilayah Yogyakarta dan Klaten, ditandai dengan besarnya minat masyarakat yang membeli
kain tenun lurik. Mayoritas masyarakat mengetahui bahwa sentra kain tenun lurik banyak terdapat di Pedan, namun saat ini Yogyakarta memiliki banyak potensi
pengrajin kain lurik yang salah satunya terdapat di daerah Godean, Sleman. Peminat lurik lebih sedikit jika dibandingkan dengan batik, terlebih baru-baru ini batik sudah
dipatenkan sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia. Keluarnya Surat Edaran SE Bupati Klaten No.065772010 yang mewajibkan PNS untuk mengenakan seragam
lurik dua hari dalam sepekan diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap kain tenun lurik. Berdasarkan surat tersebut dapat pula meningkatkan
penghasilan para pengrajin lurik, keberlangsungan lurik dengan menggunakan alat tenun bukan mesin ATBM dapat lestari, dan memberikan peluang usaha bagi para
penjahit, konveksi, dan garmen untuk memproduksi pakaian-pakaian berbahan dasar tenun lurik.
Kain lurik terbuat dari serat kapas memiliki karakteristik serat yang pendek- pendek namun sangat kuat, kain lurik sangat higroskopis, mudah kusut, tahan
terhadap panas, penjemuran dibawah sinar matahari dapat membuat warna menjadi berubah, dan bahan kapas susut saat dicuci. Proses pembuatan kain lurik yang
menggunakan alat tenun bukan mesin ATBM membuat tenunan lurik menjadi renggang, sehingga bila kain tersebut mengalami proses pencucian atau dapat disebut
dengan proses relaxing akan mengkeret. Lurik sangat higroskopis dan kuat, sehingga
1
kain tersebut cocok untuk dijadikan sebagai bahan pakaian seperti blus, rok, dan sebagainya. Selain memiliki kelebihan kain lurik juga memiliki kekurangan yaitu
dapat menyusut setelah mengalami pencucian, maka untuk mengantisipasinya sebelum memotong dan menjahit lakukan proses relaxing terlebih dahulu.
Berdasarkan pengamatan sementara dan observasi pada penjahit yang mendapat order pakaian dengan bahan lurik tidak mengetahui tentang mengkeret yang
sering terjadi pada kain. Jika ada beberapa yang mengerti tentang mengkeret kain tersebut mereka tidak mencuci dahulu kain lurik tersebut. Kebanyakan dari mereka
langsung membuat pola dan memotongnya. Adapun alasan mereka tidak mencuci kain lurik terlebih dahulu karena keterbatasan waktu, walaupun hasil akhir pakaian
nantinya tidak sebaik pakaian yang mengalami proses pencucian terlebih dahulu. Pengalaman penjahit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
pembuatan pakaian lurik. selain pengalaman ada pula tingkat pendidikan, dan keadaan ekonomi yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi
kinerja penjahit dalam membuat pakaian dalam hal ini pakaian dengan bahan lurik. Hasil eksperimen awal uji mengkeret kain dalam ukuran 10cm yang dicuci
dingin dan dicuci panas sebagai dasar pembuatan pola toleransi diperoleh persentase mengkeret lurik cuci dingin =0,90 arah lusi, =6,40 arah pakan. Uji mengkeret kain
dengan menggunakan air panas diperoleh hasil =2,50 arah lusi, dan =7,10 arah pakan dalam .
Berdasarkan hasil observasi dan hasil uji awal mengenai penyusutan kain lurik ATBM dengan karakteristik mengkeret kain, maka perlu dilakukan penelitian
ketepatan ukuran pembuatan pakaian lurik antara proses relaxing dengan pembuatan pakaian lurik yang menggunakan tambahan ukuran pada pola. Dari hasil pakaian
tersebut, kemudian dibandingkan ukurannya sehingga nantinya dapat diketahui perbedaan hasil dari kedua sistem tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara
empiris hasil blus tersebut perlu diadakan penelitian dengan judul “Perbedaan Hasil
Ketepatan Ukuran Blus Lurik antara yang Menggunakan Teknik Relaxing dan Toleransi Ukuran”.
1.2 Perumusan Masalah