Suku Dayak Tunjung Linggang

Bigung terletak di daerah dataran dengan ketinggian 25-100 m dpl dan terletak di luar kawasan hutan sedangkan kecamatan Tering, sebagian besar kampung terletak di daerah lembah DAS, dengan ketinggian 25-100 m dpl dan terletak di luar kawasan hutan. Selain melakukan wawancara, observasi lapangan secara langsung juga dilaksanakan di hutan adat Eno yang terletak di kampung Linggang Melapeh dengan jarak tempuh ± 15-20 menit dari kampung tersebut. Di hutan ini dilakukan analisa vegetasi dengan mendata tanaman obat apa saja yang terdapat di hutan adat tersebut. Akhirnya dari hasil penelitian dan pengumpulan data yang dilakukan selama ± 1,5 bulan, berhasil mendapatkan 80 jenis tanaman yang dimanfaatkan oleh suku Dayak Tunjung Linggang sebagai obat-obatan tradisional. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 3. Penelitian yang dijadwalkan dimulai pada awal Bulan Maret 2013 dan berakhir pada awal Bulan Mei 2013, kondisi lapangan yang terkadang tidak bersahabat benar-benar membuat proses penelitian terganggu, misalnya proses penelitian yang terhambat selama 2 minggu akibat banjir tahunan yang melanda Kabupaten Kutai Barat. Akan tetapi penelitian masih dapat dilanjutkan setelah banjir surut.

B. Suku Dayak Tunjung Linggang

Sejarah dari Suku Dayak Tunjung Linggang atau dalam bahasa Tunjung disebut sebagai Tonyooi Rentenuukng, Tonyooi Rentenuukng adalah sebutan dari suku Tunjung di luar suku Dayak Tunjung Linggang terhadap suku dayak Tunjung Linggang. Sebutan ini juga digunakan oleh suku Dayak Tunjung Linggang untuk suku mereka sendiri. Data-data maupun dokumen tertulis mengenai Masyarakat Dayak Tunjung Linggang dapat dikatakan masih kurang sehingga membuat kita merasa kesulitan untuk mencari informasi mengenai suku ini, oleh karena sangat diperlukan adanya tindakan untuk memfasilitasi Masyarakat Suku Dayak Tunjung Linggang dengan membuat suatu dokumentasi mengenai suku ini, Dokumentasi ini akan sangat membantu dalam menjembatani celah antara praktek tradisional dengan pengetahuan ilmiah sehingga dapat menjadi bentuk sinergi yang memiliki dampak positif bagi pembangunan daerah. Ada tiga pernyataan yang berbeda berkaitan dengan asal-usul suku Dayak Tunjung Linggang. Pernyataan pertama mengatakan bahwa suku Dayak Tunjung Linggang berasal dari daerah perhuluan sungai mahakam, sebagai bagian dari perpecahan suku dayak Penihing atau Oaheng. Menurut Lahajir 2001 adanya kesamaan dari beberapa pandangan para antropolog yang pernah melakukan penelitian terhadap masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang seperti Nieuwenhuis 1994, Mallinkrodt 1928, Sellato 1989, Coomans 1987, Boyce 1986, dan Rosseau 1990. Para antropolog ini berpandangan bahwa suku Dayak Tunjung Linggang adalah suku yang berpindah dari daerah perhuluan sungai mahakam. Diperkirakan bahwa mereka berasal dari suku Penihing yang didesak oleh suku Dayak Bahau yang bermigrasi dari dataran Apau Kayan di bagian utara Kalimantan Timur sekarang Kalimantan Utara sekitar tahun 1700-1750. Oleh karena itu, orang Tunjung Linggang adalah suku pendatang dari dataran tinggi tunjung. Pernyataan kedua mengatakan bahwa orang Tunjung Linggang adalah penduduk asli dataran tinggi Tunjung Linggang pernyataan ini merupakan pernyataan dari orang Tunjung Linggang sendiri. Pernyataan ketiga mengatakan bahwa orang Tunjung Linggang adalah suku yang berasal dari Kalimantan Tengah yang meninggalkan daerah tersebut melalui hulu sungai mahakam dan akhirnya terdesak oleh suku Dayak Bahau yang pindah dari dataran tinggi Apau Kayan ke perhuluan sungai mahakam. Dalam sistem mata pencaharian, sebagian besar masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang masih memanfaatkan perladangan tradisional. Seiring dengan perkembangan zaman dan daerah, kegiatan membuat ladang seperti ini mungkin sudah jarang dijumpai karena masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang cenderung memilih untuk berkebun karet, walaupun berdasarkan fakta dilapangan, kegiatan memanfaatkan lahan untuk menjadi ladang ini tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Hal ini disebabkan orang Dayak Tunjung Linggang merasa aman dan nyaman apabila dapat menyediakan cadangan bahan makanan untuk keluarga selama 1 tahun. Kegiatan membuat ladang ini biasanya dilakukan oleh kalangan orang tua. Pengetahuan tentang pelestarian lingkungan hidup telah dipelajari oleh masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang secara turun-temurun dari generasi ke generasi sejak zaman nenek moyang khususnya dalam pengetahuan mengenai flora dan fauna. Pengetahuan ini merupakan salah satu pengetahuan dasar orang Tunjung Linggang mengingat bahwa mata pencaharian utama pada mulanya adalah berladang. Peran flora dan fauna sangat penting bagi masyarakat suku dayak Tunjung Linggang, misalnya orang Tunjung Linggang mengenal beberapa jenis tumbuhan yang edible bisa dimakan dan yang tidak bisa dimakan akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti obat-obatan, racun untuk membunuh hewan dan zat pewarna. Jenis tumbuhan yang bisa dijadikan obat-obatan tradisional biasanya berupa akar-akaran, daun, tanaman herba. Sebagian besar dari tanaman tersebut memang belum dikaji secara ilmiah akan tetapi masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang meyakini bahwa tanaman- tanaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit tertentu, akan tetapi tidak semua tanaman langsung dapat digunakan sebagai obat tradisional, beberapa jenis tanaman harus digunakan dalam ritual adat sebelum dimanfaatkan sebagai obat. Masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang juga memiliki pengetahuan untuk membedakan jenis pohon kayu yang memiliki kualitas baik untuk digunakan sebagai bahan bangunan, misalnya kayu ulin Ensidroxylon zwageri dan meranti merah Shorea leprosula. Fauna juga memiliki peran penting dalam kehidupan orang Tunjung Linggang dimana sebagian besar dari hewan-hewan ini dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi misalnya, babi, kijang, rusa, dll. Masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang mampu mengenali karakteristik hewan yang akan dikonsumsinya sehingga dapat memanfaatkan pengetahuan tersebut ketika akan berburu. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu, orang Tunjung Linggang mempertahankan hidupnya dengan bergantung sepenuhnya kepada alam, sehingga pengetahuan seperti ini sangatlah penting. Benda-benda di lingkungan sekitar juga memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat suku dayak Tunjung Linggang. Sebagian besar fungsi dari elemen- elemen tersebut adalah untuk dikonsumsi flora, fauna air, sedangkan fungsi lainnya berupa pemanfaatan sebagai media pengobatan, bahan sandang papan, dll. Karena menyadari pentingnya elemen-elemen tersebut akhirnya orang Tunjung Linggang membuat aturan-aturan atau norma adat yang mengatur perlakuan warganya terhadap sungai, danau, dan tanah. Salah satu contoh mengenai keterkaitan budaya Masyarakat Tunjung Linggang dengan lingkungan adalah hutan lindung di Gunung Eno. Hutan Lindung Gunung Eno merupakan hutan yang dikonversikan menjadi hutan komunal adat oleh masyarakat suku Dayak Tunjung Linggang, sebagai hutan adat, hutan ini dilindungi oleh hukum adat setempat secara ketat. Tujuannya adalah agar hutan ini dapat berfungsi sebagai hutan lindung, hutan penelitian ilmiah, dan sebagai warisan bagi anak cucu di masa depan. Orang Tunjung Linggang telah mempelajari bagaimana cara membedakan kualitas tanah yang subur atau pun tidak subur dalam memanfaatkannya sebagai lahan untuk berladang. Selain air dan tanah, orang Tunjung Linggang juga memanfaatkan jenis batu-batuan dan berbagai jenis logam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat peralatan kerja sehari seperti parang, lingga, pisau toreh, dll. Hanya saja seiring dengan kemajuan teknologi kegiatan untuk memanfaatkan batuan dan logam dari alam sekitar sudah tidak dijumpai lagi karena orang Tunjung Linggang dapat memperoleh bahan-bahan tersebut dengan cara di beli atau memanfaatkan besi dan logam dari sisa benda lain. Segala bentuk praktek pengobatan tradisional, hutan adat, dan upacara adat istiadat lainnya dari suku ini memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan objek pariwisata. Karena hal-hal tersebut sangat menarik bagi turis-turis lokal maupun asing sehingga perlu dilakukan adanya upaya nyata oleh pemerintah Kutai Barat untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kutai Barat.

C. Tanaman Obat Yang di Manfaatkan Oleh Masyarakat Suku Dayak Tunjung