Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kutai Barat tempat domisili masyarakat suku Dayak tunjung yang akan menjadi subjek penelitian. Secara geografis Kabupaten Kutai Barat memiliki luas 31.628,70 km 2 atau sekitar 15 dari total luas Kalimantan timur, terletak antara 113 48’ 49’’ - 116 32’43’’ Bujur Timur serta diantara 1 31’05’’ Lintang Utara dan 10 9’33’’ Lintang Selatan, Kutai Barat didominasi topografi bergelombang, dari kemiringan landai sampai curam dengan kemiringan antara 0-60 dan ketingian berkisar antara 0-1500 m dpl Badan Pusat Statistik Kubar, 2007. Daerah dataran rendah pada umumnya dijumpai di kawasan danau dan kawasan Daerah Aliran Sungai DAS. Daerah perbukitan dan pegunungan memiliki ketinggian lebih dari 1000 m dpl dengan kemiringan 30 terdapat di bagian barat laut yang berbatasan dengan wilayah Malaysia. Wilayah yang menjadi batas Kabupaten Kutai Barat adalah Kabupaten Malinau dan Negara Sarawak Malaysia Timur di sebelah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, dan Kabupaten Penajam Paser Utara di sebelah Selatan. Sedangkan untuk sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah serta Provinsi Kalimantan Barat. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat tahun 2011, Kabupaten Kutai Barat terbagi menjadi 21 Kecamatan dan 238 Kampung. Kedua Puluh Satu Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Bongan, Kecamatan Jempang, Kecamatan Penyinggahan, Kecamatan Muara Pahu, Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Damai, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Melak, Kecamatan Long Iram, Kecamatan Long Hubung, Kecamatan Long Bagun, Kecamatan Long Pahangai, Kecamatan Long Apari, Kecamatan Bentian Besar, Kecamatan Linggang Bigung, Kecamatan Nyuatan, Kecamatan Siluq Ngurai, Kecamatan Manor Bulatn, Kecamatan Sekolaq Darat, Kecamatan Tering dan Kecamatan Laham. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Barat 2011 juga menyebutkan jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat. Menurut Soil Taxonomi VSDA tergolong ke dalam jenis tanah: ultisol, entisol, histosol, inseptisol, dan mollisol, atau menurut lembaga Penelitian Tanah Bogor terdiri dari jenis tanah: podsolik. alluvial, andosol, dan renzina. Diperkirakan luas dan sebaran jenis tanah di Kabupaten Kutai Barat didominasi oleh 4 empat jenis tanah yaitu organosol gley humus ; alluvial ; komplek podsolid merah kuning, latosol dan litosol serta podsolik merah kuning. Karakteristik iklim di Kabupaten Kutai Barat adalah iklim hutan tropika humida di mana tidak ada perbedaan yang tegas antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan tahunan berkisar antara 2000-4000 mm dan umumnya hujan lebih banyak turun pada bulan Oktober sampai dengan bulan April dan biasanya disebut dengan bulan- bulan basah. Temperatur rata-rata berkisar antara 26 C dengan perbedaan antara siang dan malam antara 5-7 C. Wilayah Kabupaten Kutai Barat sebagian besar terdiri dari kawasan hutan yang merupakan sumber penghasil kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti kayu ulin, kapur, bengkirai, meranti, tengkaeng, rotan, bambu, serta beraneka ragam buah-buahan. Selain itu terdapat pula berbagai jenis pakis, rotan, bambu serta beraneka ragam buah-buahan seperti cempedak, durian, rambutan, langsat, lay dan lain-lain. Di daerah Kecamatan Sekolaq Darat, dan Damai terdapat lokasi cagar alam yang ditumbuhi berbagai macam jenis anggrek Anggrek Hitam yang disebut sebagai cagar alam Kersik Luway. Selain anggrek hitam, di cagar alam seluas 5.000 hektar ini juga hidup tumbuhan dan hewan yang beraneka ragam. Jenis satwa yang ada di daerah ini terdiri dari berbagai macam jenis ular, burung, rusa, kijang, kancil, beruang, kucing hutan, landak, orang hutan dan lain sebagainya di mana beberapa diantaranya merupakan satwa yang dilindungi di daerah ini, yaitu orang utan Pongo pygmaeus, Owa-Owa Hylobatidae, Bekantan Nasalis larvatus, Trenggiling Manis javanica, burung Enggang Rucerotidae dan ikan Pesut Orcaella brevirostris. Penelitian ini dilakukan pada 6 kampung yang termasuk dalam dataran linggang tempat masyarakat Dayak Tunjung Linggang berdomisili. Enam kampung tersebut adalah Muara Mujan, Muara Leban, Tering Seberang, Melapeh Lama, Linggang Amer dan Jelemuq. Kampung Jelemuq tidak dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian karena terhalang oleh banjir tahunan, sehingga hampir semua warga mengungsi karena kampung jelemuq merupakan kampung yang berada tepat di tepi Sungai Mahakam. Dataran linggang sendiri terdiri dari 2 kecamatan yaitu kecamatan Tering dan kecamatan Linggang Bigung. Kampung Tering, Muara Mujan dan Muara Leban termasuk dalam kecamatan Tering sedangkan Melapeh Lama dan Linggang Amer termasuk dalam kecamatan Linggang Bigung. Kedua kecamatan ini memiliki perbedaan dan persamaan yaitu sebagian besar kampung di kecamatan Linggang Bigung terletak di daerah dataran dengan ketinggian 25-100 m dpl dan terletak di luar kawasan hutan sedangkan kecamatan Tering, sebagian besar kampung terletak di daerah lembah DAS, dengan ketinggian 25-100 m dpl dan terletak di luar kawasan hutan. Selain melakukan wawancara, observasi lapangan secara langsung juga dilaksanakan di hutan adat Eno yang terletak di kampung Linggang Melapeh dengan jarak tempuh ± 15-20 menit dari kampung tersebut. Di hutan ini dilakukan analisa vegetasi dengan mendata tanaman obat apa saja yang terdapat di hutan adat tersebut. Akhirnya dari hasil penelitian dan pengumpulan data yang dilakukan selama ± 1,5 bulan, berhasil mendapatkan 80 jenis tanaman yang dimanfaatkan oleh suku Dayak Tunjung Linggang sebagai obat-obatan tradisional. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 3. Penelitian yang dijadwalkan dimulai pada awal Bulan Maret 2013 dan berakhir pada awal Bulan Mei 2013, kondisi lapangan yang terkadang tidak bersahabat benar-benar membuat proses penelitian terganggu, misalnya proses penelitian yang terhambat selama 2 minggu akibat banjir tahunan yang melanda Kabupaten Kutai Barat. Akan tetapi penelitian masih dapat dilanjutkan setelah banjir surut.

B. Suku Dayak Tunjung Linggang